Mas Ayu Tejawati - Keturunan (Inventaris)
Dari Rodovid ID
2
perkawinan: <2> ♀ Bendoro Mas Ayu Asmorowati [Hamengku Buwono]
perkawinan: <3> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Pakuwono I] d. 1777
perkawinan: <4> ♀ BR Tiarso [Mataram]
perkawinan: <5> ♀ Bendoro Mas Ayu Sawerdi [Mataram]
perkawinan: <6> ♀ Bendoro Mas Ayu Mindoko [G.Hb.1.6] [?]
perkawinan: <7> ♀ Bendoro Raden Ayu Jumanten [G.Hb.1.8] [?]
perkawinan: <8> ♀ Bendoro Mas Ayu Wilopo [G.Hb.1.9] [?]
perkawinan: <9> ♀ Bendoro Mas Ayu Ratnawati [G.Hb.1.10] [?]
perkawinan: <10> ♀ Bendoro Mas Ayu Tandawati [G.Hb.1.12] [Blambangan]
perkawinan: <11> ♀ Bendoro Mas Ayu Tisnawati [G.Hb.1.13] [?]
perkawinan: <12> ♀ Bendoro Mas Ayu Turunsih [Brawijaya V]
perkawinan: <13> ♀ Bandara Mas Ayu Ratna Puryawati [G.Hb.1.15] [?]
perkawinan: <14> ♀ Bendoro Radin Ayu Doyo Asmoro [G.Hb.1.16] [?]
perkawinan: <15> ♀ Bendoro Mas Ayu Gandasari [G.Hb.1.17] [?]
perkawinan: <16> ♀ Bendoro Raden Ayu Srenggara [?]
perkawinan: <17> ♀ Bendoro Mas Ayu Karnokowati [G.Hb.1.18] [?]
perkawinan: <18> ♀ Bendoro Mas Ayu Setiowati [G.Hb.1.19] [?]
perkawinan: <19> ♀ Bendoro Mas Ayu Padmosari [G.Hb.1.20] [?]
perkawinan: <20> ♀ Bendoro Mas Ayu Sari [G.Hb.1.21] [?]
perkawinan: <21> ♀ Bendoro Mas Ayu Pakuwati [G.Hb.1.22] [?]
perkawinan: <22> ♀ Bendoro Mas Ayu Citrakusumo [G.Hb.1.23] [?] d. 24 Maret 1792
perkawinan:
perkawinan: <23> ♀ 2. Mas Roro Juwati / Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya (Kanjeng Ratu Mas) [Mataram] b. ~ 1734 d. 17 Oktober 1803
perkawinan: <24> ♀ 4. Bendoro Raden Ayu Handayahasmara / Mbak Mas Rara Ketul [Kramaleksana]
perkawinan: <25> ♀ Raden Ayu Wardiningsih [Wardiningsih]
gelar: 29 November 1730 - 13 Februari 1755, Kartasura, Pangeran Mangkubumi
perkawinan: <26> ♀ Bendoro Mas Ayu Cindoko [G.Hb.1.11] [?] , Yogyakarta
gelar: 13 Februari 1755 - 24 Maret 1792, Yogyakarta
wafat: 24 Maret 1792, Imogiri, Yogyakarta
gelar: 10 November 2006, Jakarta, Pahlawan Nasional RI
Silsilah Sri Sultan Hamengku Buwono I
Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) Tunggul Ametung Maesa Wong Ateleng Maesa Cempaka / Ratu Angabhaya / Batara Narasinga Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II Bhre Pajang I Wikramawardana / Hyang Wisesa / R Cagaksali Kertawijaya / Bhre Tumapel III Rajasawardana / Brawijaya II Lembu Amisani / R. Putro / R. Purwawisesa Bhre Tunjung / Pandanalas / R. Siwoyo Kertabumi / Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo Silsilah Hamengku Buwono I Ki Ageng Anis (Ngenis) Ki Ageng Pemanahan / Mataram R Sutowijoyo / Panembahan Senopati Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Sunan Prabu Amangkurat Agung Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura Sinuwun Prabu Mangkurat IV - Kartasura Pangeran Hadipati Mangkunagoro - Kartasura Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II Pangeran Hadipati Hadiwijoyo Pangeran Hario Mangkubumi - Hamengku Buwono I Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II K G P Adipati Ario Paku Alam I
Beliau memerintah di Yogyakarta, tahun 1755. Terlahir dengan nama Raden Mas Sujono yang merupakan adik Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II di Surakarta. Pada tahun 1746 ia memberontak karena Paku Buwono II mengingkari janji memberikan daerah Sukawati (sekarang Sragen) atas kemenangan Mangkubumi melawan Raden Mas Said. Pemberontakan tersebut berakhir dengan tercapainya Perjanjian Gianti (13 Februari 1755) yang menyatakan bahwa separuh Mataram menjadi milik Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I yang bergelar Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. (http://www.babadbali.com/babad/babadpage.php?id=550988)
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.
Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :
1. Sultan Hamengku Buwono I Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram).
Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda.
Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara.
Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755).
Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya.
Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006. (http://www.beritaunik.net/unik-aneh/silsilah-lengkap-raja-raja-ngayogyakarta-hadiningrat.html)
Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
Geneologis Hamengku Buwana I
Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah keatas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah.Selanjutnya Ktai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I. [sunting] Perang Tahta Jawa Ketiga
Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek. [sunting] Berbagi Wilayah Kekuasaan
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said.Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.
Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram. [sunting] Mendirikan Yogyakarta
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta. [sunting] Usaha Menaklukkan Surakarta
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.
Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.
Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan waris dari Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya. [sunting] Sebagai Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).
Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.3
181/3 <2+8> ♂ 13. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudo [Hb.1.7] (Bendoro Pangeran Haryo Adikusumo I) [Hamengku Buwono I]wafat: 1819
perkawinan: <29> ♀ Bendoro Mas Ayu Doyorogo [Ga.Hb.2] [Hamengku Buwono]
perkawinan: <30> ♀ Bendoro Raden Ayu Nilaresmi ? (Bendoro Raden Ayu Wiryakrama) [Kramaleksana]
perkawinan: <31> ♀ Bendoro Mas Ayu Pujaningsih [Ga.Hb.2] [Hamengku Buwono]
perkawinan: <32> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton [Gp.Hb.2] [?] b. 1750 d. Juli 1820
perkawinan: <33> ♀ Bendoro Raden Ayu Herowati [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <34> ♀ Bendoro Mas Ayu Sumarsonowati [?]
perkawinan: <35> ♀ Bendoro Mas Ayu Rantamsari [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <36> ♀ Bendoro Mas Ayu Sukarso [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <37> ♀ Bendoro Mas Ayu Mironosari [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <38> ♀ Bendoro Raden Ayu Kulon [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <39> ♀ Bendoro Mas Ayu Gondowati [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <40> ♀ Bendoro Mas Ayu Citrosari [Ga.Hb.2] / Bendoro Mas Ayu Citrowati [(Desa Beki - Purworejo)]
perkawinan:
perkawinan: <41> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.2] [?] b. 1760 d. 1826, Yogyakarta
gelar: Maret 1792 - 1799, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II
gelar: 1811 - 19 Juni 1812, Yogyakarta, Sultan Sepuh
gelar: 18 Agustus 1826 - 3 Januari 1828, Yogyakarta, Sultan Sepuh
wafat: 3 Januari 1828, Yogyakarta
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II mempuyai 80 anak. Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnya Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Saat menjdi putra mahota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng ktraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon. (nug: dari berbagai sumber. Referensi: www.wikipedia.com).
Dari HB II ini, keturunannya sekarang banyak tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Yogyakarta, sebagai tanah leluhur, Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Malang dan juga sampai di Banyuwangi yang dapat ditelusuri.
A. Pengantar Sultan Hamengku Buwono (HB) II adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memerintah antara tahun 1792 dan 1828. Ada dua fenomena menarik dari pribadi sultan pada saat berkuasa. Pertama adalah masa pemerintahannya yang ditandai dengan pergolakan politik yang belum pernah terjadi di Jawa pada periode sebelumnya. Pada periode tersebut, Jawa menjadi bagian dari perubahan besar yang berlangsung sebagaikonsekuensi konstelasi politik di Eropa. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris dan Belanda. Perubahan rezim yang juga menimbulkan pergantian kebijakan kolonial ini mengakibatkan terjadinya instabilitas politik dari penguasa kolonial khususnya tindakan pemerintah kolonial terhadap raja-raja pribumi. Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam antara penguasa kolonial dan penguasa Jawa. Fenomena kedua adalah pribadi Sultan Hamengku Buwono II yang cukup kontroversial. Sejauh ini berbagai sumber data yang ditinggalkan oleh para penguasa kolonial memuat laporan dan gambaran negatif terhadap raja Jawa ini. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras kepala, tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya sendiri, dan tidak bisa dipercaya. Informasi yang terkandung di dalam data kolonial tersebut masih mendominasi historiografi baik yang ditulis oleh sejarawan asing maupun sejarawan lokal. Hal ini menimbulkan daya tarik tersendiri sebagai bahan kajian dalam penelitian sejarah khususnya yang menempatkan para tokoh atau penguasa pribumi sebagai fokusnya. Kredibilitas informasi yang dimuat dalam data kolonial tentang Sultan HB II perlu dikritisi terutama lewat studi komparasi dengan sumber-sumber yang diperoleh dari naskah lokal yang sezaman (Jawa). Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bagaimana pribadi Sultan HB II yang sebenarnya dan peristiwa penting apa yang terjadi selama masa pemerintahannya. Di samping itu juga bisa diungkapkan karya apa yang diwariskannya dan motivasi apa yang mendasarinya B. Sebelum Menjadi Raja Sultan HB II dilahirkan pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Ketika lahir, Sultan HB II diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini diberikan sesuai dengan nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung Sindoro. RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.1 Meskipun berstatus sebagai putra raja, masa kecil RM Sundoro tidak dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan layaknya seorang pangeran. Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya untuk melawan VOC dan Kerajaan Mataram, di bawah Sunan Paku Buwono III. Medan perang Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sejak lahir hingga usia lima tahun, RM Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten,permaisuri kedua Pangeran Mangkubumi. Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Pebruari 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua (palihan nagari). Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru diberi nama Kesultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.2 Setelah peristiwa palihan nagari ini, Sultan HB I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya ke kraton, termasuk GKR Kadipaten bersama putranya RM Sundoro. Sejak saat itu, RM Sundoro mulai tinggal di kraton dengan status sebagai seorang putra raja. Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro mulai tampak sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan HB I menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada tahun 1758. Sultan HB I mengetahui sifat putranya yang memiliki kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro yang kelak dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam pengambilan keputusan. Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya dari permaisuri pertama GKR Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I tetap memilih RM Sundoro sebagai putra mahkota. Keyakinan ini semakin kuat ketika dua putra dari GKR Kencono dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.3 Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa, Sultan HB I mulai berpikir tentang calon pendamping hidup RM Sundoro khususnya yang akan memperoleh status sebagai permaisuri. Sebagai seorang putra raja, RM Sundoro hendaknya berdampingan dengan seorang wanita yang juga keturunan raja. Untuk itu Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III. Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765, Sundoro disambut langsung oleh Sunan PB III. Harapan yang ada dari kedua orang raja Jawa itu adalah bahwa dengan ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang selama ini terjadi antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan berkurang. Akan tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama. Akibatnya RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III. Kejadian ini membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang. Faktor lain yang memicu ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan daerah. Sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, pembagian daerah antarkedua kerajaan itu tidak didasarkan pada batas-batas alam melainkan didasarkan atas elit setempat yang berkuasa. Pembagian wilayah ditentukan oleh adanya ikatan kekerabatan dan hubungan darat antara setiap penguasa daerah dan masing-masing raja. Akibatnya, pembagian wilayah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta tidak ditentukan oleh batas yang jelas tetapi letaknya tumpang tindih. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah yang memicu konflik vertikal antarsesama penguasa daerah. Proses ini berlangsung hampir dua puluh tahun lamanya dan baru berakhir dengan perjanjian yang difasilitasi oleh Gubernur VOC van den Burgh tanggal 26 April 1774 di Semarang. Dalam perjanjian ini batas wilayah masing-masing raja Jawa dipertegas dan diatur kembali dengan tujuan agar konflik tersebut tidak terjadi lagi.4 RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774, kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC menjadi semakin luas. Perluasan wilayah dan kekuasaan VOC ini berlangsung seiring dengan meningkatnya intervensi VOC dalam kehidupan kraton raja-raja Jawa. Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang burung, penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu.5 Tekanan ekonomi dan politik VOC semakin intensif ketika kondisi fisik raja-raja Jawa baik Sultan HB I maupun Sunan PB III semakin merosot setelah tahun 1780. Hal tersebut menumbuhkan kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya. Sultan HB I menyadari hal ini dan mengetahui bahwa RM Sundoro adalah putra yang diharapkan mampu mempertahankan kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari ancaman dan rongrongan pihak asing. Pandangan ini memperkuat tekad Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro
(4 John F. Snelleman, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, vierde deel (‘s Gravenhage, 1905, Martinus Nijhoff), hal.584.)
(5 Yang dimaksudkan sebagai tol adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh orang yang akan melewati wilayah atau jembatan tertentu. Tol ini biasanya diborongkan kepada pihak ketiga.
sebagai putra mahkota. Meskipun ada penentangan dari para pejabat VOC yang sudah menyadari sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Dengan statusnya yang baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih besar. Hampir semua tindakan yang berhubungan dengan Kesultanan Yogyakarta disetujui oleh ayahnya. Setelah diangkat menjadi putra mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Ia menyadari bahwa ancaman VOC semakin besar dengan pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas Harstink pada tahun 1765, yang sebagian materialnya dibebankan kepada Sultan HB I. Ia berusaha mencegah agar benteng Rustenburg tidak terwujud. Dengan segala upaya ia berhasil menghambat pembangunan benteng itu. Akibatnya, hingga tahun 1785, bangunan benteng itu belum juga selesai.6 Ketika Johannes Siberg datang ke kraton Yogyakarta dalam acara pelantikan RM Sundoro sebagai putra mahkota, Siberg mengingatkan kepada Sultan HB I tentang kewajibannya membantu pembangunan benteng itu. Desakan Siberg membuat RM Sundoro menghentikan aktivitasnya. Meskipun setelah peristiwa itu pembangunan benteng dapat diselesaikan, RM Sundoro tidak menghentikan aktivitasnya melawan VOC. Ia meminta izin ayahnya untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta sebagai perimbangan kekuatan menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton. Setelah memperoleh izin dari ayahnya, RM Sundoro memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi alun-alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta. Di bagian depan bangunan ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II. C. Kebijakan Politik dan Konflik Pada saat yang hampir bersamaan dengan memuncaknya ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir tahun 1780-an, di Surakarta terjadi pergantian tahta. Sunan PB III wafat pada tanggal 26 September 1788. Tiga hari kemudian putra mahkota RM. Subadyo diangkat menjadi Sunan PB IV. Sifat-sifat Sunan PB IV yang juga diketahui anti-Belanda telah mengalihkan perhatian Jan Greeve sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-ootkust) dan Andries Hartsink sebagai Komisaris Kraton Jawa dari Yogyakarta ke Surakarta. Hal ini dilakukan setelah terbongkarnya rencana konspirasi Sunan PB IV (6 ANRI, surat Siberg kepada Sultan HB I tanggal 10 Pebruari 1785, bundel Semarang )
dengan para penasehat santrinya untuk membunuh orang-orang Belanda di Kesunanan Surakarta pada bulan September 1790. Peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan pengawasan yang semakin ketat terhadap Kesunanan Surakarta, tetapi juga memulihkan hubungan baik antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Membaiknya hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran ini disebabkan oleh permintaan bantuan VOC kepada mereka untuk menghadapi Sunan PB IV. Bersama-sama dengan VOC keduanya menemukan kesempatan untuk saling bekerja sama.7 Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Sunan PB IV bersedia menghentikan rencananya dan menyerahkan tujuh orang santri penasehatnya kepada Hartsink bulan Oktober 1790. Ketenangan di kraton Jawa kembali terusik, ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Perhatian para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Pieter Gerard van Overstraten 8 mengukuhkan RM Sundoro dan melantiknya sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Sejak itu masa pemerintahan Sultan HB II dimulai. Selama masa pemerintahannya, sifatnya yang antikolonial semakin jelas. Sultan HB II menyadari bahwa orang-orang Belanda merupakan ancaman utama terhadap keutuhan wilayah dan kewibawaan raja-raja Jawa khususnya di Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan Sunan PB IV yang berambisi untuk memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, Sultan HB II tidak berpikir untuk mengembalikan wilayah Kerajaan Mataram lama di bawah satu pemerintahan. Sebaliknya, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan disegani oleh para penguasa lain termasuk oleh orang-orang Eropa. Harapan Sultan HB II adalah Kesultanan Yogyakarta menjadi penegak dan pendukung utama tradisi budaya dan kekuasaan Jawa. Bertolak dari konsep ini, Sultan HB II bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang mengakibatkan merosotnya kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah kekuasaan raja-raja Jawa.9 Konflik terbuka pertama terjadi antara Sultan HB II dan VOC. Peristiwa ini berlangsung tidak lama setelah pelantikannya. Gubernur van Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam setiap acara pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di sebelah kanan kursi sultan. HB II beranggapan bahwa ia harus menghormati orang yang duduk di samping kanannya pada forum resmi di depan semua kerabat dan rakyatnya. Sultan HB II dengan tegas menolak tuntutan Overstraten itu. Karena tidak berhasil memaksakan kehendaknya, Overstraten melaporkan hal itu ke Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade Inggris bermaksud mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan raja-raja Jawa. Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten bertindak lebih jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de Parkeler pada tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan oleh Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.10 Parkeler yang mengetahui diri Sultan HB II dari van Overstraten bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama dengan sultan ini terjadi pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri acara pemakaman Patih Danurejo I. Menurut perjanjian tahun 1743, raja Mataram wajib meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih. Sultan HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan Yogyakarta bukan Kerajaan Mataram dan (http://id.rodovid.org/skins/common/images/button_media.png)Sultan berhak mengangkat patihnya sendiri.11 Parkeler bertindak hati-hati dan lebih banyak menggunakan jalur diplomatik untuk mencegah ketegangan dengan Sultan. Melalui perundingan dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil membujuk Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September 1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru dengan Parkeler yang memuat pengangkatan patih baru. Setelah perjanjian ini disahkan, Sultan HB II mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih Danurejo I, yang bergelar Patih Danurejo II. Pada saat yang bersamaan Sunan PB IV juga menandatangani perjanjian yang intinya menghindari konflik terbuka ketika terjadi ketegangan dengan Kesultanan Yogyakarta dan meminta VOC untuk menengahinya.
12 7 ANRI, surat Sultan HB I kepada Mangkunegoro tanggal 24 September 1790, bundel Solo. 8 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oost-Kust)diserahterimakan dari Jan Greeve kepada penggantinya P.Gerard van Overstraten pada tanggal 1 September 1791 (lihat GP. Rouffaer.”Vorstenlanden” dalam John F Snelleman. 1905. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie,vierde deel, ’s Gravenhage, hal. 587—653. 9 ANRI, Memorie van Residen J.G. van den Berg in Jogjacarta 1799-1803, bundel Yogyakarta. 10 Anonim, “Overzicht van de voornaamste gebeurtenissen in het Djocjocartasche-Rijk, sedert deszelf stichting (1755) tot aan Het einde van het Engelsche tusschen-bestuur in 1815”, dalam TNI, III deel, 1844, hal. 129 11 Perjanjian tanggal 11-13 November 1743, pasal 3 dan 4, yang dibuat antara G.W. Baron van Imhoff dan Sunan Paku Buwono II di Mataram, dimuat dalam “Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum’, BKI jilid 96, tahun 1938, hal. 361-362 12 ANRI, contract met Sultanaat Jogjakarta over het jaar 1799, dalam bundel Hooge Regeerings.
1. Sri Paduka Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepoeh)
Sultan Sepoeh adalah putra ke 3 dari Sultan Hamengku Buwono I (lahir tahun 1750), dalam sejarah perjuangan Bangsa memang terkenal sebagai salah seorang Sultan yang berani melawan Belanda. Beliau memerintah Kasultanan Yogyakarta mulai tahun 1792 dan kemudian ditangkap oleh Daendels pada tahun 1810. Pada 1811 dikembalikan ke tahta Ngayogyakarta, tetapi baru satu tahun, 1812 Sri Sultan Sepoeh ditangkap dan dibuang ke Pulau Pinang oleh Raffles, bahkan kemudian dipindahkan ke Ternate selama 14 tahun. Pada tahun 1826 dikembalikan ke Jawa dan diangkat lagi dengan suatu upacara besar – besaran di Istana Bogor, namun hal ini sebenarnya hanya siasat Belanda agar Sultan Sepoeh mau menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro (kemenakannya = Putra SPKS HB III), namun beliau tidak bersedia. Sri paduka kanjeng Sultan Hamengku Buwono akhirnya wafat pada tahun 1828 dalam usia 78 tahun dan disemayamkan di Makam Agung Pasargede (Kota Gede)
2. Kanjeng Pangeran Ario Moerdaningrat
Beliau adalah putra ke 9 dari Eyang Sultan Sepoeh (SPKS HB II). Pada waktu SPKS HB IV seda tahun 1822, putra mahkota beliau Sultan menol masih berusia 3 tahun; oleh karena itu dibentuk DEWAN MANGKUBUMI, yang terdiri dari : Neneknya : Kanjeng Ratu Ageng Ibundanya : Kanjeng Ratu Kencana K.P.A Mangkubumi (putra ke 8 Sultan Sepoeh) K.P.A Diponegoro (putra dari SPKS HB III) Pada waktu itu Kumpeni Belanda kurang menghormati pada tata cara adat Kasultanan dan bertindak kejam kepada Rakyat, sehingga membuat marah Pangeran Diponegoro dan menyatakan perang melawan Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda KPA MAngkubumi juga ikut dan menjadi Penasehat Agung K.P.A Diponegoro, kemudian Dewan Mangkubumi (pada bulan Oktober 1825) diserahkan kepada : K.P.A Moerdaningrat (putra ke 9 Sultan Sepoeh), dan K.P.A Panular. Dalam sejarah diceritakan bahwa Belanda sangat kewalahan melawan Pasukan Pangeran Diponegoro yang didukung oleh Rakyat yang gagah berani dan melakukan perang gerilya secara cerdik. Beliau juga dibantu oleh Pangeran Ngabei Jayakusuma, Kiyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Suatu ketika Jendral Van Geen membawa Pasukan 1000 orang kemudian menyandera K.P.A Moerdaningrat dan K.P.A Panular digunakan sebagai tameng waktu menyerbu Markas Besar (MB) Pangeran Diponegoro. Namun hal ini sudah diketahui oleh Beliau sehingga usaha Kumpeni gagal. Naas bagi pasukan Belanda karena waktu kembali ke Yogyakarta disanggong oleh Pasukan Diponegoro di sebuah jurang dekat sungai Krasak (Lengkong) dan mengalami kekalahan yang sangat memalukan bagi pihak Belanda. Di pertempuran Lengkong ini K.P.A Moeredaningrat (dan K.P.A Panular) gugur di medan bhakti (Juli 1826), kemudian disarekan di Pesarean Lengkong.
3. R.M.A.A Djojodiningrat
Beliau adalah putra ke 4 dari Eyang K.P.A Moerdaningrat, dengan nama kecil : R.M Abdoel Djalil. Semasa kecilnya diajak menemani kakeknya Sultan Sepoeh (HB II) waktu dibuang ke Ternate selama 14 tahun. Pada jaman perang Diponegoro R.M Abdoel Djalil turut secara aktif berjuang, bahkan dijadikan ajudan pribadi Pangeran Diponegoro (Liaison Officer); sering diutus sebagai penghubung antara MB dan Para Komandan Operasional di Lapangan (menyampaikan perintah atau laporan). Pada waktu Pangeran Diponegoro kemudian ditipu dan ditangkap Belanda, R.M Abdoel Djalil langsung menghilang dan masuk ke Pesantren Brangkal (Gombong) mengaku sebagai Santri Ngabdoeldjalil. Namun akhirnya diketahui oleh mata – mata Belanda dan diambil kembalikan ke Kasultanan untuk diberi pendidikan indoktrinasi mengenai Loyalitas ala Barat. Selesai p[endidikan ditipkan kepada Raden Adipati Tjokronegoro (Bupati Poerworejo) agar tidak berhubungan langsung dengan rakyat. Selang beberapa waktu R.M Abdoel Djalil diberi pekerjaan mengikat, sebagai anggota Landraad di Poerworejo dan berganti nama : R.M Djojoprono. Setelah berapa lama diangkat menjadi Fiscaal (Jaksa), kemudian karena kecakapannya diangkat menjadi Bupati Ngroma Jatinegara pada tahun 1844, dengan gelar : Raden Mas Ario Adipati (R.M.A.A Djojodiningrat). Pada waktu diangkat beliau minta agar menguasai juga daerah Bagelen Selatan sehingga seperti berpangkat Residen; Belanda terpaksa mengabulkannya karena memang daerah Bagelen belum terkonsolidasi (Residen Belanda hanya sebagai penasehat saja). Dari Kraton Yogyakarta beliau mendapat anugerah tertinggi berupa Songsong Gilap (menurut hierarki Kraton seharusnya Songsong Gilap hanya dimiliki oleh seorang Pangeran dengan sebutan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati). Berhubung alam sekitar Ngroma tidak memenuhi selera estetika, maka beliau membangun ibukota Kabupaten baru yang ditanganinya sendiri selama 4 tahun dan diberi nama KarangAnyar, yang di-inaugurasi tahun 1848. Sewaktu pensiun tahun 1864 beliau ikut putra sulungnya R.M.T.A Tjokrohadisoeryo yang mengikuti jejak ayahnya sebagai Bupati Ledok dengan ibukota Wonosobo. R.M.A.A Djojodiningrat menetap di Sepoeran kurang lebih 10 km dari ibukota; setelah wafat beliau dimakamkan di makan keluarga “Candi Wulan” Wonosobo. (http://ikdonline.wordpress.com/history/) Foto Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II (Sumber: http://jogjakini.wordpress.com/2007/11/30/sri-sultan-hb-ii/)
BERSAMBUNGperkawinan: <48!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Danukusumo ? (Wedono Jobo) [Danurejo I] d. Januari 1812
penguburan: Agustus 1758, Imogiri, Yogyakarta
lahir: 21 Maret 1764, Yogyakarta
gelar: 28 Januari 1812 - 31 Desember 1829, Yogyakarta, Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I [1812-1829]
wafat: 31 Desember 1829, Yogyakarta
gelar: ~ 1810, Yogyakarta, Pangeran Muhamad Abubakar
wafat: 1826
wafat: 30 Juli 1826, Nglengkong, Sleman
wafat: 1815
pekerjaan: Januari 1828, Wakil Dalem
perkawinan: <48> ♂ 1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara I] b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795
perceraian: <48!> ♂ 1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara I] b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795
wafat: 30 Desember 1801
wafat: 28 Agustus 1807
gelar: November 1811, Bupati Kliwon
4
561/4 <17+?> ♀ 3. Bendoro Raden Ayu Pringgodiningrat [Hamengku Buwono II]perkawinan:
perkawinan: <59!> ♀ 8. Gusti Kanjeng Ratu Bendara [Hamengku Buwono II]
penguburan: 20 Juni 1812, Pemakaman Jejeran, Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta, diatas jam 10 malam
wafat: 20 Juni 1812, Masjid Alun2 Selatan Kraton Yogyakarta, Geger Sepehi, Sabtu, 20 Juni 1812 Antara Jam 5-6 pagi
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat Trah Para Wali Besar Mataram Islam, Syahid dalam Perang Sepehi 1812, Cucu Sultan Hamengkubuwono I, Menantu Sultan Hamengkubuwono II, Panglima Perang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Berjulukan Singobarong
KRT SUMODININGRAT adalah pahlawan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam Perang Sepehi di Yogyakarta 18-20 Juni 1812, pada masa Sultan Hamengkubuwono II. Ia pernah menjabat sebagai Bupati Jaba kedua pada 1794 dan Wedana Jero pertama pada 1797 (Carey 2008, 188; Carey 1980, 191). Sehari-hari ia juga bertindak sebagai penasehat militer utama Kraton Yogyakarta (Qomar 2023, 248). Di tengah medan Perang Sepehi, ia ditugaskan untuk menjadi panglima utama yang berdiri di garis terdepan menjaga wilayah Yogyakarta. Sosok inilah yang dijuluki Singobarong oleh masyarakat Yogyakarta sebagaimana terabadikan di dalam Babad Ngayogyakarta (1876) karya Pangeran Suryanegara dan Raden Adipati Danureja V
Kelahiran dan Silsilah
KRT Sumodiningrat dilahirkan sekira 1760-an di wilayah Remame, Kedu Selatan. Ia merupakan anak KRT Jayaningrat, bupati Kedu Selatan. Di masa kecil hingga mudanya, ia mendapatkan pendidikan keislaman dari seorang guru bernama Kyai Tambi Jenggi, yang merupakan seorang wali pemilik otoritas pengasuhan anak-cucu keluarga Karaton Ngayogyakarta (Arafat 2023, 89). Dalam arsip-arsip Kraton Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono II diceritakan peristiwa surat-menyurat antara KRT Sumodiningrat dan gurunya ini (Carey 1980, 191). KRT Sumodiningrat merupakan cucu Sultan Hamengkubuwono I. Ayahnya, KRT Jayaningrat, menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat, anak keempat Sultan Hamengkubuwono I (Dajapertama & Dirdjasoebrata t.t., 13; Mandoyokusumo 1988, 10). Perkawinan ini membuahkan lima orang anak: Tumenggung Sumodiningrat; Tumenggung Wiryawinata; Tumenggung Jayaningrat; Raden Ayu Rangga Madiun; dan Tumenggung Wiryadiningrat (Serat Salasilah Para Loeloehoer ing Kadanoeredjan 1899, 207).
Nasab KRT Sumodiningrat terhubung kepada Kyai Ageng Penjawi, salah satu dari tiga tokoh pembuka Kerajaan Mataram Islam di selatan Jawa pada permulaan abad ke-16. Sedangkan ke atasnya lagi, nasab ini bersambung hingga Kyai Ageng Ngerang. Diurutkan dari atas, nasab KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Ageng Ngerang I → Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang) → Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan) →Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8)
Dari jalur lain, KRT Sumodiningrat juga merupakan keturunan Kyai Jejer, Tumenggung Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting, tiga tokoh penting pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah pada 1613-1645 (Sejarah Ratu t.t., 64). Tumenggung Singaranu adalah Patih kedua Kerajaan Mataram Islam di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting adalah Wedana Jaksa dan anggota Dewan Ulama Penasehat Sultan Agung Hanyakrakusuma (Hanyakrakusuma 1999, 10), sedangkan Kyai Jejer adalah guru sekaligus mertua Sultan Agung Hanyakrakusuma yang juga menjadi tokoh cikal-bakal wilayah Jejeran, Bantul, Yogyakarta.
Darah ketiga tokoh besar Mataram Islam era Sultan Agung itu menyatu di dalam diri KRT Sumodiningrat. Alurnya dimulai dari perkawinan Kyai Ageng Wonokriyo/Kyai Kriyan dengan Nyai Ageng Kriyan. Siapakah Nyai Ageng Kriyan? Perempuan agung ini adalah anak dari pernikahan antara Adipati Singaranu bin Kyai Jejer dengan Nyai Adipati Singaranu binti Tumenggung Singaranu. Dari pernikahan Kyai Ageng Wonokriyo/Kyai Kriyan dengan Nyai Ageng Kriyan lahirlah Tumenggung Jayawinata Gajah Gede yang menikahi R.Ay. Jayawinata binti Raden Riyo Wirokusumo bin Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting. Melalui alur Tumenggung Jayawinata Gajah Gede hingga ke bawah akan sampai kepada KRT Sumodiningrat.
Dari sini menjadi jelas bahwa KRT Sumodiningrat adalah juga keturunan Kyai Jejer, Tumenggung Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting. Jadi, di dalam darah KRT. Sumodiningrat mengalir darah Sri Sultan Hamengkubuwono I, Tumenggung Singaranu, Kyai Jejer, Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting, dan Kyai Ageng Penjawi. Dapat dipastikan secara mutlak bahwa KRT Sumodiningrat adalah tokoh pribumi negeri Mataram Islam. Dari jalur Tumenggung Singaranu, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Tumenggung Singaranu → Nyai Adipati Singaranu → Nyai Ageng Kriyan → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8). Dari jalur Kyai Jejer, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Jejer : → Ki Bagus Sangat/Adipati Singaranu → Nyai Ageng Kriyan → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8).
Dari jalur Kyai Juru Kiting, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Juru Kiting → Raden Riyo Wirokusumo → Raden Ayu Jayawinata Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8).
Perkawinan
KRT Sumodiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwono II Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat dengan GKR Kedaton (Mandoyokusumo 1988, 16; Sejarah Ratu, 80 & 123; Serat Salasilah 1899, 208). Sedangkan GKR Kedaton adalah anak Tumenggung Purwodiningrat, Bupati Magetan (Mandoyokusumo 1988, 15), atau Bupati Kertosono setelah Perang Giyanti (1746-1757) sebagaimana termaktub di dalam catatan Lucien Adam, seorang Residen Madiun 1938-1938, pada 1940 (Reinhart 2021, 242). Silsilah Tumenggung Purwodiningrat ke atas masih terhubung dengan keluarga besar para priyagung Madura.
Perkawinan KRT Sumodiningrat dengan GKR Bendara tidak membuahkan keturunan. Dari istri lain, ia memiliki anak bernama Tumenggung Sumonegoro, yang kelak menjadi Wedana Distrik Maosan Dalem Pengasih hingga Nanggulan (Serat Salasilah 1899, 208). Baik KRT Sumodiningrat maupun anaknya, Tumenggung Sumonegoro, sama-sama dimakamkan di Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Kewafatan
Kewafatan KRT Sumodiningrat terjadi pada pagi hari terakhir Perang Sepehi, 20 Juni 1812. Peristiwa kewafatan ini diceritakan di dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Padha I-VII. Babad Sepehi adalah karya sejarah yang ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, anak Sultan Hamengkubuwono II, yang memang langsung berada di tengah-tengah pertempuran (Mangkudiningrat; 2018, 65–66). Jadi, Babad Sepehi merupakan sumber primer sejarah yang ditulis oleh pelaku sejarah, Pangeran Mangkudiningrat, pada Selasa, 20 Rabi’ul Awal 1228 H tahun Ehe atau bertepatan dengan 23 Maret 1813. Dengan kata lain, naskah ini “lahir” hanya sekira setahun setelah Perang Sepehi.
Diceritakan di dalam Babad Sepehi bahwa KRT Sumodiningrat bertempur di sisi barat Kali Code dan menjaga pos pertahanan bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Tumenggung Wiryawinata, adiknya sendiri. Peristiwa pertempuran pasukan Sepehi dengan KRT Sumodiningrat diceritakan di dalam tembang bermetrum Durma, Pupuh II, mulai Padha atau bait ke-6 dan ke-7 (Mangkudiningrat; 2018, 55–56)
Kutipan Tesis dari : M. YASER ARAFAT
KRT Sumadiningrat adalah menantu Sultan Hamengkubuwana II. Ayahnya, Ia merupakan anak tertua KRT Jayaningrat I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat binti Sultan HB I. Makam KRT Sumadiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di dalam sebuah cungkup di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. Di dalam tatanan pemerintahan Sultan HB II, KRT Sumadiningrat menjabat sebagai bupati jaba kedua pada 1794, wedana jero pertama pada 1797 (P. Carey 2008, 188; P. B. R. Carey 1980, 191).
Kesimpulan
- KRT Sumadiningrat BUKAN Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
- KRT Sumadiningrat yang tercatat sebagai menantu Sultan Hamengkubuwana II adalah tokoh yang juga sekaligus cucu Sultan Hamengkubuwana I. Tokoh ini pula yang dalam berita kolonial dan babad tradisional di Jawa disebut singo barong, BUKAN Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
- Ayah KRT Sumadiningrat adalah KRT Jayaningrat I. Siapa KRT Jayaningrat I?
- KRT Jayaningrat I adalah menantu Sultan Hamengkubuwana I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat (Mandoyokusumo 1988, 10). Raden Ayu Jayaningrat adalah anak keempat Sulan HB I (Dajapertama and Dirdjasoebrata n.d., 13).
- Urutan nasab KRT Sumadiningrat dari atas sebagai berikut (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 163–64 & 201–8): Kyai Ageng Ngerang I → Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang) → Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan) → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat I → KRT Sumadiningrat [Jejeran].
- KRT Sumadiningrat memiliki 4 orang adik, yaitu; RT Wiryawinata [Jejeran]; RT Janingrat [Jejeran]; Raden Ayu Rangga Madiun; RT Wiryadiningrat (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 207).
- KRT Sumadiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwana II dari hasil pernikahannya dengan GKR Kedaton (Mandoyokusumo 1988, 16; #Sejarah Ratu n.d., 80 & 123; Agustriyanto 2018; Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
- KRT Sumadiningrat gugur akibat keganasan serangan Inggris ke Yogyakarta pada peristiwa Geger Sepehi. Peristiwa ini diceritakan di dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Pada I-VII. Babad Sepehi bercerita tentang peristiwa Geger Sepehi. Karya ini ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, anak Sultan HB II, yang memang langsung berada di tengahtengah pertempuran (Irawan 2018, 65–66).
- Setelah gugur dalam Geger Sepehi, jenazah KRT Sumadiningrat dibawa untuk dimakamkan di Jejeran pada jam sepuluh malam. Makam KRT Sumadiningrat berada di tanah pamutihan yang memang merupakan haknya di Pasarean Astana Gedong, Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Tepat di sisi barat Masjid Kagungan Dalem Mi’rajul Muttaqinallah. Dulu masjid ini disebut Masjid Sumadiningratan (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
- Makam KRT Sumadiningrat berada di dalam sebuah cungkup khusus di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo), seorang ulama besar Mataram Islam pada zaman Sultan Agung hingga Amangkurat I yang tiada lain merupakan leluhurnya sendiri.
- Menjadi maklum bila KRT Sumadiningrat dimakamkan tepat di bawah atau di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan yang merupakan punjer atau leluhurnya. Memang beginilah adat atau budaya pemakaman di Jawa. Tokoh tertentu akan dikuburkan di sebuah lahan yang sama dengan para leluhurnya.
- Sedangkan makam KRT Jayaningrat I juga berada di pasarean ini. Tepatnya di dalam cungkup khusus di sisi selatan pengimaman masjid.
- Perkawinan KRT Sumadiningrat dengan GKR Bendara tidak membuahkan keturunan.
- Hanya saja, di luar cungkup makam KRT Sumadiningrat ada makam KRT Sumanegara. Tokoh ini adalah anak KRT Sumadiningrat dari istri lain. Sayangnya Serat Salasilah hanya menyebutkan nama sang anak, bukan nama sang ibu atau sang istri lain itu.
- KRT Sumanegara adalah bupati wedana distrik maosan dalem Pengasih hingga Nanggulan. Selain itu ada pula makam keponakannya, KRT Tirtanegara bin KRT Janingrat. KRT Tirtanegara merupakan bupati maosan Kalibawang (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
- Belakangan makam KRT Sumadiningrat di Jejeran, oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta, juga disebut sebagai sebagai makam Sayyid Ahmad bin Thoha bin Yahya. Silahkan dicek narasi Sulistyo Eko Cahyono di dalam link YouTube di atas. Cek juga tautan ini: https://fb.watch/l1x33-0pBM/?mibextid=5Ufylb.
- Narasi penyebutan makam KRT Sumadiningrat di Jejeran sebagai makam Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya adalah sebagai berikut: a).Dalam narasi Sulistyo Eko Cahyono disebutkan di menit ke 2:42:13 bahwa ketika terjadi penyerangan oleh Legiun Inggris yang bertujuan untuk mencari Habib Hasan, kediaman Habib Hasan di Jejeran, Bantul, didatangi. Pada saat itu Habib Hasan melakukan koordinasi di ndalem Keraton Ngayogyakarta; b). Di menit ke 2:43:20, Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa Habib Ahmad yang tinggal di Suronatan sedang ada di Jejeran ketika legiun Inggris datang. Pasukan Inggris mengepung rumah Habib Hasan. Habib Ahmad lalu mengaku sebagai Habib Hasan kepada Inggris. Alasannya karena Habib Hasan diperlukan strategi dan kesatriaanya oleh keraton. Atas alasan itu Habib Ahmad mengaku menjadi Habib Hasan; c). Di menit ke 2:45:00, Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa keluarga Habib Hasan (termasuk Habib Ahmad dan putra puterinya) ditahan dan meninggal. Ini terjadi pada 1812 M. Habib Ahmad dimakamkan di Jejeran dan dikenal dengan nama KRT Sumodiningrat. Sebagai pengalihan agar pencarian Habib Hasan mengendor. Makam Jejeran dimitoskan angker. Sehingga Inggris tidak tertarik untuk mencari tahu siapa yang dimakamkan.
- Berdasarkan analisis atas data istri Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang bertentangan dengan data historis di atas, cerita tentang Habib Ahmad yang dikatakan mengaku sebagai KRT Sumadiningrat yang disebut dimakamkan di Jejeran ini meragukan. Babad Sepehi menceritakan secara rinci di mana posisi KRT Sumadiningrat saat itu hingga ia dibunuh. Diceritakan juga di sana bagaimana KRT Sumadiningrat menjaga pos pertahanan bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan KRT Wiryawinata, adiknya sendiri.
- Makam Jejeran di barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah adalah pemakaman anak-turun Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo). KRT Sumadiningrat adalah cucu-buyut Kyai Kriyan. Sekali lagi, menjadi maklum bila jenazahnya dimakamkan di sana. Sebab memang itu pemakaman leluhurnya. Sangat ganjil jika dikatakan bahwa makam KRT Sumadiningrat di Jejeran merupakan makam Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya.
- Berdasarkan semua analisis di atas, jelas sekali bahwa KRT Sumadiningrat yang disebut menantu Sultan HB II dan menjabat sejumlah jabatan penting di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga meninggal pada 1812 BUKANlah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya dan bukan pula Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya.
- Makam KRT Sumadiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta, tepat di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. BUKAN di Semarang.
- Makam KRT Sumadiningrat dan seluruh leluhur hingga anak-keturunannya di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta harus dijaga dan dirawat oleh terutama anak-turun Kyai Kriyan, Sultan HB I, Sultan HB II, dan seluruh kawula Mataram.
perkawinan: <56> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21] [?]
perkawinan: <137!> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah [Ga.Hb.3.22] / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti [Hamengku Buwono I]
perkawinan: <57> ♀ Bendoro Mas Ayu Mindarsih [?]
perkawinan: <140!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.1.?] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng [Gp.Hb.3.1] [Hamengku Buwono I]
perkawinan: <58> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangkorowati [Ga.Hb.3.1] [Hamengku Buwono] b. 1770 d. 7 Oktober 1852
perkawinan: <59> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningrum [?]
perkawinan: <60> ♀ Bendoro Raden Ayu Lesmonowati ? (Ratu Kencono) [?]
perkawinan: <61> ♀ Bendoro Raden Ayu Kusumodiningrum [?]
perkawinan: <62> ♀ Bendoro Raden Ayu Mulyoningsih [?]
perkawinan: <63> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitosari [?]
perkawinan: <64> ♀ Bendoro Raden Ayu Mulyosari [?]
perkawinan: <65> ♀ Bendoro Mas Ayu Puspitoningsih [?]
perkawinan: <66> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitolangen [?]
perkawinan: <67> ♀ Bendoro Raden Ayu Kalpikowati [?]
perkawinan: <68> ♀ Bendoro Raden Ayu Surtikowati [?]
perkawinan: <69> ♀ Bendoro Raden Ayu Panukmowati [?]
perkawinan: <70> ♀ Bendoro Mas Ayu Madrasah [?]
perkawinan: <71> ♀ Bendoro Raden Ayu Padmowati [?]
perkawinan: <72> ♀ Bendoro Raden Ayu Wido [?]
perkawinan: <73> ♀ Bendoro Raden Ayu Doyopurnomo [?]
perkawinan: <74> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspowati [?]
perkawinan: <75> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.3.1] ? (Prawirodirjo) [?]
perkawinan: <76> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Wadhan [Gp.Hb.3.3] [?]
perkawinan: <77> ♀ Bendoro Mas Ayu Sasmitoningsih [Ga.Hb.3.19] [?]
perkawinan: <78> ♀ Bendoro Raden Ayu Renggoasmoro [Ga.Hb.3.20] [?]
perkawinan: <79> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningsih [Ga.Hb.3.23] [?]
gelar: 31 Desember 1808, Yogyakarta, Raja Putro Narendro Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro (Pangeran Wali)
gelar: 1810 - 28 Desember 1811, Yogyakarta
gelar: 12 Juni 1812 - 3 November 1814, Yogyakarta, Sultan of Yogyakarta, 3rd
wafat: 3 November 1814, Yogyakarta
Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya. Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.
Sri Sultan Hamengkubuwana III (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.
Kepustakaan
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo. Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan. Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko. Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo. Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos. Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga. Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829. Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."
De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.perkawinan: <80> ♀ Bendoro Mas Ayu Pulungayun [?]
pekerjaan: 9 September 1799 - 28 Oktober 1811, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo II
wafat: 28 Oktober 1811, Yogyakarta, Dimakamkan di Banyusumurup, kemudian dipindahkan ke Mlangi
perkawinan: <82> ♀ Raden Ayu Mangkudiningrat ? (Raden Ayu Kustinah) [Kusumowijoyo]
wafat: 13 Maret 1824?, Ambon
Bandara Pangeran Arya Mangkudiningrat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri), having had issue:
- Colonel Radin Temenggong Mangku Vijaya/Pangeran Adipati Mangku di-ning Rat II, Prince of Kalibawang (s/o the second wife). Granted the principality of Kalibawang in fief 28th April 1831. Exiled to Ambon in December 1831. m. (div. 1817) Bandara Radin Ayu Mangku Vijaya (m. second, Colonel Gusti Pangeran Adipati Prabhu ning Rat), daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana III Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta, by his wife, Ratu Kinchana/Ratu Ibu, daughter of Radin Temenggong Pangeran Sasra di-ning Rat I, Bupati of Jipang-Rajegwesi.
- Pangeran Arya Chakra ning Rat. b. 1801 (s/o a junior wife).
- Radem Mangku Wilaya/Radin Marta Atmaya/Pangeran Arya Suriya Mataram (cre. 1825). b. 1802 (s/o a junior wife).
- Radin Sasra Atmaya/Pangeran Arya Paku ning Rat. b. 1803 (s/o a junior wife). Cdr. of Ferryboats during the Java War 1825-1830.
- Colonel Radin Mas Papaki/Radin Temenggong Mangkundirja (cre. 1814)/Pangeran Adipati Natapraya (cre. 1825), Prince of Kalibawang. b. 1804 (s/o Radin Ayu Jaya Kusuma). Succeeded his brother as prince of Kalibawang 1831. He d. at Kalibawang, November 1853.
- Pangeran Arya Papak. b. 1804 (s/o a junior wife).
- Pangeran Arya Paku ning Prang. b. 1805 (s/o a junior wife).
- Major Radin Jaya di-ning Rat/Pangeran Arya Jaya di-ning Rat. b. 1806 (s/o a junior wife).
- Radin Arya Jayang Kusuma. He had issue:
- Radin Adipati Dhanu Praya.
- Pangeran Arya Malaya Kusuma. b. 1808 (s/o a junior wife).
- Gusti Kanjeng. m. Lieutenant-Colonel Pangeran Arya Nata ning Prang, third son of Colonel Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Raja Raja Paku Alam II, by his principal consort, Bandara Radin Ajeng Ratna Supira/Gusti Kanjeng Ratu Anum/Gusti Kanjeng Ratu Anum, twenty-fourth daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana II Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta. She had issue - see Indonesia (Pakualaman).
- Radin Ajeng Sukina (d/o Jaya Kusuma).
- Radin Ayu Wirya di-Pura.
- Radin Ayu Padma di-Pura.
- Atas permintaan Keluarga Diputus
1. KG.P.Ap Mangkudiningrat 2. Putranya : 850052
BABAD MANGKUDININGRATAN
Teks diawali dengan cerita tentang Pangeran Mangkudiningrat yang mendampingi Hamengku Buwana II, ayahnya yang diasingkan ke Pulau Pinang. Pangeran Mangkudiningrat selalu memohon kepada Tuhan agar ibu,istri, dan anak-anaknya dalam keadaan selamat. Di bagian akhir diceritakan keberhasilan Pangeran Mangkudiningrat (= Panji Asmara) sebagai orang yang dipercaya penduduk Ambon karena kemanjurannya dalam mengobati orang-orang sakit. Bagian akhir teks terputus karena kertas sobek/ lembaran-lembarannya hilang. Di beberapa halaman (h. 142—145, 161—163) terdapat
banyak tulisan yang dicoret sehingga tidak dapat dibacaperkawinan:
perkawinan: <83> ♀ Muktionowati [Ga.Pa.2.1] [?]
perkawinan: <84> ♀ Resminingdiah [Ga.Pa.2.3] [?]
perkawinan: <85> ♀ Widowati [Ga.Pa.2.4] [?]
perkawinan: <86> ♀ Sariningdiah [Ga.Pa.2.2] (Gondhowiryo) [Ga.Pa.2.2]
perkawinan: <88!> ♀ 37. Gusti Kanjeng Ratu Ayu Krama [Gp.Pa.2.1] [Hamengku Buwono II]
gelar: 1814, Yogyakarta, Pangeran Suryaningrat
gelar: 31 Desember 1829, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat
gelar: 4 Januari 1830 - 23 Juli 1858, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II
wafat: 23 Juli 1858, Yogyakarta
Pada 1814 ia dilantik menjadi Pangeran Suryaningrat. Setelah ayah mangkat, maka pada 31 Desember 1829 sang pangeran ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat. Melalui perjanjian politik 1831-1832-1833 dengan Pemerintah Hindia Belanda, KGP Adipati Suryaningrat dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II. Dalam masa pemerintahannya ditandai dengan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dan kesusastraan disamping meletakkan dasar pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Kebudayaan menemukan wujud yang baru dalam kadipaten walaupun tidak meninggalkan pokoknya.
Perlu dicatat bahwa Paku Alam II dari garwa padmi (permaisuri) mendapat empat orang putra. Sementara keseluruhan putra-putrinya berjumlah 16 orang. Pada waktu ia naik tahta putra sulungnya yang bernama GPH Suryoputro telah wafat. Putra kedua yaitu GPH Suryaningrat terganggu ingatannya karena terlalu mendalami soal mistik. Putra yang ketiga GPH Nataningprang mendampinginya dalam memegang tampuk pemerintahan dan merupakan tulang punggungnya. Namun putra ketiga ini mendahului meninggal dunia pada 1857. Dengan demikian putra terakhirnya, GPH Sasraningrat, yang menggantikan membantu tampuk pemerintahan sekaligus pewaris tahta berikutnya. Akhirnya KGPA Paku Alam II mangkat pada 23 Juli 1858 setelah bertahta sekitar 30 tahun dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.perkawinan: <142!> ♀ 2. Bendoro Raden Ayu Nuryani / Bendoro Raden Ayu Abdu'l Arifin Hadiwijoyo [Hamengku Buwono]
wafat: 30 Juli 1826, Nglengkong-Sleman, Termasuk dalam Daftar Panglima Perang Pangeran Diponegoro, (wafat pada 30 Juli 1826, dalam sebuah penyergapan Belanda didaerah Nglengkong-Sleman, Royal.Ark)
gelar: 1799 - 17 Desember 1810, Bupati Madiun Ke 16 di : Maospati
wafat: 17 Desember 1810, Banyu Sumurup-Imogiri dipindahkan ke Giripurno-Gn Bancak-Magetan pada 1957
NMR: 29 Juni 1813, Yogyakarta
perkawinan: <125!> ♀ 74. Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hamengku Buwono II]
pekerjaan: 2 Desember 1813 - 22 Februari 1847, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo III
wafat: 1849, Mojokerto
Bandara Pangeran Arya Martasana/Bandara Pangeran Arya MurdaningRat (cre. 17th November 1825). b. 1774 (s/o Sepu). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Wakil Dalem to HBV from 17th November 1825. m. at Ambon, before 1824, a daughter of an exiled Surakarta prince. He was k. in an ambush at Nglengkong, near Sleman, 30th July 1826, having had issue: •a) Radin Mas Adipati Arya Jaya di-ning Rat. Served with Dipa Negara 1825-1829, Bupati of Kuta Arya 1830-1863. Copyright© Christopher Buyers
•b) Radin Temenggong Rana di-ning Rat. Mbr. Regency Cncl. 1814-1815. m. Bandara Radin Ayu Rana di-ning Rat, fourteenth daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana I Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping [Sunan Kabanaran or Sultan Suwarji], Sultan of Yogyakarta, by his junior wife Bandara Mas Ayu Chitra Kusuma.BPH Dipawiyana adalah anak dari Seri Sultan Hamengku Buwono. Sejarah Hamengku Buwono II: Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.
Riwayat Masa Muda
Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai Adipati Anom.
Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.
Pemerintahan Periode Pertama
Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan rajanya.
Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799.
Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I adalah juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR Prawirodirjo bapak mereka adalah Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).
Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II. [sunting] Pemerintahan Periode Kedua
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali.
Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya.
Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman. [sunting] Pemerintahan Periode Ketiga
Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertakhta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V.
Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai raja mereka.
Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.Tahun 1828 setelah Raden Ayu Maduretno meninggal, Pangeran Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan mempunyai tiga puteri yaitu Raden Ayu Mangkukusumo, Raden Ayu Padmodipuro dan Raden Ayu Poncokusumo. Pernikahan ini adalah permintaan R.A Maduretno ketika beliau dalam keadaan sakit keras dan akhirnya meninggal.
Raden Ayu Retnaningrum sempat ikut Pangeran Diponegoro dalam perjalanan dari Magelang, Ungaran dan sampai ke Semarang. Namun karena sakit atas kehendak Pangeran Diponegoro, dia diminta kembali ke Yogyakarta pada tgl. 5 April 1830.Dari Ibu R. Sutawijaya cucu Paku Buwono yang menurunkan KGPA Mangkubumi dan menurunkan Raden Ajeng Bojati selanjutnya menurunkan Sutawijaya.
Raden Sutawijaya dapat istri anak Bupati Pasuruan yang dari kecil ikut kakeknya Panembahan Heru Cokro di Pancamanis Nusakambangan yang termasuk Guru Utama Raden Sutawijaya.
Setelah menikah Raden Sutawijaya diberi kekuasaan wilayah Kadipaten Merden yang lama kosong tidak ada pemerintahan kecuali setingkat kelurahan.
Raden Sutawijaya mulai membangun Merden dengan perencanaan yang cukup matang dari Tata Kota, ekonomi dan pemerintahan.
Dijantung Pemerintahan jalan dibuat 4 (empat) persimpangan, (Ke selatan menuju Gombong, Ke utara menuju Banjarnegara, ke Barat menuju Banyumas, Wirasaba, ke Timur menuju Kademangan Tampomas).
Di bidang industri Raden Sutawijaya mengundang ahli pande besi untuk membuka usaha di Merden. Pasar pun dibangun sebagai pusat perdagangan untuk wilayah kademangan Merden dan sekitarnya yang terkenal dengan Pasar Setu.
Dan juga mengundang para ahli Bathik dari Banyumas yang sengaja didatangkan oleh ayahandanya RM. Cokro Atmojo dari Banyumas, serta ahli pembuat alat dapur yang dibuat dari tanah liat (kundi) dan kerajinan dari bambu. Sisa-sisa kegiatan tersebut sampai sekarang masih ada.
Wilayah kademangan Merden adalah bekas kadipaten, saat itu sebelah barat Purworejo Klampok, sebelah utara dibatasi Sungai Serayu, sebelah selatan dibatasi Pegunungan Kendeng yang memisahkan Banjarnegara dan Kebumen, sebelah timur sampai Gunung5
1721/5 <53+60> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangkuwijoyo [Hamengku Buwono III]perkawinan: <199!> ♂ 1. Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuwijoyo / Pangeran Adipati Mangkudiningrat II [Hamengku Buwono] b. 1800?
perkawinan: <90> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Prabuningrat [?]
perkawinan: <91> ♀ Bendoro Raden Ayu Padmi [?]
penguburan: Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta
perkawinan: <93> ♀ 3. Raden Ayu Retnodewati [Kyai di Wilayah Selatan Jogjakarta]
perkawinan:
perkawinan: <94> ♀ 5. Raden Ayu Retnaningsih [Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan] b. 1810 d. 1885
perkawinan: <132!> ♀ 7. Raden Ayu Retnaningrum [Dipawiyana II]
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan: <95> ♀ 1. Raden Ayu Retno Madubrongto [Kyai Gedhe Dadapan - Tempel Sleman]
gelar: 3 September 1805, Yogyakarta, Bendoron Raden Mas Ontowiryo (Carey,Peter, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 2014, pp.17)
perkawinan: <96> ♀ 2. Raden Ayu Retnakusuma / Raden Ayu Supadmi [Raden Tumenggung Natawijaya Iii, Bupati Panolan, Jipang] , Yogyakarta
perkawinan: <164!> ♀ 3. Raden Ayu Maduretno / Raden Ayu Diponegoro (Bendoro Raden Ayu Ontowiryo) [Hamengku Buwono] b. ~ 1798 d. 28 Februari 1827, Keraton Yogyakarta
perkawinan: <97> ♀ 6. Raden Ayu Retnakumala [Kyahi Guru Kasongan]
gelar: 15 Agustus 1825, Selarong, Yogyakarta, Sultan Eru Cakra, Sultan Ngah 'Abdu'l Hamid Eru Chakra Kabir ul-Mukminin Saiyid ud-din Panatagama Jawa Khalifat Rasu'llah
perkawinan: <97!> ♀ 6. Raden Ayu Retnakumala [Kyahi Guru Kasongan] , Kasongan
wafat: 8 Januari 1855, Makasar
Daftar isi |
Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro
![Patung Pangeran Diponegoro Sumber : [1]](http://rodvoid.org/thumb/a/a4/P._Diponegoro-135.jpg/100px-P._Diponegoro-135.jpg)
Latar Belakang
- Sebagai putra sulung Sultan Hamengkubuwono (HB) III, raja kasultanan Jogyakarta Hadiningrat, Pangeran Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan formal dengan kraton. Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton, namun sebagai seorang pangeran dia tetap mendapat didikan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati berbagai ritual kraton, tata cara, perilaku dan tutur bahasa yang sangat hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan.
Figur Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan putri itu berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekat makam keramat Tembayat (Carey, 1991:2). Dalam naskah lain Carrey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang (Carey, 1974:74). Sagimun MD. memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang Bupati yang konon masih berdarah Madura (Sagimun, 1986:36). R. Tanojo dalam Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak ibu tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat dari Tunjung Madura (Tanojo, t.t:4). Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum'at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB III (Carey, 1991:1). 1) Pada tahun 1805 Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Sepanjang hidupnya, tercatat ada tujuh wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro. Pernikahan pertama, terjadi tahun 1803 dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta. Kedua, tanggal 27 Pebruari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (R.A. Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati. Baik Madubrongto maupun Retnodewati wafat sewaktu Diponegoro masih berada di Tegalrejo. Isteri Keempat, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton.l 18 Pebruari 1828. Keelima, bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Keenam, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan, dan ketujuh, R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan (Babad, P. XIX, b. 21-26; Lihat juga Carey, 2007:767-769). 6)
Silsilah Keturunan Pangeran Diponegoro
Penangkapan dan Pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Diponegero kepada Jenderal De Kock".28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
![]() Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock, 28 Maret 1830 akhir dari Perang Diponegoro (1825-1830). Lukisan Tahun 1835 Nicolaas_Pieneman (1809-1860), Sumber :[[2]] | ![]() Lukisan cat minyak Raden_Saleh tahun 1857 tentang Penangkapan Pangeran Diponegoro. Diceritakan bahwa Pangeran Diponegoro beserta pasukannya ditangkap dalam keadaan tidak bersenjata. Sumber : [[3]] |
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
Perang Jawa-3 ; 1825 – 1830 Perjuangan Islam Melawan Penjajah
![Pangeran Diponegoro waktu muda (Lukisan H.M Lange tahun 1847), Sumber : [4]](http://rodvoid.org/thumb/b/bb/Diepo_Negoro.jpg/300px-Diepo_Negoro.jpg)
![Kyai Mojo (Lukisan Raden Saleh), Sumber : [5]](http://rodvoid.org/thumb/d/df/Kyai_Maja6.jpg/300px-Kyai_Maja6.jpg)
Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudarasaudara di tanah dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan). Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
![Nyi Ageng Serang, selaku Penasehat Strategi Perang Jawa, Sumber : [6]](http://rodvoid.org/thumb/d/d1/Nyi_Ageng-2.jpg/200px-Nyi_Ageng-2.jpg)
![Sentot Alibasyah Prawiradirja, komandan pasukan Pangeran Diponegoro (lukisan G. Kepper Tahun 1900), Sumber : [7]](http://rodvoid.org/thumb/0/06/Perang-27.jpg/200px-Perang-27.jpg)
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas. Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
![Ilustrasi Perang, Sumber : [8]](http://rodvoid.org/thumb/5/53/Perang-6.jpg/200px-Perang-6.jpg)
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal. Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V. Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan Diponegoro.
![Penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang (dilukis oleh G. Kepper pada tahun 1900), Sumber : [9]](http://rodvoid.org/thumb/0/0d/Perang-7.jpg/200px-Perang-7.jpg)
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain. Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten. Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
![Pertempuran antara pasukan Kolonel Le Bron de Vexela dengan pasukan Pangeran Diponegoro di Gawok (dilukis oleh G. Kepper pada tahun 1900), Sumber : [10]](http://rodvoid.org/thumb/f/fc/Perang-8.jpg/200px-Perang-8.jpg)
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri. Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda. Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini. Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
![1886: Rakyat Jawa Tengah bertahan di Candi Parikesit (Dataran Tinggi Dieng) dalam Perang Jawa], Sumber : [11]](http://rodvoid.org/thumb/7/73/Perang-Dieng.jpg/200px-Perang-Dieng.jpg)
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya. Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda. Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
![Peta Mataram Baru setelah Perang Diponegoro pada tahun 1830, Peta ini digambar oleh Meursault2004 alias Revo Arka Giri S. berdasarkan Robert Cribb, 2000, Historical Atlas of Indonesia halaman 114, Sumber : [12]](http://rodvoid.org/thumb/7/78/Peta_mataram_1830.png/300px-Peta_mataram_1830.png)
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja. Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro. Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro. Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold. Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda. Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”. Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta. Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
- 1. Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
- 2. Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
- 3. Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
- 4. Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬
- 5. Mereka bebas menjalankan agamanya,
- 6. Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
- 7. Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia. Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.” Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak. Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain¬nya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan! Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri). Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen. Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia. Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang. Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap! Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Joned, Raden Mas Roub, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara. Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
![Baron H. Merkus de Kock (dilukis oleh F.V.A. Ridder de Stuers pada tahun 1849) Sumber:[13]](http://rodvoid.org/thumb/5/54/Decock.jpg/200px-Decock.jpg)
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.” Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.” Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.” Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?” Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun. Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial di Indonesia, baik Portugis maupun Belanda.
Sumber : Perjuangan Islam Melawan Penjajah [[14]]
Gallery Aktivitas Keluarga Pangeran Diponegoro
I. LAUNCHING BUKU KUASA RAMALAN KE I (Yogyakarta, 2010)
II. DEKLARASI KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (Yogya, 11-12 Desember 2011)---> Klik Video :Yogya Istimewa
Dalam sebuah pertemuan antara Keluarga Pangeran Diponegoro dengan Adik kandung Sultan HB-X yaitu GBPH. Joyokusumo yang juga dihadiri oleh bapak Hasyim Djoyohadikusumo, Gusti Joyokusumo berkata :"Saya mengharapkan Keturunan Pangeran Diponegoro harusnya berada di barisan depan mendukung Keistimewaan Yogyarta". Maka atas permintaan KBPH Joyokusumo itulah kami Keturunan Pangeran Diponegoro bersama-sama Laskar Diponegoro berjumlah lebih dari 1000 orang melakukan pernyataan sikap menentang kepada Pemerintah RI dengan cara berorasi sambil long-march dari Tegalrejo (Sasana Wiratama) menuju Keraton Yogyakarta. Di Keraton, Trah Diponegoro menyampaikan Deklarasi kepada Sultan HB-X atas nama Gubernur DIY dan Sultan. Trah Pangeran Diponegoro berdatangan dari berbagai daerah seperti : Kulon Progo, Purworejo, Banyumas, Bogor, Jakarta, Ambon, Sulawesi, Padang dll.
|}
III. KUNJUNGAN KE KERATON YOGYAKARTA (Yogya, 20 Oktober 2012)
Atas undangan Adik kandung Sultan HB-X yaitu GBPH. Joyokusumo, pada Oktober 2012 kami yang berjumlah kurang lebih 20 orang melakukan kunjungan ke Keraton Yogyakarta. Agenda utama kunjungan antara lain :
- Silaturahmi Keluarga Pangeran Diponegoro dengan Pihak Keraton Yogyakarta;
- Membahas Kekancingan Keluarga (Semacam Sertifikat / Surat Pengukuhan Hak) yg dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem;
- Pembentukan Nama Organisasi Keturunan Pangeran Diponegoro;
- Masalah-masalah lain keluarga.
Dalam acara kunjungan ini Gusti Joyokusumo didampingi BRAy. Hj. Nuraida/BRAy. Joyokusumo bercerita banyak tentang kondisi Keraton, kondisi kesehatan Gusti Joyo dan sekilas tentang tatakrama Keraton. Dalam kesempatan ini juga kami semua diajak berkeliling oleh BRAy. Joyokusumo mengenai isi Keraton serta sejarahnya, juga berkunjung ke Museum Kereta Kencana Keraton. Pada jamuan makan siang, kami diperkenankan mencicipi kue hidangan pembuka kesukaan dan tradisi Sultan-sultan Yogyakarta yang bernama "Kue Rondo Mendem" semacam "Pancake" juga dihidangkan minuman "Stuff Jambu Merah" khas Keraton Yogyakarta.
IV. PENTAS PENGASINGAN SANG PANGERAN Ke 1 (Magelang, 8 Januari 2014)
V. UNDANGAN IKA UNDIP (Senayan City, 27 Januari 2014)
- VI. PENTAS PENGASINGAN SANG PANGERAN KE 2 (Bentara Budaya Jakarta, 6 Maret 2014)
perkawinan: <98> ♀ Raden Ayu Suryaningalogo II [Gp.Hb.3.2.2] [?]
perkawinan: <99> ♀ Raden Ayu Suryaningalogo [Gp.Hb.3.2.1] [?]
perkawinan: <100> ♀ Raden Ayu Dayaningsih [Ga.Hb.3.2.1] [?]
perkawinan: <101> ♀ Raden Ayu Purwaningsih [[Ga.Hb.3.2.2] [?]
perkawinan: <102> ♀ Raden Ayu Semitaningsih [Ga.Hb.3.2.3] [?]
perkawinan: <103> ♀ Raden Ayu Wuryaningsih [Ga.Hb.3.2.4] [?]
gelar: 1825?, Bendoro Pangeran Haryo Suryengalogo
perkawinan: <250!> ♀ Raden Ajeng Kapilah Raden Ayu Suryabrangta [Danurejo II] , Keraton Yogyakarta
perkawinan: <156!> ♂ Pangeran Diponegoro [Hb.3.1] / Bendoro Raden Mas Mustahar [Hamengku Buwono III] b. 11 November 1785 d. 8 Januari 1855, Keraton Yogyakarta
gelar: 18 Februari 1825, Tegalrejo
wafat: 28 Februari 1827, Yogyakarta
Setelah geger Madiun reda di tahun 1814 untuk yang ke lima kalinya Pangeran Diponegoro menikah dengan R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Tahun 1826 ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan di Dekso, R.A Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Namun karena sakit beliau meninggal pada tahun 1828. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Joned pada tahun 1815 Dan Raden Mas Roub tahun 1816 . Raden Ayu Maduretno juga dikenal dengan Raden Ayu Ontowiryo atau Raden Ayu Diponegoro. Ketika menikah dengan R. A Maduretno, isteri pertama dan keempat sudah meninggal, sedangkan isteri kedua lebih senang tinggal diistana sehingga terjadilah hubungan yang tidak harmonis antara P. Diponegoro dengan RA. Retnokusumo. Hubungan Pangeran Diponegoro dengan keluarga besar Raden Ronggo semakin ditingkatkan untuk menambah kekuatan dan kedudukan kasultanan Jogja di mata penjajah.
Masa Perang Diponegoro di Madiun
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita. Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon ) Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda) Ulama dan Santri :
mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.perkawinan: <172!> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangkuwijoyo [Hamengku Buwono III]
perkawinan:
perkawinan: <175!> ♀ Bendoro Raden Ayu Sosrodiningrat [Hamengku Buwono III]
- Granted the principality of Kalibawang in fief 28th April 1831. Exiled to Ambon in December 1831. m. (div. 1817) Bandara Radin Ayu Mangku Vijaya (m. second, Colonel Gusti Pangeran Adipati Prabhu ning Rat), daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana III Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta, by his wife, Ratu Kinchana/Ratu Ibu, daughter of Radin Temenggong Pangeran Sasra di-ning Rat I, Bupati of Jipang-Rajegwesi.
- Lahir dari Ibu selir (Junior Wife), turut dibuang ke Ambon dan wafat di Ambon pada tanggal 13 Maret 1824 dimakamkan di Pemakaman Raja2 Imogiri, Bantul, Yogyakarta
wafat: 1825
- Lahir dari Ibu selir (Junior Wife), turut dibuang ke Ambon dan wafat di Ambon pada tanggal 13 Maret 1824 dimakamkan di Pemakaman Raja2 Imogiri, Bantul, Yogyakarta
wafat: 1825 - 1830
Edited by : Edited by : R.E. Suhendar Diponegoro[1]
- Lahir dari Ibu Selir (Junior Wife), meninggal di Kapal Laut pada saat Perang Jawa 1825-1830.
gelar: 1831 - 1853, Kalibawang, Pangeran Kalibawang
wafat: November 1853, Kalibawang
- Colonel Radin Mas Papak/Radin Temenggong Mangkundirja (cre. 1814)/Pangeran Adipati Natapraya (cre. 1825), Prince of Kalibawang. b. 1804 (s/o Radin Ayu Jaya Kusuma). Succeeded his brother as prince of Kalibawang 1831. He d. at Kalibawang, November 1853.
- Lahir dari Ibu Selir (Junior Wife), (Bandara Pangeran Arya Mangku di-ning Rat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I. b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri)
perkawinan: <197!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.4.1] / Gusti Kanjeng Ratu Agung (Gusti Kanjeng Ratu Hageng) [Danurejo II]
perkawinan: <104> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningrum [Ga.Hb.4.1] [?]
perkawinan: <105> ♀ Bendoro Raden Ayu Murcitaningrum [Ga.Hb.4.2] [?]
perkawinan: <106> ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnadiningrum [Ga.Hb.4.3] [?]
perkawinan: <107> ♀ Bendoro Raden Ayu Turinsih [Ga.Hb.4.4] [?]
perkawinan: <108> ♀ Bendoro Raden Ayu Doyohasmoro [Ga.Hb.4.5] [?]
perkawinan: <56!> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21] [?]
perkawinan: <109> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ratnaningrum [Ga.Hb.4.7] [?]
perkawinan: <110> ♀ Bendoro Raden Ayu Widowati [Ga.Hb.4.8] ? (Jiwatenaya) [?]
perkawinan: <111> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningrum [Ga.Hb.4.6] [?]
perkawinan: <665!> ♀ Raden Ayu Retno Pringgo Asmoro [Hb.3.26.2.4] / [Ga.Hb.4.14] [Hamengku Buwono III]
gelar: 10 November 1814 - 6 Desember 1822, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IV
NMR: 12 Mei 1816
wafat: 6 Desember 1822, Imogiri, Astana Besiyaran Pajimatan
[sunting] Riwayat Pemerintahan
Nama aslinya adalah Raden Mas Ibnu Jarot, putra Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri tanggal 3 April 1804. Ia naik takhta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan'' Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1822 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sultan Seda ing Pesiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai Hamengkubuwono V.- Lahir dari Ibu Selir RA. Mangkudiningrat pada tahun 1805. (Bandara Pangeran Arya Mangku di-ning Rat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I. b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri).
perkawinan: <331!> ♀ Raden Ayu Sentotprawirodirjo [Hb.3.2.12] [Hamengku Buwono III]
wafat: 17 April 1855, Bengkulu
gelar: Bupati Japan (Mojokerto) bergelar Tumenggung Sumodipuro
gelar: 2 Desember 1813 - 1847, Yogyakarta, Patih Keraton Yogyakarta bergelar Danurejo IV
perkawinan: <223!> ♀ Bendoro Raden Ayu Suryo Sastraningrat [Hamengku Buwono II]
gelar: 19 Desember 1858 - 17 Oktober 1864, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat
wafat: 17 Oktober 1864, Yogyakarta
gelar: 1830 - 1863, Bantul, Yogyakarta, Bupati Kuta Arya
perkawinan: <114> ♀ Bendoro Raden Ayu Suryodilogo [Pa.1.8.2] [Paku Alam I]
gelar: 10 Oktober 1878, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Prabu Suryodilogo
gelar: 20 Maret 1883 - 6 November 1900, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam V
wafat: 6 November 1900, Kulon Progo
KGPAA Prabu Suryodilogo memegang kewajiban yang sangat berat. Diantaranya adalah melunasi hutang almahrum kepala Kadipaten Pakualaman dan memelihara serta menegakkan ketertiban/keamanan di wilayah Pakualaman. Setelah menujukkan tanda-tanda kemajuan yang baik dalam melaksanakan tugasnya maka pada 20 Maret 1883 ia diperkenankan memakai gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam V. Paku Alam V tidak banyak memberi apresiasi di bidang kesusastraan karena ia memilih berkecimpung di bidang Ekonomi. Selain prestasi sebuah pukulan berat harus diterima dengan dibubarkannya angkatan perang Pakualaman pada tahun 1892.
Berbeda dengan pendahulunya, Paku Alam V merintis anggota keluarga Paku Alam untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda antara lain di Sekolah Dokter Jawa. Bahkan mulai 1891 ia mengirim beberapa putra dan cucunya ke Negeri Belanda (Nederland) untuk mengecap pendidikan disana. Dari pemikirannya yang tidak kolot ini muncul beberapa hasil diantaranya ada anggota keluarga Paku Alam yang menjadi anggota Volksraad dan Raad van Indie (walaupun ia tidak dapat melihat langsung hasilnya karena telah mangkat).
Paku Alam V memiliki 17 putra-putri yang dilahirkan baik dari permaisuri maupun selir. Salah seorang putranya, KPAA Kusumoyudo, adalah anggota Raad van Indie. Setelah 22 tahun memerintah, pada 6 November 1900, KGPAA Paku Alam V mangkat dan dimakamkan di Girigondo, Adikarto (sekarang-maret 2007- merupakan bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).perkawinan: <364!> ♀ Raden Ayu Adipati Danurejo [Hb.3.4.3] [Hamengku Buwono III]
wafat: 1844, Yogyakarta, Dimakamkan di Mlangi, sebelah utara Demakijo
pekerjaan: 11 Februari 1847 - 17 November 1879, Yogyakarta, Patih Dalem Kerajaan Mataram Yogyakarta bergelar Danurejo V
gelar: 1895, Diangkat menjadi Garwa Padmi dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu Kencono
SILSILAH KETURUNAN (1&2) SISILAH PANCER KEDIRI (1) Sisilah uri-uri leluhur puniko kaserat/revisi dening :
1. R. Fatah Sultan Akbar I Bintoro Demak 2. R. Trenggono Sultan Akbar III Bintoro Demak 3. Sultan Mu'min (Sultan Prawoto) Demak 4. Panembahan Wirasmoro (Pangeran Sumende)Sumare ing Setono Gedong Kediri (Jl. Raya Dhoho Kediri kilen stasiun Kediri Kota) 5. R. Djalu Pangeran Demang Kediri I 6. Pangeran Demang Kediri II. Sumare ing Badal Nambangan / Ngrembang - Ngadiluwih - Kediri Peputro : 1. Kyai Ageng Abd. Djabar Tjorekan (Sumare ing Ngelam Suroboyo) 2. Kyai Ageng abd. Adim (Sumare ing Brodat/Kertosono) 3. Kyai Ageng Abd. Mursad (Sumare ing Tukun) 4. Kyai Ageng Abd. Rochim Ngliman 5. Kyai Ageng Abd. Salim / Adipati Kemten Sedo ing Pasuruan (Sumare ing Kundjonmanis)
Kyai Abd. Djabar Tjorekan dipun labuh dening Goverment walandi, wonten pelabuhan Kediri mentas ing dukuh Ngelam, dedukuh wonten ngriku kasebat Kyai Ageng Ngelam Suroboyo.Peputro : 1. Kyai Supanjeng Suroboyo 2. Kyai bagong Suroboyo
Kyai Ageng Abd. Brodat Kagungan putro ing Tapan Maduro : 1. R. Ayu Pangeran Tjokroningrat Madura 2. Kyai Tambak Agung Lemah Putro Suroboyo : Peputro : 1. Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat (ing Godong Mataram) 2. Kyai Ag. Abd. Djabar (Kamludin) ing Kediri I 3. Kyai Im Sapingi ing Kediri II 4. Kyai Moh. Sapingi / Kamaludin ing Kediri III : Kagungan putro garwo Sepuh (RA. SEDAH MERAH) : (Sumare ing Kilen Pasar Paing Kediri / Ngajengipun Pondok Pesantren Assidiqiayh Jamsaren Kediri). Peputro : 1. R Ng. Bukori / kyai Bendungan Brebeg. 2. R. Ng. Abd. Basar Penghulu Sragen. 3. R. Rekso Ngulomo Penghulu Kediri. 4. R. Rekso Prodjo Djakso Kediri. 5. R. Rekso Seputro Naib Papar. 6. R. Nganten Kustiyah (Garwo Abd. Djalal) Naib Djambean. 7. R. Soemoredjo Mantri Negoro Kediri. 8. R. Ng. Burnadi Djuru Serat Srambi Kediri (masjid alun-alun / Kodya Kediri ). Kagungan putro saking garwo Keter : 9. R. Kyai Mustaman Blitar. 10. R. Im. Sapingi Naib Papar. Kagungan putro saking garwo Enem : 11. R. Ng. Sumahun / Moh. Edris, Penghulu Kediri. 12. R. Ng. Djemblung / R. Ng. Djoko, Naib Kediri I. 13. R.Eoro Bonyok / R. Ng. Burnadi, Naib Kediri II. Kagungan putro saking garwo Klagenan : 14. R. Ismangil Ketib/Kotib Senoman Kediri 15. R. Ng. Adpar Ketib/Kotib Djojar Kediri
SISILAH PANCER KEDIRI (2) 1. R. Fatah Sulatan Akbar Bintoro Demak I 2. R. Trenggono Sultan Akbar Bintoro Demak III 3. Sultan Mu'min (sultan Prawoto) Demak 4. Panembahan Wirasmoro / Pangeran Sumense (sumare ing Setono Gedong Kediri) 5. R. Djalu Pangeran Demang Kediri I 6. Pangeran Demang Kediri II, ing Ngrembang sumare ing Badal Nambangan. 7. Kyai Ag. Abd. Adim Brodat
Silsilah Pancer 1 : Silsilah Pancer 2 : 1. Kyai Ag Kabul 1. Kyai Ag. Tambak Agung 2. Kyai Ag. Muslim 2. Kyai Ag. Kamaludiningrat ing Godong 3. Kyai Sarkum 3. Kyai Abd. Djabar Kamludin ing Kediri 4. Kyai Alwi 4. Kyai Imam Sapingi 5. Kyai Abd Rosid 5. Kyai Djojo Ngulomo 6. Kyai Abd. Djoned 6. Kyai Im Mustaram 7. Ag. Sribanun 7. Kyai Moh. Mansur 8. H. Abd. Fakih 8. H. Abd. Fakih Naib Kras
SISILAH PANCER Syech Maulono Magribi. 1. Syech Maulono Magribi 2. Kyai Ag. Tarub II 3. Sripah Asijah kagarwo >< R. Bondan Kejawan (putro Brawidjojo Darmarwulan Modjopahit) 4. Kyai Ag. Getas Pandowo (Kahuripan Purwodadi) 5. Kyai Ag. Selo, Purwodadi 6. Kyai Tani (sumare ing kilen Masdjid Nglawean Solo) 7. Kyai Ag. Penembahan 8. Panembahan Senopati Sutowidjojo Ratu Mataram I / Danang 9. Sultan Agung Tjakrakusumo(Prabu Mangkurat Agung Kertosuro, sumare ing Tegalarum) 10. R. Aj. Klenting Wungu kagarwo >< Ki. Djogosworo 11. R. Aj. Tumenggung Hodjowongso 12. R. Aj. Djosodipuro Koliwon Banyak 13. R. Aj. Tumenggung SEDAH MERAH kagarwo >< Penghulu Kediri 14. R. Aj. Djembluk (Kustijah kagarwo >< R P. Abd Djalal / Im. Subroto, Naib Ngadiluwih) 15. R. Ng. Abd Djoned Penghulu Kediri 16. R. Ng. Sribanun kagarwo >< Moh Mansur, Naib Kras 17. H. Abd. Fakih Naib Kras.
SILSILAH KETURUNAN (2) 1. R. Patah
2. R. Trenggono III
3. Sultan Muknin (Sunan Prawoto)
4. Penembahan Wirasmoro (Pangeran Sumende)
5. R. Djalu Pangeran Demang Kediri I
6. Pangeran Demang Kediri II (Sumare ing Badal Kediri)
7. Kyai Ageng Abd. Adim (Sumare ing Brodat Kertosono)
8. Kyai Tambak Agung Lemah Putro Suroboyo
9. Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat (Penghulu Godong Mataram)
10.Kyai Ageng bd. Djabar (Kamaludin), Penghulu Kediri I
11.Kyai Imam Sapingi Penghulu Kediri II
12.Kyai Moh. Supingi (Kamludin), Penghulu Kediri III >< Nyai SEDAH MERAH (Sumare ing Kediri Ngajengipun Pondok Assidiqqiah Jamsaren Kediri, kilen pasar Paing Kediri)
13.R. Aj. Kustiah >< Abd. Jalal, Naib Jambean
14.R. Hadiwidjojo (Sumare ing Ngadiluwih)
15.R. Kodrat Samadikoen (Sumare ing Bendo Pare Kediri)
16.R. Tri Priyo Nugroho
17.R. Syehha Agem Manumayasya....
Sayyidah RA. Nyai Imanadi Kebumen ( Garwa II ), ibni
Sayyidah RA. Kamaludiningrat ( Pengulu Kraton Jogjakarta ), ibni
Sayyid BPA Dipowiyono, ibni
Sayyid RM. Sundoro / Hamengku Buwana II, ibni
Sayyid RM. Sujono / Pangeran Mangkubumi / Hamengku Buwana I...
Nyi jawahir peputra ; 1.Ali Mustafa peputra ; 1. Sastra 2. H. Muhson 3. Imam Pura 4. Sarbini 5. Dalail 6. Munirah 7. Nyai Madmarja
2.SanMunawar ( Lurah Pesucen ) 3.Nyi Basar Kahfi 4.Nyi Sanmustafa 5.Ali Muntaha peputra ; 1. Muhsin 2. Muhson 3. Muhsonah 4. Munsarip 5. Munisah 6. Mutnginah
6.Mustahal 7.Abdul Anwar ( Siwedi Kutowinangun ) 8.Marjuned ( Banjarnegara ) 9.Nyi Madmurja ( Kenteng Karangsari Kutowinangun ) 10.Nyi Badariyah ( Nyi H. Nawawi ) peputra ; 1. Nyai Carik jetis 2. Nyai Ahmad 3. Nyai Badriyah 4. Haji Masyhud 5. Nyai Trafas 6. Maklum
11.Nyi Ramadipura ( Buluspesantren ) 12.Nyi Satirah 13.Badarudin peputra ; 1. Nyi Ali Tsani Kauman ( Garwa I ) peputra ; 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh
2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
2. Makmun Kauman peputra ; 1. Rokhimah Tasikmalaya peputra ;
2. Kharisoh Rantewringin peputra ; 1. Nurul Kauman 2. Retno Rantewringin 3. Beni 3. Khotmah Tasikmalaya peputra ;
4. Halimah Tasikmalaya peputra ;
5. Honimah Kebumen peputra ; 1. R. Muh. Rafi Ananda / Tuti Khusniati Al Maki 2. Aila Rezannia / Poedjo Raharjo 6. Soimah Kauman peputra ; 1. Arif Hidayat 2. Titin Rahayuningsih 3. Teguh Priyatno 4. Nur Fatmawati 5. Diyah Kurniasari
3. Nyi Maklum Kauman
H. Ahmad peputra ; 1.Ibunipun Nyi. H. Ali 2.Nyi Mangku 3.Madnur 4.Toyib
KH. Ali Awal bin Moh. Alwi kaliyan Garwa I peputra ;
1.Nyi Abdul Manan I ( Sepuh )Kemangguan Alian 2.Kyai Ismail Karanganyar Kebumen 3.Nyi Abdul manan II Kemangguan Alian 4.Nyi Zaenudin Pekeyongan 5.Nyi Hanan Plumbon peputra ; 1. Pengulu Ridwan/ Rilwan peputra ; 1. Rughoyah / Makmun Kauman 2. Rofqoniyah / Kyai Matori Jatisari peputra ; 1. KH. Sayyid R. Salim Al Mator peputra ; 1. Tobagus Muslihudin Aziz 2. Hikmatul Hasanah 3. Maksumah Kurniawati 4. Musyafa Firman Iswahyudi 5. Retno Auliyatussangadah 6. Eta Fatmawati Auliyatul Ummah
2. Songidah peputra ;
3. Sangadatun Diniyah peputra ;
4. Kyai Khumsosi Al Matori peputra ; 1. Siti Khulasoh 2. Siti Fatimah 3. Lukman Zein 4. Anis Siti Karimah 5. Siti Khomsiati 6. Anas Mufadhol
5. H. Makmuri peputra ;
6. Muslim peputra ;
3. Sanusi Prembun peputra ; 1. Sol 2. Salamah Balingasal Prembun
4. Sugeng peputra ;
5. Dulkodir peputra ;
6.Kyai Tohir Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
Kyai Kosim Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
KH. Ali Awal kaliyan Garwa II peputra ; 1.KH. Abdullah Ibrahim Kauman ( Pengulu Landrat terakhir ) peputra ; 1. Siti Khotijah / Zaenal Kauman 2. Siti hajatiyah / Mbah Jamaksari Somalangu 3. Ashariyah / Mustofa Banjarnegara 4. Umi Kulsum / Sumbono 5. Maimunah / Ali Siroj ( Purworejo ) 6. Mariyah / Sumbono 7. Hasim 8. Maryatini / Masngudin 9. Johariyah / kagarwa Sururudin, lajeng kagarwa dening Kyai Jamaksari Somalangu 10. Sri Kartini
2.Moh. Soleh peputra ; 1. Yusuf Soleh 2. Taslimah / Daqir Pekeyongan 3. Slamet Soleh 4. Musngidah / Masngud Prembun peputra ; 1. Dalail 5. Makmunah / Tahrir 6.Asyiah / Ngalimun Prembun
3.Siti Khalimah Wanasara / Abdullah sepuh peputra ; 1. Aminah Wanasara peputra ; 1. Muhtar
2. Mutiah Krakal peputra ; 1. Roh
4.H. Ali Tsani Kauman peputra ; Garwa I 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh 2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
Garwa II ( Sayyidah Isti Sangadah binti Sayyid Muh. Fadil bin Sayyid Muh. Zein Solotiang bin Sayyid Muh. Alim Bulus Purworejo ) 1.Mahmud Ali Kauman peputra ; 1. Arif Mustofa
2.Isti Chamidah peputra ; 1. M. Sudjangi 2. Sugeng Assyamsi 3. Abdul Rozak 4. Lukman Hakim 5. Abdus Somad 6. M. Mahfud 7. M. Murtadlo
5.Abdul Wahab peputra ; 1. Moh Alwi Tejasari Kawedusan peputra ; 1. Ikhsan Alwi
2. Syamsi / Isti Chamidah
Khoul KH. Imanadi dipun wontenaken saben tanggal 14 Ruwah wonten ing serambi Masjid Pesucen Wonosari.
Wasana sinigeg semanten kemawon riwayat saha silsilahipun KH. Imanadi. Mugi – mugi handadosaken pepenget saha tuladhanipun khusus dhateng pra dharahipun, dhateng pra kathah umumipun. Amin
Kebumen, 06 Februari 2009
Sayyid R. Muh. Rafi Ananda
Wasana sinigeg samanten kemawon riwayat saha silsilahipun KH. Imanadi. Mugi – mugi handadosaken pepenget saha tuladhanipun khusus dhateng pra dharahipun, dhateng pra kathah umumipun. Amin
Pustaka Perdhikan Buku alit punika kaparingan asma PUStaka perdhikan. Dipun anggit dinten Jumat Kliwon, 11 Safar 1430 H/ taun JE 1942 utawi 06 Februari 2009 dening Sayyid R. Muh. Rafi Ananda kanti ngempalaken riwayat saha silsilah saking pra turunipun Suwargi KH. Imanadi ugi kanti penyelidikan awujud sumber – sumber kawontenan ing sejarah. Riwayat kakempalaken saking panjenenganipun ; 1.KH. Sayyid R. Salim Al Mator Jatisari 2.R. Sudjangi Kauman
Buku kacetak kanti sederhana supados saged dipun waos dening pra putra wayahipun KH. Imanadi ingkang mbetahaken. Kagem Pra putra wayang ingkang dereng kaserat wonteng ing mriki kersaha nyerat piyambak – piyambak lan kahaturaken dhateng Sayyid R. Muh. Rafi Ananda wonten alamat Jalan Garuda 13 Kebumen Jawa – Tengah. Wasan buku pustaka Perdhikan punika sageda manfangati kagem kita sami. Amin. Kebumen, jumat kliwon, 06 Februari 2009
Sayyid R. Muh. Rafi Ananda Basaiban
Kebumen, Jumat Kliwon, 06 Februari 2009
Sayyid R. Muh. Rafi Ananda ,,,perceraian: <270!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono V / Gusti Raden Mas Gathot Menol [Hb.4.6] (Sinuhun Menol) [Hamengku Buwono V] b. 24 Januari 1820 d. 5 Juni 1855
perkawinan: <133> ♂ Raden Tumenggung Sosrodigdoyo ? (Bupati Kulon Progo) [?]
perkawinan: <142> ♀ Raden Ayu Partosari [?]
perkawinan: <144> ♀ Mas Ayu Padmosari [?]
perkawinan: <145> ♀ Raden Ayu Padmowati [?]
6
R.A Hangreni Mangunjaya
Untuk menghindari lahirnya pemberontak-pemberontak baru keturunan Pangeran Diponegoro, pihak keraton menikahkan puteri-puteri Pangeran Diponegoro dengan pejabat-pejabat yang netral atau dengan pejabat yang pro Belanda. Untuk itu mereka dinikahkan dengan pejabat-pejabat di wilayah kekuasaan trah Danurejan yaitu di tanah kedu dan Bagelen. Trah Danurejan adalah trah yang terbukti setia kepada Belanda walaupun ada juga beberapa yang justru menjadi tulang punggung perjuangan Pangeran Diponegoro.
Radeng Ngabehi Mangunjaya suami R.A Hangreni adalah seorang wedono di wilayah Bagelen Barat yang dikuasai oleh Bupati Cokronegoro. Strategi Belanda dan kraton seolah berhasil dengan cara ini, tetapi kelak generasi-generasi penerus R.A Hangreni berjuang melawan penjajah melalui perjuangan agama setelah era perang Diponegoro berakhir.wafat: Yogyakarta, Disarekan Pasarean Kuncen Yogyakarta
Raden Suryaatmaja / Diponingrat/ Pangeran Adipati Anom/Raden Mas Sudiro Kromo/Kanjeng Pangeran Adipati Diponegoro (1807).
Dilihat dari gelar yang digunakan yaitu Pangeran Adipati Anom bisa dipastikan bahwa dia adalah anak dari ibu Raden Ayu Retnokusumo yang sebelumnya bernama Raden Ajeng Supadmi (Diperkuat dengan adanya catatan dari Peter F Carey dam The Power Of Prophecy) . Pangeran Diponegoro menikah untuk yang kedua kalinya atas perintah dari ayahnya. Perintah ini secara langsung mempunyai arti bahwa Raden Ayu Retnokusumo adalah isteri utama atau isteri permaisuri yang direstui oleh kerajaan. Kemudian Raden Ayu Retnokusumolah yang mendampingi Pangeran Diponegoro dalam menghadiri acara-acara resmi di kerajaan. Ketika mengikuti jejak ayahnya di medan perang Suryaatmaja diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom. Namun karena Belanda tidak mengakui keabsahan gelar Sultan yang disandang Pangeran Diponegoro maka nama itu dirubah oleh penjajah dengan nama Diponingrat. Menjalani pembuangan ke Ambon 1840.
Dalam catatan sejarah, Pangeran Adipati Anom Diponingrat pernah menikah dengan anak perempuan Raden Tumenggung Mertawijaya atau Raden Tumenggung Danukusumo II salah seorang senopati Pangeran Diponegoro di wilayah Remo Banyumas. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Danukusumo II adalah dari trah Danurejan yang ikut bergabung dalam barisan perjuangan Pangeran Diponegoro
Daftar isi |
Raden Mas Muhammad Ngarip/Raden Antawirya II / Diponegoro Anom/Diponegoro II/Kanjeng Pangeran Haryo Diponegoro II /Pangeran Abdul Majid.
Lahir pada tahun 1803. Dilihat dari tahun kelahirannya maka dapat dipastikan sebagai anak dari ibu Raden Ayu Madubrongto. Ketika perang Diponegoro dimulai dia telah berusia 22 tahun dan selalu setia menjadi pembela ayahnya. Sebagai putera tertua dan memiliki kesamaan pandangan dengan ayahnya maka dia dengan ikhlas mengangkat senjata mendampingi ayahnya. Nama bayinya adalah Raden Mas Muhammad Ngarip, dan kelak nama itu dia gunakan lagi ketika berada di wilayah sumenep dengan sedikit perubahan yaitu Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Nama ini dia gunakan selama dalam pembuangan di Sumenep Madura. Dialah yang menulis buku Babad Diponegoro Suryongalam. Ketika menginjak dewasa dan ayahnya telah menggunakan nama Diponegoro, dia mendapatkan gelar nama yang sama yaitu Ontowiryo II dan selanjutnya menggunakan nama Diponegoro II atau Diponegoro Anom ketika ayahnya diangkat oleh rakyat menjadi Sultan Abdul Hamid. Nama tersebut diberikan sendiri oleh Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa putera kesangannya inilah kelak yang akan melanjutkan cita-citanya. Memang dia hanya dari isteri samping, tetapi keindahan budi pekerti ibunya membuat Pangeran Diponegoro sangat menyayangi anak sulungnya ini. Melihat usianya yang sudah mencapai 22 tahun pada saat perang Diponegoro dimulai, maka dapat dipastikan bahwa pada saat itu beliau sudah memiliki isteri dan memiliki beberapa anak. Kelak keturunan beliau yang lahir dan besar di tanah Jawa inilah yang akan menjadi generasi penerusnya sebagai pengganggu ketenteraman penjajah. Sejak awal peperangan, Diponegoro Anom diserahi untuk menjaga dan melawan penjajah di wilayah Bagelen ke Barat bersama beberapa orang pilihan Pangeran Diponegoro di antaranya Tumenggung Danupoyo. Taktik perang yang digunakan sama dengan ayahnya yaitu bergerilya dan berpindah-pindah. Area perjuangan Pangeran Diponegoro Anom ini mencapai wilayah Barat Banyumas, Temanggung dan Parakan. Di medan perang Diponegoro Anom ini sering bekerja sama dengan Pamannya Sentot Prawirodirjo dan adik tirinya Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo. Setelah menjalani pembuangan di Sumenep tahun 1834 lalu dibuang ke Ambon 1853. Sebenarnya Pangeran Diponegoro berharap agar ibu dan anak-anaknya bisa bergabung dengannya di pembuangan, tetapi hal itu secara halus ditolak oleh Belanda dan sebagai gantinya Van den Bosch menijinkan anak-anaknya kembali ke Tegalrejo. Bahkan anak Pangeran Dipokusumo dan Pangeran Diponingrat diijinkan tinggal di dalam kraton. Selanjutnya Belanda melalui Kapten Roeps juga memenuhi permintaan Pangeran Diponegoro untuk membagikan pusaka warisan pada anak-anaknya yang terdiri dari keris dan tombak.
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA 6. BPH. DIPANEGARA 7. RM. MUHAMMAD NGARIP/PANGERAN ABDUL MADJID - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN PANGERAN ABDUL MADJID
Putra-putri
No. | Nama | Tempat/Lahir |
---|---|---|
1. | RM. ACHMAD DIPONEGORO | Ambon, C-18?? |
2. | RM. MUHAMMAD DIPONEORO | Ambon, C-18?? |
3. | RM. BDULLAH DIPONEGORO | Ambon, C-18?? |
4. | RM. ABDUL RACHMAN DIPONEGORO | Ambon, C-18?? |
Cucu
- ) 1.1. RAy. KHALIDJAH (Ambon, C-18??)
- ) 1.2. RM. IBRAHIM
- ) 1.3. RAy. DJAHRO
- ) 1.4. RAy. SECHA
- ) 1.5. RM. ISMAEL
- ) 1.6. RM. DAUD
- ) 1.7. RM. MUHAMMAD
- ) 1.8. RM. SULAEMANJ
- ) 2.1. RM. IDRIS
- ) 2.2. RM. MACHMUD
- ) 2.3. RM. ABDUL GHANI
- ) 2.4. RAy. DJUNA
- ) 3.1. RM. YUSUF DIPONEGORO
- ) 3.2. RM. SYAWAL DIPONEGORO
- ) 3.3. RM. SUJA DIPONEGORO
- ) 3.4. RAy. MARJAM DIPONEGORO
- ) 3.5. RM. MUHAMMAD DIPONEGORO
- ) 3.6. RM. YUNUS DIPONEGORO
- ) 3.7. RM. ACHMAD DIPONEGORO (BANDUNG)
- ) 3.8. RM. MURTASA DIPONEGORO
- ) 3.9. RAy. MURTINAH DIPONEGORO
- ) 3.10. RAy. SUPINAH DIPONEGORO
- ) 3.11. RAy. MURJANI DIPONEGORO
- ) 3.12. RAy. SUPATNI DIPONEGORO
- ) 4.1. RM. DJAFAR DIPONEGORO
Buyut / Cicit
- 1.6.1. RAy. DJAMILAH
- 1.6.2. RAy. CHADIDJAH
- 1.6.3. RAy. DJAHRAH (SURABAYA)
- 1.6.4. RAy. AISJAH (AMBON)
- 1.6.5. RAy. RACHMAH (MEDAN)
- 1.6.6. dr.RM. ACHMAD (PONTIANAK)
- 1.6.7. RAy. KAJATIN (YOGYAKARTA)
- 1.6.8. RAy. MOENAH (tidak ada keturunan)
- 1.8.1. RM. SLAMET DIPONEGORO
- 1.8.2. RM. ISMAIL (JAKARTA)
- 1.8.3. RAy. SYAMSILAH (PPRAJA AMBON
- 1.8.4. RM. IBRAHIM (KTR GUB AMBON)
- 2.1.1. RM. ABD HAMID
- 2.1.2. RM. ABD RACHMAN (AMBON)
- 2.1.3. RM. ABD GAFUR (TASIKMAKAYA)
- 2.1.4. RM. ISMAIL
- 2.1.5. RAy. KALSUM
- 2.1.6. RAy. MUDJANI (AMBON)
- 2.1.7. RM. ABDULLAH (POLISI MAGELANG)
- 2.1.8. RM. ACHMAD (JAW PELAJARAN TJ PRIOK)
- 2.1.9. RM. ABD GHANI (AMBON)
- 2.2.1. RM. ABD RADJAK (MAKASSAR)
- 2.2.2. RM. ABD GAFUR (NISM TJ PRIOK)
- 2.2.3. RAy. RAMLAH (AMBON)
- 2.3.1. RM. ABD MUTALIB (AMBON)
- 2.3.2. RM. ABD MANAP (AMBON)
- 3.1.1. RM. NURSEWAN
- 3.1.2. RAy. HARTATI
- 3.2.1. RAy. SAMSIRIN
- 3.2.2. RM. SAID
- 3.2.3. RM. ABD RACHMAN
- 3.2.4. RM. ABDULLAH DIPONEGORO
- 3.2.5. RAy. FATMA (SURABAYA)
- 3.3.1. RAy/ NURANI (AMBON)
- 3.3.2. RM. SAMAUN
- 3.3.3. RM. SAID (TJ PRIOK)
- 3.3.4. RAy. DINAR
- 3.3.5. RM. ABDULLAH
- 3.3.6. RAy. DJASIAN (TJ PRIOK)
- 3.7.1. RM. ISKANDAR DJOHAN DIPONEGORO
- 3.7.2. RM. ACHMAD DJOHAN DIPONEGORO
- 3.7.3. RM. INDRA DJOHAN DIPONEGORO
- 3.8.1. RAy. SUPATMI DIPONEGORO (AMBON)
- 3.8.2. RM. MUHAMMAD DIPONEGORO
- 3.8.3. RAy. PAWON (BANDUNG)
- 3.8.4. RAy. DJAHRO (AMBON)
- 3.8.5. RAy. NENG
- 3.8.6. RAy. SAMSIRIN (AMBON)
- 4.1.1. RM. MUHAMMAD
- 4.1.2. RAy. SAKIAH
- 4.1.3. RAy. TIMUR (BANDUNG)
Canggah
- 1.6.2.1. RAy. NURLELA AMAR DIPONEGORO
- 1.6.2.2. RM. SALIM AMAR DIPONEGORO
- 1.6.2.3. RM. AHMAD AMAR DIPONEGORO
- 1.6.3.1. RM. ACHMAD INDRACAHYA KAMARULLAH
- 1.6.3.2. RM. OEMAR INDRACAHYA KAMARULLAH
- 1.6.3.3. RM. ABDULLAH INDRACAHYA KAMARULLAH
- 1.6.3.4. RAy. MIEN SUROYO
- 1.6.3.5. RAy. POPPY SUROYO
- 1.6.5.1. RM. OEMAR KAMARUDIN
- 1.6.5.2. RM. HAMID KAMARUDIN
- 1.6.5.3. RM. DEETJE KAMARUDIN
- 1.6.5.4. RM. DICKY KAMARUDIN
- 1.6.7.1. RM. MAYOR GAUTAMA SAHIR
- 1.6.7.2. RM. dr. ERLANGGA SAHIR
- 1.6.7.3. RAy. Dra. CICI SAHIR
- 1.6.7.4. RM. Kol dr. ABIMANYU SAHIR
- 1.6.7.5. RM. Kol AMILUHUR SAHIR
- 1.6.7.6. RM. dr ONTOWIRYO SAHIR
- 1.8.1.1. RM. PUDJOJONO (AURI MEDAN)
- 1.8.1.2. RAy. MUNAH (JAKARTA)
- 1.8.1.3. RAy. MARIATI
- 1.8.1.4. RM. DIPOKUSUMO (BANDUNG)
- 1.8.1.5. RM. SURASNO (BANDUNG)
- 1.8.1.6. RAy. RATNAWATI (SEMARANG)
- 1.8.1.7. RM. SUDJONO I
- 1.8.1.8. RM. SUDJONO II (SEMARANG)
- 1.8.1.9. RM. SETIABUDI (SEMARANG)
- 1.8.1.10. RA. BUDIATI (SEMARANG)
- 1.8.2.1. RAy. SAMSILAH (JAKARTA)
- 1.8.2.2. RAy. SUPATNI (JAKARTA)
- 1.8.2.3. RAy. KEATIN (JAKARTA)
- 1.8.2.4. RM. SULAEMAN I
- 1.8.2.5. RM. SUKARNO
- 1.8.2.6. RAy. SUHARTI
- 1.8.2.7. RM. SULAEMAN II (JAKARTA)
- 1.8.2.8. RM. MOH ISMAIL (JAKARTA)
- 1.8.2.9. RM. SUDIRMAN (JAKARTA
- 1.8.2.10. RM. SUKIRMAN (JAKARTA)
- 2.1.1.1. RAy. DJENAB (TERNATE)
- 2.1.2.1. RM. MUHAMMAD
- 2.1.2.2. RAy. KALSUM (MAKASAR)
- 2.1.3.1. RAy. HAMILIH (TASIKMALAYA)
- 2.1.8.1. RAy. MURN (TJ PRIOK)
- 2.1.8.2. RAy HAR 1
- 2.1.8.3. RAy MUL
- 2.1.8.4. RAy HAR 2
- 2.1.8.5. RAy. DINAR (TJ PRIOK)
- 2.1.8.6. RM. ABD MADJID
- 2.2.1.1. ...............
- 2.2.1.2. ...............
- 2.2.1.3. ...............
- 2.3.1.1. RM. AMIN (AMBON)
- 2.3.1.2. RAy. MIRJAM (AMBON)
- 2.3.2.1. RM. ABD GANI (AMBON)
- 3.1.1.1. RM. YUSUF (TNI JAKARTA
- 3.1.1.2. RAy. MIRJAN (JAKARTA)
- 3.1.1.3. .........................
- 3.1.1.4. .........................
- 3.2.4.1. RM. SENTOT DIPONEGORO
- 3.2.4.2. RAy. MARYAM DIPONEGORO
- 3.2.4.3. RM. SUTOMO DIPONEGORO
- 3.2.4.4. RAy. MARYATI DIPONEGORO
- 3.2.4.5. RAy. SUKATI DIPONEGORO
- 3.2.4.6. RM. SANTOSO DIPONEGORO
- 3.2.4.7. RM. ANTAWIRYA DIPONEGORO
- 3.2.4.8. RM. SUSILO DIPONEGORO
- 3.2.4.9. RM. GATOTO DIPONEGORO (JOHAN)
- 3.2.4.10.RM. INDRA DIPONEGORO
- 3.2.4.11.RAy. RATNANINGSIH DIPONEGORO
- 3.2.4.12.RM. SUDIRMAN DIPONEGORO (DEN)
- 3.3.2.1. RM. ACHMAD
- 3.3.2.2. RM. ....................
- 3.3.3.1. RAy. KUSIAH (AMBON)
- 3.3.3.2. RAy. KURSIN (AMBON)
- 3.3.3.3. RM. SUDJA (AMBON)
- 3.7.1.1. RAy. MIRANDA DIPONEGORO
- 3.7.1.2. ..............................
- 3.7.2.1. RM. ALEXANDER DIPONEGORO
- 3.7.2.2. RM. NURDJOHAN DIPONEGORO
- 3.7.2.3. RAy. MAGDALIN DIPONEGORO
- 3.7.2.4. RAy. FARIDA A DIPONEGORO
- 3.7.2.5. RAy. ARISWAPI DIPONEGORO
- 3.7.2.6. RAy. DJULISTANI DIPONEGORO
- 3.7.2.7. RAy. ANNEKE DIPONEGORO
- 3.7.2.8. RM. DANUR DIPONEGORO (KEMLU TOKYO)
- 4.1.1.1. RM. MUHAMMAD DIPONEGORO
- 4.1.1.2. RAy. SAKILAH DIPONEGORO
- 4.1.1.3. RAy. TIMUR DIPONEGORO (BANDUNG)
R.M Dipoatmaja /R.M Dipokusumo /Pangeran Abdul Aziz (1805)
Adalah putera ke dua Pangeran Diponegoro yang lahir dari ibu Retno Madubrongto. Dia sudah cukup dewasa ketika perang dimulai, sehingga tidak menutup kemungkinan, dia meninggalkan anak dan isteri ketika menjalani pembuangan di Ambon. Semasa perang, RM. Dipoatmojo banyak bergerak di wilayah Pacitan dan Madiun. Peperangan dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai Belanda. Bupati Joyokariyo di pecat, sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui. Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda.
Pada akhir perang Diponegoro, Raden Mas Dipoatmojo berada di Surakarta bersama keluarga kakek buyutnya dari garis ibu setelah pada tanggal 8 Januari 1830 tertangkap oleh pasukan Belanda lalu dibuang ke Ambon 1840.perkawinan: <149> ♀ NYI MAS AYU Fatmah \ Bun Nioh [Tan] b. 1817c
wafat: 1837, Yogyakarta, dimakamkan di Bogor (Versi 'Peter Carey')
wafat: 1885, Bogor, dimakamkan di Bogor (Versi Keluarga)
RIWAYAT HIDUP
PANGERAN DJONET / RM. JUNAT / RM. JEMET
Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Raden Mas Joned baru berumur sepuluh tahun. Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya. Usianya masih terhitung anak-anak ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar puri. Terkadang sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak dimana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Orang itu tak lain adalah Sentot Prawiro Dirjo pamannya sendiri. Umur Raden Mas Joned sekitar 15 tahun ketika melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap tegar menghadapi semuanya. Raden Mas Joned tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan. Marah dan dendam, itulah yang ada di dalam benak Raden Mas Joned. Jiwa mudanya sangat terguncang dan itulah yang membuat Raden Mas Joned selalu melakukan perlawanan dimanapun dia melihat orang Belanda. Raden Mas Joned berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro tetapi ketahuan dan Raden Mas Joned menceburkan diri ke laut. Dia tidak putus asa karenanya. Raden Mas joned lalu mengejar Pangeran Diponegoro melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia. Sesampainya di Batavia, Pangeran Joned berusaha mendekati tempat penyekapan Pangeran Diponegoro, tetapi sayang, mata-mata mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah dipindahkan menggunakan kapal ke arah Timur. Dengan perbekalan seadanya disertai dengan pengikut-pengikut setianya, Raden Mas Joned berangkat ke arah Timur melewati jalan darat sambil menebarkan petaka bagi siapapun yang mencoba menghalanginya. Raden Mas Djonet, mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak menguntungkan dalam perselisihan dengan seorang perwira di Djokjakarta. (J. Hageman, 1856, "Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot 1830"). Atas kehendak keluarga, jenasah beliau disembunyikan dan dimakamkan di Bogor. Ibu Raden Mas Joned yaitu Raden Ayu Maduretno adalah kakak Sentot Prawirodirjo yang ikut bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan di Dekso, Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Pada tahun 1828 beliau wafat karena sakit dan dimakamkan di Imogiri.
PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO / RM. JUNAT / RM. JEMET
PANGERAN DJONET atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1815 1) di Yogyakarta dari Ibu kandung yang bernama R.A. Maduretno alias R.A. Ontowiryo alias R.A. Diponegoro yakni isteri kelima Pangeran Diponegoro putri ketiga Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Kanjeng Ratu Kedaton Maduretno Krama (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Pangeran Djonet memiliki adik kandung bernama Pangeran Roub/Pangeran Raab/Pangeran Raib, yang pada tahun 1840 berhasil dibuang Belanda ke Ambon dan meninggal disana. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada 18 Pebruari 1828 (walaupun saat itu Belanda berikut Kerajaan yang lain tidak mengakuinya). Pada saat itu Raden Mas Djonet Dipomenggolo masih berumur 13 tahun.
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA 6. BPH. DIPANEGARA 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Ibu)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KRK. MADURETNO KRAMA (Putri ke 22 HB-II <menikah dengan> RADEN RANGGA PRAWIRADIRDJA III 6. BRAy. MADURETNO/RA. Ontowiryo/RA. Diponegoro 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
PANGERAN DJONET PADA MASA PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO (Tahun 1825-1830)
Sejak usia 10 tahun Pangeran Djonet bersama 2 saudaranya yaitu Pangeran Roub dan Pangeran Diponegoro Anom selalu mendampingi/selalu diajak ayahnya dalam setiap perundingan penting dengan Belanda. Mengingat usianya yang relatif muda tidak banyak yang dilakukan Pangeran Djonet muda, akan tetapi selama 5 tahun Pangeran Djonet berada, melihat dan menyaksikan langsung (veni, vedi veci) sejarah yang sedang terjadi di tanah air melalui perjuangan orang tuanya yaitu Pangeran Diponegoro beserta panglima Sentot Prawiradirja dan Pangeran-pangeran juga para Kyai. Di medan perang Pangeran Djoned menyaksikan bagaimana prajuritnya terbunuh...bagaimana mendapatkan kemenangan...bagaimana mengatur siasat perang, semua ini merupakan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi pembentukan kepribadian Pangeran Djoned kemudian.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya ( Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam." De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
PANGERAN DJONET PADA SAAT PENGASINGAN AYAHNYA KE SULAWESI (Tahun 1830)
Menurut cerita salah satu keturunan ke 6 Pangeran Djonet yang tinggal di sekitar makam yaitu R. Ustad ABDUL WAFA (keturunan dari Raden Mas SAHID ANKRIH, anak ke 5 Pangeran Djonet) adalah sebagai berikut : Sewaktu beliau dibuang ke Makassar, beliau ikut namun sewaktu Kapal/Perahu di lautan beliau menceburkan diri bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. Setelah beberapa lama menetap di Batavia, lalu beliau pindah ke Bogor, berjuang bersama pasukannya yang akhirnya menetap di Kebon Kelapa Cibeureum sampai akhir hayatnya.” (sesuai yang tertera dalam Papan Wisata Ziarah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor).
SITUS MAKAM PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO
Cerita lain, versi keturunan yang tinggal di sekitar makam : “ Pangeran Djonet tinggal dan menetap pertama kali di pinggiran kota Bogor (± 4 s.d 7 km dari Istana Belanda) di kampung Jabaru (Jawa Baru), setelah mempunyai 5 orang putra dan 2 orang putri semakin banyaklah keturunan Pangeran Djonet di kampong Jabaru tersebut, akhirnya membuka kampong baru lagi dengan nama kampong Dukuh Jawa, sampai akhirnya wafat pada usia 70 tahunan dan dimakamkan di kampong Kebon Kelapa (sekarang Jalan Raden Kosasih), Cikaret, Bogor Selatan tidak jauh dari kampong tempat beliau menetap ”.
PANGERAN DJONET DI BATAVIA (Tahun 1830-1831)
Setelah lolos dari proses pengasingan ke Pulau Sulawesi sesuai cerita sebelumnya, Pangeran Djonet muda yang baru berusia 15 tahun (1815-1830) dibantu pengikutnya yang berjumlah lebih dari 1 orang untuk mencari tempat persembunyian sementara di daerah Batavia. Sebagai kelompok asing yang berkeliaran di Batavia yang notabene sebagai pusat kegiatan colonial pada masa itu tentunya baik Pangeran Djonet maupun pengikutnya yang asli Yogyakarta mencari sanak saudara, kerabat maupun tetangga yang sedaerah. Akhirnya dengan wawasan sejarah yang dimiliki sang Pangeran Muda diputuskan untuk mencari daerah Matraman (saat itu umur daerah Matraman sudah mencapai 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia).
Di Matraman, pengikut Pangeran Djonet terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama/menggunakan nama alias) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu. Diluar perkiraan sang Pangeran, mereka menerima dengan amat terbuka sambil disertai perasaan haru, bangga dan rindu akan kampong halaman akhirnya berkat bantuan dan perlindungan masyarakat Matraman pada saat itu Pangeran Djonet beserta pengikutnya menetap di Batavia (Matraman) lebih kurang selama 2 tahun.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela (di komplek pemakaman Pangeran Djonet di Bogor dimakamkan juga komandan pasukan pengawal yang berasal dari Banten). Komunikasi keberadaan Pangeran Djonet di Batavia dengan pihak Keraton Yogyakarta (lebih kurang 19 orang Pangeran/turunan Sultan yang mendukung Pangeran Diponegoro) dilakukan melalui media kurir/mata-mata/telik sandi yang masing-masing bergerak menuju titik yang ditentukan (rendesvouz), dari Keratonlah Pangeran Djonet mendapatkan bantuan logistik yang diperlukan dalam membentuk pasukan pengawal.
Tahun 1832 Pangeran Djonet genap berusia 17 tahun, usia yang cukup dewasa bagi seorang keturunan Sultan untuk segera memulai hidup berumah tangga. Maka pada tahun 1832 Pangeran Djonet mempersunting Putri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga Tan yang bernama BUN NIOH kemudian berganti nama menjadi NYI MAS AYU FATMAH (tidak ada literature yang menyebutkan dimana proses pertemuannya). Kalau mengacu kepada usia Nabi Muhammad SAW menikah, usia tersebut masih terlalu muda, akan tetapi karena kondisi saat itu sedang dalam proses bersembunyi ataupun penyamaran (incognito) ditambah lagi kebiasan Raja-raja Kasultanan Yogyakarta anak lelaki tertua menikah pada saat usia menginjak dewasa. Setelah berumah tangga Pangeran Djonet pindah ke pinggiran Kota Bogor, akan tetapi komunikasi dengan masyarakat Matraman tetap terjalin dengan sangat baik, dan sering mengahdiri acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Jami Mataram.
Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram. Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada tahun 1837, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).
PANGERAN DJONET DI BOGOR (Tahun 1832 - 1885)
Tempat Tinggal Di Bogor
Pangeran Djonet pindah dari pelariannya di Batavia ke daerah pinggiran kota Bogor sekitar tahun 1832. Bersama pengikutnya keturunan bekas tentara kerajaan Mataram di Batavia (Daerah Matraman – Jakarta Timur), Pangeran Djonet membuka perkampungan baru yang akhirnya dikenal dengan nama Kampung JABARU, kependekan dari Jawa Baru.
Sarana transportasi darat yang umum pada masa itu kebanyakan menggunakan Kuda tunggang, kereta kuda, sepeda, sedikit kereta api dan mobil. Pangeran Djonet seperti halnya bangsawan di Keraton Yogyakarta tentunya sangat terlatih menggunakan kuda tunggang, oleh karenanya di sekitar kampong Jabaru, disuatu tempat yang bernama "Pasir Kuda" (Pasir, nama lain dari Bukit) Pangeran Djonet dan para pengikutnya biasa menambatkan kuda-kudanya (kemungkinan besar, dipasir inilah dibangun Istal).
Melihat cerita di atas, dan mempelajari Silsilah yang ada serta mencermati keberadaan RM. Djonet pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro setelah saya lakukan analisis dengan seksama dengan mengacu kepada artikel dan buku-buku diperoleh berbagai macam kemungkinan sebagai berikut :
- RM. Djonet adalah putra sulung dari pasangan Pangeran Diponegoro dengan RA. Maduretno yang lahir pada tahun 1815 M. Ketika Diponegoro berusia 42 tahun, beliau dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada tanggal 18 Pebruari 1828, pada saat itu RM. Djonet berumur 13 tahun.
- Sejarah Pangeran Djonet menurut cerita kutipan dari buku karangan Peter Carey menyebutkan bahwa Pangeran Djonet dibunuh oleh Belanda dalam sebuah peperangan pada tahun 1837. Cerita tersebut dapat beralasan :
- Dalam artikel : “Jejak Sultan Agung Mataram di Masjid Jami Matraman” disebutkan bahwa Masjid Jami Mataram dibangun dan diresmikan pada tahun 1837 oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro). Pada tahun 1837 Masjid Jami tersebut tergolong bangunan mewah arsitktur bangunannya menyerupai Taj Mahal, sehingga menjadi pusat perhatian Belanda. Informasi peresmian Masjid tersebut oleh keturunan langsung Pangeran Diponegoro sampai melalui mata-mata Belanda yang pada akhirnya Belanda melakukan penyergapan (kemungkinan dikediaman Pangeran Djonet di kampung Jabaru (Jawa Baru), di daerah Selatan Bogor. Dalam penyergapan tersebut akhirnya terjadi peperangan antara tentara Belanda dengan Pangeran Djonet dan pengikutnya. Di lain pihak, pada tahun yang sama 1837 Pangeran Djonet sudah berumah tangga dan mempunyai anak 7 ( 5 laki -laki dan 2 perempuan ).
- Mungkin saja data yang diperoleh Peter Carey sumbernya berasal dari pihak Belanda atau referensi lain yang ada di Inggris, dimana baik Belanda maupun Inggris membukukan sejarah pemberontakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya lebih mengutamakan keberhasilannya semata, sehingga Pangeran Diponegoro dan keluarganya berikut pengikutnya dianggap “BAD GUY” yang sudah dan harus dikalahkan (dibunuh) sedangkan pihak Belanda maupun Inggris sebagai “GOOD GUY” yang patut mendapatkan penghargaan.
- Pangeran Djonet menetap di Batavia mulai tahun 1830, pada saat beliau berumur 15 tahun.Kalau mengacu kepada cerita versi “makam” (di Cikaret, Bogor), Pangeran Djonet termasuk dalam kelompok yang akan dibuang ke Makassar yang akhirnya dapat melarikan diri dan menetap di Batavia. Dimana pangeran Djonet tinggal di Batavia?, sampai tahun berapa tinggal di Batavia?, kapan pindah ke Bogor? Tahun berapa menikah?, Siapa isterinya? Berapa orang istrinya? Berapa orang putra-putrinya? dimana tinggalnya di Bogor? Jawabannya adalah :
- Di Batavia pangeran Djonet tinggal di perkampungan mantan prajurit Mataram (Sultan Agung Mataram menyerang VOC ke Batavia pada April 1628 - Mei 1629). Pada tahun 1837 perkampungan tersebut sudah berubah nama menjadi kampung MATRAMAN karena sudah berusia 218 tahun. Di Matraman inilah Pangeran Djonet menetap dan mendapatkan perlindungan dari keterunan tentara Mataram, sampai usia beliau mencapai 17-22 tahun.
- Pangeran Djonet pindah ke Bogor antara tahun 1832-1837, dimana pada usia tersebutlah menikah dengan puteri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga TAN yang bernama BOEN NIOH kemudin bermualaf dengan nama NYI MAS AYU FATMAH. Mengenai jumlah isterinya dapat diperkirakan sebagai berikut : apabila mengacu kepada buku Peter Carey pangeran Djonet terbunuh pada saat usia perkawinan 5 tahun (1837) dengan jumlah putra-putri 7 orang, berarti pangeran Djonet beristri minimal 2 orang, sedangkan kalau mengacu versi makam, Pangeran Djonet meninggal di usia 70 tahunan meninggalkan 2 orang isteri, 7 orang anak.
- Di Bogor Pangeran Djonet tinggal di pinggiran Kota ± 5 km dari Istana Belanda. Disana beliau dibantu para pengikutnya keturunan Mataram yang ada di Batavia membuka perkampungan baru yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung JABARU kepanjangan dari Kampung Jawa Baru. Di kampung Jabaru inilah pangeran Djonet membentuk pasukan dan beranak-pinak. Kuda-kuda pangeran Djonet dan pasukannya ditambatkan di Istal Kuda didaerah pasir (bukit) yang pada akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Pasir Kuda (kampung diatas bukit yang banyak Kuda). Dari Kampung Jabaru keturunan Pangeran Djonet meluas dan membuka perkampungan baru di sebelah Timurnya yang juga dikenal dengan nama Kampung Dukuh Jawa.
- Menurut kesaksian keturunan Pangeran Djonet generasi ke 5 Rd.Hj. SITI MARIAM (IIH) & Rd.Hj. SITI JUARIAH (UWE), pada saat ayahnya RM.H. RANA MENGGALA (generasi 4) meninggal sekitar tahun 1970an, ada prajurit utusan Kraton Yogyakarta membawa peti berukir yang berisi antara lain uang. Pada saat itu keturunan Pangeran Djonet sampai generasi ke 5 belum banyak yang mengetahui asal-usul yang mengarah kepada Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat diartikan bahwa, pihak Kraton Yogyakarta mengetahui keberadaan Pangeran Djonet di Bogor dan ada kemungkinan sebetulnya pada saat Pangeran Djonet tinggal pertama di Bogor pun sudah ada komunikasi rahasia antara telik sandi kraton Yogyakarta dengan pasukan Pangeran Djonet di Bogor (mengapa masih rahasia, mengingat di kalangan kerabat Pangeran Diponegoro di Yogyakarta pada saat itu disinyalir masih banyak yang pro-kolonial). Sejauh ini diantara keturunan 7 anak Pangeran Djonet, sampai dengan generasi kelima (lahir 1930an-1950an) silsilah keluarga yang lebih rinci tentang keturunan Pangeran Djonet masih memerlukan verifikasi dan penyempurnaan,
wallahu alam bi sawab.
SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN RM. DJONET DIPAMENGGALA
Putra-putri
No. | Nama | Tempat/Lahir |
---|---|---|
1. | RM. NGABEHI DIPAMENGGALA | Jabaru, C-1833 |
2. | RM. HARJO DIPOMENGGOLO | Jabaru, C-1834 |
3. | RM. HARJO DIPOTJOKRO / PANGERAN GRINGSING I | Jabaru, C-1835 |
4. | RM. HARJO ABDUL MANAP | Jabaru, C-1836 |
5. | RM. KH. SAHID ANGKRIH | Jabaru, C-1835 |
6. | NYI MAS RAy. UKIN | Jabaru, C-1836 |
7. | NYI MAS RAy. OKAH | Jabaru, C-1837 |
Cucu
- 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebak pasar, C-1854)
- 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO
- 2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH
- 2.3. RM.H. ABAS
- 2.4. RM.H. ABDULRACHMAN ADIMENGGOLO
- 2.5. RM.H. MUHAMMAD HASAN
- 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO / P.GRINGSING II
- 4.1. RM.H. EDOJ
- 4.2. RM.H. SAYYID YUDOMENGGOLO
- 4.3. NYI RAy.Hj. SARODJA
- 4.4. NYI RAy.Hj. AMANUNG
- 5.1. RM. ASMINI
- 5.2. RM. IDRIS
- 5.3. RM. ONDUNG
Buyut / Cicit
- 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877)
- 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878)
- 1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879)
- 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880
- 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882
- 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884
- 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji)
- 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA
- 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA
- 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH
- 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH
- 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH
- 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT (Zelfstandig Patih Buitenzorg 1916-1925)
- 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT
- 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO
- 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH
- 2.3.1. RM.H. ARDJA
- 2.3.2. RM.H. SUMINTA (MALIK)
- 2.3.3. RAy.Hj. PATIMAH <menikah dgn> DJUARSA (Ayahnya Mayjen. ISHAK DJUARSA)
- 2.3.4. RAy.Hj. FATMAH <menikah dgn> 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA Cucu RM. NGABEHI DIPOMENGGOLO
- 2.3.5. RM.H. YACUB
- 2.3.6. RAy.Hj. SITI MARIJAM (Loji)
- 2.4.1. RAy.Hj. SUKIYAMAH
- 3.1.1. RM. HARJO DIPOHADIKUSUMO / P. GRINGSING III
- 4.1.1. RM.H. SINTOMENGGOLO
- 4.2.1. RM.H. SADIRI GONDOMENGGOLO
- 4.3.1. RM.H. SUMAWIDJAJA
- 4.3.2. NYI RAy.Hj. DANANG
- 4.3.3. NYI RAy.Hj. ANOK
- 4.3.4. NYI RAy.Hj. ENGKO
- 4.3.5. NYI RAy.Hj. TOJO (Ibu Bandung)
- 5.1.1. RM.H. ASMININ
- 5.1.2. RM.H. MALI
- 5.1.3. RM.H. MINAU
- 5.1.4. RM.H. IKING
- 5.1.5. RAy.Hj. UMI
Canggah
- 1.1.1.1. R.H. RAIS
- 1.1.1.2. R.Hj. ECIN
- 1.1.1.3. R.Hj. HALIMAH
- 1.1.1.4. R.Hj. SITI KHODIJAH
- 1.1.1.5. R.Hj. SITI MUKMINAH
- 1.1.1.6. R.Hj. SITI JUARIAH (Uwa UWE, Sempur)
- 1.1.1.7. R.H. MAHBUB
- 1.1.1.8. R.Hj. SITI MAEMUNAH
- 1.1.1.9. R.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng)
- 1.1.1.10. R.IYAN RIDWAN
- 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910
- 1.1.2.2. R.H. ALI
- 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung)
- 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti)
- 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG
- 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911)
- 1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata)
- 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng)
- 1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF
- 1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati)
- 1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN
- 1.1.3.1. R. BUSTOMI
- 1.1.3.2. R. ISMAIL
- 1.1.3.3. R. MUDJITABA
- 1.1.3.4. NYI R. SUAEBAH
- 1.1.3.5. NYI R. MAEMUNAH
- 1.1.4.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.2. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.6.1. .............
- 1.1.6.2. R. SOLEH
- 1.1.6.3. R. SOFYAN ATS SAURI / YUSUF
- 1.1.6.4. R. ARIFIN
- 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.1.2. R.H. UMAR SURIODIRDJO (Ciomas)
- 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO Ciomas)
- 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO
- 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas)
- 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI (Ciomas)
- 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji)
- 2.2.1.1. R.H. KURAESIN
- 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA
- 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas)
- 2.2.6.1. R.H. PANJI
- 2.2.6.2. R.H. PANDU
- 2.2.6.3. R.H. HASAN
- 2.2.6.4. R.H. KURAESIN
- 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Ir. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional
- 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR
- 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng)
- 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi)
- 2.2.9.3. Rd.H. TATANG MUCHTAR (Ciluar)
- 2.2.9.4. NYI Rd. ICHA AISYAH (Di Belanda sejak 1935)
- 2.3.6.1. Drs.H.R. MANSYUR
- 2.3.6.2. H.R. SANUSI (Gunung Batu)
- 2.3.6.3. Drs.H.R. ENTJEP WAHAB (Jakarta)
- 3.1.1.1. R. DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO / P. GRINGSING IV (Magetan)
- 4.1.1.1. NYI Rd. HJ. S. AISYAH
- 4.1.1.2. NYI Rd. HJ. INA
- 4.1.1.3. NYI Rd. HJ. SITI
- 4.1.1.4. Rd. H. MARANA
- 4.1.1.5. NYI Rd. HJ. ARISAH
- 4.1.1.6. Rd. H. BARNAS SINTOMENGGOLO
- 4.1.1.7. NYI Rd. HJ. UTI
- 4.1.1.8. NYI Rd. HJ. UTA
- 4.1.1.9. NYI Rd. HJ. HATIMAH
- 4.1.1.10.Rd. H. SIDIQ SINTOMENGGOLO
- 4.2.1.1. Rd. H. KARTA
- 4.2.1.2. NYI Rd. HJ. JUHA
- 4.2.1.3. Rd. H. DARMA
- 4.2.1.4. Rd. H. DARNA
- 4.3.1.1. R.H. ENTUNA PARTAWIJAYA
- 4.3.2.1. R.H. PRAWIRA SOMANTRI
- 5.1.1.1. R. ABDUL LATIF
- 5.1.1.2. R. ARMANI
- 5.1.1.3. NYI Rd. JENAB
- 5.1.1.4. R. MURNAS
- 5.1.1.5. R. ABDURROHIM
- 5.1.1.6. R. ABDURROHMAN
wafat: 1894, Wanagopa, Tegal
Raden Mas Roub/Raib/Raab/Pangeran Hasan 1816
Adalah adik kandung Raden Mas Joned. Usianya sekitar sembilan tahun ketika mengikuti ayahnya dalam medan perang. Bersama kakaknya dia ikut merasakan bagaimana kehidupan dalam pengungsian. Raden Mas Roub selalu mengikuti perjalanan ayahnya dalam medan perang. Selain karena putera dari isteri permaisuri kedua, Pangeran Diponegoro menyiapkan Raden Mas Roub agar kelak sebagai seorang pemimpin agama. Sampai di sini dapat dijelaskan bahwa ada 4 (empat) putera Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Ambon. Pada buku The Power of Prophecy tulisan Peter F Carey halaman 746 dijelaskan bahwa pada akhir tahun 1848 Pangeran Diponegoro menanyakan kepada gubernur jenderal di Makassar perihal tiga anaknya yaitu Pangeran Dipokusumo, Raden Mas Raib serta Pangeran Diponingrat yang diberitakan mengalami sakit tekanan jiwa. Pangeran Diponegoro juga menanyakan anaknya yang tertua yang mengalami pembuangan di Sumenep pada tahun 1834 setelah memberontak di Kedu, dan belum pernah berkirim kabar.
Segudang Misteri dari Dukuh Wanagopa (27 Maret 2015)
Dukuh Wanagopa terletak di Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Berjarak ± 4,5 KM di barat daya pusat Kecamatan Warureja. Dukuh Wanagopa juga berada di perbatasan antara Kecamatan Warureja dan Suradadi. Letak yang strategis dengan tiga sungai yang mengalir di dalamnya, antara lain : Sungai Kunci, Sungai Pedati, dan Sungai Jimat, membuat mayoritas penduduk Dukuh Wanagopa memilih bekerja sebagai petani.
Dukuh Wanagopa memiliki salah satu peninggalan sejarah yaitu Makam Kyai Hasan atau yang dikenal warga setempat dengan nama Mbah Wana. Menurut sejarah, Kyai Hasan merupakan anak kedua dari Pangeran Diponegoro dari istri keempatnya, yaitu Raden Ayu Manduretno. Kyai Hasan memiliki nama lain Raden Mas Raib atau Pangeran Hasan. Pada saat perang Diponegoro berlangsung Kyai Hasan berumur 9 tahun, beliau sering membantu ayah dan kakak kandungnya yang bernama Mas Joned. Akhirnya mereka ditangkap oleh pihak Belanda pada tanggal 18 Maret 1830 dan diasingkan ke Ambon. Namun pada tahun 1848, Kyai Hasan pun kembali ke tanah Jawa atas seizin Van den Bosch, kemudian beliau mengembara sembari menyebarkan agama Islam di sekitar lereng Gunung Slamet, dan sampailah di sebuah Desa yang ketika itu sudah dibangun oleh Mbah Ibrohim seorang pendatang dari Desa Bumiharja pada tahun 1870. Kemudian desa itu diberi nama Wanagopa. Menurut Bapak Abdul Salam, S.Ag sejarawan wanagopa mengatakan bahwa Wanagopa berasal dari dua kata yaitu Wana dan Gopak. Wana berarti hutan dan Gopak berarti petak, jadi disimpulkan bahwa Wanagopa dibuat dengan menebang hutan secara berpetak-petak. Selain itu nama Wanagopa merupakan bentuk penghargaan Mbah Ibrohim kepada Kyai Hasan/Mbah Wana. Disisa hidupnya Kyai Hasan menghabiskan waktunya dengan mendekatkan diri pada Allah. Pada tahun 1896-an beliau wafat dan dimakamkan di Dukuh Wanagopa, Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Tetapi beberapa pihak mengatakan bahwa Kyai Hasan meninggal di Panggung Tegal. Namun kenyataannya, makam Kyai Hasan sendiri berada di Dukuh Wanagopa, Desa Kreman.perkawinan: <150> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sultan [Gp.Hb.6.2] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng (Roromunting) [Prawirorejoso]
perkawinan: <301!> ♀ Kanjeng Mas Hemawati [Hamengku Buwono]
perkawinan: <151> ♀ Bendoro Raden Ayu Panukmowati [Ga.Hb.5.2] [?]
perkawinan: <152> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningsih [Ga.Hb.5.1] [?]
perkawinan: <153> ♀ Bendoro Raden Ayu Retno Sriwulan [Ga.Hb.5.3] [?]
gelar: 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana V Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping V
gelar: 17 Januari 1828 - 5 Juni 1855, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana V Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping V
perkawinan: <200!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.2.52.2] / Bendoro Raden Ajeng Suradinah [Gp.Hb.5.1] [Hamengku Buwono II / Hamengku Buwono III]
gelar: 1839, Yogyakarta, Letnan Kolonel
gelar: 1847, Yogyakarta, Kolonel
perceraian: <200!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.2.52.2] / Bendoro Raden Ajeng Suradinah [Gp.Hb.5.1] [Hamengku Buwono II / Hamengku Buwono III]
perkawinan: <275!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton [Hb.3.2.22] / Bendoro Raden Ayu Andaliya [Gp.Hb.5.2] [Hamengku Buwono III] b. 1834 d. 25 Mei 1919, Yogyakarta
wafat: 5 Juni 1855, Imogiri, Astana Besiyaran
Riwayat pemerintahan Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana V adalah Raden Mas Mustoyo, putra Hamengkubuwana IV yang lahir pada tanggal 20 Agustus 1821. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda.Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1821 maka Sultan Hamengku Buwono V waktu permulaan bertahta berumur 2 (dua) tahun.
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia-Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, dimana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Raden Mas Ariojoyo (nantinya Hamengkubuwana VI). Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan Sultan dengan Raden mas Ariojoyo.
Keadaan semakin menguntungkan Raden Mas Ariojoyo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. Kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 Sultan sendiri, Kanjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwana V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.
Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan wereng saketi tresno ("wafat oleh yang dicinta"), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sri Sultan suaminya.[2]
Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. 13 hari pasca sultan tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_V
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V Salah satu mahakarya yang lahir di era beliau adalah Serat Makutha Raja. Di dalamnya memuat tentang prinsip-prinsip dasar menjadi raja yang baik. Dari karya ini dapat dilihat visi ke depan Sultan Hamengku Buwono V yang sangat memihak kepada rakyat.
Serat Makutho Raja ini pula yang nantinya menjadi pedoman bagi raja-raja selanjutnya, dan juga menjadi rujukan bagi pemimpin-pemimpin di luar keraton. Serat Makutho Raja ini kurang lebih mengandung nasehat-nasehat dari Kitab Tajussalatin.
Kitab Tajussalatin diterjemahkan di era Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kemudian lahir pula karya lain seperti Suluk Sujinah, Serat Syeh Tekawardi dan Serat Syeh Hidayatullah.
Sri Sultan Hamengku Buwono V juga menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap kegiatan-kegiatan seni, terutama seni tari. Beliau memimpin sendiri komunitas tari di istana. Bahkan, beberapa sumber juga mengatakan ia turut menjadi penari.
Disamping tarian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memprakarsai Gendhing Gati yang memadukan alat musik diatonis seperti terompet, trombon, suling dan jenis drum atau tambur dengan karawitan Jawa. Gendhing Gati ini lazimnya digunakan dalam gerak Kapang-Kapang pada tari Bedaya atau Serimpi, yaitu komposisi ketika masuk atau keluar dari ruang tari.
Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V juga terdapat keunikan-keunikan lain dalam pelembagaan tari. Beliau membentuk kelompok penari Bedaya yang biasanya ditarikan oleh para penari wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang disebut kelompok Bedaya Kakung.
Karya seni tari lain yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V adalah Tari Serimpi Renggawati yang ditarikan oleh lima orang penari, yang salah satunya berperan sebagai Dewi Renggawati. Jalan cerita tari ini menggambarkan kisah Prabu Anglingdarma.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono V juga mengembangkan seni wayang orang. Pada masanya tak kurang dari lima judul lakon yang sering dipertunjukkan yakni Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi dan Pregiwa-Pregiwati.
Media:https://www.kratonjogja.id/raja-raja/6/sri-sultan-hamengku-buwono-vperkawinan: <154> ♀ Putri Kerajaan Brunei [?]
perkawinan: <155> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnodiningrum [Ga.Hb.6.7] [?]
perkawinan: <156> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningrum [Ga.Hb.6.6] [?]
perkawinan: <157> ♀ Bendoro Raden Ayu Pujoretno [Ga.Hb.6.2] [?]
perkawinan: <158> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewiningrum [Ga.Hb.6.8] [?]
perkawinan: <159> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitoningrum [Ga.Hb.6.5] [?]
perkawinan: <160> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnoningdiah [Ga.Hb.6.3] [?]
perkawinan: <161> ♀ Bendoro Raden Ayu Sasmitaningrum [Ga.Hb.6.4] [?]
perkawinan: <162> ♀ Bendoro Raden Ayu Tedjaningsih [Ga.Hb.6.1] [?]
perkawinan: <150!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sultan [Gp.Hb.6.2] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng (Roromunting) [Prawirorejoso]
perkawinan: <163> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.6.1] ? (Gusti Kanjeng Ratu Hamengku Buwono, Pakubuwono VIII) [Pakubuwono VIII] , Yogyakarta
gelar: 5 Juli 1855 - 20 Juli 1877, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana VI Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping VI
perkawinan: <599!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Angabehi [Hb.5.1] [Gp.Hb.6.3] (Bendoro Raden Ayu Gondokusumo) [Hamengku Buwono V] , Yogyakarta
perceraian: <599!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Angabehi [Hb.5.1] [Gp.Hb.6.3] (Bendoro Raden Ayu Gondokusumo) [Hamengku Buwono V]
wafat: 20 Juli 1877, Yogyakarta
Riwayat Pemerintahan Nama asli Sultan Hamengkubuwana VI adalah Raden Mas Mustojo, putra Hamengkubuwana IV yang lahir pada tahun 1821.
Hamengkubuwana VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuwana V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwana V meninggal secara misterius. Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gede (masjid keraton), Loji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di Kesultanan Yogyakarta.
Pada masa Hamengkubuwana V, Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia-Belanda yang ada di bawah Kerajaan Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi Hamengkubuwana VI, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.
Semasa pemerintahan Hamengkubuwana VI kemudian mulai timbul pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI, namun pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danuredjo V, patih Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin kuat pada masa pemerintahan HB VI, apalagi setelah dia menikah dengan putri Kesultanan Brunai.
Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan HB VI dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan Hindia-Belanda agak mulai menuai konflik tertama karena keraton Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda.
Pemerintahan Hamengkubuwana VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putranya sebagai sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwana VII.wafat: 1902
perkawinan: <270!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono V / Gusti Raden Mas Gathot Menol [Hb.4.6] (Sinuhun Menol) [Hamengku Buwono V] b. 24 Januari 1820 d. 5 Juni 1855, Yogyakarta
wafat: 25 Mei 1919, Mahakeret, Manado
wafat: 1849
perkawinan: <537!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ayu [Hb.6.10] [Gp.Pa.4.1] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <164> ♀ Raden Ayu Pujaningrum [Ga.Pa.4.1] [?]
perkawinan: <165> ♀ Raden Ayu Pujoretno [Ga.Pa.4.2] [?]
perkawinan: <166> ♀ Raden Ayu Rengganingsih [Ga.Pa.4.3] [?]
gelar: 1 Desember 1864 - 24 Desember 1878, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat bergelar Prabu Paku Alam IV
wafat: 24 Desember 1878, Yogyakarta
Pada 1 Desember 1864 RM Nataningrat ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat menggantikan almahrum pamannya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemunduran Kadipaten Pakualaman. Banyak dari kebijakan Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menimbulkan ketidakpuasan. Selain itu ia tidak begitu mahir dalam hal kesusastraan dan kebudayaan. Di keluarga besar Paku Alam pun terjadi beberapa perubahan yang cenderung kurang baik akibat sering bergaul dengan orang-orang Belanda. Kemewahan dan foya-foya menjadi penyebab kehancuran beberapa anggota keluarga Paku Alam.
Namun disamping itu, dengan perjanjian politik 1870, Kadipaten Pakualaman diperkenankan memiliki setengah batalyon infantri dan satu kompi kavaleri. Legiun ini lebih besar dari angkatan perang yang diperbolehkan pada masa para pendahulunya. Perlu ditambahkan pula, KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] mengirim seorang pegawai laki-lakinya untuk menuntut ilmu di Kweekschool Surakarta dan seorang pegawai perempuannya untuk menuntut ilmu kebidanan di Jakarta. Agaknya inilah yang akan mendorong para Paku Alam selanjutnya untuk menyekolahkan anggota keluarga besar Paku Alam ke sekolah Belanda.
KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menikah pertama kali dengan Putri Bupati Banyumas yang kemudian diceraikan karena sakit. Perkawinan yang kedua dengan GK Ratu Ayu putri Hamengkubuwono VI. Namun lagi-lagi seperti perkawinan yang pertama ia tidak memperoleh anak. GK Ratu Ayu selanjutnya juga diceraikan. Perlu dicatat GK Ratu Ayu kemudian menikah dengan Bupati Demak dan melahirkan Bupati Jepara, ayah RA Kartini. KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] hanya memiliki 2 putra-putri yang berasal dari selir. Pada 24 September 1878 ia mangkat dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.perkawinan: <490!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Timur [Paku Alam III]
gelar: 11 April 1901 - 9 Juni 1902, Yogyakarta, Gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI
wafat: 9 Juni 1902, Kulon Progo
wafat: 28 Mei 1944
Sebagai pecahan kerajaan Islam Mataram, Keraton Yogyakarta mempunyai abdi dalem (pegawai) yang khusus mengurusi soal keagamaan. Pegawai khusus keagamaan ini disebut pegawai kepenguluan. Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, para pegawai kepenguluan diberi tempat khusus, yakni dekat Masjid Agung Kesultanan.
Kepenguluan berfungsi sebagai lembaga yang mengurusi keagamaan sekaligus berfungsi semacam Dewan Daerah. Kepenguluan dipimpin oleh seorang dengan jabatan penghulu. Semua petugas di bawah pimpinan penghulu ini sering disebut sebagai abdi dalem putihan, yakni orang-orang yang ahli dalam agama. Khusus masalah kemasjidan, tetap dibawah koordinasi penghulu dengan dibantu oleh ketib (khatib) yang terdiri dari sembilan. Semua khatib berfungsi sederajat, sebagai imam shalat dan pengajar agama kecuali khatib anom, jabatan wakil penghulu yang berfungsi menggantikan jabatan penghulu suatu saat bila penghulu wafat.
Oleh pihak Kraton, para abdi dalem Kepenguluan ini diberi tanah `gaduhan'. Semacam tanah tinggal dinas yang berlokasi di dekat Masjid Agung. Oleh Kraton, tanah perkampungan para abdi dalem putihan dan para pegawai keagamaan didekat masjid inilah yang kemudian dijuluki dengan sebutan pakauman, diambil dari kata Qoimuddin (orang yang menjalankan agama). Belakangan, nama pakauman lebih dikenal dengan sebutan Kauman.
Para khatib itu kemudian mendirikan pusat kegiatan pendidikan keagamaan bernama langgar (mushola). Setiap khatib memiliki satu langgar. Langgar para khatib inilah yang menyelenggarakan berbagai bentuk keagamaan seperti pengajian.perkawinan: <196!> ♂ Raden Tumenggung Mertonegoro / Jayapermadi [Danurejo II]
R.A Impun/R.A. Basah Mertonegoro
Raden Ayu Impun adalah puteri Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Retnodewati. Ketika perang Diponegoro mulai pecah, Raden Ayu Impun dinikahkan dengan kakak Sentot Prawiro Dirjo yang bernama Raden Abdul Kamil Alibasyah yang juga merupakan pejuang Pangeran Diponegoro yang bertugas bergerilya di wilayah Barat Sungai Progo. Raden Abdul Kamil Alibasyah kemudian diberikan gelar Notodirjo dan diberikan kedudukan setingkat tumenggung dan biasa dipanggil raden Basah.
Setelah Raden Abdul Kamil tewas dalam peperangan, kemudian dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro atau Jayapermadi anak laki-laki tertua Patih Danurejo II sehingga terkenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro.perkawinan: <231!> ♂ Raden Mas Joyokusumo [Hb.2.30.1] [Hamengku Buwono II] d. 30 September 1829
R.A. Joyokusumo
Nama sebenarnya tidak diketahui dan tidak pernah tersurat dalam Babad Diponegoro. R.M.Joyokusumo adalah anak Raden Ngabehi Joyokusumo, paman Pangeran Diponegoro. Raden Ngabehi Joyokusumo adalah salah satu pengatur strategi perang. Baik Raden Ngabehi Joyokusumo maupun Raden Mas Joyokusumo tewas di tangan Belanda pada pertempuran di tepi sungai Bogowonto di dusun Sengir.
Atas permintaan Pangeran Diponegoro melalui surat yang ditulis bulan Mei 1830 di Batavia, R.A Joyokusumo dinikahkan dengan Basah Gondokusumo, adik Basah Mertonegoro. Surat tersebut ditujukan kepada Diponegoro Anom. Dalam surat tersebut Pangeran Diponegoro menyarankan apabila ada masalah agar mengadu pada Kapten Johan Jacob Roeps. Dalam surat tersebut Pangeran Diponegoro menuliskan bahwa dia menaruh kepercayaan besar pada kapten Roeps berkaitan dengan nasib anak-anaknya.
R.A Munteng/R.A Gusti/RA. Siti Fadilah/Nyai Musa
Dalam sebuah penyergapan Belanda di Kreteg daerah Kedu Utara Ibu Pangeran Diponegoro tertangkap bersama RA. Gusti. Mereka terpisah dari rombongan ketika perang di Bagelen. Kedunya lalu diserahkan ke Kasultanan Yogyakarta dan menjalani kehidupan di kraton. Dalam perjalanan terpisah dari rombongan itu mereka mendapat bantuan dari Kyai Setrodrono ayah Kyai Musa seorang ulama di wilayah Merden yang masih keturunan dari keluarga besar Danurejan.perkawinan: <825!> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII / [Hb.6.18.3] (Raden Mas Subari) [Hamengku Buwono VI] b. 3 September 1882, Yogyakarta
perkawinan: <172> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Prawirodirjo [?]
perkawinan: <178> ♀ Raden Ayu Layung Asmoro [Ga.Hb.7.31.1] [?]
perkawinan: <179> ♀ Raden Ayu Layung Puspito [Ga.Hb.7.31.2] [?]
perkawinan: <180> ♀ Raden Ayu Layung Sekar [Ga.Hb.7.31.3] [?]
7
== ASAL-USUL ==
RADEN NGABEHI DIPOMENGGOLO alias KH. SAFAWI, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1833 putra ke 1 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai 1 orang anak : 1. RM. KH. USMAN BAKHSAN Dipomenggolo
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak) #0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipamenggala #3. RM. Ngabehi Dipamenggala
KETURUNAN
#1. RM. NGABEHI DIPAMENGGALA (C-1833) 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebakpasar, C-1854)><Nyi Rd Kuraesin (Cucu RA. Mangkuwidjaja, Bupati Bogor tahun 1865-1870) 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877) 1.1.1.1. RA.DJUHRO 1.1.1.2. RA.DJUHRIAH 1.1.1.3. RM.H. RAIS 1.1.1.4. RA.Hj. ECIN 1.1.1.5. RA.Hj. HALIMAH 1.1.1.6. RM. ACEP USMAN 1.1.1.7. RA. DJUBAEDAH 1.1.1.8. RM. HASBULLOH 1.1.1.9. RA.Hj. SITI KHODIJAH 1.1.1.10. RA.Hj. SITI MUKMINAH 1.1.1.11. RM.H. MAHBUB 1.1.1.12. RA.Hj. NENENG MAEMUNAH 1.1.1.13. RA.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng) 1.1.1.14. RM.IYAN RIDWAN 1.1.1.15. RM. IBRAHIM 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878) 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910 1.1.2.1.1. R. ENDUS 1.1.2.1.2. R. SALMAH (Encal) 1.1.2.1.2.1. R. HARUN AL-RASYID 1.1.2.1.3. R. SUHANDA (Kang AA) 1.1.2.1.4. R. ARSYAD (Kang OO) 1.1.2.1.5. R. SUKARNA (Kang UU) 1.1.2.1.5.1. R. ENEN 1.1.2.1.5.2. R. DIDING 1.1.2.1.5.3. R. ENTIN 1.1.2.1.6. R. SUKARNI (Kang Ani) 1.1.2.1.6.1. R. SUKANTA 1.1.2.1.7. R. MUTHOLIB (Toto) 1.1.2.1.7.1. R. DEDI NURTHOLIB (Nunuy) 1.1.2.1.7.1. R. IIS 1.1.2.1.7.1. R. DEDE 1.1.2.2. R.H. ALI 1.1.2.2.1. R.H. JUMENA 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung) 1.1.2.3.1. R. SASTRA (Caca) 1.1.2.3.2. R. ENOH 1.1.2.3.3. R.H DIDIH 1.1.2.3.4. R. CICIH 1.1.2.3.5. R. SUPARTI 1.1.2.3.5.1. Kang Eddy 1.1.2.3.5.2. R.Pepen Supendi 1.1.2.3.5.3. R.Neni 1.1.2.3.5.4. R.Yeti 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti) 1.1.2.4.1. R. DJAKA 1.1.2.4.1.1. R. Abdul Kadir (Oding) 1.1.2.4.2. R. ANONG KRAMAATMAJA <menikah dengan> MA. SALMUN RAKYADIKARIA (Pujangga Sunda, asal Banten) 1.1.2.4.2.1. R. Jatayu Wiyati Salmun (Uyu) 1.1.2.5.2.1.1. R. Riefa Sayyidina 1.1.2.5.2.1.2. R. Yutimma Dewiaty 1.1.2.4.2.2. R. Yeti 1.1.2.4.2.3. R. Parti 1.1.2.4.2.4. R. Iwan 1.1.2.4.2.5. R. Aas 1.1.2.4.2.6. R. Neni 1.1.2.4.2.7. R. Hedi 1.1.2.4.2.8. R. Ented 1.1.2.4.3. R.Hj. HALIMAH (Emah) 1.1.2.4.4. R.Hj. EMPIN (Rapi'ah) 1.1.2.4.5. R.H. DJAJUSMAN (Jayus) 1.1.2.4.6. R. SOLEH 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG 1.1.2.5.1. R. NANI (Eneng) 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911) 1.1.2.6.1. R. JATNIKA JAYAKUSUMAH (Enjat) 1.1.2.6.1.1. R. EDI WAHYUDI 1.1.2.6.1.1.1. R. YUDHA 1.1.2.6.1.1.2. R. ENENG 1.1.2.6.1.1.3. R. TATI 1.1.2.6.1.1.4. Rb. MOCH HAPI 1.1.2.6.2. R. LUKMAN JAYAKUSUMAH (Maman) 1.1.2.6.3. R. NYIMAS TUTI TRISNAWATI JAYAKUSUMAH (Enis) 1.1.2.6.3.1. R. PEPEN RUSPENDI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.1. Rb. YANA RUBIYANA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.2. Rb. AGUSTANJAYA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.3. Rr. NURWINA SEPTI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.4. Rr. RIZKI MELINA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2. R. ENDANG SUHENDAR DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.1. Rr. INESIA VIOLINA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.2. Rb. M. HARPA RAMADHAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.3. Rb. M. GITAR RAMADHAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.3. R. SUPRIATINI DIPONEGORO (Tintin) 1.1.2.6.3.3.1. R. EKA SANDRA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.3.2. R. AIDA NANDARA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4. R. LILIH SURYYA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.1. Rb. RANDY ADITYANA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.2. Rr. ALIN NURGIANTY DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.3. Rr. DITA TRIJAYANTI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.4. Rb. IVAN WIRANATA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5. R. MARYATI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.1. Rb. NIKI ADRIAN PURNAMA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.2. Rr. RANTI DWILESTARI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.3. Rb. JODI TRIADI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.4. Rr. GITA SEPTIA PERMATA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.5. Rr. VERDA FAUZIYAH RACHMAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.6. R. DENI SUPRAMANA DIPONEGORO(Wafat 2012) 1.1.2.6.4. R.H. SURYA KUSUMAH (Cecep) 1.1.2.6.4.1. R. Hedi Hadiwinata 1.1.2.6.4.1.1. Rr. Anisa Nurditasari 1.1.2.6.4.1.2. Rb. Muhammad Arditya Hadiwinata 1.1.2.6.4.2. R. Henny Handayani 1.1.2.6.4.1.1. Rr. Afifah Rachmalia 1.1.2.6.4.1.2. Rr. Nabila RAchmani 1.1.2.6.4.1.3. Rb. M. Rizki Asidiq 1.1.2.6.4.3. R. Adi Karyadi 1.1.2.6.4.1.1. Rb. Moh. Raghit Putra Karyadi 1.1.2.6.4.1.2. Rb. Moh. Rehan Putra Karyadi 1.1.2.6.5. R. HARJA SUTISNA JAYAKUSUMAH (Entis) 1.1.2.6.5.1. R. Toto 1.1.2.6.5.1.1. Putra Toto ke 1 1.1.2.6.5.1.2. Putra Toto ke 2 1.1.2.6.5.2. R. Yayat 1.1.2.6.5.2.1. Putra Yayat ke 1 1.1.2.6.5.2.2. Putra Yayat ke 2 1.1.2.6.5.3. R. Tina Herlina (Nina) 1.1.2.6.5.3.1. Putra Nina ke 1 1.1.2.6.5.3.2. Putra Nina ke 2 1.1.2.6.5.4. R. Kurnia 1.1.2.6.5.4.1. Putra Kurnia ke 1 1.1.2.6.5.4.2. Putra kurnia ke 2 1.1.2.6.5.5. R. Hira 1.1.2.6.6. R. MUSLIHAT JAYAKUSUMAH (Emung) 1.1.2.6.6.1. R. Bambang Meirano 1.1.2.6.6.1.1. Rb. M. Arul 1.1.2.6.6.1.2. Rr. Luthfiah (Lulut) 1.1.2.6.6.2. R. Irwan Junarsa 1.1.2.6.6.3. R. Nur Endah Noviani (Nuri) 1.1.2.6.6.3.1. Rb. Sihabuddin 1.1.2.6.6.3.2. Rb. Fachri 1.1.2.6.7. R. MULYADI JAYAKUSUMAH (Yadi) 1.1.2.6.7.1. R. Dian Mardiana 1.1.2.6.7.1.1. Rr. Sifa 1.1.2.6.7.1.2. Rb. Defa 1.1.2.6.7.2. R. Fitria Yulianti 1.1.2.6.7.2.1. Rr. Dea 1.1.2.6.7.2.2. Rb. Yofa 1.1.2.6.7.2.3. Rr. Deean Coco 1.1.2.6.7.3. R. Mulya Saputra 1.1.2.6.7.3.1. Rb. Axel Alvito Meola 1.1.2.6.8. R. DODY SUYATNA JAYAKUSUMAH (Dodot/Dody) 1.1.2.6.8.1. R. Irene Anggraeni 1.1.2.6.8.1.1. Rb. Daffa Adillah 1.1.2.6.8.1.2. Rr. Syahla Dheandra Zahran 1.1.2.6.8.1.3. Rr. Alma Hiraku Pramuditha 1.1.2.6.8.2. R. Rangga Permana Kusumah (Angga) 1.1.2.6.8.2.1. Putra Angga Ke 1 1.1.2.6.9. R. RIDWAN JAYAKUSUMAH (Wawang) 1.1.2.6.9.1. R. Bahraini Riza 1.1.2.6.9.1.1. Rr. Bahraini Putri 1.1.2.6.9.1.2. Rb. Bahraini putra 1.1.2.6.9.2. R. Budhi Nusantara 1.1.2.6.9.2.1. Rb. Budhi Putra 1.1.2.6.9.2.2. Budhi Putra ke 2 1.1.2.6.9.3. R. Bella Kusnandar 1.1.2.6.9.3.1. Rb. Nizar Maulana 1.1.2.6.9.3.2. Rb. Aqeela 1.1.2.6.9.3.3. Rr. Bella Putri 1.1.2.6.9.4. R. Rina Kusmawati 1.1.2.6.9.4.1. Putra ke 1 Rina 1.1.2.6.9.4.2. Putra ke 2 Rina 1.1.2.6.10. R. RAFIUDIN JAYAKUSUMAH (Dingding, tidak berputra) 1.1.2.6.11. R. SUDRAJAT JAYAKUSUMAH (Jajat) 1.1.2.6.11.1. Rr. Rina Oktaviani 1.1.2.6.11.2. Rr. Debi Aprianti 1.1.2.6.11.3. Rb. Heri (tidak berputra) 1.1.2.6.11.4. R. Hari Sephandri (AO) 1.1.2.6.11.3.1. Putra Ari ke 1
1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata) 1.1.2.7.1. R.Hj. NUNUNG NURJUARIAH 1.1.2.7.2. R.Hj. NINIH NURJANAH 1.1.2.7.3. R. YAYAH 1.1.2.7.4. R. ENDANG 1.1.2.7.5. R. ODIN 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng) 1.1.2.8.1. R.Hj. KURNIATI (Iis) <menikah dengan> DR.Ir.H. FACHRUDDIN (Rektor UNHAS) 1.1.2.8.2. R. KASWATI (Kotih) 1.1.2.8.2.1. Drs. R. Deddi Fardillah 1.1.2.8.2.2. R. Finny Redjeki, SE, MM 1.1.2.8.2.3. R. Arif Budiman
1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF 1.1.2.9.1. R. MEMET SAPUTRA (Ahmad) 1.1.2.9.2. R. YEYET RUSMIATI
1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati) 1.1.2.10.1. R. HEDI SUMARDI 1.1.2.10.2. R. EMBED SUHARLI 1.1.2.10.3. R. SOPIAH (Iyong)
1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN 1.1.2.11.1. R. HAYATI (Titi)
1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879) 1.1.3.1. R. Bustomi 1.1.3.2. R. Ismail 1.1.3.3. R. Mudjitaba 1.1.3.4. Nyi R. Suaebah 1.1.3.5. Nyi R. Maemunah 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880 1.1.4.1. RH. Drs. Ilyas Dajir (Ciawi-Seuseupan) 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884 1.1.6.1. ......................... 1.1.6.2. R. Sholeh 1.1.6.3. R. Sofyan Ats Sauri 1.1.6.3.1. R. Ahmad Qohar 1.1.6.4. R. Arifin== PEKERJAAN ==
ASAL-USUL
RADEN MAS HARJO DIPOMENGGOLO alias AYAH KULON, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1834 putra ke 2 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai orang anak : 1. RM. H. Brodjomenggolo 2. RAy. Hj. Gondomirah 3. RM. H. Abbas 4. RM. H. Abdurrahman Adi Menggolo 5. RM. H. Muhamad Hasan
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak) #0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Harjo Dipomenggolo
KETURUNAN
#2. RM. HARJO DIPOMENGGOLO (C-1834) 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas) 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.1.1.1. R.H. Djunaeni 2.1.1.1.2. R.H. Masca Suroatmojo 2.1.1.1.2.1. R. Suratmi 2.1.1.1.2.2. R. Sukendar 2.1.1.1.2.3. R. Sulaeman 2.1.1.1.2.4. R. Suhardi 2.1.1.1.2.5. R. Sudarjat 2.1.1.1.2.6. R. Suheni 2.1.1.1.2.7. R. Supiati 2.1.1.1.2.8. R. Surachman 2.1.1.2. R.H. UNENG SURIODIRDJO (Ciomas) 2.1.1.2.1. R.H. Dadang Pandji 2.1.1.2.1.1. R. Sudjatna 2.1.1.2.1.1.1. R. Enda Juanda 2.1.1.2.1.1.1.1. R. Najla Ramadhani 2.1.1.2.1.1.2. R. Irma Resmiati 2.1.1.2.1.1.3. R. Dudi Kurnia 2.1.1.2.1.1.4. R. Adi Purnama 2.1.1.2.1.2. R. Juwariyah 2.1.1.2.1.2.1. R. Denny Rusian Achmed 2.1.1.2.1.2.1.1. R. Firdha Sapta Erlina 2.1.1.2.1.2.1.2. R. Sukma Harining Cakraningrat 2.1.1.2.1.2.2. R. Ebbet Surya Subakti 2.1.1.2.1.2.2.1. R. Dewi Suryani Oktaviana 2.1.1.2.1.2.2.2. R. Endang Dewa Supana 2.1.1.2.1.2.2.3. R. Siti Zahra Subakti 2.1.1.2.1.2.3. R. Triana Jaka Lesmana 2.1.1.2.1.2.3.1. R. Syechnoor Faris Lesmana 2.1.1.2.1.2.3.2. R. Rivanny Bunga Lesmana 2.1.1.2.1.2.4. R. Tita Novita Skartika 2.1.1.2.1.2.4.1. R. Rizky Pradana 2.1.1.2.1.2.4.2. R. Reza Purnama 2.1.1.2.1.2.4.3. R. Rasyid Fadillah 2.1.1.2.1.2.5. R. Rikky Nandang Permana 2.1.1.2.1.2.5.1. R. Aidah Faizah Permana 2.1.1.2.1.2.5.2. R. Aisyah Raihanah Permana 2.1.1.2.1.2.5.3. R. Raihan Permana 2.1.1.2.1.2.6. R. Muchammad Ichwan Karunia 2.1.1.2.1.2.6.1. R. Zidane Nayadikara Karunia 2.1.1.2.1.2.6.2. R. Keysha Jasmine Karunia 2.1.1.2.1.3. R. Muhammad Hidayat 2.1.1.2.1.3.1. R. Fitri Yanti 2.1.1.2.1.3.1.1. R. Tommy Faisal 2.1.1.2.1.3.2. R. Fatmawati 2.1.1.2.1.3.2.1. R. Audry Velma Calysta 2.1.1.2.1.3.2.2. R. Zyhan Kameylia Calysta 2.1.1.2.1.3.3. R. Anah Yuliastanti 2.1.1.2.1.3.3.1. R. Lolita Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.2. R. Angreini Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.3. R. Andini Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.4. R. Kanaya Wibiyono 2.1.1.2.1.3.4. R. Sari Komalasari 2.1.1.2.1.3.5. R. Ratna Dewi 2.1.1.2.1.3.6. R. Meti Rahmawati 2.1.1.2.1.3.7. R. Meta Melisa 2.1.1.2.1.4. R. Euis Sukaesih 2.1.1.2.1.4.1. R. Endang Kosasih 2.1.1.2.1.4.1.1. RR. Vernna Nurjannah 2.1.1.2.1.4.1.2. RR. Verlasya Khayira 2.1.1.2.1.4.2. R. Dede Komariah 2.1.1.2.1.4.3. R. Agus Supriatna 2.1.1.2.1.5. R. Siti Juleha 2.1.1.2.1.5.1. R. Muhammad Effendi (alm) 2.1.1.2.1.5.2. R. Dewi Puspa Sari (alm) 2.1.1.2.1.5.3. R. Abdul Azis 2.1.1.2.1.5.3.1. R. Muhammad Rassya Pratama 2.1.1.2.1.5.3.2. R. Muhammad Faza Adzima 2.1.1.2.1.5.4. R. Suprihatini (alm) 2.1.1.2.1.5.5. R. Rahmah Rahayu 2.1.1.2.1.5.4.1. R. Muhammad Azzam Fahrezi 2.1.1.2.1.5.6. R. Arif Bahtiar 2.1.1.2.1.6. R. Muhammad Taufik 2.1.1.2.1.6.1. R. Dinda Nur Ayu Lestari 2.1.1.2.1.6.1.1. RR. Nayla Syakila 2.1.1.2.1.6.2. R. Adietya Dwi Cahyadi 2.1.1.2.1.6.2.1. RR. Audrey Izzatunnisa Cahyani 2.1.1.2.1.7. R. Neneng Sukemi 2.1.1.2.1.7.1. R. Endang Fadillah 2.1.1.2.1.7.2. R. Lina Aprilia 2.1.1.2.1.8. R. Muhammad Lukman 2.1.1.2.1.8.1. R. Leni Kurnia Sari 2.1.1.2.1.9. R. Indah Ratnawati 2.1.1.2.1.10.R. Dedeh Juwita 2.1.1.2.1.11.R. Nur Aini Oktavia 2.1.1.2.1.12.R. Dedi Priatna 2.1.1.2.1.12.1.R. Muhammad Axelle 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO (Ciomas) 2.1.1.3.1. R. H. Ading 2.1.1.3.2. R. Djohariah 2.1.1.3.3. R. H. Djajasukarta 2.1.1.3.4. R. Djumirah 2.1.1.3.5. R. Djula 2.1.1.3.6. R. Nurbaja 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO 2.1.1.4.1. R. Eem Suhaimi <menikah dgn 2.1.1.2.1.1. R. Sudjatna 2.1.1.4.2. R. Endjuh 2.1.1.4.3. R. H. MUH Sanusi 2.1.1.4.4. R. H. Sukardi 2.1.1.4.5. R. Enah 2.1.1.4.6. R. Endah 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.1.1. R. Djamhari Djunaedi Mantarena 2.1.2.1.1.1 R. Endjoh Danumihardja 2.1.2.1.1.1.1. R. Lukman Danumihardja 2.1.2.1.1.1.1.1. R. Mohamad Aliyudin Danumihardja (Yudhi) 2.1.2.1.1.2 R. Ahmad Sanusi 2.1.2.1.1.3 R. Ningrum 2.1.2.1.1.4 R. Rukminah 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas) 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.3.1. R. Narijah 2.1.2.3.2. R. Hawirodja 2.1.2.3.3. R. Ningrat 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI ADINATA (Ciomas) 2.1.3.1.1. R. Muhammad ALI 2.1.3.1.2. R. Muhammad Soleh 2.1.3.1.3. R. Muhammad Sidik 2.1.3.1.4. R. Muhammad As'ari 2.1.3.1.4.1. R.Anwar Basari 2.1.3.1.4.1.1. R. Hamdhani Zul Faqor 2.1.3.1.5. R. Romlah 2.1.3.1.6. R. Djuhro 2.1.3.1.7. R. Aisyah 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.3.2.1. R. Muchtar 2.1.3.2.2. R. Syafaat 2.1.3.2.3. R. Munajat 2.1.3.2.4. R. Hasanah 2.1.3.2.5. R. Abdullah 2.1.3.2.6. R. Habibah 2.1.3.2.7. R. Jajaria 2.1.3.2.8. R. Jenab 2.1.3.2.9. R. Sidah 2.1.3.2.10.R. Sarah 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji) 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji) 2.1.4.1.1. NYI Rd.UHA (loji) 2.1.4.1.2. NYI Rd.Anung 2.1.4.1.3. NYI Rd.Atjih
2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH <menikah dgn> Rd. SURYADIMENGGALA (KRT. Buitenzorg, Trah Sumedang) 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA 2.2.1.1. R.H. KURAESIN 2.2.1.1.1. R. Mama Jaya 2.2.1.1.2. R. Muhammad Tohir 2.2.1.1.3. NYI R. Ratnasari 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA 2.2.1.2.1. R. Wiradikusumah 2.2.1.2.2. R. Moh. Toha 2.2.1.2.2.1. NYI R. Soleha 2.2.1.2.2.2. R. Musa 2.2.1.2.3. R. Achmad 2.2.1.2.3.1. NYI R. Sukarsih 2.2.1.2.3.2. R. Gunawan 2.2.1.2.3.3. R. Harun 2.2.1.2.3.4. NYI R. Supiah 2.2.1.2.3.5. NYI R. Siti Entit 2.2.1.2.3.6. R. Jamil 2.2.1.2.3.7. NYI R. Sumini 2.2.1.2.4. R. Muh Agus 2.2.1.2.4.1. NYI R. Juhro 2.2.1.2.5. R. Hasan 2.2.1.2.5.1. R. Amirsyah 2.2.1.2.5.2. NYI R. Harsinah 2.2.1.2.5.3. NYI R. Jumiati 2.2.1.2.5.4. R. Jaenalludin 2.2.1.2.6. NYI R. Julaeha 2.2.1.2.7. NYI R. Salmah 2.2.1.2.8. NYI R. Mari 2.2.1.2.9. NYI R. Juhro 2.2.1.2.10.NYI R. Hadijah 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas) 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT 2.2.6.1. R.H. PANJI 2.2.6.2. R.H. PANDU 2.2.6.3. R.H. HASAN 2.2.6.4. R.H. KURAESIN 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Dr. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional 2.2.7.1.1. R. Mayjen (pur) Roeshan Roesli 2.2.7.1.1.1. R. dr Ratwini Roesli, SpTHT 2.2.7.1.1.2. R. dr Utami Roesli, SpA, Ibclc, Fabm 2.2.7.1.1.3. R. Prof. Dr. dr Rully MA Roesli, SpPD.KGH 2.2.7.1.1.4. R. Prof. Dr. Harry Roesli \ Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng) 2.2.9.1.1. Nyi Rd. Halimah 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi) 2.2.9.2.1. Rd.H.A.B. Yogapranatha (Alm) 2.2.9.2.2. Rd. Syafei (Alm) 2.2.9.2.3. Nyi Rd. Tuti Guritna 2.2.9.2.3.1. Rd. H. Adang Yusuf Martadiredja <menikah dgn> 2.2.9.3.1.1. Nyi Rd. Mundiyah 2.2.9.2.3.1.1. Rd. Damon Yusuf Martadiredja 2.2.9.2.3.1.1.1. Rd. M.Yasin Vahreza Yusuf Martadiredja (Reza Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.2. Rd. M.Yasin Vahrezi Yusuf Martadiredja (Rezi Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.3. Rd. Nur Illahi Vahriva Mudaim (Riva Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.4. Rd. Nur Husna Dewinda Fatmah (Winda Fatmah Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.5. Rd. Nazwa Mustika Negara (Ica Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.2. Rd. Gunawan Yusuf Martadiredja 2.2.9.2.3.1.2.1. Rd. Rahmania Purwagunifa 2.2.9.2.3.1.2.2. Rd. Fathan Adi Gunawan 2.2.9.2.3.1.3. Rd. Ade Nine Siti Mariam ( Wafat Saat Bayi ) 2.2.9.2.3.1.4. Rd. Nanang Firman Safari Yusuf Martadiredja SP,M.Si 2.2.9.2.3.1.4.1. Rd. Nanang Junior 2.2.9.2.3.2. Rd. Syarif Kusnadi Jamal Martadiredja 2.2.9.2.3.2.1. Rd. Tetet Dian Indria Rahayu (wafat th 2002) 2.2.9.2.3.2.1. Rd. Syamil Hilminiandra Budiman 2.2.9. .3.2.2. Rd. Rully Ramdhani Kusumah 2.2.9.2.3.2.2.1. Rd. Sekar Rahayu Kusumah 2.2.9.2.3.2.3. Rd. Kusnadi Wisnu Yogasuwara (Wisnu) 2.2.9.2.3.3. Nyi.Rd. Yuliani Wahyu Martadiredja 2.2.9.2.3.3.1. Rd. Julkifli Rustita ( Wafat th 2012) 2.2.9.2.3.4. Nyi Rd. Mimi Wahyu Martadiredja (Wafat Bayi) 2.2.9.2.4. Rd. Hanafi (Alm) 2.2.9.2.5. Rd. Ali M. Ali Widyapranatha 2.2.9.2.6. Nyi Rd. Neneng Kulsum 2.2.9.2.7. Nyi Rd. Hj. Iyoh Roswati 2.2.9.2.8. Rd. U. Effendi Madyaprana 2.2.9.2.9. Nyi Rd. Dewi Sarah 2.2.9.2.9.1. Rd. Teddy Sao Wirakusumah 2.2.9.2.9.1.1. Rd. Devita Rizqi Yulianty 2.2.9.2.9.1.2. Rd. Dwi Dorozatun Samaniaty Ramadhona, S.I.Kom 2.2.9.2.10.Rd. H. Usman Satiaprana (Alm) 2.2.9.2.11.Rd. Enen Sutresna Yogaprana 2.2.9.2.11.1. Rd. Narayana Yoga Pertama 2.2.9.2.11.1.1. NR. Laras (Almh) 2.2.9.2.11.1.2. NR. NR. Ermalia Nuryanti 2.2.9.2.11.1.3. Rd. Moch, Riyan Chandra (Alm) 2.2.9.2.11.1.4. NR. Elma Nathania Yalanda 2.2.9.2.11.2. Rd. Yadi Indra Mulyadi Yogaprana 2.2.9.2.11.2.1. Rd. Zulqiar Ramdan 2.2.9.2.11.3. NR. Rengganis Kurniawati Yogaprana 2.2.9.2.11.3.1. NR. Fadhilah Istiqomah Yogandena 2.2.9.2.11.3.2. Rd. Firza Finaldien Yogandena (Alm) 2.2.9.2.11.3.3. Rd. Farly Nugraha Yogandena 2.2.9.2.11.4. NR. Popi Yuliawati Yogaprana 2.2.9.2.11.5. Rd. Tedi Wibisana Yogaprana 2.2.9.2.11.6. Rd. Ruhyat Apandi Yogaprana 2.2.9.2.11.6.1. NR. Keyla Azka Kireina 2.2.9.2.11.6.2. Rd. Fadlan Danish Ryogaprana 2.2.9.2.11.7. Rd. Rimau Gumelar Yogaprana 2.2.9.2.11.7.1. Rd. Aldebaran Nabhan Pradipta 2.2.9.2.11.8. Rd. Banyu Dewanata Yogaprana 2.2.9.2.11.9. Rd. Surya Tirta Bayu Yogaprana 2.2.9.2.11.10.Rd. Purnama Alam Yogaprana 2.2.9.3. Rd. Tatang Muhtar (Ciluar) 2.2.9.3.1. Nyi Rd. Siti Aminah 2.2.9.3.1.1. Nyi Rd. Mundiyah 2.2.9.3.1.2. R Hidayat 2.2.9.3.1.3. R Ruhiyat 2.2.9.3.1.3.1. R. Dadang Darmayadi 2.2.9.3.1.3.1.1. Nyi Rr. Sriastuty Handayani Kyla Khu'mairah 2.2.9.3.1.3.2.2. Nyi Rr. Rezky Pertiwi 2.2.9.3.1.3.2. Nyi Rd. Sriyat 2.2.9.3.1.3.2.1. Nyi Rr. Ika 2.2.9.3.1.3.2.2. R. Aldi 2.2.9.3.1.3.2.3. Nyi Rr. Fia 2.2.9.3.1.3.2.4. Nyi Rr. Linda 2.2.9.3.1.3.3. Nyi Rd. Rodiah 2.2.9.3.1.3.3.1. R. Yudi 2.2.9.3.1.3.3.2. Nyi Rr. Ririn 2.2.9.3.1.3.3.3. R. LILI 2.2.9.3.1.3.4. R. Darmawan 2.2.9.3.1.3.4.1. R. Ekal 2.2.9.3.1.3.4.2. R. Zirul 2.2.9.3.2. Nyi Rd. Umriyah 2.2.9.3.2.4. R. Iskandar 2.2.9.3.2.4.1. R. Asep 2.2.9.3.2.4.2. Nyi Rr. Rosi 2.2.9.3.2.4.3. R. Irfan 2.2.9.3.2.5. Nyi R. ETI 2.2.9.3.2.5.1. R. Rizki 2.2.9.3.2.5.2. R. Agung 2.2.9.3.2.6. Nyi Rd. ENI Rohaeni 2.2.9.3.2.6.1. Nyi Rr. Gita 2.2.9.3.2.6.2. Nyi Rr. Gina 2.2.9.3.2.6.3. Nyi Rr. Garnia 2.2.9.3.2.6.4. Nyi Rr. Gian 2.2.9.3.2.7. R Saleh Sudrajat 2.2.9.3.2.7.1. R. Fredi 2.2.9.3.2.7.2. ................ 2.2.9.3.2.7.3. Nyi Rr. Annisa 2.2.9.3.2.8. R. ADE 2.2.9.3.2.8.1. R. Agung 2.2.9.3.2.8.2. R. DEDE 2.2.9.3.2.8.3. Rr. Eneng
2.3. RM. H. Abas (Penghulu Ciomas) <menikah dgn> [[Person:628329|Putri Pertama H. Daeng Jarbi (putra Raja Gowa ke 32)) 2.3.1. RM. H. Ardja 2.3.2. RM. H. Suminta (Malik) 2.3.3. RAy. Patimah Ibunya Mayjen Ishaq Djuarsa 2.3.4. RAy. Fatmah <menikah dgn> 1.1.1. RM. H. Moch. Rana Menggala 2.3.5. RM. Yacub 2.3.6. RAy. Siti Mariyam (loji) 2.3.6.1. Drs. H. R. Mansyur (Mama) 2.3.6.1.1. HR. Syarif Arifin 2.3.6.1.2. R. Surachman 2.3.6.1.3. R. Suherman S 2.3.6.1.3.1. R. ADITYA TIRTA WIGUNA 2.3.6.1.3.2. R. INDAH PRANASARI HERNANINGTIAS 2.3.6.1.4. R. Suratmi 2.3.6.1.4.1. R. AGUNG RAHMADI 2.3.6.1.4.2. R. MAHENDRA 2.3.6.1.4.3. R. KRESNA HADIWIJAYA 2.3.6.1.4.4. R. RETNO A. WULANDARI 2.3.6.1.5. R. Suparman 2.3.6.1.5.1. R. AYU 2.3.6.1.5.2. R. PUSPA 2.3.6.1.5.3. R. ARIEF 2.3.6.1.6. R. Sudirman 2.3.6.1.6.1. R. RACHMAT C. WINATA 2.3.6.1.6.2. R. DODDY A. KUSUMAH 2.3.6.1.6.3. R. DICKY SAPUTRA 2.3.6.1.6.4. R. FANNY SARASWATI 2.3.6.1.7. R. Suhartini 2.3.6.1.7.1. R. ASTRI FITRIA ASTUTI S. 2.3.6.1.7.2. R. MARAHDOMU S. 2.3.6.1.7.3. R. MARAHDIKA S. 2.3.6.1.7.4. R. PUTRI SARASWATI 2.3.6.1.7.5. R. YUSUF IBRAHIM 2.3.6.2. H. R. Sanusi (Momo) 2.3.6.2.1. R. Juwita 2.3.6.2.2. R. Rosita 2.3.6.2.3. ............... 2.3.6.3. Drs. HR. Entjep Wahab 2.3.6.3.1. .................
2.4. RM. H. Abdulrachman ADI Menggolo (Camat Ciomas) 2.4.1. R.Ay. Sukiamah
2.5. RM. H. Muhammad Hasan== PEKERJAAN ==
ASAL-USUL
RADEN MAS HARJO DIPOTJOKRO MENGGOLO alias PANGERAN GRINGSING I, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1835 putra ke 3 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai orang anak : 1. RM. Harjo Dipotjokro Hadimenggolo
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
#0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Harjo Dipotjokro Menggolo
KETURUNAN
#3. RM. HARJO DIPOMENGGOLO (PANGERAN GRINGSING I) 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO (PANGERAN GRINGSING II) 3.1.1. RM.HARJODIPO HADIKUSUMA (PANGERAN GRINGSING III)
3.1.1.1. R.DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO (Eyang Hertog) 3.1.1.1.1. R.Ngt. SRI DEWI Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1. R.Wisnu Wibowo Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1.1. R.Ngt. Kartika Ishianan Wisnu Wardhani Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1.2. Rb.Nafi Wianditra Hafri Nugraha Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.2. R.Krisna Putra Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.1. Rb.Satrio Bagus Eka Putra Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.2. Rb.Bimo Bagaskoro Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.3. Rr.Aisya Rahmania Putri Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.3. R.Ngt. Dewi Pancawati Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.1. Rb.Hade Pratama Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.2. Rr.Alya Nismara Cayadewi Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.3. Rb.Muhammad Ayman Arshq Ramadhan Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.2. R.Heno Erlangga Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.1. R.Wibowo Kusumo Winoto Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.2. R.Ngt. Retno Wulandari Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.3. R.Ngt. Kustini Kusumo Wardhani Diponegoro, S.Sn (Karanganyar) 3.1.1.1.2.4. R.Putra Wisnu Wardhana Diponegoro (Karanganyar) 3.1.1.1.2.5. R.Bayu Giri Prakosa Diponegoro, SE. MSi (Karanganyar)
3.1.1.1.3. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.1. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.2. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.3. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.4. R. Ngt. Gusti Laksmi Mahadewi Sri Diponegoro 3.1.1.1.5. R. Ngt. Gusti Maya Brahma Diponegoro 3.1.1.1.6. R. Nalendro Wibowo Diponegoro 3.1.1.1.7. R. Ngt. Dwi Wahyuni Kusuma Wardhani Diponegoro 3.1.1.1.7.1. Rb. Supratama Dwipa Diponegoro 3.1.1.1.7.2. Rb. Gusti Atmojo Suryo Menggolo Diponegoro 3.1.1.1.7.3. Rr. Ambar Rukmini Diponegoro
3.1.1.1.8. R. Putra Kusuma Wardhana Diponegoro 3.1.1.1.9. R. Kesuma Hendra Putra Diponegoro3.1.1.1.10.R. Ngt. Putri Laksmini Murni Diponegoro
ASAL-USUL
RADEN MAS SAHID ANKRIH lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1835 putra ke 4 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATIMAH (asli Bogor) dikaruniai 3 orang anak : 1. RM. ASMINI 2. RM. IDRIS 3. RM. ONDUNG
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
#0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Sahid Ankrih
KETURUNAN
#4. RM. SAHID ANKRIH 4.1. RM. ASMINI 4.1.1. RM. ASMININ 4.1.1.1. R. Abdul Latif 4.1.1.1.1. R. Komarudin 4.1.1.1.1.1. R. Muhammad 4.1.1.1.1.2. R. Aah Mafahir 4.1.1.1.1.3. R.Ust. Abdul Wafa 4.1.1.1.1.4. R. Ahmad Hujatullah 4.1.1.1.1.5. R. Euis Nurhayati 4.1.1.1.1.6. R. Bunyamin 4.1.1.1.1.7. R. Nikmatullah 4.1.1.2. R. Armani 4.1.1.2.1. R. AL. KH. Darma 4.1.1.2.1.1. R. KH. Maksum 4.1.1.3. R. Jenab 4.1.1.4. R. Murnas 4.1.1.5. R. Abdurrohim 4.1.2.6. R. Abdurrohman 4.1.2. R. Mali 4.1.3. RM. MINAU 4.1.4. RM. IKING 4.1.5. NYIMAS RAy. UMMI
4.2. RM. IDRIS4.3. RM. ONDUNG
perkawinan: <547!> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi [Hb.6.11] (Gusti Pangeran Haryo Hadikusumo) [Hamengku Buwono VI] b. 30 November 1848 d. 26 Maret 1917
perkawinan: <521!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII / Gusti Raden Mas Murtejo [Hb.6.1] (Sinuhun Behi) [Hamengku Buwono VI] b. 4 Februari 1839 d. 30 Desember 1921, Yogyakarta
perceraian: <521!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII / Gusti Raden Mas Murtejo [Hb.6.1] (Sinuhun Behi) [Hamengku Buwono VI] b. 4 Februari 1839 d. 30 Desember 1921
perkawinan: <184> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Mas ? ([Gp.Hb.7.2], Joyodipuro) [?] d. 1892
perkawinan: <185> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnojuwito ? (Ga.Hb.7.6) [?]
perkawinan: <194!> ♀ 2. Gusti Kanjeng Ratu Kencono II [Gp.Hb.7.3] (Bendoro Raden Ayu Ratna Sri Wulan) [Hamengku Buwono II]
perkawinan: <186> ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnaningsih ? (Ga.Hb.7.1) [?]
perkawinan: <187> ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnaningdia ? ([Ga.Hb.7.2]) [?]
perkawinan: <188> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnohadi ? (Ga.Hb.7.3) [?]
perkawinan: <189> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnodewati [Ga.Hb.7.5] [?]
perkawinan: <190> ♀ Bendoro Raden Ayu Rukmidiningdia [Ga.Hb.8.4] [Hb.6.9.3.1] (Bendoro Raden Ayu Rukhihadiningdyah) [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <191> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnosangdiah ? ([Ga.Hb.7.4]) [?]
perkawinan: <192> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnomurcito [Ga.Hb.7.8] [?]
perkawinan: <193> ♀ Bendoro Raden Ayu Pujoretno [Ga.Hb.7.9] [?]
perkawinan: <194> ♀ Kanjeng Bendoro Raden Ayu Retnopurnomo [Ga.Hb.7.10] [?]
perkawinan: <195> ♀ Bendoro Mas Ayu Retnojumanten [Ga.Hb.7.11] [?]
perkawinan: <196> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnodewati [Ga.Hb.7.5] [?]
perkawinan: <197> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnomurcito [Ga.Hb.7.8] [?]
perkawinan: <879!> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo [Ga.Hb.7.13] [Danurejo] d. 30 Desember 1931
perkawinan: <198> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewo Retno [Ga.Hb.7.7] [?]
perkawinan: <199> ♀ Raden Ajeng Centhung [Pl.Hb.7.1] [?]
perkawinan: <200> ♀ Raden Roro Sumodirejo [Pl.Hb.7.2] [?]
perkawinan: <201> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnoliringhasmoro [Ga.Hb.7.16] [?]
perkawinan: <202> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnosetyohasmoro [Ga.Hb.7.15] [?]
perkawinan: <203> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnorenggohasmoro [Ga.Hb.7.14] [?]
perkawinan: <204> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnowinardi [Ga.Hb.7.12] [?]
perkawinan: <551!> ♀ Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkubumi [Hb.5.8] / Bendoro Raden Ayu Sukinah [Gp.Hb.7.11.1] [Hamengku Buwono V] b. 1836, Yogyakarta
perceraian: <551!> ♀ Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkubumi [Hb.5.8] / Bendoro Raden Ayu Sukinah [Gp.Hb.7.11.1] [Hamengku Buwono V] b. 1836
perkawinan: <302!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencana [Gp.Hb.7.1] (Bendara Raden Ayu Retno Sriwulan) [Sentot Alibasa] , Yogyakarta
gelar: 13 Agustus 1877 - 29 Januari 1920, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping VII
perceraian: <205> ♀ Bendoro Raden Ayu Tejaningrum [?] , Yogyakarta
wafat: 30 Desember 1921, Yogyakarta

Sri Sultan Hamengkubuwana VII (Bahasa Jawa:Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir: 1839 – wafat: 1931 adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877 – 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.(Bahasa Jawa:Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir: 1839 – wafat: 1931 adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877 – 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.
Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih[rujukan?].
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota(GRM. Akhadiyat, putra HB VII nomor 14) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup.<--, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Pesanggrahan Ngambarrukma di luar keraton Yogyakarta.-->
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan ke luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukma pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri. Silsilah Anak tertua dari Sultan Hamengkubuwana VI dan istri pertamanya RAy Sepuh/GKR Sultan/GKR Agung dan diangkat anak oleh Ratu Kencana. Memiliki delapan belas istri: 1.BRA Sukina/BRA Mangku Bumi (b. 1836), putri termuda Sultan Hamengkubuwana V dengan istri keduanya BRAy Dewaningsih. 2.GKR Mas, putri dari KRT Jayadipura atau dari Pangeran Suryadiningrat. 3.GKR Kencana/GKR Wandhani, putri dari Raden 'Ali Basa 'Abdu'l-Mustafa Senthot Prawiradirja. 4.GKR Kencana II/BRAy Ratna Sri Wulan, putri dari BPH Adi Negara. 5.BRAy Ratnaningsi. 6.BRAy Ratnaningdia. 7.BRAy Ratna Adi. 8.BRAy Ratnasangdia. 9.BRAy Ratnajiwata. 10.BRAy Puryaningdia. 11.BRAy Devaratna. 12.BRAy Puspitaningdiya. 13.BRAy Srengkara Adinindia. 14.BRAy Rukmidiningdia. 15.BRAy Ratna Adiningrum. 16.BRAy Ratna Puspita. 17.BRAy Tejaningrum. 18.BRAy Ratna Mandaya, putri dari Patih Dhanuraja VI.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarrukma (sekarang Ambarrukma). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarrukma yang sekarang sudah tidak ada lagi.perkawinan: <551!> ♀ Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkubumi [Hb.5.8] / Bendoro Raden Ayu Sukinah [Gp.Hb.7.11.1] [Hamengku Buwono V] b. 1836
perkawinan: <206> ♀ Raden Ayu Adipati Mangkubumi Muda [Gp.Hb.6.11.2] [?]
perkawinan: <207> ♀ Raden Ayu Pujomurti I [Ga.Hb.6.11.1] [?]
perkawinan: <208> ♀ Raden Ayu Tejomurti I [Ga.Hb.6.11.2] [?]
perkawinan: <209> ♀ Raden Ayu Tejomurti II [Ga.Hb.6.11.3] [?]
perkawinan: <210> ♀ Raden Ayu Manjonomurti I [Ga.Hb.6.11.4] [?]
perkawinan: <211> ♀ Raden Ayu Doyomurti I [Ga.Hb.6.11.5] [?]
perkawinan: <212> ♀ Raden Ayu Panukmomurti [Ga.Hb.6.11.10] [?]
perkawinan: <213> ♀ Raden Ayu Manjonomurti II [Ga.Hb.6.11.9] [?]
perkawinan: <214> ♀ Raden Ayu Doyomurti II [Ga.Hb.6.11.8] [?]
perkawinan: <215> ♀ Raden Ayu Hadimurti [Ga.Hb.6.11.7] [?]
perkawinan: <216> ♀ Raden Ayu Pujomurti II [Ga.Hb.6.11.6] [?]
wafat: 26 Maret 1917
perkawinan: <564!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hb.6.15] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <217> ♀ Raden Ayu Panukmowati [?]
perkawinan: <218> ♀ Unggu Sihaka [Sihaka]
perkawinan: <1146!> ♀ Bendoro Raden Ajeng Kusjinah [Hb.7.2] / Raden Ayu Kanjeng Gusti [Hamengku Buwono VII]
wafat: 12 Januari 1901, Manado
Karena Gusti Muhammad masih bayi, dan untuk mengisi kekosongan tahta kesultanan maka diangkatlah Pangeran Mangkubumi (adik dari Sultan Hamengku Buwono V) menjadi Sultan Hamengku Buwono ke VI, dengan persyaratan bahwa apabila setelah dewasa Gusti Muhammad akan diangkat menjadi Sultan berikutnya. Namun ternyata Sultan lebih memilih menunjuk putranya menjadi pengganti (putra mahkota) yang nantinya akan menjadi Sultan Hamengku Buwono VII.
Hal tersebut menimbulkan kekecewaan pada keluarga Hamengku Buwono V, terutama GKR Sekar Kedaton dan GPH Suryengalogo yang kemudian memulai perlawanan kepada Sultan Hamengku Buwono VII. Kemudian GKR Sekar Kedaton dan GPH Suryengalogo diputuskan bersalah telah memberontak dan “DIPINDAHKAN DARI YOGYAKARTA KE MANADO SELEBES” dengan Surat Keputusan dari Kesultanan Yogyakarta Hamengku Buwono VII yang disampaikan melalui Dipati Danureja dan Residen Befembag berbunyi sebagai berikut: “Surat Peringatanku aku Kanjeng Narendra, yang menguasai negeri Kerajaan Ngayogya, sabdaku ini : Tuan Kanjeng Prameswari dan Kangmas Pangeran Suryengalogo berdua, aku pindahkan dari negeri Ngayogya ke negeri Menado, sebab uwa, kangmas berani membangkang (mbalelo) pada Raja. Pergi dari kota tanpa pamit, serta berbuat perang sabil; membunuh perajurit Usar, abdi Kanjeng Gupermen Belanda. Karena itu Kangmas serta Uwa Jeng Prameswari kesalahan membangkang pemerintahan Raja. Tanggal 11 April 1883.”
Dengan berdasarkan Surat Keputusan dari Kesultanan tersebut diatas GKR Sekar Kedaton dan GPH Suryengalogo beserta istri pertama berikut anaknya, dan juga semua pengikutnya, berangkat dengan diantar oleh Residen untuk naik kapal laut dari Semarang menuju Manado. Di Manado bertemu dengan saudara-saudaranya yang telah lebih dahulu dipindahkan dari Yogyakarta ke Manado, yaitu Bendoro Pangeran Haryo Hadiwijoyo (putra Sultan Hamengku Buwono VI dan saudara dari Sultan Hamengku Buwono VII) beserta istri dan anaknya, menjemput rombongan dari Jogyakarta di kapal dan mempersilahkan agar Prameswari dan GPH Suryengalogo menempati rumah mereka di kampung Pondol.
GPH Suryengalogo, 4 tahun kemudian memanggil istri keduanya yaitu Raden Ayu Dayaningsih yang ada di Yogyakarta untuk tinggal di Manado, dan setahun kemudian mempunyai 1 anak laki-laki yang elok rupanya. Tetapi Raden Ayu Dayaningsih cepat meninggalkan segala-galanya. GPH Suryengalogo akhirnya wafat di Manado pada tanggal 12 Januari 1901. Setelah beliau meninggal dunia, GKR Sekar Kedaton dibelikan rumah oleh Sultan Hamengku Buwono VII untuk ditempati oleh beliau bersama anak dan cucunya. Kanjeng Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadiwijoyo sudah dianggap sebagai anaknya sendiri oleh GKR Sekar Kedaton, apalagi setelah GPH Suryengalogo meninggal dunia.
BPH Hadiwijoyo pun akhirnya meninggal dunia pada tahun 1916, dan dimakamkan di Manado, tetapi kemudian oleh para keturunannya makamnya dipindahkan ke Hastorenggo Kotagede Yogyakarta.perkawinan: <219> ♀ Raden Ayu Adiresmi [Ga.Hb.6.20.1] [?]
perkawinan: <220> ♀ Mas Ajeng Adiwati [Ga.Hb.6.20.2] [?]
perkawinan: <221> ♀ Raden Ayu Adiningdyah [Ga.Hb.6.20.3] [?]
perkawinan: <222> ♀ Raden Ayu Adiningsih [Ga.Hb.6.20.4] [?]
perkawinan: <223> ♀ Bendoro Raden Ayu Puger Sepuh [Gp.Hb.6.20.1] ? (Bendoro Raden Ayu Puger I) [?]
perkawinan: <224> ♀ Bendoro Raden Ayu Atasasih Puger Anom [Gp.Hb.6.20.2] ? (Bendoro Raden Ayu Puger II) [?]
perkawinan: <225> ♀ Raden Ayu Adipuspito [Ga.Hb.6.20.6] [?]
perkawinan: <226> ♀ Raden Ayu Kusumaningrum [Ga.Hb.6.20.5] [?]
wafat: 28 Oktober 1929, Yogyakarta
NMR: 1859, Yogyakarta
perceraian: <271!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VI / Gusti Raden Mas Mustojo [Hb.4.12] (Sinuhun Mangkubumi) [Hamengku Buwono VI] b. 10 Agustus 1821 d. 20 Juli 1877
perkawinan: <227> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Gondokusumo [?]
perkawinan: <1171!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ayu [Hb.7.36] [Hamengku Buwono VII]
perkawinan: <1174!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Yudonegoro II [Hb.7.19] (Bendoro Raden Ayu Cokdrodiningrat) [Hamengku Buwono VII]
pekerjaan: 1 Maret 1912 - Oktober 1933, Patih Kesultanan Yogyakarta
wafat: 1933
perkawinan: <228> ♀ Djauharin Insjiah [Abdussakur] d. 1951
wafat: 15 Oktober 1959, Cimahi
perkawinan: <230> ♀ Raden Ayu Kumoroningrum [Gp.Hb.7.17.2] ? (Raden Ayu Mangkukusumo Enem) [?] b. 1883
perkawinan: <955!> ♀ Raden Ayu Mangkukusumo [Hb.5.8.5] [Gp.Hb.7.17.1] [Hb.6.11.22] (Raden Ajeng Kusdilah / Raden Ayu Mangkukusumo Sepuh) [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <231> ♀ Raden Ayu Doyoprono [Ga.Hb.7.17.1] [?]
perkawinan: <232> ♀ Raden Ayu Doyoasmoro [Ga.Hb.7.17.2] [?]
perkawinan: <233> ♀ Raden Ayu Doyohadiningsih [Ga.Hb.7.17.3] [?]
perkawinan: <234> ♀ Raden Ayu Doyohadiningdyah [Ga.Hb.7.17.4] [?]
perkawinan: <235> ♀ Raden Ayu Doyopuspito [Ga.Hb.7.17.5] [?]
perkawinan: <236> ♀ Raden Ayu Doyosumarno [Ga.Hb.7.17.6] [?]
perkawinan: <237> ♀ Raden Ayu Doyorukmi [Ga.Hb.7.17.7] [?]
perkawinan: <238> ♀ Raden Ayu Doyosuprobo [Ga.Hb.7.17.8] [?]
gelar: 16 Oktober 1906, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo
gelar: 16 Oktober 1906 - 16 Februari 1937, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII
perkawinan: <239> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Retno Puwoso [Pakubuwono X] , Yogyakarta
wafat: 16 Februari 1937, Kulon Progo
penguburan: 18 Februari 1937, Kulon Progo
Setelah bertahta Prabu Suryodilogo, bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda, mengadakan beberapa pembaruan dibidang sosial dan agraria. Kemudian ia juga mereformasi bidang pemerintahan dengan mulai menerbitkan rijksblad (semacam lembaran Negara) untuk daerah Pakualaman. Pengertian yang konservatif secara berangsur digantikan dengan pikiran yang modern dan berpandangan luas. Pada 10 Oktober 1921 pengganti Paku Alam VI menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII dan oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi pangkat Kolonel tituler. Pembaruan tidak berhenti pada tahun itu tetapi terus berlanjut, terutama dalam penyempurnaan pengelolaan anggaran keuangan. Pemerintah desa pun tidak luput dari pembenahan dan reorganisasi. Status kewarganegaraan penduduk dipertegas dengan membedakan antara warga Negara (kawulo kerajaan/kadipaten) dan bukan warga Negara (kawulo gubermen).
Disamping pemerintahan perhatian Paku Alam VII juga tertuju pada kesenian. Pagelaran wayang orang berkembang dengan baik. Dalam kesempatan menerima tamu-tamu dari luar negeri ia acapkali menjamu mereka dengan wayang orang dan beksan (tari-tarian klasik). Dalam bidang pendidikan ia mengijinkan sekolah-sekolah berdiri di daerah Adikarto (bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang) serta mengadakan sebuah lembaga beasisiwa untuk menjamin kelanjutan studi bagi mampu melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Pada 5 Januari 1909 Paku Alam VII menikah dengan GBRA Retno Puwoso, Putri dari Pakubuwono X, Sunan Surakarta. Seluruh putra-putrinya ada 7 orang. Ketika putra mahkota berkunjung ke Nederland untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Mahkota Belanda Juliana dan Pangeran Bernard, Paku Alam mangkat. Ia meninggal pada 16 Februari 1937 dan dimakamkan pada 18 Februari tahun yang sama di Girigondo Adikarto (sekarang bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).perkawinan: <240> ♀ Johanna Adriana Catharina Wilhelmina Meijer [Meijer] b. 15 September 1897
wafat: 25 November 1951, Surakarta
perkawinan: <759!> ♀ R. A. Soetartinah [Paku Alam III] b. 14 September 1890
wafat: 26 April 1959, Yogyakarta
perkawinan: <520!> ♂ Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) [Paku Alam III] b. 2 Mei 1889 d. 26 April 1959
perkawinan: <772!> ♀ Raden Ajeng Siti Pailah [Paku Alam III] b. 17 Juli 1902
perkawinan: <241> ♂ Raden Mas Jacobus Soejadi Darmosapoetro [Darmosapoetro]
wafat: 18 September 1975, Semarang
penguburan: Kompleks Gua Maria Kerep, Ambarawa, Semarang
Th. 1906 dengan rekomendasi Romo van Lith dan disetujui ibunda B.R.A. Sasraningrat masuklah Ibu Maria Soelastri ke Europeese Meisjesschool dari Ordo Suster Fransiskanes Kidul Loji Mataram, Yogyakarta.
Dari sejarah keluarga Maria Soelastri ini, dan dari lingkungan dan komunitas keluarga yang banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh pendidikan pada masa itu, tentu menjadi mudahlah bagi kita untuk dapat memahami sifat dan sikap nasionalisme Maria Soelastri yang kental, amat peduli pada rakyat kecil dan berpikiran maju. Perasaannya yang halus dan mudah tersentuh pada penderitaan kaum lemah begitu kuat, yang kemudian mendorong untuk melakukan suatu tindakan nyata bagi orang-orang di sekitarnya. Secara khusus perhatiannya tercurah pada buruh perempuan di pabrik cerutu Negresco dan pabrik gula di Yogyakarta dan usaha untuk mencarikan jalan keluar bagi kesejahteraan dan masa depan mereka. Dari kaum buruh inilah usaha peningkatan derajat dan martabat wanita pada umumnya dan wanita katolik pada khususnya dimulai.
Saat awal didirikannya Poesara Wanita Katholiek – kelak menjadi Wanita Katolik RI – bersama teman-temannya pada tanggal 26 Juni 1924, yang terpilih sebagai ketua pertamanya adalah adik Maria Soelastri, yaitu R.A. Catharina Soekirin Sasraningrat karena R.A. Maria Soelastri bertempat tinggal di Magelang. Terlihat betapa Maria Soelastri ini amat ‘sepi ing pamrih’ (tak punya pamrih atau ambisi pribadi), namun sepak terjangnya dalam membela kaum buruh dan kegigihannya itu membuatnya mendapat julukan ‘singa betina’ yang amat disegani.
Th. 1914 Ibu R.Ay. Maria Soelastri Sasraningrat dipersunting oleh Dokter Hewan R.M. Jacobus Soejadi Darmosapoetro, yang meskipun seorang pegawai negeri dalam pemerintahan tetapi berideologi politik melawan Politik Kapitalis Kolonial.
Ketika Wanita Katolik RI merayakan ulangtahunnya yang ke-50 di tahun 1974, Maria Soelastri menuliskan sebagian dari pengalaman perjuangannya, dengan antara lain menulis :
Sebagai langkah perjuangan yang pertama Ibu (Maria Soelastri – red) menemui pengusaha-pengusaha Belanda dari Pabrik Cerutu dan Pabrik Gula di Yogyakarta yang kedua-duanya juga beragama katolik. Buruh kedua pabrik ini sebagian besar terdiri dari buruh wanita. Pertemuan berlangsung dalam suasana damai. Pembicaraan diadakan dari hati ke hati dengan berpedoman pada Ensiklik-ensiklik Gereja Katolik, antara lain Rerum Novarum dari Bapak Leo ke XIII di Roma dan Quadragesimo Anno dari Paus Pius XI. Sebagai hasil pembicaraan, dengan segera dibentuklah peraturan-peraturan di kedua belah pabrik tersebut untuk perbaikan nasib para buruhnya pada umumnya dan buruh wanita pada khususnya. Langkah berikutnya dari Organisasi Wanita Katolik meliputi kerja sama dengan Usahawan-usahawan Katolik Belanda untuk mengadakan segala macam perbaikan nasib para buruh. … (Maria Soejadi Darmosaputro Sasraningrat, 24-6-1974) – oleh Iswanti, Kodrat yang Bergerak
Kini buah pikiran dan gagasan ibu R.A. Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat telah semakin dikembangkan dan diwujud-nyatakan secara meluas. Dari gagasan yang muncul dari seorang perempuan ningrat yang peduli pada kaumnya, dari sebuah tempat ikrar di Kidul Loji, Yogyakarta, kini telah meluas ke seluruh nusantara. Dan gagasan itu semakin dikembangkan oleh srikandi-srikandi masa kini yang mengambil tongkat estafet dari para pendahulunya, namun sampai sekarang gagasan inti tetap tak lekang oleh waktu, tertuang dalam visi misi organisasi Wanita Katolik RI : demi tercapainya kesejahteraan bersama serta tegaknya harkat dan martabat manusia, dengan dilandasi nilai-nilai Injil dan Ajaran Sosial Gereja.
R.A. Maria Soelastri wafat di Semarang tanggal 8 September 1975 dan dimakamkan di Kompleks Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA).perkawinan: <1174!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Yudonegoro II [Hb.7.19] (Bendoro Raden Ayu Cokdrodiningrat) [Hamengku Buwono VII]
pekerjaan: 17 Maret 1900 - 21 Oktober 1911, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI
perkawinan: <767!> ♂ Raden Mas Johannes Soedarto Sosroningrat [Paku Alam III] b. 25 Desember 1895
KAUMAN Islam~c Village bertengger di atas pintu gerbang utama masuk kampung Kauman dari sisi selatan. Di kampung sumpek berpenduduk 4.500 jiwa itulah, lahir Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kampung Kauman di jantung Yog~yakarta hampir sarlla tuanya dengan keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Keraton Y~gyakarta secara resmi ditempati Sultan Hamengku Buwono I pada 7 Oktober 1756, dilengkapi beberapa bangunan penunjang. Masjid Agung, salah satu di antaranya, dibangun di bagian depan keraton, di barat Alun-Alun Utara. Fungsi masjid itu tidak hanya untuk tempat ibadah, melainkan juga untuk keperluan kemasyarakatan lainnya. Masjid itu berada di bawah pengawasan lembaga Kepengulon, sebuah lembaga yang mengurusi urusan keagamaan kerajaan Yogyakarta. Lembaga ini dipimpin oleh seorang penghulu, yang di dalam birokrasi keraton dipegang oleh seorang abdi Bupati Nayaka. Penghulu dan seluruh aparatnya ini disebut dengan Abdi Dalem Pamethakan, abdi dalem putih. Para abdi dalem yang mengurusi masjid ini mendapat fasilitas tanah gaduhan di sekitar masjid tersebut. Tanah seluas 1~2.000 m2 yang digunakan sebagai tempat tinggal para pengelola masjid itu disebut Tanah Pakauman, yang selanjut~ya ~disebut Kauman. Kata Kauman itu berasal dari kata Arab Qoimuddin (~Qoim dan Addin), artinya penegak agama. Dari pendekatan antropologi, masyarakat Kauman, termasuk masyarakat endogami. Sebuah masyarakat y~ang melaksanakan pernikahan dengan orang sekampung. Menurut Drs. Ahmad Adaby Darban, putra Kauman, dosen Sejarah Kauman UGM "Akibat ikatan kea~gamaan dan pertalian darah itu pergaulan sosial lebih intim." Di kampung Kauman itulah lahir Muhammad Darwisy, yan~g kelak dikenal dengan nama Kiai Haji Ahmad Dahlan. Putra Kiai Abu Bakar imam dan khatib Masjid Agung Keraton Yogyakarta, itu sejak 1~910 berusaha memurnikan Islam, m~engembalikan kehidupan agama kepada sumber aslinya, Quran dan Sunah. Secara terbuka, saat itu, Kiai Dahlan memberantas hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Misalnya perbuatan menyekutukan Tuhan (syirik), bidah khurafat, melakukan upacara peribadatan yang tidak diajarkan Quran. Salah satu tindakan nyata yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan, waktu itu, adalah memperbaiki arah kiblat yang semula lurus ke barat tapi kemudian dengan mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari Langgar Kidul, milik Kiai Ahmad Dahlan, dengan membuat garis saf. Anjuran pembetulan arah kiblat ini kemudian memberi semangat pada para santrinya untuk membuat garis-garis saf arah kiblat di Masjid Agung Yogyakarta. Akibatnya, sebagai abdi dalem Ketib, Kiai Ahmad Dahlan dinyatakan bersalah, melanggar kewenangannya dan birokrasi, karena Masjid Agung adalah wewenang kesultanan. Kanjeng Penghulu Cholil Kamaluddiningrat, penghulu Masjid Agung, bertambah marah ketika tahu bahwa Langgar Kidul baru saja diubah bangunannya, diluruskan dengan kiblat condong ke utara 22 derajat. Dia memerintah tukang-tukang dengan dikawal polisi Belanda merusak Langgar Kidul. Kiai Ahmad Dahlan sangat terpukul. Gerakan Pembaruan (Tajdid) yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan menjadi mulus setelah empat dari lima langgar yang ada di Kauman itu mengikuti jejaknya. Usaha reformasi lebih lancar lagi setelah Kiai Cholil meninggal 1914, dan diganti oleh Kanjeng Penghulu Muhammad Sa'idu Kamaludiningrat. Kiai Penghulu Sa'idu inilah memberi nama gerakan itu Muhammadiyah, artinya pengikut Nabi Muhammad, 1912. Dan, Kanjeng Penghulu Muhammad Sa'idu menjadi anggota Muhammadiyah dengan nomor stambuk 00001. Lalu, Kiai Penghulu mengizinkan pendopo Pengulon untuk aktivitas gerakan Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan, usaha Muhammadiyah sangat menonjol. Pada 1913 di Kauman lahir sekolah kiai, sekolah yang amat asing bagi masyarakat Kauman saat itu, yang lebih mengenal sistem pesantren. Karena meniru Belanda, Kiai Ahmad Dahlan dituduh kafir dan dicap sebagai Kiai Palus serta 'Kristen Alus'. Tapi, Ahmad Dahlan jalan terus. Pada 1918 juga di Kauman berdiri sekolah tingkat lanjut Al-Qismul Arqo. Sebuah sekolah dengan sistem modern. Sekolah inilah kemudian diubah menjadi Pondok Muhammadiyah, selanjutnya diubah lagi menjadi Kweekschool M~uhammadiyah dan Kweek~school Istri. Karena sekolah yang dise~lenggakan oleh bumiputra tidak dibolehkan memakai nama mirip sekolah Belanda, lalu berubah lagi menjadi Madrasah Mu~alimin Muhammadiyah dan Madrasah Mualimat Muhammadiyah. Da~ri Langgar Kidul itu berm~uculan organisasi kemuhammadiyah. Antara lain, 1917, berdiri organisasi wanita Muhammadiyah, yang diberi Aisiyah. Lalu, 191~7, berdiri organisasi kepanduan Hizbul Wathon, dan 1922, di Dalem Pengulon berdiri pendidikan kanak-kanak yang diberi nama Bus~~tanul A~tfal. Dan tumbuh pula organisasi pencak silat Ci Kauman (1915, yang kemudian bernama Tapak Suci. Kauman sekarang masih merupakan kampung santri dan kampung perjuangan. Di sana ada pengajian malam Selasa yang terkenal. Pengajian itu sudah ada sejak zaman Kiai Ahmad Dahlan, yang dahulu sering dihadiri oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Kauman telah melahirkan empat pahlawan nasional: Kiai H. Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan, Kiai H. Fachruddin, dan Kiai H. Bagus Hadikoesoemo. Syahril Chili dan M. Ajie Surya
(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/12/15/NAS/mbm.19901215.NAS20135.id.html)
KH Kholil & KH. Achmad Dachlan Tahun 1868 – 1910
1868 · Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta dengan nama Muhammad Darwis. Berayahkan K.H. Abu Bakar, seorang Ketib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. · Darwis kanak-kanak dikenal sebagai memiliki keahlian membuat barang kerajinan dan mainan. Sebagaimana anak laki-laki lain, ia juga memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing · Saat remaja ia belajar agama Islam tingkat lanjut. Belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh, belajar nahwu dari K.H. Muhsin, juga pelajaran lainnya didapatkan dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H. Muhammad Nur. · Sebelum haji, jenis kitab yang dibaca Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab Ahlussunnah wal jamaah dalam ilmu aqaid, dari madzhab Syafii dalam ilmu fiqh, dan dari Imam Ghazali dalam ilmu tasawuf.
1883-88 · Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama. Di tanah suci ia belajar kepada banyak ulama. Untuk ilmu hadits belajar kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Selain dengan guru-guru di atas, selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi dengan Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama mukim di di Mekah.
1888 · Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia membelanjakan sebagian dari modal dagang sebesar f 500 (lima ratus gulden) yang diberi ayahnya, untuk membeli buku.
1889 · Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.
1896 · Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai dengan kebiasan yang berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang paling besar Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.
1898 · Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di Kauman. Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan itu berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
1900-1910 · Panitia Zakat pertama. · Panitia kurban pertama. · Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal. · Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.
1903 · Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji pertama. Ia belajar fiqh kepada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’id Babusyel. Belajar ilmu hadis kepada Mufti Syafi‘I, ilmu falaq pada Kyai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat pada Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
1909
· Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo. Selanjutnya, ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta
1910 · Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. · Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan anggota Budi Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis. · Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m, di ia sendiri bertindak sebagai guru. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali. (http://www.muhammadiyah.or.id/content-154-det-timeline-muhammadiyah.html).
Catatan Hilal Achmar: Masalah arah kiblat ini, sampai tahun 2000-2010 masih menjadi perdebatan, apakah masjid yang tidak tepat mengarah ke Ka'bah, harus dibenarkan atau tidak arah kiblatnya. Saya fikir, memang harus dibenarkan arah kiblatnya, tetapi dengan catatan: 1. Disosialisasikan dahulu kepada masyarakat sekitar Masjid. 2. Masyarakat diberitahu tentang arah kiblat yang benar dengan dasar ilmu yang dapat dimengertinya. 3. Berhati-hati, sehingga tidak menimbulkan konflik. Dibawah ini ada cara penentuan arah kiblat yang akurat dan sederhana, dimana masyarakat akan mengerti, dan menyadari arah kiblat mereka:
KIBLAT Kiblat adalah kata Arab yang merujuk arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan salat. Sejarah
Pada mulanya, kiblat mengarah ke Yerusalem. Menurut Ibnu Katsir,[1] Rasulullah SAW dan para sahabat salat dengan menghadap Baitul Maqdis. Namun, Rasulullah lebih suka salat menghadap kiblatnya Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah. Oleh karena itu beliau sering salat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau salat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, hal tersebut tidak mungkin lagi. Ia salat dengan menghadap Baitul Maqdis. Ia sering menengadahkan kepalanya ke langit menanti wahyu turun agar Ka'bah dijadikan kiblat salat. Allah pun mengabulkan keinginan beliau dengan menurunkan ayat 144 dari Surat al-Baqarah: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah).[2]
Juga diceritakan dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari:[3] Dari al-Bara bin Azib, bahwasanya Nabi SAW pertama tiba di Madinah beliau turun di rumah kakek-kakek atau paman-paman dari Anshar. Dan bahwasanya beliau salat menghadap Baitul Maqdis enam belas atau tujuh belas bulan. Dan beliau senang kiblatnya dijadikan menghadap Baitullah. Dan salat pertama beliau dengan menghadap Baitullah adalah salat Ashar dimana orang-orang turut salat (bermakmum) bersama beliau. Seusai salat, seorang lelaki yang ikut salat bersama beliau pergi kemudian melewati orang-orang di suatu masjid sedang ruku. Lantas dia berkata: "Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku telah salat bersama Rasulullah SAW dengan menghadap Makkah." Merekapun dalam keadaan demikian (ruku) mengubah kiblat menghadap Baitullah. Dan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab senang beliau salat menghadap Baitul Maqdis. Setelah beliau memalingkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu. Sesungguhnya sementara orang meninggal dan terbunuh sebelum berpindahnya kiblat, sehingga kami tidak tahu apa yang akan kami katakan tentang mereka. Kemudian Allah yang Maha Tinggi menurunkan ayat "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" (al-Baqarah, 2:143).[2]
Hal itu terjadi pada tahun 624. Dengan turunnya ayat tersebut, kiblat diganti menjadi mengarah ke Ka'bah di Mekkah. Selain arah salat, kiblat juga merupakan arah kepala hewan yang disembelih, juga arah kepala jenazah yang dimakamkkan.
Penentuan arah kiblat
Dalam 1000 tahun terakhir, sejumlah matematikawan dan astronom Muslim seperti Biruni telah melakukan perhitungan yang tepat untuk menentukan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia. Seluruhnya setuju bahwa setiap tahun ada dua hari dimana matahari berada tepat di atas Ka'bah, dan arah bayangan matahari dimanapun di dunia pasti mengarah ke Kiblat. Peristiwa tersebut terjadi setiap tanggal 28 Mei pukul 9.18 GMT (16.18 WIB) dan 16 Juli jam 9.27 GMT (16.27 WIB) untuk tahun biasa. Sedang kalau tahun kabisat, tanggal tersebut dimajukan satu hari, dengan jam yang sama.
Tentu saja pada waktu tersebut hanya separuh dari bumi yang mendapat sinar matahari. Selain itu terdapat 2 hari lain dimana matahari tepat di "balik" Ka'bah (antipoda), dimana bayangan matahari pada waktu tersebut juga mengarah ke Ka'bah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 28 November 21.09 GMT (4.09 WIB) dan 16 Januari jam 21.29 GMT (4.29 WIB)
Pranala luar Indonesia) Sensitifnya Arah Kiblat Kiblat Kiblat Qiblah Qiblah in north america Al-Quds About.com Second Year of the Hijra di al-islam.org Menentukan arah kiblat pakai Google Earth di youtube
Catatan ^ (Arab)Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat al-Baqarah. ^ a b (Arab)Al-Qur'an Al-Karim. ^ (Arab)Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, hadits no. 41 dalam Fath al-Bari.
Kyai Penghulu R. M. Haji Muhammad Cholil Kamaludiningrat digantikan oleh Kiai Muhammad Sangidu/Kiai Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat, yaitu seorang penghulu keraton Yogyakarta sejak tahun 1914 sampai tahun 1940. Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat dikenal sebagai pemegang kartu anggota Muhammadiyah stanboek No. 1, dan juga pendukung gerakan KH. Ahmad Dahlan.
Kiai Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat mempunyai anak Muhammad Wardan dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1911 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara seayah-seibu. Adapun enam saudaranya adalah Umniyah, Muhammad Darun, Muhammad Jannah, Muhammad Jundi, Burhanah dan Wari`iyah. Selain itu, dia juga mempunyai saudara yang berlainan ibu, yaitu Djalaluddin, Siti Salaman dan Siti Nafi`ah. Di lingkungan masyarakat Kauman, keluarga PKRH Muhammad Kamaluddiningrat dikenal sebagai Dani (keluarga) ketib Tengah yang tinggal di wilayah Kauman bagian barat. Sebagai keluarga abdi dalem santri mereka memiliki pusat kegiatan di Langgar Dhuwur. Dengan demikian, Muhammad Wardan secara sosio kultural berasal dari lingkungan keluarga abdi dalem santri.
Foto Insert: Keturunan Kyai Penghulu R. M. Haji Muhammad Cholil Kamaludiningrat, saat silaturahmi Idhul Fithri Tahun 2011wafat: 9 Februari 1916, Mahakeret Manado, Disarekan kembali di Pasarean Hasta Renggo Kotagede Yogyakarta pada Hari Minggu Legi 22 Juli 1990
Pada tahun 1883, BPH. Hadiwijoyo bersama istri dan anaknya, menjemput rombongan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sekar Kedaton (permaisuri Sultan Hamengku Buwono V) dan putranya Gusti Raden Mas (GRM) Timur Muhammad/Gusti Pangeran Haryo (GPH) Suryengalogo di pelabuhan kapal di Manado, dan mempersilahkan mereka menempati rumah beliau di kampung Pondol. Selama di pengasingan, BPH. Hadiwijoyo ditemani putranya yang bernama RM. Menot. Kemudian disana lahir putra no.6 yang diberi nama RM. Joko Sangkolo. Setelah GPH. Suryengalogo meninggal dunia (1901), GKR. Sekar Kedaton dibelikan rumah oleh Sultan Hamengku Buwono VII sebagai tempat tinggal beliau bersama anak dan cucunya. BPH. Hadiwijoyo sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh GKR. Sekar Kedaton.
Kemudian GRA. Hadiwijoyo kembali ke Yogyakarta sampai dengan wafatnya dan dimakamkan di Pasarean Hasta Renggo Kota Gede Yogyakarta (di luar cungkup). BPH. Hadiwijoyo bersumpah tidak akan kembali ke Yogyakarta sebelum saudara yang memfitnahnya wafat, namun ternyata beliau wafat terlebih dahulu. Setelah sekian lama, akhirnya para anggota Trah Hadiwijoyo (Hadiwijayan) bersepakat untuk memindahkan makam BPH. Hadiwijoyo dari Mahakeret Manado ke Pasarean Hasta Renggo Yogyakarta. Rencana ini terelisasi pada tanggal 21 Juli 1990 dimana sebelumnya makam GRA. Hadiwijoyo dibongkar terlebih dahulu dan disandingkan dengan peti BPH. Hadiwijoyo untuk kemudian secara bersama-sama dimakamkan kembali di dalam cungkup.
Keenam Putra/Putri BPH. Hadiwijoyo adalah: 1. RA. Kustiyah (w.VI.17.1) 2. RM. Sutijo / RM. L. Prawirodipuro / RMW. Hatmodijoyo (w.VI.17.2) 3. RM. Subroto / RM. Dutodiprojo / RM. Rio Projomardowo (w.VI.17.3) 4. RA. Sriyati (w.VI.17.4) 5. RM. Sujono / RM. Menot (w.VI.17.5)
6. RM. Joko Sangkolo (w.VI.17.6)perkawinan: <1050!> ♀ Bendoro Raden Ayu Jatikusumo [Hb.7.78] (R. A. Soeharsi Widianti) [Hamengku Buwono VII] , Yogyakarta
lahir: 1 Juni 1946 - 1 Maret 1948, Rembang, Panglima Divisi V Ronggolawe
pekerjaan: 1948 - 1949, Jakarta, Kepala Staf TNI Angkatan Darat I
pekerjaan: 1958 - 1960, Singapura, Duta Besar RI untuk Singapura
pekerjaan: 1959 - 1960, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja I
pekerjaan: 1960 - 1962, Jakarta, Menteri Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja II
pekerjaan: 1962 - 1963, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja III
wafat: 4 Juli 1992
perkawinan: <243> ♂ R. A. A. M. Sis Tjakraningrat [Cakraadiningrat II] d. 24 September 1992
perkawinan: <244> ♂ R. A. A. Muhammad Roeslan Tjakraningrat [?] , <245> ♀ R. A. Hatimah [Notoadiningrat]
wafat: 10 Juli 1988, Ciputat, Tangerang Selatan
penguburan: Imogiri, Bantul
perkawinan: <246> ♂ Raden Mas Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
wafat: 10 November 2015, Bandung
Kecantikan Gusti Noeroel yang termasyhur ini juga dibarengi dengan kepiawaiannya menari. Suatu kali, di usianya yang masih 15 tahun, Gusti Noeroel diminta datang secara khusus untuk menari di hadapan Ratu Wilhelmina di Belanda. Tarian tersebut dipersembahkan sebagai kado pernikahan Putri Juliana. Menariknya, saat itu rombongan dari Mangkunegaran tidak membawa gamelan untuk mengiringi tarian Gusti Nurul. Tarian itu diiringi alunan gamelan yang dimainkan dari Pura Mangkunegaran dan dipancarkan melalui Solosche Radio Vereeniging, yang siarannya bisa ditangkap dengan jernih di Belanda[4].
Gusti Noeroel juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang membidani berdirinya Solosche Radio Vereeniging, stasiun radio pertama di Indonesia.perkawinan: <248> ♀ Raden Ayu Tejoasmoro [Ga.Hb.6.18.1] [?]
perkawinan: <249> ♀ Raden Ayu Doyoasmoro [Ga.Hb.6.18.3] [?]
perkawinan: <250> ♀ Raden Ayu Pujoasmoro [Ga.Hb.6.18.4] [?]
perkawinan: <251> ♀ Roro Aminten [Ga.Hb.6.18.15] [?]
perkawinan: <252> ♀ Raden Ayu Pujohadiresmi [Ga.Hb.6.18.14] [?]
perkawinan: <253> ♀ Raden Ayu Asmorowati [Ga.Hb.6.18.12] [?]
perkawinan: <254> ♀ Roro Pujoningsih [Ga.Hb.6.18.13] [?]
perkawinan: <255> ♀ Roro Pujoasmoro [Ga.Hb.6.18.11] [?]
perkawinan: <256> ♀ Roro Asmorohadi [Ga.Hb.6.18.10] [?]
perkawinan: <257> ♀ Raden Ayu Asmaraningsih [Ga.Hb.6.18.5] [?]
perkawinan: <258> ♀ Raden Ayu Asmorowati [Ga.Hb.6.18.6] [?]
perkawinan: <259> ♀ Raden Ayu Asmororesmi [Ga.Hb.6.18.9] [?]
perkawinan: <260> ♀ Roro Asmaraningdiah [Ga.Hb.6.18.8] [?]
perkawinan: <261> ♀ Raden Ayu Supenaningsih [Ga.Hb.6.18.7] [?]
wafat: 14 Maret 1928
Pada tanggal 28 Desember 1901 R. Soekeni menerima besluit untuk di pindah tugas ke kecamatan Ploso di Jombang sebagai Mantri Guru. Lingkungan Ploso pada masa itu masih sangat desa sekali. Selanjutnya pada tanggal 23 November 1907 ia menerima besluit dari Kementrian Pendidikan Kolonial Belanda di Batavia untuk di pindah tugas ke Sidoarjo kota kecil pada waktu itu yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Surabaya.
Pada tanggal 22 Januari 1909 R. Soekeni menerima besluit lagi untuk di pindah tugas ke Mojokerto, selanjutnya di pindah tugas lagi ke Blitar sebagai guru di Normaalschool berdasarkan besluit tertanggal 2 Februari 1915 dari Batavia.
Pada saat ke Jakarta merupakan perjalanan yang terakhir dari R. Soekeni, pada saat itu ia diminta datang ke Jakarta oleh putranya Soekarno untuk melihat kelahiran Cucunya yang pertama Guntur, saat berjalan-jalan menghirup hangatnya udara Jakarta R. Soekeni terjatuh dan sakit keras sampai meninggal pada tanggal 18 Mei 1945.perkawinan: <266> ♂ Raden Mas Adipati Haryo Hadiningrat / Pangeran Ario Tjondronegoro IV [Demak]
perkawinan: <271> ♀ Raden Ayu Doyoresmi [?]
perkawinan: <272> ♀ Raden Ayu Suryomataram [Gp.Hb.6.9.1] ? (Bendoro Raden Ayu Kusniya) [?] , Surakarta
1.Ibunipun Nyi. H. Ali 2.Nyi Mangku 3.Madnur 4.Toyib
Buku alit punika kaparingan asma PUSTAKA PERDHIKAN. Dipun anggit dinten Jumat Kliwon, 11 Safar 1430 H/ taun JE 1942 utawi 06 Februari 2009 dening R. Muh. Rafi Ananda Basaiban kanti ngempalaken riwayat saha silsilah saking pra turunipun Suwargi KH. Imanadi ugi kanti penyelidikan awujud sumber – sumber kawontenan ing sejarah. Riwayat kakempalaken saking panjenenganipun ;
1.KH. Sayyid R. Salim Al Mator Jatisari 2.Sayyid R. Sugeng Assyamsi Kauman
Buku kacetak kanti sederhana supados saged dipun waos dening pra putra wayahipun KH. Imanadi ingkang mbetahaken. Kagem Pra putra wayah ingkang dereng kaserat wonten ing mriki kersaha nyerat piyambak – piyambak lan kahaturaken dhateng Sayyid R. Muh. Rafi Ananda wonten alamat Jalan Garuda 13 Kebumen Jawa – Tengah. Wasana Buku Pustaka Perdhikan punika sageda manfangati kagem kita sami. Amin.
Buku Pustaka Perdhikan nyariosaken riwayatipun KH. Imanadi saha silsilahipun dumugi putra wayah turunipun.
KH. Imanadi putranipun Pangeran Nurudin / Syekh Nurmadin bin Pangeran Marbut / Syekh Abdurrahman Rawareja. Dipun carioasaken bilih Pangeran Marbut punika salah satunggaling pangeran saking Mataram Kartasura. Pangeran Marbut rayinipun Pangeran Said / Syekh Mursyid Legok. Pangeran Marbut dipun tugasi supados madosi Pangeran Said ingkang langkung rumiyin kesah saking kraton amargi mboten remen kaliyan Walandi ingkang pengaruhipun sampun mlebet wonten keluarga kraton wekdal samanten. Pangeran Marbut lajeng tindak mangilen madosi keng Raka ngantos dumugi kepanggih wonten ing Rawareja. Siti Rawa dados dhusun ingkang reja sak sampunipun Pangeran Said lenggah wonten ing mriku. Sak sampunipun kepanggih kalian keng Raka, Pangeran Marbut lajeng nyuwun dhumateng Pangeran Said kondur dhateng Mataram, ananging Pangeran Marbut malah dipun suwun ndherek merangi Walandi. Pangeran Marbut kagungan satunggal pemanggih kaliyan Pangeran Said, lajeng mboten sios kondur dhateng Mataram lan ndherek keng Raka merangi Walandi. Pangeran Marbut kasuwun supados lenggah wonten Rawareja, dene Pangeran Said lajeng jengkar saking Rawareja supados mboten dipun curigani dening Walandi. Pageran Said tindak mangilen dumugi Legok, lajeng lenggah wonten ing mriku ngatos dumugi sedanipun ( pesarehanipun wonten sak wingkingipun masjid Legok ). Pangeran marbut peputra Pangeran Nurudin / Syekh Nurmadin. Syekh Nurmadin ugi kados dene ingkang rama, tansah nglampahaken syiar Islam kanti mucali ngaos piwulang agami Islam wonten Rawareja lan tansah merangi Walandi, asring kanti dhedhemitan ( gerilya ).
Pangeran Nurmadin Peputra KH. Imam Manadi / Imanadi ingkang sak sampunipun dhiwasa lajeng lenggah wonten ing siti Perdhikan / Keputihan inggih punika siti ingkang merdhika, bebas saking pajeg. Siti punika lajeng kawastan siti Pesucen, ingkang sak terusipun dados dhusun nami Pesucen.
Wonten ing Pesucen KH. Imanadi ugi tansah nerasaken perjuanganipun ingkang Rama lan Eyangipun. KH. Imanadi nglampahaken syiar Islam wonten ing dhusun Pesucen. Panjenenganipun ugi sampun nate tindak dhateng Mekah kagem nglampahi haji lan ngaos Agami Islam, mila ngantos lenggah wonten ing Mekah sawatawis dangu. Sak Konduripun saking Mekah KH. Imanadi dipun dadosaken panglima perang dening Pangeran Dhiponegara kagem wilayah Kebumen lan sak kiwa - tengenipun. Wondene panglima perang pusat dipun asta dening putranipun KH. Nur Iman Mlangi / KGPH. Sandeyo ( antawis taun 1825 – 1830 ).
Kh. Imanadi sanget misuwur dados setunggaling priyantung ingkang Linangkung, tangguh ugi ahli strategi perang, ingkang asring kanti dhedhemitan ( gerilya ), Mila Panjenenganipun mboten gampil dipun cepeng dening Walandi. Walandi ngantos kuwalahan ngadhepi KH. Imanadi. Wonten satunggaling wekdal, KH. Imanadi perang mengsah Walandi wonten sakpinggiring lepen LUKULA / Kali Gending. Panjenenganipun kepepek mboten saged mlajar malih. KH. Imanadi lajeng mlebet wonten ing lepen ( silem ) ngantos dangu mboten katingal. Walandi ingkang sumerep kalangkunganipun KH. Imanadi lajeng kanti sabar madosi turut lepen ngantos dumugi wekasanipun lepen LUKULA. Wonten ing mriku KH. Imanadi lajeng ngetingal lan lajeng dipun cepeng.
Kalangkunganipun KH. Imanadi sanesipun babagan agami, inggih babagan politik, hukum, sosial lan ketatanegaraan ( pemerintahan ), ndadosaken Walandi sanget hormatipun lan sae dhumateng panjenenganipun sanajan wonten ing tahanan.
Ngleresi jaman Adipati Arung Binang IV ( 1833 – 1861 ) ingkang wekdal samanten ngasta pemerintahan Kebumen, wonten satunggaling wekdal sang Adipati pikantuk sasmita “ menawi badhe kiyat pemerintahanipun kedah manggihi lan sesarengan kaliyan KH. Imanadi ingkang wekdal samanten taksih dados tahanan politik. Adipati Lajeng ngedalaken KH. Imanadi saking tahanan lan ndadosaken panjenenganipun Pengulu Landrat I Kebumen. KH. Imanadi kersa dipun dadosaken Pengulu Landrat kanti syarat ingkang dados wakilipun inggih punika KH. Zaenal Abidin Banjursari Buluspesatren ingkang wekdal samanten taksih wonten tahanan amargi dados badalipun KH. Imanadi wekdal merangi Walandi.
Kh Imanadi ngasta dados Pengulu Landrat I Kebumen lan lenggah wonten ing Kebumen. Panjenenganipun mundhut siti sak kilenipun alun – alun Kebumen ingkang sak lajengipun kawastanan kampung Kauman. Siti ingkang pernah Tengah lajeng dipun dadosaken Mesjid ingkang sak mangke dados nami Masjid Agung Kauman Kebumen ( antawis taun 1832 ). Masjid ingkang sepindah dipun damel kanti modhel Joglo inggih punika ngagem 4 saka guru. KH. Imanadi damel saka guru saking kajeng jati ingkang dipun dugikaken saking kabupaten Ambal. Dipun cariosaken bilih adegipun saka 4 punika namung satunggal dalu inggih amargi angsal bantuan saking jin Islam saking Timur Tengah ingkang kawon juritipun kaliyan KH. Imanadi nalika wonten ing Mekah. Jin punika asma Syekh Abdurrahman ingkang katelah ugi Mbah Wangsa. Jin punika nyuwun tumut KH. Imanadi kondur dhateng Kebumen. Panjenenganipun marengaken kanti syarat mboten hangganggu damel sedaya putra wayah lan turunipun.
Sekawan saka guru punika hingga sak punika taksih, ananging sampun dipun biantu cor. Wiwit taun 1832 M dumugi sak punika Masjid sampun dipun renovasi ambal kaping 5. Renovasi paling ageng wonten ing warsa 2005.
Dumugi sak punika Imam Masjid sampun gantos ambal kaping 10, ingkang sedaya taksih kalebet putra wayahipun KH. Imanadi.
KH. Imanadi lenggah wonten Kauman ngantos dumugi sedanipun, ananging lajeng dipun sarekaken wonten pesarean Pesucen Wonosari, mboten sesarengan kaliyan Pangeran Nurmadin ( Ramananipun ) ugi Pangeran Marbut ( Eyangipun ) ingkang sumare wonten ing dhusun Rawareja.
Sak surutipun KH. Imanadi, Pengulu Landrat II dipun asta dening KH. Moh. Alwi ( salah satunggaling putra KH. Imanadi ).
Pengulu Landrat III dipun asta dening KH. Ali Khusen ( Ingkang sak lajengipun dados marasepuhipun KH. Ali Awal ) amargi wekdal samanten pra putra KH. Alwi taksih sanget timur.
Penguli landrat IV dipun asta dening KH. Ali Awal ( salah satunggaling putra KH. Alwi ).
Pengulu Landrat V dipun asta dening Kh. Abdul Fatah ,( amargi pra putra KH. Ali Awal taksih sanget timur )
Pengulu landrat VI / Pungkasan dipun asta dening KH. Abdullah Ibrahim ( putra pembajeng KH. Ali Awal kaliyan garwa ingkang kaping kalih ).
Wiwit taun 1946 Pengulu landrat dipun gantos dados Kantor Urusan Agama ( KUA ). Ingkang ngasta sepindah wonten KUA kebumen inggih punika KH. Efendi.
SILSILAH KH. IMANADI KEBUMEN
Pangeran Marbut / Syekh Abdurrahman ( Pesarehanipun wonten ing Rawareja ) peputra ; Pangeran Nurudin / Syekh Nurmadin ( Pesarehanipun wonten ing Rawareja ) peputra ; KH. Imanadi ( Pesarehanipun wonten ing Pesucen ) peputra ; saking Garwa I ( Pringtutul Rawareja ) 1.Nyi. Warna 2.Kyai Basar Kahfi 3.Moh. Alwi 4.Ali Khusen 5.Zakariya 6.H. Chasan 7.Bafiroh 8.Nyi Yohana
Saking Garwa II ( Putrinipun RA. Kamaludin / Garwanipun Pengulu Kraton Jogja binti BPA. Dipowiyono bin Sinuwun Hamengku Buwana II kaliyan garwa kaping 4 / RA. Erawati ) peputra ;
1.Nyi Jawahir 2.H. Ahmad
Nyi Warna peputra ;
Kyai Basar Kahfi peputra ;
Moh. Alwi ( pesarehanipun wonten ing Pesucen ) peputra ; 1.Ali Awal Kauman 2.Alwi Pesucen 3.Hanawawi Kauman 4.Abdul Fatah
Ali Khusen peputra ; 1.Nyi Ali Awal Kauman ( turunipun mriksani turunipun Ali Awal Kebumen Garwa I ) 2.Munada Prembun peputra : 1.Madrejo / Muh. Ikhsan peputra : 1. Mad Idris 2. Sumowiyoto 3. Datun 4. Kasim peputra : 1. Sumiati 2. Suprapti 3. Ciptadi Prembun peputra : 1. Ayu Muzayyanah 2. Rosi Ruvaida 4. Isni peputra : 1. Nuryaningsih 2. Dewi Anjarsari 5. Chomsiatun peputra : 1. Intan Heri Purwoko 2. Setyo Nugroho 6. Sri Rochimah 7. Sri Rasmini peputra : 1. Sunikmah 2. M. Mudrik As. 3.Bagus Ulinuha 4. M. Habiburrohman 5. M. Ulil Azmi 6. M. Ali Wafa 7. S. U. Sa'adah 8. M. Huda 9. Ayu 10. Afriyani 11. M. Fikri 8. M. Marsudi 9. Siti Jumarni 10. Sarmini peputra : 1. Aji Mustofa 2. S.A. Tsani 3. Fuad 5. Madinah 6. Poniah 7. Sarikem 8. Siti Asiyah
2.Dalil 3.Ardjo Mutofa 4.Saminem Zakariya peputra ; 1.Nyi H. Ilyas Kutoarjo 2.H. Muh. Ilham Suraturunan 3.H. Muh. Aspan Suraturunan 4.H. Muh. Yusuf Kauman
H. Chasan peputra ;
Bafiroh peputra ;
Nyi Yohana peputra ;
Nyi jawahir peputra ; 1.Ali Mustafa peputra ; 1. Sastra 2. H. Muhson 3. Imam Pura 4. Sarbini 5. Dalail 6. Munirah 7. Nyai Madmarja
2.SanMunawar ( Lurah Pesucen ) 3.Nyi Basar Kahfi 4.Nyi Sanmustafa 5.Ali Muntaha peputra ; 1. Muhsin 2. Muhson 3. Muhsonah 4. Munsarip 5. Munisah 6. Mutnginah
6.Mustahal 7.Abdul Anwar ( Siwedi Kutowinangun ) 8.Marjuned ( Banjarnegara ) 9.Nyi Madmurja ( Kenteng Karangsari Kutowinangun ) 10.Nyi Badariyah ( Nyi H. Nawawi ) peputra ; 1. Nyai Carik jetis 2. Nyai Ahmad 3. Nyai Badriyah 4. Haji Masyhud 5. Nyai Trafas 6. Maklum
11.Nyi Ramadipura ( Buluspesantren ) 12.Nyi Satirah 13.Badarudin peputra ; 1. Nyi Ali Tsani Kauman ( Garwa I ) peputra ; 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh
2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
2. Makmun Kauman peputra ; 1. Rokhimah Tasikmalaya peputra ;
2. Kharisoh Rantewringin peputra ; 1. Nurul Kauman 2. Retno Rantewringin 3. Beni 3. Khotmah Tasikmalaya peputra ;
4. Halimah Tasikmalaya peputra ;
5. Honimah Kebumen peputra ; 1. R. Muh. Rafi Ananda / Tuti Khusniati Al Maki 2. Aila Rezannia / Poedjo Raharjo 6. Soimah Kauman peputra ; 1. Arif Hidayat 2. Titin Rahayuningsih 3. Teguh Priyatno 4. Nur Fatmawati 5. Diyah Kurniasari
3. Nyi Maklum Kauman
H. Ahmad peputra ; 1.Ibunipun Nyi. H. Ali 2.Nyi Mangku 3.Madnur 4.Toyib
KH. Ali Awal bin Moh. Alwi kaliyan Garwa I peputra ;
1.Nyi Abdul Manan I ( Sepuh )Kemangguan Alian 2.Kyai Ismail Karanganyar Kebumen 3.Nyi Abdul manan II Kemangguan Alian 4.Nyi Zaenudin Pekeyongan 5.Nyi Hanan Plumbon peputra ; 1. Pengulu Ridwan/ Rilwan peputra ; 1. Rughoyah / Makmun Kauman 2. Rofqoniyah / Kyai Matori Jatisari peputra ; 1. KH. Sayyid R. Salim Al Mator peputra ; 1. Tobagus Muslihudin Aziz 2. Hikmatul Hasanah 3. Maksumah Kurniawati 4. Musyafa Firman Iswahyudi 5. Retno Auliyatussangadah 6. Eta Fatmawati Auliyatul Ummah
2. Songidah peputra ;
3. Sangadatun Diniyah peputra ;
4. Kyai Khumsosi Al Matori peputra ; 1. Siti Khulasoh 2. Siti Fatimah 3. Lukman Zein 4. Anis Siti Karimah 5. Siti Khomsiati 6. Anas Mufadhol
5. H. Makmuri peputra ;
6. Muslim peputra ;
3. Sanusi Prembun peputra ; 1. Sol 2. Salamah Balingasal Prembun
4. Sugeng peputra ;
5. Dulkodir peputra ;
6.Kyai Tohir Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
Kyai Kosim Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
KH. Ali Awal kaliyan Garwa II peputra ; 1.KH. Abdullah Ibrahim Kauman ( Pengulu Landrat terakhir ) peputra ; 1. Siti Khotijah / Zaenal Kauman 2. Siti hajatiyah / Mbah Jamaksari Somalangu 3. Ashariyah / Mustofa Banjarnegara 4. Umi Kulsum / Sumbono 5. Maimunah / Ali Siroj ( Purworejo ) 6. Mariyah / Sumbono 7. Hasim 8. Maryatini / Masngudin 9. Johariyah / kagarwa Sururudin, lajeng kagarwa dening Kyai Jamaksari Somalangu 10. Sri Kartini
2.Moh. Soleh peputra ; 1. Yusuf Soleh 2. Taslimah / Daqir Pekeyongan 3. Slamet Soleh 4. Musngidah / Masngud Prembun peputra ; 1. Dalail 5. Makmunah / Tahrir 6.Asyiah / Ngalimun Prembun
3.Siti Khalimah Wanasara / Abdullah sepuh peputra ; 1. Aminah Wanasara peputra ; 1. Muhtar
2. Mutiah Krakal peputra ; 1. Roh
4.H. Ali Tsani Kauman peputra ; Garwa I 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh 2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
Garwa II ( Sayyidah Isti Sangadah binti Sayyid Muh. Fadil bin Sayyid Muh. Zein Solotiang bin Sayyid Muh. Alim Bulus Purworejo ) 1.Mahmud Ali Kauman peputra ; 1. Arif Mustofa
2.Isti Chamidah peputra ; 1. M. Sudjangi 2. Sugeng Assyamsi 3. Abdul Rozak 4. Lukman Hakim 5. Abdus Somad 6. M. Mahfud 7. M. Murtadlo
5.Abdul Wahab peputra ; 1. Moh Alwi Tejasari Kawedusan peputra ; 1. Ikhsan Alwi
2. Syamsi / Isti Chamidah
Khoul KH. Imanadi dipun wontenaken saben tanggal 14 Ruwah wonten ing serambi Masjid Pesucen Wonosari.
Wasana sinigeg semanten kemawon riwayat saha silsilahipun KH. Imanadi. Mugi – mugi handadosaken pepenget saha tuladhanipun khusus dhateng pra dharahipun, dhateng pra kathah umumipun. Amin
Kebumen, 06 Februari 2009 Sayyid R. Muh. Rafi Ananda
http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2009/12/pustaka-perdikan-riwayat-kh-imanadi.htmlperkawinan: <274> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Joyowinoto [?]
perkawinan: <550!> ♂ Kanjeng Gusti Timur Muhammad Suryengalogo [Hb.5.9] / Raden Mas Muhammad [Hb.3.2.22.1] [Hamengku Buwono V] b. 17 Juni 1855 d. 12 Januari 1901
perkawinan: <277> ♀ Raden Ayu Renggowati [Ga.Hb.7.27.2] [?]
perkawinan: <278> ♀ Raden Roro Suminten [Ga.Hb.7.27.3] [?]
perkawinan: <279> ♀ Raden Ayu Setyowati [Ga.Hb.7.27.4] [?]
perkawinan: <280> ♀ Raden Roro Srenggorowati [Ga.Hb.7.27.5] [?]
perkawinan: <281> ♀ Raden Roro Secowati [Ga.Hb.7.27.6] [?]
8
13031/8 <776> ♂ Raden Tjokrowinoto [Alap-alap]penguburan: Ngudikan, Wilangan, Nganjuk
wafat: Yogyakarta, Disarekan Pasarean Kuncen Yogyakarta
perkawinan: <294> ♀ 6. Raden Roro Siti Wuryani [Arungbinang]
wafat: 5 Juli 1908
mengenai Kalkulasi usia perkawinan dan status perkawinan :
- Perbedaan usia antara RTA. Suradimenggala dengan RAy. Gondomirah sebanyak (1852-1819) = 33 tahun, ini dapat diartikan bahwa RAy. Gondomirah adalah isteri ke 2 / ke 3.
- Pernikahan berlangsung pada saat usia RAy Gondomirah mencapai 26 tahun atau pada tahun 1878, dimana RTA. Suradimenggala sudah berusia (1878-1819) = 59 tahun.
pekerjaan: ?, 1893-1903 Penghoeloe Tjiomas
Gerakan Perlawanan Sosial di Tanah Partikelir Ciomas Bogor Tahun 1886
Gerakan perlawanan sosial dikenal juga dengan istilah “gerakan melawan pemerasan”, “gerakan melawan keadaan”, atau “gerakan melawan peraturan yang tidak adil”. Dalam istilah kolonial, peristiwa perlawanan semacam itu dikategorikan sebagai “ganguan ketentraman”, “huru-hara”, “kerusuhan”, atau “gerakan rohani”. Suatu ciri umum, bahwa hampir semua gerakan perlawanan sosial peristiwanya terjadi di tanah Partikelir (particultire landerijen). Sebab – sebab timbulnya gerakan tersebut, dipengaruhi oleh terbentuknya tanah partikelir dan situasi – situasi yang mempengaruhinya, antara lain:
Tanah partikelir muncul sejak awal jaman VOC sampai perempatan pertama abad ke-19, sebagai akibat adanya praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh orang – orang Belanda. Tanah – tanah tersebut berlokasi disekitar Batavia, dan sebagaian besar berada di daerah pedalaman antara Batavia dan Bogor, daerah Banten, Karawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Pada awal kekuasaan VOC tanah tadi dihadiahkan kepada penanggung jawab kententraman dan keamanan di sekitar daerah Batavia, sedangkan sebagian kecil ada yang diberikan kepada kepala – kepala pribumi. Khusus untuk tanah partikelir di daerah Bogor, status kepemilikannya berada ditangan pribadi para Gubernur Jendral yang berlangsung secara berturut – turut. Bagi orang yang menerima tanah tersebut secara leluasa mereka bertindak sebagai tuan tanah dan segera menguasai penggarap anah dengan dikenakan beban berupa pajak tanah (cuke) yang tinggi, serta penyerahan wajib kerja yang berat. Tindakan pemerasan tuan tanah di wilayah pemilikan tanahnya itu membangkitkan gerakan perlawanan sosial yang penampilannya lebih cenderung bermotifkan perasaan dendam yang bersifat milenaristis atau mesianistis. Untuk menghilangkan kegelisahan para petani di daerah tersebut pada masa pemerintahan Deandeles dan Raffles pernah dikeluarkan larangan kepada tuan – tuan tanah untuk memperoleh sepersepuluh dari hasil tanah atau menentukan penyerahan tenaga kerja yang berat. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tahun 1836, dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai hak untuk melindungi para petani dan mengatur suatu peradilan di tanah partikelir. Tetapi dalam menghadapi kecurangan tuan – tuan tanah, termasuk para pembantunya, pihak pemerintah sangat sulit mengawasinya, sehingga kegelisahan dikalangan petani semakin cenderung untuk mencetuskan gagasan dengan jalan melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk perlawanan yang berkesinambungan. Kasus perlawanan petani di tanah partikelir pada periode abad ke-19, banyak terjadi dan seolah – olah merupakan hal yang lumrah.
Menurut letak geografisnya, tanah partikelir Ciomas berada di lereng sebelah utara Gunung Salak. Tanah tersebut menjadi milik tuan tanah setelah dijual oleh Gubernur Jendral Deandels, dengan meliputi areal tanah seluas 9.00 bau (1 bau = 0,8 hektar). Tanah seluas itu dihuni oleh penduduk ± 15.000 jiwa. Seperti di tanah partikelir lainnya di daerah Ciomas pun para petani dihadapkan pada kondisi – kondisi sosial-ekonomi yang tidak menguntungkan, karena tenaganya dieksploitasi oleh tuan tanah, para pengawas, dan petugas tuan tanah lainnya yang menuntut pelayanan kerja yang berat, serta pemenuhan pajak (cuke) yang tinggi. Sebelum meletusnya gerakan petani tersebut, keadaan politik dan ekonomi yang berlaku di daerah Ciomas sendiri, antara lain :
1) Para pemungut pajak sering melakukan praktik, bahwa untuk menuai panen para petani diharuskan menunggu waktu yang ditentukan oleh tuan tanah. Untuk mengawasi panen, tuan tanah menunjuk petugas – petugas dan penjaga yang ditempatkan di sawah – sawah. Oleh karena petugas – petugas dan penjaga tersebut tidak diawasi secara langsung oleh tuan tanah, mereka cenderung untuk menggunakan kedudukannya dengan praktik yang curang terhadap petani. Berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di tanah partikelir lainnya, bahwa pada saat panen tiba, penuaian hanya dilakukan oleh petani di daerah itu. Hal ini akan membawa akibat, bahwa sebagian dari hasil panen dapat diserap ke tempat lain, dan dengan sendirinya mengurangi pendapatan petani di Ciomas.
2) Kekurangan pendapatan petani di Ciomas, ditambah lagi dengan kewajiban untuk mengangkut hasil panen milik tuan tanah dari sawah – sawah ke lumbung – lumbung (gudang – gudang padi), yang jaraknya antara 10 sampai 12 paal (= 15 sampai 18 km).
3) Di kebun – kebun dan pabrik – pabrik kopi Ciomas, berlau juga sistem perbudakan yang lebih berat, sehingga berlaku juga kerja paksa, dan kepada buruh yang tidak hadir atau datang terlambat dikenakan peraturan yang keras.
4) Kepada para petani dikenakan juga kewajiban untuk menyerahkan jenis barang tertentu, antara lain penyerahan dua butir kelapa untuk setiap pohon, penyerahan sebatang bambu untuk setiap petak sawah, penyerahan seluruh hasil pohon enau dan kopi yang diwajibkan ditanam di kebun petani yang jumlahnya mencapai 250 batang.
5) Petani dilarang mengekspor padi, kerbau, dan hasil bumi lainnya.
6) Jika petani tidak dapat membayar huangnya, maka akan dikenakan penyitaan atas tanah, rumah, dan kerbaunya.
7) Perluasan kekuasan tuan tanah terhadap petani sampai juga pada pengawasan mengenai penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan pohon – pohon.
8) Kaum wanita dan anak – anak pun diharuskan bekerja selama sembilan hari untuk setiap bulannya.
Adanya dominasi politik, ekonomi, dan sosial yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap kaum petani, telah membawa iklim yang lebih buruk dan pada akhirnya sampai mencapai konflik yang tajam. Salah satu akibat dari pelaksanaan eksploitasi tenaga kerja yang berat dan pemungutan cuke yang tinggi menjelang pecahnya perlawanan petani ialah terjadinya migrasi penduduk dari daerah itu. Bagi mereka yang tidak tahan lagi dengan praktik pemerasan tuan tanah dan merasa terancam akan kehancuran ekonominya segeralah angkat kaki meninggalkan tanah partikelir di Ciomas. Perasaan tidak puas petani untuk bekerja di tanah partikelir lebih nampak nyata ketika menolak kerja paksa di perkebunan kopi, dan mulailah mencetuskan perlawanan secara terbuka yang ditandai dengan tindakan kekerasan.
Perlawanan secara langsung diawali dengan melancarkan pemberontakan tanggal 22 Februari 1886, ketika mereka membunuh Camat Ciomas, Haji Abdurrachim (RM. H. ABDURRACHMAN ADI MENGGOLO), dan masih pada bulan Februari itu juga Arpan bersama kawan – kawannya mengundurkan diri ke Pasir Paok, dan di sana mereka menolak untuk menyerah kepada tentara pemerintah kolonial.
Sebulan sebelum terjadinya kedua peristiwa tadi, Mohammad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung Salak. Sekalipun ia lahir di Ciomas, namun dalam perjuangan hidupnya ia selalu berpindah – pindah tempat, seperti ke Sukabumi dan Ciampea. Ia termasuk salah seorang yang sangat membenci tuan tanah dan kaki tangannya. Karena sikapnya itu, maka semakin banyaklah petani pelarian dari tanah partikelir untuk menggabungkan diri. Setelah diadakan pertemuan besar di pondok kecilnya, Idris bersama pengikutnya bersepakat untuk melancarkan penyerangan ke Ciomas. Dan tepat pada hari Rabu malam, tanggal 19 Mei 1886 sesuai dengan rencana semula Idris bersama pengikutnya berhasil menduduki daerah Ciomas bagian selatan. Selama menduduki daerah tersebut mereka tidak melakukan perampokan terhadap gudang – gudang di Sukamantri, Gadong, dan Warungloa. Bahkan sebaliknya mereka menyatakan, bahwa serangan yang dilancarkannya itu tidak dimaksudkan untuk merampok kekayaan, tetapi serangan tersebut hanya ditujukan khusus bagi pribadi tuan tanah. Tanggal 20 Mei 1886 para pemberontak menyelenggarakan upacara sedekah bumi di Gadong, yang dihadiri juga oleh semua pegawai tuan tanah. Upacara tersebut sebenarnya merupakan perayaan tahunan yang dimeriahkan dengan permainan musik, tari – tarian, dan atraksi – atraksi lainnya. Sebagai penutup dari perayaan itu, seolah – olah seperti diberikan aba – aba, bahwa kaum pemberontak setelah melihat pegawai – pegawai tuan tanah yang sesungguhnya bertindak sebagai penindas dan memeras mereka, beberapa diantara pengikut Mohamad Idris segera melampiaskan kemarahannya menyerang agen – agen tuan tanah secra membabi buta. Perayaan sedekah bumi itu berakhir dengan pembunuhan besar – besaran yang ditujukan kepada pegawai – pegawai tuan tanah. Dari peristiwa pembunuhan tersebut, diketahui bahwa sejumlah 40 orang mati dibunuh, dan 70 orang lainnya luka – luka. Tuan tanah beserta keluarganya selamat, karena secara kebetulan mereka tidak hadir dalam upacara itu.
Dari panggung peristiwa perlawanan petani Ciomas itu, jelaslah bahwa yang menjadi sasaran utama dan sebgai musuhnya adalah tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial baik asing maupun pribumi, para pedagang, dan lintah darat.
Gerakan perlawanan petani Ciomas memperlihatkan adanya spontanitas baik waktu timbul maupun selama masa berkembangnya, yang ditunjang juga dengan iklim atau situasi politik yang benar – benar telah diperhitungkan akan timbulnya gerakan perlawanan. Peristiwa perlawanan petani Ciomas merupakan suatu corak atau model perjuangan yang berlatar belakang perbedaan kepentingan dan tujuan anara tuan tanah, pemerintah, dan pegawai – pegawai lainnya dengan kaum petani di lain pihak. Pertentangan kepentingan dan tujuan itu, pada akhirnya dapat dilakukan dalam bentuk perlawanan secara keras dari pihak petani sebagai protes akibat tekanan – tekanan yang berat.perkawinan: <296> ♀ Nyi Kasihan [?]
perkawinan: <297> ♀ Nyai Prawiro Purbo ? (Jiwaningsih) [?] d. 1896?
wafat: 4 Maret 1933, Yogyakarta
penguburan: 5 Maret 1933, Yogyakarta
perkawinan: <298> ♀ Raden Ayu Hamengkunegoro [?]
perkawinan: <1056!> ♀ Raden Ayu Kusumodilogo / Raden Ajeng Siti Rokhiyah [Hb.6.11.30] [Hamengku Buwono VI]
gelar: 5 Maret 1883, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro Sudibyo Rajaputra Nalendra ing Mataram
perkawinan: <299> ♀ Raden Ayu Wiroguno [Hb.7.4.1] [Hamengku Buwono VII]
K.R.T Wiroguno menjabat Bupati Patih Kadipaten Yogyakarta termasuk empu gendhing yang unggul. Disamping itu beliau masih melanjutkan membina corak pagelaran tari ciptaan ayahnya , Pangeran Mangkubumi, yaitu Langendriya. Beliau juga menciptakan dan mengembangkan tari golek putri, ikut serta membina Perkumpulan Tari Krida Beksa Wirama dan aktif membina penyiaran gendhing-gendhing atau seni suara melalui siaran radio pada masa itu.
Hasil Karya K.R.T Wiroguno antara lain : 1) menyusun teori dan pedoman seni gendhing dan suara gaya Mataraman, 2) menciptakan notasi gendhing gaya Mataraman dengan not balok, 3) menyusun suatu lokasi gendhing-gendhing Mataram dalam suatu buku tulisan tangan mulai tahun 1919,
4) mencipta dan menggubah tidak kurang dari 100 buah gendhing, baik gendhing Ageng maupun gendhing alit.wafat: 27 April 1943, Yogyakarta
perkawinan: <853!> ♀ Raden Ayu Roostijah [Ga.Hb.7.20.3] [Hb.6.20.3] (Bendoro Raden Ayu Doyopurnamaningrum) [Pugeran]
perkawinan: <300> ♀ Raden Ayu Purbaningrum [Ga.Hb.7.20.5] [Hb.6.5.2.2] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <301> ♀ Bendoro Raden Ayu Juwitaningrum [Ga.Hb.7.20.2] [?]
perkawinan: <302> ♀ Bendoro Raden Ayu Pujaningrum [Ga.Hb.7.20.1] [?]
perkawinan: <303> ♀ Bendoro Raden Ayu Kumaraningrum [Ga.Hb.7.20.4] [?]
perkawinan: <304> ♀ Raden Ayu Grimis [Pl.Hb.7.20.1] [?]
perkawinan: <305> ♀ Raden Ayu Supirah [Pl.Hb.7.20.2] [?]
gelar: 1895, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Nalendra ing Mataram
perkawinan: <306> ♀ Kanjeng Raden Ayu Hadipati Anom [Gp.Hb.7.20.1] ? (Raden Ayu Amangkunegoro) [?] , Yogyakarta
wafat: 21 Februari 1913, Yogyakarta
Terlahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Putro, dari permaisuri, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, pada tanggal 8 Maret 1879.
GRM Putro yang telah menyandang gelar Gusti Pangeran Harya (GPH) Purubaya dilantik menjadi Putra Mahkota Keraton Yogyakarta bergelar SDKGPAA Hamengkunegoro III menggantikan kakandanya SDKGPAA Hamengkunegoro II yang dikarenakan kesehatannya kurang memadai, dilepaskan haknya sebagai Putera Mahkota dan diturunkan derajat kepangeranannya menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Juminah. Gelar GPH Purubaya diwariskan kepada adindanya GRM Sujadi.
Sebagai Putra Mahkota, SDKGPAA Hamengkunegoro III memiliki seorang patih Kadipaten yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Wiroguno. Bendera yang digunakan adalah Kyai Pare Anom, yang berwarna Hijau dan Kuning sebagai lambang Putra Mahkota. Seluruh kakandanya dan sanak saudaranya yang lebih tua memanggilnya dengan sebutan Kanjeng Gusti, sedangkan adik-adiknya menyebutnya dengan Rama Gusti sebagai tanda wakil dari ayahandanya selaku Sultan.
Di bidang seni & sastra, selain aktif sebagai penari Keraton dengan membawa tokoh sebagai Raden Gatutkaca / Purubaya, SDKGPAA Hamengkunegoro III juga menulis Serat Bharatayudha.
Di bidang pendidikan, SDKGPAA Hamengkunegara III mendirikan sekolah bagi para putra bangsawan keraton dan juga keluarga para sentana dalem di Pagelaran Keraton Yogyakarta, yang kemudian terkenal dengan nama Sekolah Keputran. ( Keputran diambil dari nama kecil beliau, PUTRO )
Di bidang lingkungan hidup & industri, SDKGPAA Hamengkunegoro III didampingi pamandanya KGPA Mangkubumi, membangun industri perkebunan vanilli di Pakem dan mereboisasikan Kaliurang. Disamping itu beliau juga membangun Pabrik Gula di Madukismo dan tambang Mangaan di Kulon Progo untuk meningkatkan perekonomian kerajaan dan sekaligus menciptakan lapangan kerja juga menaikkan taraf hidup rakyat.
Seringkali SDKGPAA Hamengkunegoro III berbenturan pendapat dan pemikiran dengan pihak penjajah Belanda, yang selalu mencoba menahan kemajuan dan kemandirian Keraton Yogyakarta.
Demikian ikhtisar singkat biografi SDKGPAA Hamengkunegoro III, namun sebelum beliau memenuhi keinginan ayahandanya Sri Sultan Hamengku Buwono VII untuk menggantikannya, beliau wafat dalam usia 34 tahun tepatnya pada tanggal 21 Februari 1913, akibat sakit keras sekembalinya beliau dari Kulon Progo dan Gunung Kidul.
Sumber: https://www.facebook.com/pages/KGPAAnom-Hamengkunegoro-III/135924553106257?sk=infoperkawinan: <307> ♀ Raden Ayu Suryodiningrat Enem [Ga.Hb.7.24.4] [?]
perkawinan: <308> ♀ Bendoro Raden Ayu Suryodiningrat [Pb.10.?] (Bendoro Raden Ajeng Kusatima) [Pakubuwono X] , Surakarta
wafat: 1960, Yogyakarta
perkawinan: <820!> ♀ Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Amangku Negara [Gp.Hb.8.1] [Hb.6.11.14] (Raden Ajeng Katinah / Kanjeng Alit) [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <309> ♀ Bendoro Raden Ayu Purya Aningdiya [Ga.Hb.8.1] ? (Raden Ayu Pujoningdiah) [?]
perkawinan: <310> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitoningdiah [Ga.Hb.8.3] [?]
perkawinan: <311> ♀ Bendoro Raden Ayu Srengkara Ningdiya [Ga.Hb.8.3] ? (Raden Ayu Srengkorohadiningdiah) [?]
perkawinan: <312> ♀ Bendoro Raden Ayu Rukmi Aningdiya [?]
perkawinan: <313> ♀ Kanjeng Bendoro Raden Ayu Ratna Adiningrum [Ga.Hb.8.6] ? (Raden Ayu Retnohadiningrum) [?]
perkawinan: <314> ♀ Raden Ayu Siti Umiramtilah / Umiramsilah [Ga.Hb.8.6] [Hb.6.20.5.5] (Bendoro Raden Ayu Retnopuspito) [Pugeran]
perkawinan: <827!> ♀ Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegoro [Gp.Hb.8.1] (Raden Ajeng Kustilah [Hb.6.11.21]) [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <190!> ♀ Bendoro Raden Ayu Rukmidiningdia [Ga.Hb.8.4] [Hb.6.9.3.1] (Bendoro Raden Ayu Rukhihadiningdyah) [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <315> ♀ Raden Ayu Pustinah [Hb.6.20.9.3] (Bendoro Raden Ayu Retno Wilanten) [Pugeran]
perkawinan: <880!> ♀ Raden Ayu Siti Katina [Ga.Hb.8.1] [Hb.6.11.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono VI] , Yogyakarta
gelar: 8 Februari 1921 - 22 Oktober 1939, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana VIII Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping VIII
wafat: 22 Oktober 1939, Yogyakarta, Indonesia
Pada masa pemerintahannya, beliau banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang rehabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe.
Beliau meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di RS Panti Rapih Yogyakarta karena menderita sakit.
Silsilah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Anak kesembilan dari Sultan Hamengkubuwana VII (Sultan Ngabehi) dan istri keduanya GKR Mas Memiliki delapan istri: 1.RA Siti Katina, putri Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi, tahun 1907 2.BRA Purya Aningdiya 3.BRA Puspitaningdiya 4.BRA Srengkara Aningdiya 5.RA Kustilah/KRA Adipati Anum Amangku Negara/Kanjeng Alit, putri Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi 6.BRA Rukmi Aningdiya 7.KBRAy Ratna Adiningrum 8.BRAy Ratna Puspita Memiliki dua puluh empat putra: 1.BRM ... dari BRA Purya Aningdiya, meninggal sebelum sempat diberi nama. 2.BRM Mustari dari BRA Puspitaningdiya 3.Mayor BRM Jartabitu/Kanjeng Mas Pangeran Angabehi/Gusti Pangeran Angabehi dari BRA Puspitaningdiya, menikah dengan BRA Siti Mustakirun 4.Kapten BRM Sungangusamsi/GBPH Purbaya dari BRA Srengkara Aningdiya, menikah dengan BRA Madusari/RAy Purbaya. 5.BRM Sumeru/GBPH Dhanupaya dari BRA Puspitaningdiya 6.BRM Sudiarsa dari BRA Purya Aningdiya 7.BRM Kartala/GBPH Mangkudiningrat dari BRA Purya Aningdiya, menikah dengan RA Sumani dan menikah dengan Amiratna/BRA Mangkudiningrat, putri kedua dari KGPAA Raja Paku Alam VI dan Kanjeng Gusti Timur putri dari KGPAA Raja Paku Alam III 8.BRM Tinggartala/GBPH Prabuningrat dari BRA Puspitaningdiya 9.GRM Dorojatun/GBPH Purbaya/Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Kanjeng Alit 10.BRM Duryatnanu dari BRA Purya Aningdia 11.BRM Mahikyaun/GBPH Surya Wijaya dari BRA Rukmi Aningdiya 12.BRM Rais ul-Ngah Askari/GBPH Bintara dari BRA Srengkara Aningdiya 13.BRM Alpasuatlamin/GBPH Surya Brangta dari BRA Purya Aningdiya 14.BRM Mupasalukatini dari BRA Puspitaningdiya 15.BRM Ila ul-Kirami/GBPH Murdaningrat dari BRA Srengkara Aningdiya 16.BRM Makan ul-Munayati/BGBPH Puya Kusuma dari BRA Purya Aningdiya 17.BRM Pel ul-Kuluki/GBPH Suryaputra dari KBRAy Ratna Adiningrum 18.BRM Sunwata/GBPH Adi Wijaya dari BRAy Ratna Puspita 19.BRM Sahadatsatir dari BRAy Ratna Puspita 20.BRM Hening /GBPH Yudha Negara dari KBRAy Ratna Adiningrum 21.BRM Dr Banakamsi/GBPH Dr Dipayana dari BRA Tejaningrum 22.BRM Satriya/GBPH Benawa dari KBRAy Ratna Adiningrum 23.BRM Danangjaya dari KBRAy Ratna Adiningrum 24.BRM Rabinharyani/GBPH Puger dari BRAy Ratna Puspita Memiliki tujuh belas putri: 1.BRA Gusti Siti Sundarumiya/GKR Pembayun dari BRA Purya Aningdiya, menikah dengan BPH Pakuningrat, putra tertua KGRM Putra/KGPAA Amangku Negara. 2.BRA Siti Sayadi/GBRAy Sinduraja dari BRA Purya Aningdiya, menikah dengan KRT Sinduraja. 3.BRA Siti Sadari/GBRAy Purbawinata dari BRA Puspitaningdiya, menikah dengan KRT Purbawinata/KPH Purbawinata. 4.BRA Siti Kadarmi/GBRAy Jaya ningrat dari BRA Puspitaningdiya, menikah dengan KRT Jayaningrat. 5.BRA Siti Kajananywa/GBRAy Jaya Winata dari BRA Srengkara Aningdiya, menikah dengan KRT Jayawinata. 6.BRA Siti Mutasangilun dari BRA Srengkara Aningdiya 7.BRA Siti Nuriwadina/GBRAy Chandradiningrat dari BRA Srengkara Aningdiya, menikah dengan KRT Chandradiningrat. 8.BRA Siti Kuswanayi/GBRAy Cakradiningrat dari BRA Rukmi Aningdiya, menikah dengan GBPH Cakradiningrat, putra dari KGRM Putra/KGPAA Amangku Negara. 9.BRA Siti Sriwayati/GBRAy Purbasaputra dari BRA Srengkara Aningdiya, menikah dengan KRT Purbaseputra. 10.BRA Siti Swandari/GBRAy Purwadiningrat dari BRA Puspitaningdiya, menikah dengan KRT Purwadiningrat. 11.BRA Siti Hilal ul-Ngasarati/GBRAy Kusuma Adiningrat dari BRA Puspitaningdiya, menikah dengan KRT Kusumadiningrat. 12.BRA Siti Sutyanti/GBRAy Jayaningrat dari KBRAy Ratna Adiningrum, menikah dengan Ir. Raden Puspaharsana Jayaningrat. 13.BRA Siti Padmasari/GBRAy Sumarman dari KBRAy Ratna Adiningrum, menikah dengan Raden Sumarman, S.H. 14.BRA Siti Wayarini dari BRAy Ratna Puspita 15.BRA Siti Prayuti dari BRAy Ratna Puspita 16.BRA Siti Widyastuti/GBRAy Andayaningrat dari KBRAy Ratna Adiningrum, menikah dengan Raden Suwarna Andayaningrat.
17.BRA Siti Sutarnin dari BRAy Ratna Puspitapekerjaan: 1909, Kalasan, Diangkat menjadi Panewu Palang Negari (Sekretaris) di Kabupaten Kalasan dan bergelar Raden Panewu Mangundimejo
pekerjaan: 1914, Gunung Kidul Regency, Menjadi Panji Kepala Distrik) di Semanu Kabupaten Gunung Kidul dan bergelar Raden Panji Harjodipuro yang kemudian diubah menjadi Harjokusumo
pekerjaan: 1919, Kalasan, Menjadi Bupati Pangreh Praja Kalasan dan bergelar Raden Tumenggung Harjokusumo
pekerjaan: 1927, Yogyakarta, Menjadi Bupati Kabupaten Kota Yogyakarta yang merupakan gabungan Kabupaten Sleman, Kalasan, dan Kota Yogyakarta
gelar: 3 November 1933, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII
perkawinan: <305!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Chondrokirono II [Hb.7.54] [Hamengku Buwono VII] , Yogyakarta
pensiun: 14 Juli 1945, Yogyakarta
perkawinan: <316> ♀ Raden Ayu Surtiadiwati Suryomataram [Hb.6.9.14.1] [Hamengku Buwono VI] d. 1921
perkawinan: <317> ♀ Nyai Ageng Suryomataram [?] , Salatiga
wafat: 18 Maret 1962, Yogyakarta
perkawinan: <318> ♀ Raden Ayu Hadikusumo Sepuh [Gp.Hb.7.58.1] [Hb.6.5.2.4] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <319> ♀ Raden Ayu Hadikusumo Enem [Gp.Hb.7.58.2] [Hb.6.9.7.3] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <320> ♀ Raden Roro Untari [?]
wafat: 24 Oktober 1974, Hasto Renggo, Yogyakarta
perkawinan: <322> ♀ Raden Ayu Hadiningrum [?]
perkawinan: <323> ♀ Raden Ayu Sasmintaningrum [?]
gelar: 9 November 1893, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Nalendra ing Mataram
wafat: 1942?, Pasarean Hastorenggo, Yogyakarta
wafat: 1954
penguburan: Pemakaman Candiwulan
perkawinan: <324> ♀ Raden Ayu Hadinegoro Sepuh [Gp.Hb.7.68.1] [?]
perkawinan: <325> ♀ Raden Ayu Hadinegoro Enem [Gp.Hb.7.68.2] Raden Ajeng Ismusiratun [Surodiningrat]
wafat: 30 Agustus 1982, Yogyakarta
perkawinan: <326> ♂ Raden Wedana Sindudipuro [?] b. 14 September 1901 d. 11 Mei 1951
wafat: 2 Oktober 1968, Yogyakarta
perkawinan: <327> ♀ Siti Oetari Tjokroaminoto [Kyai Muhammad Besari Tegalsari - Ponorogo] d. 1981, Surabaya
perkawinan: <328> ♀ Inggit Garnasih [?] b. 17 Februari 1888, Bandung
perceraian: <328!> ♀ Inggit Garnasih [?] b. 17 Februari 1888
perkawinan: <329> ♀ Fatmawati [?] b. 5 Februari 1923 d. 14 Mei 1980, Jakarta
pekerjaan: 18 Agustus 1945 - 20 Februari 1967, Jakarta, Presiden Republik Indonesia
perkawinan: <330> ♀ Hartini [?] b. 20 September 1924 d. 12 Maret 2002, Istana Cipanas
perkawinan: <331> ♀ Kartini Manoppo [Manoppo] b. 1939 d. 1990
perkawinan: <332> ♀ Ratna Sari Dewi [?] b. 6 Februari 1940
perkawinan: <333> ♀ Haryati [?]
perkawinan: <334> ♀ Yurike Sanger [Sanger] , Jakarta
perceraian: <333!> ♀ Haryati [?]
perkawinan: <335> ♀ Heldy Djafar [Djafar] b. 11 Juni 1947 d. 10 Oktober 2021
wafat: 21 Juni 1970, Jakarta
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat— menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[6] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[6] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.[6]
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno oleh orangtuanya.[5] Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur sebelas tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya.[5][7]:35-36 Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna.[5][7] Nama "Karna" menjadi "Karno" karena dalam bahasa Jawa huruf "a" berubah menjadi "o" sedangkan awalan "su" memiliki arti "baik".[7]
Di kemudian hari ketika menjadi presiden, ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[7]:32. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah, selain itu tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun[7]:32. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno. Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?"[butuh rujukan] karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed didapatnya ketika menunaikan ibadah haji.[8] Dalam beberapa versi lain,[butuh rujukan] disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
Dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (terjemahan Syamsu Hadi. Ed. Rev. 2011. Yogyakarta: Media Pressindo, dan Yayasan Bung Karno, ISBN 979-911-032-7-9) halaman 32 dijelaskan bahwa namanya hanya "Sukarno" saja, karena dalam masyarakat Indonesia bukan hal yang tidak biasa memiliki nama yang terdiri satu kata.perkawinan: <336> ♀ Kanjeng Bendoro Raden Ayu Purnamaningrum [Pakualaman]
perkawinan: <337> ♀ Kanjeng Raden Ayu Ratnaningrum [?]
gelar: 13 April 1937, Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Haryo Prabu Suryodilogo
gelar: 1942 - 11 September 1998, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII
pekerjaan: 1 Oktober 1988 - 3 Oktober 1998, Yogyakarta, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
wafat: 11 September 1998, Yogyakarta
Pada 19 Agustus 1945 bersama Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII mengirimkan telegram kepada Sukarno dan Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada 5 September 1945 secara resmi KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat/Maklumat (semacam dekrit kerajaan) bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah kerajaan terkecil pecahan Mataram ini menjadi daerah Istimewa. Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober tahun yang sama, ia berdua sepakat untuk menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI. Selain itu ia juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah.
Setelah Hamengkubuwono IX mangkat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayatnya pada tahun 1998. Perlu ditambahkan bahwa pada 20 Mei 1998 ia bersama Hamengkubuwono X mengeluarkan Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya ia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).perkawinan: <338> ♀ Theodora Eland [Eland] b. 7 November 1919 d. 18 Maret 2011
wafat: 30 Oktober 1945, Laren
perkawinan: <340> ♀ R. A. Clara Siti Katijah Mangoenwinoto [Mangoenwinoto]
wafat: 30 Desember 1931, Yogyakarta
pekerjaan: 30 November 1933 - 14 Juli 1945, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII
wafat: 8 Agustus 1945, Yogyakarta, Disarekan Pasarean Kuncen Yogyakarta
wafat: 26 Februari 1955, Yogyakarta, Disarekan Pasarean Kuncen Yogyakarta
wafat: 25 Desember 1973, Jakarta
perkawinan: <348> ♀ Raden Adjeng Woerjan (Moerjam) [Madura]
perkawinan: <362> ♀ Raden Ayu Doyomurti [Ga.Hb.7.1.1] [?]
perkawinan: <363> ♀ Raden Ayu Doyoresmi [Ga.Hb.7.1.2] [?]
perkawinan: <364> ♀ Raden Ayu Tejowati [Ga.Hb.7.13.1] [?]
perkawinan: <365> ♀ Raden Ayu Tejoresmi [Ga.Hb.7.13.2] [?]
perkawinan: <366> ♀ Raden Ayu Tejoningsih [Ga.Hb.7.13.3] [?]
perkawinan: <367> ♀ Raden Ayu Tejomurti [Ga.Hb.7.13.4] [?]
perkawinan: <368> ♀ Raden Ayu Tejohamboro [Ga.Hb.7.13.5] [?]
perkawinan: <369> ♀ Raden Ayu Tejoasmoro [Ga.Hb.7.13.6] [?]
perkawinan: <370> ♀ Raden Ayu Tejoningdyah [Ga.Hb.7.13.7] [?]
SEJARAH SINGKAT PERGURUAN SILAT TAPAK SUCI
Di Banjarnegara, Jawa Tengah, Kiyai Haji (K.H.) Syuhada pada tahun 1872 memiliki seorang putera yang diberi nama Ibrahim. Sejak kecil ia menerima ilmu pencak dari ayahnya. Ibrahim tumbuh menjadi Pendekar yang menguasai pencak ragawi dan batin / inti tetapi sekaligus Ulama yang menguasai banyak ilmu, kemudian berganti nama menjadi K.H. Busyro Syuhada.
Pada awalnya K.H.Busyro Syuhada mempunyai 3 murid, yaitu : •Achyat ( adik misan ), yang kemudian dikenal dengan K.H. Burhan •M.Yasin ( adik kandung ), yang dikenal dengan K.H. Abu Amar Syuhada •Soedirman, yang dikemudian hari mencapai pangkat Jenderal dan pendiri Tentara Nasional Indonesia, bahkan bergelar Panglima Besar Soedirman.
Pada tahun 1921 di Yogyakarta, bertemulah K.H. Busyro Syuhada dengan kakak beradik Ahmad Dimyati dan Muhammad Wahib. Dalam kesempatan itu mereka adu ilmu pencak antara M. Wahib dan M. Burhan. Kemudian A. Dirnyati dan M. Wahib dengan pengakuan yang tulus mengangkat K.H. Busyro Syuhada sebagai guru dan mewarisi ilmu pencak dari K.H. Busyro Syuhada yang kemudian menetap di Kauman. Menelusuri jejak gurunya, Ahmad Dimyati mengembara ke barat sedang M. Wahib mengembara ketimur sampai ke Madura untuk menjalani adu kaweruh ( uji ilmu ). Pewaris ilmu banjaran, mewarisi juga sifat-sifat gurunya M. Wahib sebagaimana K.H. Busyro Syuhada, bersifat keras, tidak kenal kompromi, suka adu kaweruh. Untuk itu sangat menonjol nama M. Wahib dari pada A. Dimyati. Sedang A. Dimyati yang banyak dikatakan ilmunya lebih tangguh dari pada adiknya M. Wahib tetapi karena pendiam dan tertutup maka tidak banyak kejadian-kejadian yang dialami. Sebagaimana M. Burhan yang mempunyai sifat dan pembawaan sama dengan A. Dimyati.
K. H. Busyro Syuhada pernah menjadi guru pencak untuk kalangan bangsawan dan keluarga Kraton Yogyakarta. Salah satu diantara muridnya adalah R.M. Harimurti, seorang pangeran kraton, yang dikemudian hari beberapa muridnya mendirikan perguruan–perguruan pencak silat yang beraliran Harimurti.
Kauman, Seranoman dan Kasegu
Pendekar Besar KH Busyro Syuhada memberi wewenang kepada pendekar binaannya, A. Dimyati dan M. Wahib untuk membuka perguruan dan menerima murid. Perguruan baru yang didirikan pada tahun 1925 itu diberi nama Perguruan "Kauman", yang beraliranBanjaran.
Perguruan Kauman mempunyai peraturan bahwa murid yang telah selesai menjalani pendidkan dan mampu mengembangkan ilmu pencak silat diberikan kuasa untuk menerima murid.
M. Syamsuddin yang menjadi murid kepercayaan Pendekar Besar M..Wahib diangkat sebagai pembantu utama; dan dizinkan menerima murid. Kemudian mendirikan perguruan ”Seranoman". Perguruan Kauman menetapkan menerima siswa baru, setelah siswa tadi lulus menjadi murid di Seranoman. Perguruan Seranoman melahirkan pendekar muda Moh. Zahid, yang juga lulus menjalani pendidikan di perguruan Kauman. Moh. Zahid yang menjadi murid angkatan ketiga (3) bahkan berhasil pula mengembangkan pencak silat yang berintikan kecepatan; kegesitan, dan ketajaman gerak. Tetapi murid ketiga ini pada tahun 1948, wafat pada usia yang masih sangat muda. Tidak sempat mendirikan perguruan baru tetapi berhasil melahirkan murid, Moh. Barie lrsjad.
Pendekar Besar KH Busyro Syuhada berpulang ke Rahmatullah pada bulan Ramadhan 1942. Pendekar Besar KH Busyro Syuhada bahkan tidak sempat menyaksikan datangnya perwira Jepang, Makino, pada tahun 1943 yang mengadu ilmu beladirinya dengan pencak silat andalannya. Makino mengakui kekurangannya dan menyatakan menjadi murid Perguruan Kauman sekaligus menyatakan masuk Islam kemudian berganti nama menjadi Omar Makino. Pada tahun 1948 Pendekar Besar KH Burhan gugur bersama dengan 20 muridnya dalam pertempuran dengan tentara Belanda di barat kota Yogyakarta. Kehilangan besar pesilatnya menjadikan perguruan Kauman untuk beberapa sa’at berhenti kegiatannya dan tidak menampakkan akan muncul lagi Pendekar. Moh. Barie lrsjad sebagai murid angkatan keenam (6) yang dinyatakan lulus dari tempaan ujian Pendekar M. Zahid, M. Syamsuddin, M. Wahib dan A. Dimyati kemudian dalam perkembangan berikutnya mendirikan perguruan "Kasegu"
Kalau perguruan-perguruan sebelumnya diberi nama sesuai dengan tempatnya. Perguruan Kasegu diberikan nama sesuai dengan senjata yang diciptakan oleh Pendekar Moh. Barie Irsjad.
Lahirnya Tapak Suci
Moh. Barie lrsjad akhirnya mengeluarkan gagasan agar semua aliran Banjaran yang sudah berkembang dan terpecah-pecah dalam berbagai perguruan, disatukan kembali ke wadah tunggal.
Pendekar Besar M. Wahib merestui berdirinya satu Perguruan yang menyatukan seluruh perguruan di Kauman. Restu diberikan dengan pengertian Perguruan nanti adalah kelanjutan dari Perguruan Kauman yang didirikan pada tahun 1925 yang berkedudukan di Kauman.
Pendekar M. Wahib mengutus 3 orang muridnya. dan M. Syamsuddin mengirim 2 orang muridnya untuk bergabung. Maka Pendekar M. Barie Irsjad bersama sembilan anak murid menyiapkan segala sesuatunya untuk mendirikan Perguruan.
Dasar-dasar perguruan Kauman yang dirancang oleh Moh. Barie lrsjad, Moh. Rustam Djundab dan Moh. Djakfal Kusuma menentukan nama Tapak Suci. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dikonsep oleh Moh Rustam Djundab. Do’a dan lkrar disusun oleh H. Djarnawi Hadikusuma. Lambang Perguruan diciptakan oleh Moh. Fahmie Ishom, lambang Anggota diciptakan oleh Suharto Suja', lambang Regu Inti "Kosegu" diciptakan Adjib Hamzah. Sedang bentuk dan warna pakaian dibuat o!eh Moh. Zundar Wiesman dan Anis Susanto. Maka pada tanggal 31 Juli 1963 lahirlah Perguruan Seni Beladiri Indonesia Tapak Suciperkawinan: <1175!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Danuhadiningrat II [Hb.7.15] [Hamengku Buwono VII]
perkawinan: <1217!> ♂ Raden Mas Rusyadi [Hb.7.17.14] (Kanjeng Raden Tumenggung Kusumodilogo) [Hamengku Buwono VII]
perkawinan: <398> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Suryadi [?]
perkawinan: <400> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Wiryokusumo [?]
perkawinan: <625!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Yudonegoro III Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VII [Danurejo] b. 20 November 1869 d. 1933
- Kepala SMAN A1, Yogyakarta
- Kepala Sekolah Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama, Yogyakarta