Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III / Raden Mas Suryadi d. 26 September 1788 - Keturunan (Inventaris)

Dari Rodovid ID

Orang:26148
Langsung ke: panduan arah, cari
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono III / Raden Mas Suryadi [Pakubuwono III]
perkawinan:
perkawinan: <1> Kanjeng Ratu Kencana [Wiroredjo]
perkawinan: <2> Mbok Ajeng Wiled [Wiled]
gelar: 15 Desember 1749 - 26 September 1788, Kartasura, Susuhunan Surakarta Ke-II bergelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono III DIPUTUS: 26145; 26151; 26153; 322833; 469952
wafat: 26 September 1788, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana III (lahir: Kartasura, 1732 – wafat: Surakarta, 1788) adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Ia merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.

Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri putri Pangeran Purbaya Lamongan (putra Pakubuwana I). Pakubuwana III naik takhta Surakarta tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras (meninggal tanggal 20). Ia dilantik sebagai raja oleh Baron von Hohendorff gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, yang mewakili VOC.

Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Mangkubumi ini telah meletus sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Mangkubumi sebagai raja dan Mas Said sebagai patih tanggal 12 Desember 1749 di markas besar mereka, yaitu bekas daerah lama Mataram.

Yogyakarta Mendapatkan Kedaulatan Pasukan pemberontak semakin kuat. Para pejabat Surakarta yang bergabung dengan mereka pun semakin banyak. Berkali-kali mereka menyerang istana namun tidak mampu mengusir Pakubuwana III yang dilindungi VOC.

Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Mangkubumi dan Mas Said. Pihak VOC segera menawarkan perdamaian dengan Mangkubumi sejak 1754. Perundingan-perundingan berakhir dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Mangkubumi sebagai raja Mataram yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Mangkubumi pun bergelar Hamengkubuwana I yang membangun istana baru bernama Yogyakarta tahun 1756 sebagai pusat kerajaan Mataram.

Pada perkembangan selanjutnya, Kesultanan Mataram yang dipimpin Hamengkubuwana I lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III (yang wilayahnya tinggal setengah) terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.

Akhir Pemberontakan Mas Said Sesuai isi Perjanjian Giyanti, Mas Said pun menjadi musuh bersama VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I. Mas Said yang mulai terdesak akhirnya bersedia berunding dengan VOC sejak 1756.

Puncaknya, pada bulan Maret 1757 Mas Said menyatakan kesetiaan terhadap VOC, Surakarta, dan Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Mas Said bergelar Mangkunegara I. Daerah kekuasaannya bernama Mangkunegaran, yaitu sebidang tanah pemberian Pakubuwana III yang berada di dalam wilayah Surakarta. Sisa-sisa Pemberontak Setelah tahun 1757 suasana Pulau Jawa masih panas karena masih ada pemberontakan namun sifatnya relatif kecil. Pemberontakan ini dipimpin oleh Pangeran Singosari, paman Pakubuwana III dan berpusat di Jawa Timur.

Pangeran Singosari dahulu juga ikut bergabung dalam kelompok Mangkubumi dan Mas Said. Kini ia tetap melanjutkan pemberontakan dengan dukungan keturunan Untung Suropati di daerah Malang. Tawaran damai yang diajukan Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I ditolaknya.

Pasukan VOC menyerang Jawa Timur tahun 1767. Pangeran Singosari tertangkap tahun 1768. Pengadilan menjatuhinya hukuman buang namun ia lebih dulu meninggal dalam tahanan Surabaya. Sementara itu, keturunan terakhir Untung Suropati berhasil ditangkap tahun 1771.

Akhir Pemerintahan Pakubuwana III merupakan raja yang sangat tunduk kepada VOC. Setiap keputusan VOC selalu diterimanya dengan patuh karena perasaan ketergantungannya terhadap bangsa Belanda itu.

Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan istana tegang. Muncul komplotan-komplotan yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung sampai kematiannya tanggal 26 September 1788.

Pakubuwana III digantikan putranya, yang bergelar Pakubuwana IV, yaitu seorang raja yang jauh lebih cakap dan pemberani dibanding dirinya.

2

71/2 <1+2> Raden Mas Sukaryo (Gusti Pangeran Haryo Pamot) [Pakubuwono III]
perkawinan: <3> Mas Ayu Renggosari [Renggosari]
penguburan: Kotagede, Yogyakarta
22/2 <1+1> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV / Raden Mas Subadya (Sunan Bagus) [Pakubuwono IV]
lahir: 2 September 1768, Surakarta
perkawinan: <4> Raden Ayu Pamogan [Majapahit]
perkawinan: <5> Kanjeng Raden Ayu Handoyo / Raden Ayu Adipati Anom (Ratu Kencana) [Cakraningrat]
perkawinan: <6> Ratu Kencanawungu / Raden Ayu Sukaptinah [Pakubuwono]
perkawinan: <7> Mas Ayu Rantansari Joyokartiko [?]
perkawinan: <8> Raden Retnodiningsih [Mangkuyudho III]
gelar: 29 September 1788 - 2 Oktober 1820, Surakarta, Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdur Rahman Sayyidin Panotogomo IV
wafat: 2 Oktober 1820, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana IV (lahir: Surakarta, 1768 – wafat: Surakarta, 1820) adalah raja ketiga Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1788 – 1820. Ia dijuluki sebagai Sunan Bagus, karena naik takhta dalam usia muda dan berwajah tampan.

Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari[[ permaisuri keturunan sultan Demak]]. Ia dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik takhta tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.

Pakubuwana IV adalah raja Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia tertarik pada paham Kejawen dan mengangkat para tokoh golongan tersebut dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat Islam yang sudah mapan di istana.

Para tokoh Kejawen tersebut mendukung Pakubuwana IV untuk bebas dari VOC dan menjadikan Surakarta sebagai negeri paling utama di Jawa, mengalahkan Yogyakarta.

Peristiwa Pakepung Keadaan Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi raja. Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup.

Residen Surakarta pengganti Palm yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pakubuwana IV. VOC mulai cemas dan menduga Hartsinck dimanfaatkan Pakubuwana IV sebagai alat perusak dari dalam.

VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.

Pakubuwana IV akhirnya mengaku kalah tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang berpaham Kejawen untuk dibuang VOC.

Sikap terhadap Yogyakarta Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I bersama menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan.

Meskipun demikian, Pakubuwana IV tetap saja menyimpan ambisi untuk mengembalikan Mataram-Yogyakarta ke dalam pangkuan Surakarta. Sejak tahun 1800 tidak ada lagi VOC karena dibubarkan pemerintah negeri Belanda. Sebagai gantinya, dibentuk pemerintahan Hindia Belanda yang juga dipimpin seorang gubernur jenderal.

Herman Daendels gubernur jenderal Hindia Belanda sejak 1808 menerapkan aturan yang semakin merendahkan kedaulatan istana. Dalam hal ini Pakubuwana IV seolah-olah menerima kebijakan itu karena ia berharap Belanda mau membantunya merebut Yogyakarta.

Pakubuwana IV juga pandai bersandiwara di hadapan Thomas Raffles, wakil pemerintah Inggris yang telah menggeser pemerintahan Hindia Belanda tahun 1811. Sementara itu Hamengkubuwana II (pengganti Hamengkubuwana I terkesan kurang ramah terhadap bangsa asing.

Pakubuwana IV memanfaatkan kesempatan itu. Ia saling berkirim surat dengan Hamengkubuwana II yang berisi hasutan supaya Yogyakarta segera memberontak terhadap penjajahan Inggris. Harapannya, Yogyakarta akan hancur di tangan Inggris.

Pihak Inggris lebih dulu mengambil tindakan. Pada bulan Juni 1812 istana Yogyakarta berhasil diduduki dengan bantuan Mangkunegara II. Hamengkubuwana II sendiri ditangkap dan dibuang ke Penang.

Persekutuan dengan Orang-Orang Sepoy Surat-menyurat antara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwana II terbongkar. Pihak Inggris tidak menurunkan Pakubuwana IV dari takhta tapi merebut beberapa wilayah Surakarta.

Pakubuwana IV belum juga jera. Pada tahun 1814 ia bersekutu dengan kaum Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris untuk bertugas di Jawa. Tentara Sepoy ini diajak Pakubuwana IV untuk memberontak terhadap Inggris, serta menaklukkan Yogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwana III.

Persekutuan ini kandas tahun 1815. Sebanyak 70 orang Sepoy yang terlibat pemberontakan diadili pihak Inggris. Sejumlah 17 orang di antaranya dihukum mati, sedangkan sisanya dipulangkan ke India sebagai tawanan. Thomas Raffles juga membuang seorang pangeran Surakarta yang dianggap sebagai penghasut Pakubuwana IV.

Akhir Pemerintahan Pakubuwana IV masih menjadi raja Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia mengalami pergantian pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda tahun 1816.

Pakubuwana IV meninggal dunia tanggal 2 Oktober 1820. Ia digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana V.

Selain dikenal sebagai ahli politik yang cerdik, Pakubuwana IV juga terkenal dalam bidang sastra, khususnya yang bersifat rohani. Ia diyakini mengarang naskah Serat Wulangreh yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa.

Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda ia pernah belajar beberapa ilmu kesaktian kepada Pakubuwana IV. Ranggawarsita sendiri merupakan cucu angkat Pangeran Buminoto, adik Pakubuwana IV.
33/2 <1+?> Ratu Pembayun [Pakubuwono III] 44/2 <1+?> Panembahan Buminoto [Pakubuwono III]
55/2 <1> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi I [Pakubuwono III]
66/2 <1> Gusti Raden Mas Ontoseno (Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi I) [Pakubuwono III]

3

151/3 <2+8> Bendoro Raden Mas Lamdani (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudho) [Pakubuwono IV]
penguburan: Purworejo
82/3 <2+5> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono V / Sunan Sugih (Raden Mas Sugandi) [Pakubuwono V]
lahir: 1785, Surakarta
perkawinan: <10> Raden Ayu Sosrokusumo / Ratu Kencana [Martani]
perkawinan: <11> Ratu Mas / Kanjeng Ratu Ageng [?]
gelar: 10 Februari 1820 - 5 September 1823, Surakarta, Bergelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono V
wafat: 5 September 1823, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana V (lahir: Surakarta, 1785 – wafat: Surakarta, 1823) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823.

Kisah Hidup Nama aslinya adalah Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo putri Adipati Cakraningrat bupati Pamekasan. Ia naik takhta pada tanggal 10 Februari 1820, selang delapan hari setelah kematian ayahnya.

Pakubuwana V juga dikenal dengan sebutan Sunan Sugih, yang artinya “Baginda Kaya”, yaitu kaya harta dan kaya kesaktian. Konon, ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama Kyai Kaget, yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat terjadinya pemberontakan orang Cina tahun 1740.

Pakubuwana V juga memerintahkan ditulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjabat Adipati Anom. Yang menjadi juru tulis naskah populer ini ialah Raden Rangga Sutrasna.

Pakubuwana V hanya memerintah selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Raja Surakarta selanjutnya adalah putranya, yaitu Pakubuwana VI, yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional.

SRI SUSUHUNAN PAKUBUWANA V, BUKAN HANYA RAJA dari Karaton Surakarta Hadiningrat, melainkan beliau juga seorang maecenas besar yang pernah dimiliki Indonesia. Meski kekuasaannya berlangsung sangat pendek (1820-1823), namun jasa dan gagasannya terukir panjang. Dari gagasan, dan tentu donasi beliau (yang bahkan telah dimulai ketika masih sebagai putra mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV), lahirlah pada awal abad 19 itu, Suluk Tambangraras yang kemudian lebih dikenal sebagai Serat Centhini. Serat Centhini, ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga Karaton Surakarta. Yakni, Ki Ngabei Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabei Sastradipura. Sebagai sebuah karya sastra, memenuhi syarat sebagai sebuah mahakarya yang memiliki pengaruh luas. Sampai banyak orang bisa berkomentar dan menilai, sekali pun sama sekali belum pernah membacanya, sampai hari ini. Begitu hebatnya ia, sampai-sampai karya ini muncul dalam banyak versi. Setidaknya ditengarai ada 12 versi Serat Centhini, dan itu sudah cukup menunjukkan kelasnya. Daerah tebanya begitu luas. Ia mengenai apa saja. Bukan hanya mengenai sastra atau seni, melainkan juga tentang adat-istiadat, obat-obatan, makanan dan minuman (jaman sekarang disebut kuliner), pengetahuan tentang hewan, tanaman, agama, sejarah, dan bahkan tentang seks. Tentang yang terakhir itulah, Serat Centhini antara lain dikenal luas. Karena Serat Centhini-lah karya sastra Jawa pada waktu itu, yang berbicara berterus-terang perihal seks. Penjabarannya, bukan hanya verbal tetapi kadang liar. Dalam Serat Centhini, juga dikisahkan bagaimana terjadi anal seks atau pun praktik homo-seksualitas. Dan bahkan, seks massal,... Pada bagian-bagian yang berkait dengan seks itu, konon Pakubuwana V sendiri yang turun tangan, menulis langsung. Itu terjadi setelah tiga penulisnya dirasa tidak memuaskannya. Tidak nges, dan kurang lugas. Kurang mak nyus, kata almarhum Prof. Dr. Umar Kayam (yang kemudian ditirukan atau dipopulerkan oleh pakar kuliner Bondan Winarno). Maka, Serat Centhini jilid 5 s.d 10 yang ditulis sendiri oleh sang Raja, sebagaimana kemudian bisa dibaca dalam kitab Serat Centhini sekarang ini. Ia mendapat banyak sebutan, sebagai karya korpus, monumental, sastra kanon yang begitu lengkap dan mencengangkan, karena cakupan isinya yang ensiklopedis, gaya bertuturnya, serta ketebalannya. Bayangkanlah, pada abad 19 itu, lahir karya sastra yang secara liris dan intens, ditulis sebanyak 12 jilid, dengan 722 pupuh tembang (jenis puisi Jawa). Satu pupuh tembang, tak jarang terdiri dari ratusan kuplet (bait), bahkan ada beberapa yang mencapai lebih dari 300 kuplet. Dan masing-masing kuplet terdiri antara 6 hingga 12 baris. Bisa dibayangkan, kepiawaian bahasa para penulisnya. Karena masing-masing pupuh tembang diikat oleh guru wilangan (jumlah suku kata yang terukur dan terhitung pasti), dan guru lagu (akhir suku kata masing-masing baris yang baku, untuk mendapatkan pola pantunnya). Karena itu, kata-kata dalam bahasa Jawa yang dipakai para penulisnya begitu lentur karena mengejar rima dan bunyi. Karena itu ketika Serat Centhini itu dilisankan (ditembangkan) siapa pun sepanjang mengetahui cara menyanyikan pupuh tembang itu, Centhini menjadi komunikatif, mudah untuk diapresiasi, dan mudah untuk disosialisasikan. Bahkan terbuka ditafsirkan dan punya kecenderungan bias, karena faktor pendengaran, pengertian, atau ingatan. Hal ini menjadi mudah terjadi, karena tembang sebagai sastra lisan yang jamak dilakukan pada waktu itu, terjadi dalam berbagai bentuk pertemuan banyak orang, ketika berada dalam upacara sunatan, pengantin, atau berbagai pertemuan-pertemuan rutin, yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok masyarakat, dalam berbagai waktu dan tempat. Karena itulah Centhini bisa muncul dalam banyak versi. Seperti Centhini Pegon. Centhini Jalalen. Centhini versi Madura. Dan lain sebagainya. Tidak dalam niat menyamakan, demikian pulalah ketika para sahabat Muhammad SAW hendak mengumpulkan hadist nabi, yang tentunya disampaikan secara lisan. Maka ketika hadist itu hendak dikumpulkan dan dituliskan, dibutuhkan para perawi hadis yang sahih, yang bisa menjamin tingkat kebenarannya. Apalagi, untuk kasus penulisan Alquran, yang dilakukan setelah nabi wafat. Demikian pula dengan kasus penulisan Injil, yang ditulis berdasar penuturan sahabat-sahabat Jesus seperti Lukas, Paul, Johannes dan lain sebagainya. Percontohan dalam karya sastra Indonesia, mungkin bisa ditemui pada novel “Para Priyayi” (1992) Umar Kayam, yang pembagian bab-nya ditulis menurut sudut pandang “aku” tokoh-tokohnya. Atau pada lahirnya novel kwarternarius “Bumi Manusia” (1980) Pramoedya Ananta Toer. Yang konon sebelum dituliskan, justeru dilisankan. Didongengkan terlebih dulu kepada sesama napi di Pulau Buru, untuk kemudian baru ditulis.

Serat Centhini (1815) berada dalam nasib berbeda, karena ia “hanya” sastra Jawa, yang tentu tidak segawat kasus penulisan kitab agama yang membutuhkan kesahihan dan kecanggihan. Demikian pula, ia bukan sastra teks Indonesia yang “mulia”, yang mempunyai para ahli kritiknya masing-masing. Sehingga perlu ada studi perbandingan atau studi kritis, sebagaimana dialami oleh Umar Kayam atau Pramoedya.
103/3 <2+7> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Vlll [Pakubuwono VIII]
lahir: 20 April 1789, Surakarta
perkawinan: <12> Bendoro Raden Ajeng Ngaisah [Mangkunegara I]
gelar: 17 Agustus 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII
wafat: 28 Desember 1861, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana VIII (lahir: Surakarta, 1789 – wafat: Surakarta, 1861) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1858 – 1861.

Pemerintahan Pakubuwana VIII Nama aslinya adalah Raden Mas Kusen, putra Pakubuwana IV yang lahir dari istri selir bernama Mas Ayu Rantansari putri Ngabehi Joyokartiko, seorang menteri Surakarta. Ia dilahirkan pada tanggal 20 April 1789.

Pakubuwana VIII naik takhta pada tanggal 17 Agustus 1858 menggantikan adiknya (lain ibu) yaitu Pakubuwana VII yang meninggal dunia sebulan sebelumnya.

Pakubuwana VIII naik takhta pada usia lanjut, yaitu 69 tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki putra mahkota. Ia sendiri adalah raja keturunan Mataram pertama yang tidak melakukan poligami. Pemerintahannya berjalan selama tiga tahun. Pakubuwana VIII akhirnya meninggal dunia tanggal 28 Desember 1861.

Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Pakubuwana IX.
94/3 <2+6> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VII / Raden Mas Malikis Solikin (Pangaran Adipati Purbaya) [Pakubuwono IV]
lahir: 28 Juli 1796, Surakarta
perkawinan: <14!> Ratu Kencana [Pakubuwono III]
perkawinan: <13> Ratu Paku Buwono [Madura]
perkawinan: <14> Raden Ayu Retnodiluwih [Joyoningrat]
gelar: 14 Juni 1830 - 28 Juli 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII [1830–1858]
wafat: 28 Juli 1858, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana VII (lahir di Surakarta, 28 Juli 1796 – meninggal di Surakarta, 28 Juli 1858 pada umur 62 tahun) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1830 – 1858.

Nama aslinya ialah Raden Mas Malikis Solikin, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Sukaptinah alias Ratu Kencanawungu. Ia dilahirkan tanggal 28 Juli 1796.

Pakubuwana VII naik takhta tanggal 14 Juni 1830 menggantikan keponakannya, yaitu Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Tidak ada lagi bangsawan yang memberontak besar-besaran secara fisik setelah Pangeran Diponegoro. Jika pun ada hanyalah pemberontakan kecil yang tidak sampai mengganggu stabilitas keraton.

Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Hampir sebagian besar karya Ranggawarsita lahir pada masa ini. Hubungan antara raja dan pujangga tersebut juga dikisahkan sangat harmonis.

Pakubuwana VII juga menetapkan undang-undang yang berlaku sampai ke pelosok negeri, bernama Anggèr-anggèr Nagari. Selain itu, pada masanya dirilis pula pranata mangsa versi Kasunanan yang dimaksudkan menjadi pedoman kerja bagi petani dan pihak-pihak terkait dengan produksi pertanian. Pranata mangsa versi Kasunanan ini banyak dianut petani di wilayah Mataraman hingga diperkenalkannya program intensifikasi pertanian di awal 1970-an.

Pemerintahannya berakhir saat kematiannya pada tanggal 28 Juli 1758. Karena tidak memiliki putra mahkota, Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Pakubuwana VIII yang naik takhta pada usia 69 tahun.
115/3 <2> Gusti Bendoro Pangeran Ario Danupoyo ? (Pakubuwono IV) [?]
126/3 <3+9> Pangeran Arya Mataram / Pangeran Mangkubumi [Pakubuwono III]
137/3 <3+9> Raden Mas Suryawinata / Pangeran Adipati Kusumadilaga [Pakubuwono III]
148/3 <3+9> Ratu Kencana [Pakubuwono III] 169/3 <6> Raden Mas Haryo Sumowinoto [Pakubuwono III]
1710/3 <7+3> Bendoro Raden Ayu Rejodipuro [Pakubuwono III]

4

221/4 <9+14> Gusti Raden Ajeng Maknowiyah (Gusti Raden Ayu Suryaningrat) [Pakubuwono VII]
182/4 <8+10> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI / Raden Mas Sapardan (Sinuhun Bangun Tapa) [Pakubuwono VI]
lahir: 26 April 1807, Surakarta
perkawinan: <16> Ratu Mas [?]
perkawinan: <17> Ratansari [?]
gelar: 15 September 1823 - 1830, Susuhunan of Surakarta
wafat: 2 Juni 1849, Ambon, Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Sri Susuhunan Pakubuwana VI (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 April 1807 – meninggal di Ambon, 2 Juni 1849 pada umur 42 tahun) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, karena kegemarannya melakukan tapa brata.

Sunan Pakubuwana VI telah ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.

Asal-Usul Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V yang lahir dari istri Raden Ayu Sosrokusumo, keturunan Ki Juru Martani. Ia dilahirkan pada tanggal 26 April 1807.

Pakubuwana VI naik takhta tanggal 15 September 1823, selang sepuluh hari setelah kematian ayahnya.

Hubungan dengan Pangeran Dipanegara Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.

Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.

Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera ditanam di dalam keraton oleh Pakubuwana VI.

Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.

Penangkapan oleh Belanda Patung Pakubuwana VI di keraton SurakartaBelanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.

Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya mati setelah disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar Luar Batang.

Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.

Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.

Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.

Misteri Kematian Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle.

Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
193/4 <10+12> Gusti Kanjeng Ratu Bendoro [Pakubuwono VIII]
204/4 <10+12> Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.6.1] ? (Gusti Kanjeng Ratu Hamengku Buwono, Pakubuwono VIII) [Pakubuwono VIII]
215/4 <11> Gusti Pangeran Ronggo Danupoyo [Danupoyo]
236/4 <8+11> Raden Ayu Sekarkedhaton [Pakubuwono V] 247/4 <15> Bendoro Pangeran Haryo Sumodiningrat [Pakubuwono IV]
258/4 <15> Bendoro Raden Ayu Cokronegoro [Pakubuwono IV] 269/4 <15> Kanjeng Pangeran Haryo Kusumoyudho II [Pakubuwono IV]
2710/4 <15> Kanjeng Pangeran Haryo Purbonegoro [Pakubuwono IV] 2811/4 <10> Gusti Kanjeng Ratu Hangger [Pakubuwono VIII] 2912/4 <16> Raden Mas Panji Sumotaruno [Pakubuwono III]
3013/4 <11> Raden Mas Purbosediro [Purbosediro]
3114/4 <8> Gusti Pangeran Haryo Suryoningrat [Pakubuwono V] 3215/4 <17+15> Raden Mas Ngabehi Sutodiprojo [Rejodipuro] 3316/4 <8> Gusti Pangeran Haryo Sinduseno [Pakubuwono V]

5

451/5 <31+22!> Bendoro Raden Mas Sukirman (Bendoro Pangeran Haryo Cokronagoro) [Pakubuwono V]
perkawinan: <22> Raden Ayu Rogasmoro [Rogasmoro]
penguburan: Astana Gunungsari, Kartasura, Sukoharjo
462/5 <31+22!> Bendoro Raden Mas Okotdiyat (Bendoro Pangeran Haryo Cokrodiningrat) [Pakubuwono V]
343/5 <18+16> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IX / Pangeran Prabuwijaya (Raden Mas Duksino) [Pakubuwono IX]
lahir: 22 Desember 1830, Surakarta
perkawinan: <41!> Raden Ayu Kustiyah [Amangkurat IV]
perkawinan: <27> Raden Ayu Pujokusumo [Pujokusumo]
gelar: 30 Desember 1861 - 16 Maret 1893, Surakarta, Susuhunan Surakarta IX bergelar Pakubuwono IX
wafat: 16 Maret 1893, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana IX (lahir: Surakarta, 1830 – wafat: Surakarta, 1893) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1861 – 1893.

Kisah Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Duksino, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan ketika ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830.

Pakubuwana IX naik takhta menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861. Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ronggowarsito dalam karya-karya sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida.

[[Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ronggowarsito]] sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ronggowarsito yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda.

Ronggowarsito sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Saat itu karier Ronggowarsito sendiri sudah memasuki senja. Ia mengungkapkan kegelisahan hatinya melalui Serat Kalatida, karyanya yang sangat populer.

Dalam Serat Kalatida, Ronggowarsito memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman Edan.

Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Pakubuwana X.
484/5 <18> Gusti Raden Ayu Cokrodiningrat [Pakubuwono VI]
wafat: 1882
495/5 <18> Gusti Raden Ajeng Sapariyem (Gusti Raden Ayu Cokrodiningrat) [Pakubuwono VI] 356/5 <19+?> Pangeran Hario Hadiwijoyo II [Amangkurat IV]
367/5 <18> Raden Ayu Chodidjah [Pakubuwono]
378/5 <20+18> Gusti Raden Ajeng Kusdilah [Hb.6.14] [Hamengku Buwono VI]
389/5 <20+18> Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hb.6.15] [Hamengku Buwono VI]
3910/5 <21> Raden Gembloh [Danupoyo]
4011/5 <21> Raden Intu [Danupoyo]
4112/5 <19+?> Raden Ayu Kustiyah [Amangkurat IV]
4213/5 <29> Ratu Mandayaretna [Pakubuwono III] 4314/5 <25+20> Raden Adipati Aryo Cokronegoro III [Cokronegoro]
RAA Cokronagoro III menjabat Bupati Purworejo tahun 1896-1907. Cucu pendiri Kabupaten Purworejo ini tak lain juga cucu Pangeran Kusumoyudo, Senopati Perang Kraton Surakarta saat berperang melawan Pangeran Diponegoro. Pangeran Kusumoyudo adalah paman Susuhunan Paku Buwono VI. Pangeran Kusumoyudo merupakan sahabat karib RAA Cokronagoro I.

Persahabatan yang akrab antara Pangeran Kusumoyudo dengn RAA Cokronagoro I dipererat dengan menikahkan putra mereka. Yakni RAA Cokronagoro II dengan salah satu putri Pangeran Kusumoyudo. Dari hasil perkawinan tersebut dikarunia enam orang anak. Selain RAA Cokronagoro III yang menjabat Bupati di Kabupaten Purworejo, adik perempuannya juga dinikahi oleh Raden Adipati Suryo Adikusumo Bupati Wonosobo.

Masa pemerintahan RAA Cokronagoro III tidak begitu lama, berbeda dengan ayah atau kakeknya yang memerintah Kabupaten Purworeji sampai puluhan tahun. RAA Cokronagoro III hanya memerintah selama 11 tahun. Hal itu karena RAA Cokronagoro III sering sakit-sakitan. Akibat fisiknya sangat lemah kemudian RAA Cokronagoro III mengundurkan diri sebagai bupati. Kedudukannya digantikan oleh putra ketiganya, yakni Raden Mas Tumenggung Sugeng yang selanjutnya bergelar RAA Cokronagoro IV.

Ketika RAA Cokronagoro IV memerintah, Pasar Baledono yang direncanakan pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro II sudah mulai tumbuh dan berkembang. Tetapi RAA Cokronagoro III tidak sempat membenahi pasar tersebut karena terlanjur sakit-sakitan. RAA Cokronagoro III mempunyai 14 putra. Sayangnya dari catatan yang ada tidak pernah disebutkan secara pasti berapa istrinya. Masyarakat hanya mengetahui dan mengenal istri RAA Cokronagoro III Raden sepuh Nganten Subur Danuasmoro.
4415/5 <30> Raden Mas Suralodra [Suralodra]
4716/5 <18> Gusti Raden Ayu Cokrodiningrat [Pakubuwono VI]
5017/5 <32+21> B. R. A. Retno Poernomo [Rejodipuro] 5118/5 <33> Bendoro Kanjeng Pangeran Tumenggung Brotokusumo [Pakubuwono V]

6

751/6 <45> Raden Mas Ngabehi Wirosoekirno [Pakubuwono V]
penguburan: Astana Gunungsari, Kartasura, Sukoharjo
762/6 <45> Raden Ajeng Suharti (R. A. T. Boedjonagoro) [Pakubuwono V]
perkawinan: <31> K. R. M. T. Boedjonagoro [Boedjonagoro]
penguburan: Astana Gentan
783/6 <46+23> Raden Mas Honggosuroyo (K. R. M. H. Honggodiningrat) [Pakubuwono V]
perkawinan: <32> Nyai Lurah Sastrowanodya [Sastrodipuro]
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
KRMH. Honggodiningrat meninggal tanpa memiliki keturunan.
794/6 <46+23> Raden Mas Honggosurasto (R. M. P. Tjondrodiningrat) [Pakubuwono V]
penguburan: Astana Jambon, Surakarta
805/6 <46+24> Raden Ajeng Suciyat (R. A. Joedoprodjo) [Pakubuwono V]
perkawinan: <33> Raden Mas Ngabehi Joedoprodjo I [Joedoprodjo I]
penguburan: Astana Sondakan, Surakarta
816/6 <46+25> Raden Mas Sunu (R. M. P. Tjokroatmodjo) [Pakubuwono V]
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
RMP. Tjokroatmodjo tidak memiliki anak.
827/6 <46+24> Raden Ajeng Sutami (R. A. Darpopranoto) [Pakubuwono V]
penguburan: Astana Mlaten, Semarang
RA. Darpopranoto menikah dan tidak memiliki keturunan.
838/6 <46+24> Raden Mas Syarif Saparkun Ali Muntoho (Raden Mas Djojosapoetro) [Pakubuwono V]
perkawinan: <34> R. A. Djojosapoetro [Joyodiningrat]
perkawinan: <35> Raden Nganten Setijoningsih [Roto]
penguburan: Astana Turiloyo, Surakarta
849/6 <46+26> Raden Mas Sarju (R. M. P. Brodjosasono) [Pakubuwono V]
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
8510/6 <46+24> Raden Ajeng Kusmirah (R. A. Mangkoedirdjo) [Pakubuwono V]
perkawinan: <36> Raden Mas Ngabehi Mangkoedirdjo [Mangkoedirdjo]
penguburan: Astana Tejabang, Simo, Boyolali
8611/6 <46+24> Raden Ajeng Sukamsiyah (R. A. Singoprono) [Pakubuwono V]
perkawinan: <37> Raden Mas Ngabehi Singoprono [Singoprono]
penguburan: Pajang, Laweyan, Surakarta
8712/6 <46+49!> Bendoro Raden Ajeng Surtiyem (B. R. A. Praboeningrat) [Pakubuwono V] 8813/6 <46+49!> Bendoro Raden Ajeng Sumartinah (B. R. A. Tjokrosapoetro) [Pakubuwono V]
penguburan: Astana Laweyan, Surakarta
BRA. Tjokrosapoetro menikah dan tidak memiliki anak.
8914/6 <46+49!> Bendoro Raden Ajeng Sumartiyah (B. R. A. Wirowirjono) [Pakubuwono V]
perkawinan: <38> Raden Mas Ngabehi Wirowirjono [Wirowirjono]
penguburan: Astana Manang Kaonderan, Grogol, Sukoharjo
9015/6 <46+49!> Bendoro Raden Mas Sutejo (R. M. H. Notoningrat) [Pakubuwono V]
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
RMH. Notoningrat menikah dan tidak memiliki anak.
9216/6 <46+49!> Bendoro Raden Ajeng Suskandani (B. R. A. Brotodipoero) [Pakubuwono V]
perkawinan: <39> Raden Ngabehi Brotodipoero [Brotodipoero]
penguburan: Kadilangu, Demak
9317/6 <46+49!> Bendoro Raden Mas Susmadi (R. M. H. Diponingrat) [Pakubuwono V]
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
RMH. Diponingrat meninggal saat muda dan belum menikah.
5218/6 <34+41!> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X / Sunan Panutup (Raden Mas Malikul Kusno) [Pakubuwono X]
lahir: 29 November 1866, Surakarta
perkawinan: <42!> Ratu Mandayaretna [Pakubuwono III]
perkawinan: <40> B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV]
perkawinan: <41> R. A. Pandamroekmi [Pandamroekmi]
perkawinan: <42> R. A. Tranggonoroekmi [Tranggonoroekmi]
perkawinan: <50!> B. R. A. Retno Poernomo [Rejodipuro]
gelar: 30 Maret 1893 - 1 Februari 1939, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X
perkawinan: <43> Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Hb.7.61] [Hamengku Buwono VII] d. 28 Mei 1944, Yogyakarta
wafat: 1 Februari 1939, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana X (lahir: Surakarta, 1866 – wafat: Surakarta, 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 – 1939.

Kisah Kelahiran Nama aslinya adalah Raden Mas Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat Ayu Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari Ayu Kustiyah.

Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ayu Kustiyah melahirkan Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.

Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipuran.

Masa Pemerintahan

Kereta khusus untuk mengangkut jenazah Pakubuwana X ke Yogyakarta menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang cenderung stabil, di samping itu juga merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern.Pakubuwono X menikah dengan Ratu Hemas (putri Raja Hamengkubuwono VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR Pembajoen

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun melalui simbol budayanya Pakubuwana X tetap mampu mempertahankan wibawa kerajaan. Pakubuwana X sendiri juga mendukung organisasi Sarekat Islam cabang Solo, yang saat itu merupakan salah satu organisasi pergerakan nasional Indonesia.

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai [[Sunan Panutup]] atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Pakubuwana XI.
6019/6 <50+52!> Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Kusumoyudo [Pb.10.5] (Bendoro Raden Mas Abimanyu) [Pakubuwono X]
lahir: 17 Januari 1884
perkawinan: <44> Gusti Kanjeng Ratu Hangger II [Hb.7.33] [Hamengku Buwono VII] , <45> R. A. Setiopoespito [Setiopoespito] b. 1894? d. 16 Mei 1985
wafat: 16 Januari 1956
penguburan: Imogiri, Bantul
5320/6 <42+52!> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XI [Pakubuwono XI]
Sri Susuhunan Pakubuwana XI (lahir: Surakarta, 1886 – wafat: Surakarta, 1945) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1939 – 1945.

Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Antasena, putra Pakubuwana X yang lahir dari permaisuri Ratu Mandayaretna, pada tanggal 1 Februari 1886. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939.

Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Pakubuwana XII
6921/6 <43> Raden Mas Tumenggung Sugeng (Raa. Tjokronegoro IV) [Cokronegoro]
perkawinan: <53> Johanna Giezenberg [Giezenberg]
wafat: 29 Januari 1936, Yogyakarta
Raden Adipati Aryo Sugeng Cokronagoro IV adalah buyut RAA Cokronagoro I atau putra RAA Cokronagoro III dengan istri yang berasal dari keluarga Kraton Yogyakarta. RAA Sugeng Cokronagoro IV adalah putra ketiga dari RAA Cokronagoro III. Beliau diangkat sebagai Bupati Purworejo karena kedua kakaknya perempuan semua. RAA Cokronagoro IV memerintah Kabupaten Purworejo selama 12 tahun, dari 1907-1919.

Namun demikian RAA Cokronagoro IV sudah sejak muda terlibat dalam pemerintahaan. Dirinya sering mewakili ayahnya menghadiri acara resmi atau dalam hal mengatur pemerintahaan. Hal itu lantaran kondisi fisik ayahnya yang lemah dan sering sakit-sakitan. Sebelum menjabat sebagai bupati, RAA Cokronagoro IV banyak sekali mengadakan kegiatan. Sejumlah saluran irigasi dan bendung mulai dibangun.

Sejumlah bendung hasil karya RAA Cokronagoro IV adalah, Bendung Penungkulan dengan selokannya, Bendung Guntur dengan selokannya, Bendung Kalisemo, dan Bendung Kedung Pucang di Desa Trirejo. Dalam masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV sudah mulai bangkit kesadaran nasional dengan berdirinya Boedi Oetomo yang didirikan oleh dokter Sutomo. Berdirinya gerakan Boedi Oetomo sangat berpengaruh terhadap jiwa RAA Cokronagoro IV.

Beliau sadar betapa pentingnya pribumi menerima pendidikan sekolah. Sebelumnya belum pernah ada kesempatan para pribumi yang bukan golongan priyayi bisa menerima pendidikan di sekolah. Para pribumi di pedesaan dibiarkan buta huruf dan bodoh agar mau menjadi kuli. Melihat kenyataan itu RAA Cokronagoro berinisiatif mendirikan Sekolah Desa yang lama pendidikannya hanya tiga tahun.

Pada tahun 1911 di Kabupaten Purworejo didirikan sekolah “Ongko Loro” yang jenjang pendidikannya selama lima tahun. Sekolah tersebut didirikan di ibu kota Asisten Wedono (Kecamatan) yang padat penduduk. Bagi siswa sekolah Ongko Loro yang sudah tamat eksamen (ujian) bisa mengikuti kursus tambahan selama enam bulan. Mereka yang sudah tamat kursus selanjutnya bisa menjadi guru dan mengajar di sekolah Ongko Loro.

RAA Cokronagoro IV termasuk orang yang sangat peduli dan getol dalam hal meningkatkan pendidikan bagi rakyatnya. Memasuki tahun ke lima sekolah Ongko Loro didirikan, mulai banyak calon guru yang selesai mengikuti kursus. Sehingga pada tahun 1915 sejumlah sekolahaan mulai dibangun. Sekolah Ongko Loro yang didirikan antara lain :

1. Banyuasin untuk mendidik anak-anak di wilayah Asisten Wedono (Kecamatan ) Loano.

2. Pangen Gudang untuk anak-anak di wilayah Asisiten Wedono Purworejo.

3. Banyuurip, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Banyuurip.

4. Bayan, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Bayan.

5. Kemanukan, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Soko. Sebagai catatan, dulu di Kabupaten Purworejo ada Asisten Wedono Soko yang letaknya di sebelah timur Sunagi Bogowonto. Namun kemudian Kecamatan Soko dihapus dan kini masuk dalam wilayah Kecamatan Bagelen.

6. Kuwojo, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Bagelen.

Jiwa dan karakter RAA Cokronagoro IV bukan saja dipengaruhi oleh berdirinya Boedi Oetomo, namun juga oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo yang sangat giat sekali mendidik bangsanya agar dapat berpikiran maju. Selain itu juga dipengaruhi oleh semangat Raden Ajeng Kartini. Sehingga pada waktu itu anak-anak perempuan mulai diijinkan ikut sekolah. Maka dibangunlah sekolah khusus untuk perempuan yang bernama Meisjeskopschool yang terletak di Purwodadi dan Purworejo.

Pada masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV Karesidenan Bagelen sudah tidak ada lagi. Kabupaten yang ada di wilayah Karesidenan Bagelen masuk Karesidenan Kedu. Penghapusan Karesidenan Begelen terjadi pada 1 Agustus 1901. Untuk diketahui, sejak tanah Bagelen dan Banyumas diminta pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830, oleh pemerintah Hindia Belanda tanah Bagelen dijadikan daerah kekuasaanya dengan status Gewest atau Residentie (Karesidenan).

Sehingga Purworejo sebagai kota administrative juga berakhir pada 1 Agustus 1901. Tahun 1928 saat Provincie Midden Java (Propinsi Jawa Tengah) dipimpin oleh Gubernur PJ. Van Gulik, daerah Gewest atau karesidenan diubah manjadi daerah yang lebih kecil namun jumlahnya banyak. Daerah yang lebih kecil dan jumlahnya banyak itu kemudian disebut Regenscap (Kabupaten). Istilah Karesidenan kembali jadi afdeling Bagelen.

Karena sejak lama sudah ada istilah afdeling di tanah Bagelen maka tanah Bagelen disebut Bestut afdeling Bagelen adan akhirnya berkembang menjadi Kabupaten Purworejo. Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV adalah pemugaran benteng (tangsi) Kedung Kebo. Tangsi yang awalnya hanya dengan pagar kawat berduri dan bambu, oleh pemerintah Hindia Belanda diperkuat dengan dibangunnya pagar tembok.

Hal itu merupakan upaya Pemerintah Kolonial Belanda agar dapat mengawasi semua gerak gerik RAA Cokronagoro IV yang selama ini dikenal dekat dengan keluarga Taman Siswa dari Yogyakarta. Jiwa RAA Cokronagoro IV memang dikenal cukup keras. Dirinya merasa selama memerintah sering ditekan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hak-haknya sebagai seorang bupati sering dibatasi. Karena itu tidak jarang RAA Cokronagoro IV menentang Pemerintah Hindia Belanda.

Rupanya sikap tersebut tidak disenangi oleh Belanda. Banyak laporan mengenai sikap keras dan menentang yang ditunjukkan oleh RAA Cokronagoro. Namun yang paling fatal dan dipandang sebagi satu kesempatan untuk menurunkan dari jabatan bupati ketika RAA Cokronagoro IV mengawini wanita Eropa bernama Johanna Giezenberg. Oleh Pemerintah Belanda perkawinan itu dianggap kesalahan besar.

Sebab dimasa penjajahan pribumi masuk golongan warganegara kelas dua. Warganegara kelas satu adalah orang-orang Belanda dan Eropa. Karena itu, meski RAA Cokronagoro menjabat sebagai bupati tetap saja tidak diperbolehkan mengawini wanita Eropa. Akibatnya pada tahun 1919 RAA Cokronagoro IV diturunkan dari jabatannya dengan tidak hormat. Menerima perlakuan tersebut hati RAA Cokronagoro IV sakit dan merasa terhina sehingga dirinya kemudian pindah ke Yogyakarta.

Karena kursi bupati kosong, Patih KRT Sastro Sudarjo kemudian diangkat sebagai pejabat sementara Bupati Purworejo sampai tahun 1921. Setelah dua tahun menetap di Yogyakarta, RAA Cokronagoro IV dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dipanggilnya RAA Cokronagoro IV untuk dilantik kembali menjadi Bupati Purworejo, namun pada hari itu juga turun Surat Keputusan Pensiun.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1921. Kejadian itu cukup menggoncangkan jiwa RAA Cokronagoro IV. RAA Cokronagoro IV merasa sudah dipermalukan di depan rakyatnya. Sehingga sesudah pensiun dirinya kembali lagi ke Yogyakarta. Pada tanggal 29 Januari 1936 RAA Cokronagoro IV meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Makam Lempuyangan yang menjadi makam khusus KRT Cokrojoyo.

Namun seiring perkembangan jaman dan dinilai makam tersebut sudah tidak kondusif, pada tanggal 18 Juli 2003 dipindahkan ke Makam Bulus Hadipurwo di Desa Bulus, Kecamatan Gebang Purworejo. Makam Bulus Hadipurwo adalah makam khusus trah Cokronagoro.

Pada masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV dibangun Zending (Rumah Sakit Umum) yang kini menjadi milik Pemda Purworejo dan berganti nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Saras Husada. Pembangunan Zending dilakukan pada tahun 1915. Selain itu juga didirikan rumah sakit militer yang kini sudah berganti nama menjadi Rumah Sakit Tentara.
5422/6 <35> KPH Soekirman Mangun Wijaya [Amangkurat IV]
5523/6 <36+?> Raden Ayu Supadmi Nitisatimin [Majapahit]
5624/6 <50+52!> Gusti Bendoro Raden Ayu Retno Puwoso [Pakubuwono X] 5725/6 <38+30> Raden Mas Soecipto Hadiwijoyo [Hb.5.9.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
5826/6 <38+30> Raden Mas Soengkowo Hadiwijoyo [Hb.5.9.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
5927/6 <38+30> Raden Mas Dracman Sahid Hadiwijoyo [Hb.5.9.3] [Hamengku Buwono V]
6128/6 <34> Gusti Bendoro Raden Ayu Moerjati [Pakubuwono IX]
perkawinan: <55> Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat [Djojoadhiningrat] b. 13 September 1904 d. 17 Maret 1962
6229/6 <34> Gusti Pangeran Haryo Purbodiningrat ? (G.r.m. Abadi) [?]
6330/6 <34+27> G. P. H. Mlojokoesoemo [Pakubuwono IX] 6431/6 <34> G. P. H. Koesoemodiningrat [Pakubuwono IX] 6532/6 <34> G. P. H. Notokoesoemo [Pakubuwono IX]
6633/6 <34> Gusti Raden Mas Adamadi [Pakubuwono IX] 6734/6 <34> Gusti Raden Ajeng Samsikin [Pakubuwono IX]
6835/6 <34> Gusti Raden Mas Imam Dawut [Pakubuwono IX] 7036/6 <34> Gusti Raden Mas Sutindro (G. P. H. Praboeningrat) [Pakubuwono IX] 7137/6 <34> Gusti Raden Mas Kanapi (K. G. P. H. Mataram) [Pakubuwono IX]
7238/6 <34> Gusti Raden Mas Janoko (G. P. H. Notodiningrat) [Pakubuwono IX]
7339/6 <34> Gusti Raden Ajeng Samsinah (G. R. A. Adipati Sosrodiningrat) [Pakubuwono IX] 7440/6 <44> Raden Ayu Wirokartolo [Wirokartolo]
7741/6 <45+22> Raden Mas Suhardi (K. R. M. H. Tjokroatmodjo) [Pakubuwono V]
9142/6 <46+49!> Bendoro Raden Mas Sayidiman [Pakubuwono V]
BRM. Sayidiman meninggal di usia muda dan belum menikah.
9443/6 <50+52!> G. R. A. Koesrahmani (G. R. A. Adipati Djojonegoro) [Pakubuwono X]
perkawinan: <63> K. P. H. Adipati Djojonegoro [Sosrodiningrat IV] , Keraton Surakarta Hadiningrat

7

1461/7 <75> Raden Ajeng Sukinah (R. A. Tirtoprodjo) [Pakubuwono V]
perkawinan: <64> Raden Mas Ngabehi Tirtoprodjo [Tirtoprodjo]
penguburan: Astana Ngendhen
RA. Tirtoprodjo meninggal tanpa memiliki keturunan.
1512/7 <76+31> Raden Ajeng Menik (R. A. Prodjoprawiro) [Boedjonagoro]
perkawinan: <65> Raden Mas Ngabehi Prodjoprawiro [Prodjoprawiro]
penguburan: Astana Ngendhen
1523/7 <76+31> Raden Mas Suharto (Raden Mas Ngabehi Atmokoemoro) [Boedjonagoro]
penguburan: Astana Gentan
1534/7 <76+31> Raden Mas Hartono (Raden Mas Ngabehi Dwidjopranoto) [Boedjonagoro]
perkawinan: <66> Kenjosarojo [?]
penguburan: Astana Gentan
1545/7 <76+31> Raden Ajeng Minah (R. A. Mangkoesapoetro) [Boedjonagoro]
perkawinan: <179!> Raden Mas Besar (R. M. Lr. Tarpohartono) [Mangkoedirdjo]
penguburan: Astana Tejabang, Simo, Boyolali
1556/7 <76+31> Raden Ajeng Menuk (R. A. Mangoenatmoko) [Boedjonagoro]
penguburan: Astana Gentan
1577/7 <76+31> Raden Ajeng Menah (R. A. Worosoegondo) [Boedjonagoro]
perkawinan: <67> R. M. P. Worosoegondo [Worosoegondo]
penguburan: Astana Bibis Luhur, Surakarta
1608/7 <76+31> Raden Ajeng Sulastri (R. A. Tarpohartono) [Boedjonagoro]
penguburan: Astana Tejabang, Simo, Boyolali
1629/7 <79> Raden Mas Sumadi (Raden Mas Bekel Wignjopanembang) [Pakubuwono V]
penguburan: Astana Jambon, Surakarta
16310/7 <79> Raden Mas Saban [Pakubuwono V]
penguburan: Astana Jambon, Surakarta
9611/7 <56+54> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII / Bendoro Raden Mas Haryo Sularso Kunto Suratno (Kanjeng Pangeran Haryo Prabu Suryodilogo) [Pakualaman]
lahir: 10 April 1910, Yogyakarta
perkawinan: <68> Kanjeng Bendoro Raden Ayu Purnamaningrum [Pakualaman]
perkawinan: <69> Kanjeng Raden Ayu Ratnaningrum [?]
gelar: 13 April 1937, Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Haryo Prabu Suryodilogo
gelar: 1942 - 11 September 1998, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII
pekerjaan: 1 Oktober 1988 - 3 Oktober 1998, Yogyakarta, Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
wafat: 11 September 1998, Yogyakarta
Pendidikan yang ditempuh adalah Europesche Lagere School Yogyakarta, Christelijk MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta, Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta - sampai tingkat candidaat). Pada 13 April 1937 ia ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo menggantikan mendiang ayahnya. Setelah kedatangan Bala Tentara Jepang pada tahun 1942 ia mulai menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.

Pada 19 Agustus 1945 bersama Hamengkubuwono IX, Paku Alam VIII mengirimkan telegram kepada Sukarno dan Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Pada 5 September 1945 secara resmi KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan Amanat/Maklumat (semacam dekrit kerajaan) bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah kerajaan terkecil pecahan Mataram ini menjadi daerah Istimewa. Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober tahun yang sama, ia berdua sepakat untuk menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jabatan yang dipangku selanjutnya adalah Wakil Kepala Daerah Istimewa, Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI. Selain itu ia juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah.

Setelah Hamengkubuwono IX mangkat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayatnya pada tahun 1998. Perlu ditambahkan bahwa pada 20 Mei 1998 ia bersama Hamengkubuwono X mengeluarkan Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia. Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung. Beberapa bulan setelahnya ia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
9912/7 <52+43> Kanjeng Pangeran Haryo Djatikusumo [Pb.10.23] (Bendoro Kanjeng Pangeran Haryo Purbonegoro) [Pakubuwono X]
lahir: 1 Juli 1917, Solo
perkawinan: <70> Bendoro Raden Ayu Jatikusumo [Hb.7.78] (R. A. Soeharsi Widianti) [Hamengku Buwono VII] , Yogyakarta
lahir: 1 Juni 1946 - 1 Maret 1948, Rembang, Panglima Divisi V Ronggolawe
pekerjaan: 1948 - 1949, Jakarta, Kepala Staf TNI Angkatan Darat I
pekerjaan: 1958 - 1960, Singapura, Duta Besar RI untuk Singapura
pekerjaan: 1959 - 1960, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja I
pekerjaan: 1960 - 1962, Jakarta, Menteri Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja II
pekerjaan: 1962 - 1963, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja III
wafat: 4 Juli 1992
11613/7 <52+43> G. K. R. Pembajoen [Pakubuwono X]
lahir: 25 Maret 1919
perkawinan: <71> R. A. A. M. Sis Tjakraningrat [Cakraadiningrat II] d. 24 September 1992
perkawinan: <72> R. A. A. Muhammad Roeslan Tjakraningrat [?] , <73> R. A. Hatimah [Notoadiningrat]
wafat: 10 Juli 1988, Ciputat, Tangerang Selatan
penguburan: Imogiri, Bantul
14014/7 <53+51> G. R. M. Soerjosoeksoro (G. P. H. Notopoero) [Pakubuwono XI]
lahir: 15 Juli 1922
9515/7 <53+46> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono XII [Pakubuwono XII]
lahir: 4 April 1925, Surakarta
perkawinan: <74> Kanjeng Raden Ayu Pradapaningrum [Pakubuwono]
perkawinan: <74!> Kanjeng Raden Ayu Pradapaningrum [Pakubuwono]
perkawinan: <75> K. R. A. Retnodiningroem [Retnodiningroem] b. 1928? d. 13 Mei 2021
perkawinan: <76> K. R. A. Poedjoningroem [Poedjoningroem]
gelar: 11 Juni 1945 - 11 Januari 2004, Surakarta, Raja Susuhunan Surakarta ke-11 [1945-2004]
wafat: 11 Juni 2004, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana XII (lahir: Surakarta, Jawa Tengah, 1925 – wafat: Surakarta, Jawa Tengah, 2004) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1945 – 2004.

Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Suryaguritna, putra Pakubuwana XI yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kuspariyah pada tanggal 14 April 1925. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XII pada tanggal 11 Juni 1945.

Awal pemerintahan Pakubuwana XII hampir bersamaan dengan lahirnya Republik Indonesia. Negara baru ini menjadikan Yogyakarta dan Surakarta sebagai provinsi-provinsi berstatus Daerah Istimewa.

Belanda yang tidak merelakan kemerdekaan Indonesia berusaha merebut kembali negeri ini dengan kekerasan. Pada bulan Januari 1946 ibu kota Indonesia terpaksa pindah ke Yogyakarta karena Jakarta jatuh ke tangan Belanda.

Pemerintahan Indonesia saat itu dipegang oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri, selain Presiden Sukarno selaku kepala negara. Sebagaimana umumnya pemerintahan suatu negara, muncul golongan oposisi yang tidak mendukung sistem pemerintahan Sutan Syahrir, misalnya kelompok Jenderal Sudirman.

Karena Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan, secara otomatis Surakarta yang merupakan saingan lama menjadi pusat oposisi. Kaum radikal bernama Barisan Banteng yang dipimpin Dr. Muwardi dengan berani menculik Pakubuwana XII sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.

Barisan Banteng berhasil menguasai Surakarta sedangkan pemerintah Indonesia tidak menumpasnya karena pembelaan Jendral Sudirman. Bahkan, Jendral Sudirman juga berhasil mendesak pemerintah sehingga mencabut status daerah istimewa yang disandang Surakarta. Sejak tanggal 1 Juni 1946 Kasunanan Surakarta hanya berstatus karesidenan yang menjadi bagian wilayah provinsi Jawa Tengah. Pemerintahan dipegang oleh kaum sipil, sedangkan kedudukan Pakubuwana XII hanya sebagai simbol saja.

Pada awal pemerintahannya, Pakubuwana XII dinilai gagal mengambil peran penting dan memanfaatkan situasi politik Republik Indonesia, sehingga pamornya di mata rakyat kalah dibanding Hamengkubuwana IX di Yogyakarta.

Meskipun gagal secara politik, namun Pakubuwana XII tetap menjadi figur pelindung kebudayaan Jawa. Pada zaman reformasi, para tokoh nasional, misalnya Gus Dur, tetap menghormatinya sebagai salah satu sesepuh tanah Jawa.

Pakubuwana XII meninggal dunia pada tanggal 11 Juni 2004. Sepeninggalnya [[terjadi perebutan takhta]] antara Pangeran Hangabehi dangan Pangeran Tejowulan, yang masing-masing menyatakan diri sebagai Pakubuwana XIII.
10916/7 <52> Kanjeng Pangeran Haryo Suryohamijoyo [Pb.10.32] [Pakubuwono X] 9717/7 <52> G.p.h.k. Suryo Suman [Pakubuwono X] 9818/7 <74> Raden Ayu Sarikanthi [Raden Mas Suralodra]
10019/7 <54+?> Pangeran Hario Sutecky Wijaya [Amangkurat IV]
10120/7 <55> Raden Ayu Suparmi M. Mulyadi [Majapahit]
10221/7 <52> Bendoro Raden Ayu Suryodiningrat [Pb.10.?] (Bendoro Raden Ajeng Kusatima) [Pakubuwono X] 10322/7 <59> Raden Mas Agoes Budiarto [Hb.5.9.3.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10423/7 <59> Raden Ayu Tuti Sulastri [Hb.5.9.3.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10524/7 <59> Raden Ayu Agoes Anwari [Hb.5.9.3.3] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10625/7 <59> Raden Mas Agoes Wiradat [Hb.5.9.3.4] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10726/7 <59> Raden Ayu Ien Harsini [Hb.5.9.3.5] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
10827/7 <59> Raden Ayu Siti Waito Sahid Sudarjo Hadi Atmojo [Hb.5.9.3.6] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
11028/7 <61+55> Raden Ayu Srioerip [Pakubuwono IX]
11129/7 <61+55> Raden Ayu Sri Noerwati [Pakubuwono IX]
11230/7 <62+?> Ratu Kemalasari ? (G.p.h. Purbodiningrat) [?] 11331/7 <52> Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hadiwidjojo Maharsi Tama [Pakubuwono X]
KGPH. Hadiwidjojo merupakan pendiri Universitas Saraswati, Surakarta
11432/7 <63+56> B. R. M. P. Mlojosoeripto [Pakubuwono IX] 11533/7 <63+56> Raden Mas Prijokoesoemo [Pakubuwono IX]
Tinggal di Bekonang, Sukoharjo
11734/7 <64> K. R. M. T. Harjo Soerjoningrat [Pakubuwono IX]
11835/7 <65> Raden Mas Ngabehi Padmoprodjo [Pakubuwono IX]
11936/7 <52> G. P. H. Poespokoesoemo [Pakubuwono X]
12037/7 <68+59> Raden Mas Suleman [Pakubuwono IX]
12138/7 <68+59> Raden Mas Salaman [Pakubuwono IX] 12239/7 <68+59> Raden Mas Salamun [Pakubuwono IX] 12340/7 <68+59> Bendoro Raden Mas Sumarmo [Pakubuwono IX]
12441/7 <53+46> Gusti Raden Ajeng Sapariyam (G. K. R. Sekar Kedaton) [Pakubuwono XI]
12542/7 <52> G. R. A. Koesprapti [Pakubuwono X] 12643/7 <52> Gusti Raden Ajeng Kusniyah (G. K. R. Alit) [Pakubuwono X] 12744/7 <52+41> G. R. A. Koesdinah (G. R. A. Brotodiningrat) [Pakubuwono X]
G. R. A. Brotodiningrat adalah seorang tokoh paranormal yang menjadi penasihat spiritual/Kejawen Keraton Surakarta.
12845/7 <64+57> B. R. A. Soewarni [Pakubuwono IX] 12946/7 <64+57> B. R. A. Soewarsi [Pakubuwono IX] 13047/7 <64+57> K. P. H. Tjokrokoesoemo [Pakubuwono IX]
K. P. H. Tjokrokoesoemo adalah menantu Pakubuwono X.
13148/7 <71> B. P. H. Mataram [Pakubuwono IX] 13249/7 <53+47> K. G. P. H. Mangkoeboemi [Pakubuwono XI]
13350/7 <53+47> G. K. R. Hajoe [Pakubuwono XI]
13451/7 <53+47> G. K. R. Bendoro [Pakubuwono XI]
13552/7 <53+47> G. K. R. Tjondrokirono [Pakubuwono XI] 13653/7 <53+49> G. R. M. Danoerwendo (K. G. P. H. Hangabehi) [Pakubuwono XI]
13754/7 <53+49> G. R. M. Soerjolelono (K. G. P. H. Praboewidjojo) [Pakubuwono XI]
13855/7 <53+49> G. R. A. Koesoemodartojo [Pakubuwono XI]
13956/7 <53+51> G. R. M. Soerjodarmojo (G. P. H. Bintoro) [Pakubuwono XI]
14157/7 <53+46> G. K. R. Kedaton [Pakubuwono XI]
14258/7 <56+54> B. R. A. Koespinah [Paku Alam VII] 14359/7 <52+42> G. R. A. Koes Salbijah (G. R. A. Poernomo Hadiningrat) [Pakubuwono X] 14460/7 <72> K. R. M. T. H. Prawirodiningrat [Pakubuwono IX]
14561/7 <59> Raden Mas Teguh Pambudi [Hamengku Buwono V]
14762/7 <75> Raden Ajeng Suhinah (R. A. Wongsotjoendoko) [Pakubuwono V] 14863/7 <75> R. A. Tjokrohardojo [Pakubuwono V]
14964/7 <75> Raden Mas Suharjo [Pakubuwono V]
15065/7 <75> Raden Ajeng Suhur (R. A. Wirjosoebroto) [Pakubuwono V] 15666/7 <76+31> Raden Ajeng Sumi (R. A. Wirjohartono) [Boedjonagoro] 15867/7 <76+31> Raden Ajeng Hardinah [Boedjonagoro]
Raden Ajeng Hardinah meninggal di usia muda dan belum menikah.
15968/7 <76+31> Raden Ajeng Mublak (R. A. Hardjosoemarto) [Boedjonagoro] 16169/7 <77> Raden Mas Bambang Sudarsono [Pakubuwono V]
16470/7 <79> Raden Ajeng Sumasiyah (R. A. Djajengresmi) [Pakubuwono V] 16571/7 <79> Raden Mas Suwandi [Pakubuwono V]
RM. Suwandi meninggal di usia muda dan belum menikah.
16672/7 <80+33> Raden Mas Ngabehi Djojosoewarno [Joedoprodjo I]
16773/7 <80+33> R. M. M. Djohar Kamit (Raden Mas Ngabehi Doetosarsono) [Joedoprodjo I]
16874/7 <80+33> Raden Mas Setyoso (Raden Mas Ngabehi Joedoprodjo II) [Joedoprodjo I]
16975/7 <80+33> Raden Ajeng Sucinah (R. A. Mangoenwiradi) [Joedoprodjo I] 17076/7 <80+33> Raden Mas Sudarman [Joedoprodjo I]
RM. Sudarman meninggal di usia muda dan belum menikah.
17177/7 <83+34> Raden Mas Sumanto [Pakubuwono V]
17278/7 <83+34> Raden Mas Sunarso [Pakubuwono V]
17379/7 <83+34> Raden Ajeng Siti Mukjinah (R. A. Honggopradoto) [Pakubuwono V] 17480/7 <83+34> Raden Ajeng Siti Aminah (R. A. Prodjodikromo) [Pakubuwono V] 17581/7 <83+35> Raden Ajeng Siti Mukminah (R. A. Tjokrosoejitno) [Pakubuwono V] 17682/7 <83+35> Raden Ajeng Siti Patimah (R. A. Djahartiman Djojosangodjo) [Pakubuwono V] 17783/7 <84> Raden Ajeng Prekis (R. A. Gondohoetomo) [Pakubuwono V] 17884/7 <84> Raden Ajeng Tantinah (R. A. Tjokrosoesastro) [Pakubuwono V] 17985/7 <85+36> Raden Mas Besar (R. M. Lr. Tarpohartono) [Mangkoedirdjo] 18086/7 <85+36> Raden Ajeng Sutinah (R. A. Sosrosoegondo) [Mangkoedirdjo] 18187/7 <85+36> Raden Ajeng Sutiyah (R. A. Atmodjahnawi) [Mangkoedirdjo]
18288/7 <85+36> Raden Mas Sudirham [Mangkoedirdjo]
18389/7 <87+70!> Bendoro Raden Mas Mujadi (B. P. H. Tjokrodiningrat) [Pakubuwono IX] 18490/7 <87+70!> Bendoro Raden Mas Istijab (Raden Mas Ngabehi Hendrodiprodjo) [Pakubuwono IX]
18591/7 <70+87!> Bendoro Raden Mas Mujono [Pakubuwono IX]
BRM. Mujono meninggal di usia muda dan belum memiliki anak.
18692/7 <70+87!> Bendoro Raden Ajeng Hartati (R. A. Wiranto) [Pakubuwono IX] 18793/7 <89+38> Raden Ajeng Sudinah [Wirowirjono]
RA. Sudinah meninggal dunia saat muda dan belum menikah.
18894/7 <89+38> Raden Mas Okotdijat Prawirohoetomo [Wirowirjono]
18995/7 <52> G. R. A. Koesindinah (G. R. A. Tjokrodiningrat) [Pakubuwono X] 19096/7 <56+54> B. R. A. Soelastri (B. R. A. Soegirwo) [Paku Alam VII]
19197/7 <56+54> B. R. A. Koesbandinah (B. R. A. Soetardjo Kartoningprang) [Paku Alam VII]
19298/7 <56+54> B. R. A. Koesdarinah (B. R. A. Harjono Djoeroemartani) [Paku Alam VII]
19399/7 <56+54> B. R. A. Koesbinah (B. R. A. Soegoto Kartonegoro) [Paku Alam VII]
194100/7 <60+45> B. R. A. Tamasri [Pakubuwono X] 195101/7 <60+44> G. R. A. Siti Djinzoelkari [Pakubuwono X]
GRA. Siti Djinzoelkari meninggal dalam usia muda.
196102/7 <60+45> B. P. H. Soemodiningrat [Pakubuwono X]
197103/7 <52> G. R. A. Koestantinah (G. R. A. Woerjaningrat) [Pakubuwono X] 198104/7 <73+62> K. P. H. Woerjaningrat [Sosrodiningrat IV] 199105/7 <63+56> K. P. H Mloyomiluhur [Pakubuwono IX]

8

2681/8 <113> Bendoro Raden Mas Hapsoro Wresnowiro (K. P. H. Djojoningprang) [Pakubuwono X]
pekerjaan: Rektor Universitas Islam Sultan Agung, Semarang
perkawinan: <142!> B. R. A. Koespinah [Paku Alam VII]
BRM. Hapsoro Wresnowiro adalah teman BRM. Dorodjatoen (Sri Sultan Hamengkubuwono IX) saat kuliah di Belanda.
2702/8 <143+95> B. R. A. Moerjati Soedibjo [Hadiningrat]
lahir: 5 Januari 1928, Surakarta
perkawinan: <112> K. R. M. H. Soedibjo Poerbo Hadiningrat [Hadiningrat]
Hj. DR. BRA. Mooryati Soedibyo, S.S., M. Hum. adalah Wakil Ketua II Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden Direktur Mustika Ratu, dan salah satu pencetus ide kontes pemilihan Puteri Indonesia yang digelar setiap tahun. Mooryati Soedibyo tercatat oleh MURI sebagai peraih gelar doktor tertua di Indonesia, dan sebagai "Empu Jamu". Ia juga masuk sebagai urutan nomor 7 dalam daftar 99 wanita paling berpengaruh di Indonesia 2007 versi majalah Globe Asia.

Biografi

Cucu Sri Susuhunan Pakoe Boewono X Keraton Surakarta ini terkenal dengan segala hal yang berkaitan dengan kecantikan, jamu tradisional, dan lingkungan keraton. Sejak usia 3 tahun ia tinggal di Keraton Surakarta yang dikenal sebagai sumber kebudayaan Jawa. Di keraton itu, ia mendapat pendidikan secara tradisional yang menekankan pada tata krama, seni tari klasik, kerawitan, membatik, ngadi saliro ngadi busono, mengenal tumbuh-tumbuhan berkhasiat, meramu jamu, dan kosmetika tradisional dari bahan alami, bahasa sastra Jawa, tembang dengan langgam mocopat, aksara Jawa Kuno, dan bidang seni lainnya.

Tahun 1973, hobi minum jamu Mooryati Soedibyo yang dilakukan sejak masih belia, akhirnya dikembangkannya sebagai usaha. Ramuan jamu resep Keraton Surakarta yang semula diberikan kepada teman-temannya, akhirnya berubah menjadi bisnis. Produknya mulai diekspor ke kurang lebih 20 negara, diantaranya Rusia, Belanda, Jepang, Afrika Selatan, Timur Tengah, Malaysia dan Brunei.[3] Produknya juga berkembang menjadi 800 buah produk, mulai dari balita, umum, super, dan premium. Diawali dengan produk untuk orang tua sampai dengan remaja puterinya.

Tahun 1990 ia meluncurkan ajang Puteri Indonesia, yang dikembangkannya setelah menyaksikan acara Miss Universe di Bangkok tahun 1990. Mooryati yang sering berkunjung ke luar negeri untuk mengadakan seminar, pameran mau pun sendiri mulai ingin membuat ajang Puteri Indonesia. Dari sini timbul keinginannya untuk membuat wanita Indonesia percaya diri tampil di dunia internasional.Hal ini sebelumnya telah dipelopori oleh Andi Nurhayati yang semenjak tahun 70-an menjadi pemegang franchise pengiriman Miss-miss-an kelas internasional, begitu pula nama majalah Femina yang sudah bertahun-tahun sebelumnya menyelenggarakan pemilihan Putri Remaja Indonesia, yang menghasilkan gadis-gadis paling enerjik, cerdas dan modern se Indonesia. Kini Mooryati Soedibyo, berupaya menggabungkan kesemua itu dalam ajang Pemilihan Puteri Indonesia.

Lalu ia mengeluarkan ide tersebut ke Badan Pengembangan Eksport Nasional, dan disetujui. Mooryati akhirnya membentuk Yayasan Puteri Indonesia dan menjadi Ketua Umum. Tapi ajang Pemilihan Puteri Indonesia tak sepenuhnya disetujui masyarakat. Bahkan menjadi polemik sampai sekarang. Mooryati sendiri telah berhasil mengadakan ajang Pemilihan Puteri Indonesia sampai yang ke-enam kalinya. Dan pernah vakum selama 3 tahun (1997,1998,1999) karena kondisi dan situasi negara yang tidak memungkinkan.
2093/8 <96+68> w Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam IX / Bendoro Raden Mas Haryo Ambarkusumo [Pakualam VIII]
lahir: 7 Mei 1938, Yogyakarta
perkawinan: <113> Koesoemarini / Kanjeng Bendoro Raden Ayu Paku Alam IX [Pakualaman] d. 20 Desember 2011
gelar: 26 Mei 1999 - 21 November 2015, Yogyakarta
wafat: 21 November 2015, Yogyakarta
2204/8 <96+69> w Kanjeng Pangeran Hario Anglingkusumo / Kanjeng Angling [Pakualam VIII] 2105/8 <95+74> Sri Susuhunan Pakubuwono XIII / Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Hangabehi (Gusti Raden Mas Suryo Partono) [Pakubuwono XIII]
lahir: 28 Juni 1948, Surakarta
perkawinan: <115> Kanjeng Raden Ayu Adipati Pradapaningsih [?]
perkawinan: <116> Nuk Kusumaningdiah (Kanjeng Raden Ayu Endang Kusumaningdiah) [Kusumaningdiah]
perkawinan: <117> Winarti Sri Harjani (Kanjeng Raden Ayu Winarti) [Harjani]
gelar: 18 Juli 2009, Surakarta, Raja Kasunanan Surakarta ke-12 [2009-...]
SISKS Pakubuwana XIII (Bahasa Jawa: Sri Susuhunan Pakubuwono XIII) adalah gelar yang mewakili Sunan Kasunanan Surakarta yang ke-13; yang awalnya diklaim oleh 2 pihak. Setelah meninggalnya Pakubuwana XII tanpa putra mahkota yang jelas karena ia tidak memiliki Ratu yang formal (permaisuri), maka dua putra Pakubuwana XII dari ibu yang berbeda saling mengakui tahta ayahnya. Putra yang tertua, Hangabehi, oleh keluarga didaulat sebagai penguasa keraton (istana) dan keluarga juga secara sepihak mengusir Pangeran Tejowulan; dua-duanya mengklaim pemangku tahta yang sah, dan masing-masing menyelenggarakan acara pemakaman ayahnya secara terpisah. Akan tetapi, konsensus keluarga telah mengakui bahwa Hangabehi yang diberi gelar SISKS Pakubuwana XIII. Pada tanggal 18–19 Juli 2009 diselenggarakan upacara di keraton untuk merayakan pengangkatan tahta dengan iringan Tari Bedhaya Ketawang yang biasanya hanya ditampilkan khusus pada acara ini saja. Para tamu yang hadir terdiri dari tamu penting lokal dan asing dan juga Pangeran Tejowulan. Namun saat ini konflik dua Raja Kembar telah usai setelah Pangeran Tejowulan melemparkan tahta Pakubuwana kepada kakaknya yakni Pangeran Hangabehi dalam sebuah rekonsiliasi resmi yang di prakarsai oleh Pemerintah Kota Surakarta bersama DPR-RI, dan Pangeran Tejowulan sendiri menjadi mahapatih (pepatih dalem) dengan gelar KGPHPA (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung)
3796/8 <194+110> R. A. Theodora Tamtrinah [Joedohadiningrat]
lahir: 15 Agustus 1948
wafat: 9 November 1982
2527/8 <95+74> G. R. A. Koes Handarijah (Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kencono) [Pakubuwono XII]
lahir: 1951?
perkawinan: <118> K. R. M. H. Himbokusumo [Himbokusumo]
wafat: 5 November 2020, Surakarta
penguburan: Imogiri, Bantul
3778/8 <95+74> Gusti Raden Ayu Kus Isbandijah (Gusti Kanjeng Ratu Retno Dumilah) [Pakubuwono XII]
lahir: 24 Juli 1954
wafat: 26 Mei 2021
penguburan: Imogiri, Bantul
2119/8 <95+75> Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung Tedjowulan / Gusti Raden Mas Suryo Sutejo [Pakubuwono]
lahir: 3 Agustus 1954, Surakarta
perkawinan: <119> Raden Ayu Nanik Indiastuti ? (Gusti Kanjeng Ratu Hemas) [?]
gelar: Juni 2012, Surakarta, Mahapatih Kasunanan Surakarta
25010/8 <95+74> G. R. A. Kus Indriah (Gusti Kanjeng Ratu Hayu) [Pakubuwono XII]
lahir: 19 Oktober 1961
25111/8 <95+74> G. R. A. Kus Murtiah (Gusti Kanjeng Ratu Wandansari) [Pakubuwono XII] 25912/8 <95+76> Gusti Raden Mas Nur Muchammad (Gusti Pangeran Haryo Cahyoningrat) [Pakubuwono XII]
lahir: 1962?
wafat: 9 Oktober 2020
penguburan: Astana Pajimatan Ki Ageng Ngenis, Laweyan, Surakarta
20713/8 <112+84> Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (Raja Kotawaringin XV) [Raja Kotawaringin]
pekerjaan: 16 Mei 2010
20514/8 <100+?> Pangeran Hario Arya Kusumo Wijaya [Amangkurat IV]
pekerjaan: Director of Foreign affairs and finances of Asia Africa Foundation
pekerjaan: Vice Chairman of Global Trustee
pekerjaan: Vice Chairman - Aria International Corp.
perkawinan:
perkawinan: <121> Rina Risnawati [Risnawati] b. 10 Desember 1973 d. 22 Oktober 2018
perkawinan: <122> Raden Ayu Diane Ekawaty [Wijaya] b. 21 Agustus 1975, Jakarta
perkawinan: 6 Mei 2004, Cirebon
perkawinan: <122!> Raden Ayu Diane Ekawaty [Wijaya] b. 21 Agustus 1975, <123> RAy. Siti Angelina Gayatri [Wijaya] b. 18 Agustus 1975
wafat: 29 Mei 2021
23315/8 <96+68> Bendoro Raden Ayu Retno Widanarni [Pakualam VIII]
perkawinan: <124> Hersapandi [?]
wafat: 18 Juni 2021, Yogyakarta
23216/8 <96+68> Kanjeng Pangeran Haryo Tjondrokusumo [Pakualam VIII]
wafat: 9 Maret 2023, Kulonprogo, Hastana Giriganda
20017/8 <97+81> Raden Ayu Suniati [Pakubuwono]
20118/8 <97+81> Raden Ayu Suniasri [Pakubuwono]
20219/8 <97+81> Bendoro Raden Mas Bambang Suryo Sunindyo [Pakubuwono]
20320/8 <98+82+?> Raden Nganten Surip Salami [R Ng Tohpati] 20421/8 <98+82> Raden Nganten Sri Maryati [R Ng Tohpati]
20622/8 <101> Raden Ayu Sukesti Paring Wahyudi [Majapahit]
20823/8 <112+84> Pangeran Muasjidin Syah [Raja Kotawaringin]
21224/8 <108> Raden Mas Eddy Sarwono [Hb.5.9.3.6.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
21325/8 <108> Raden Ayu Erny Soedaryati [Hb.5.9.3.6.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
21426/8 <108> Raden Ayu Etri Wahyuhidayati [Hb.5.9.3.6.3] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
21527/8 <108> Raden Ayu Esti Iwardani [Hb.5.9.3.6.4] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
21628/8 <109+77> Kanjeng Raden Mas Haryo Suryo Baswo S. [Hb.7.19.1.4] [Pakubuwono X]
21729/8 <109+77> Bendoro Raden Mas Suryo Danindro S. [Hb.7.19.1.3] [Pakubuwono X]
21830/8 <109+77> Bendoro Raden Ajeng Murhardining [Hb.7.19.1.2] (Bendoro Raden Ayu Cipto Yuwono) [Pakubuwono X] 21931/8 <109+77> Bendoro Raden Ajeng Kusniati [Hb.7.19.1.1] (Bendoro Raden Ayu Suryo) [Pakubuwono X]
22132/8 <96+69> Kanjeng Pangeran Haryo Probokusumo [Pakualam VIII]
22233/8 <96+69> Bendoro Raden Ayu Retno Sundari [Pakualam VIII]
22334/8 <96+69> Bendoro Raden Ayu Retno Sewayani [Pakualam VIII]
22435/8 <96+69> Kanjeng Pangeran Haryo Songkokusumo [Pakualam VIII]
22536/8 <96+69> Bendoro Raden Ajeng Retno Pudjawati [Pakualam VIII]
22637/8 <96+69> Kanjeng Pangeran Haryo Ndoyokusumo [Pakualam VIII]
22738/8 <96+69> Kanjeng Pangeran Haryo Wijoyokusumo [Pakualam VIII]
22839/8 <96+68> Bendoro Raden Ayu Retno Martani [Pakualam VIII]
22940/8 <96+68> Kanjeng Pangeran Haryo Gondhokusumo [Pakualam VIII]
23041/8 <96+68> Bendoro Raden Ayu Retno Suskamdani [Pakualam VIII]
23142/8 <96+68> Bendoro Raden Ayu Retno Rukmini [Pakualam VIII]
23443/8 <96+68> Kanjeng Pangeran Haryo Indrokusumo [Pakualam VIII]
23544/8 <112+84> Ratu Nur Ediningsih [Raja Kotawaringin]
23645/8 <112+84> Pangeran Arsyadinsyah [Raja Kotawaringin]
23746/8 <112+84> Pangeran Nuraruddinsyah [Raja Kotawaringin]
23847/8 <112+84> Pangeran Abidinsyah [Raja Kotawaringin]
23948/8 <112+84> Ratu Nur’aini Ratu Nur’aini [Raja Kotawaringin]
24049/8 <112+84> Ratu Nur Maulidinsyah Ratu Nur Maulidinsyah [Raja Kotawaringin]
24150/8 <112+84> Ratu Saptinah [Raja Kotawaringin]
24251/8 <113> B. R. A. Nedima Koesmarkiah [Pakubuwono X] 24352/8 <114+85> R. A. Francisca Heribertha Dewi Moerni [Pakubuwono IX] 24453/8 <116+71> Bendoro Raden Mas Munier Tjakraningrat (K. P. H. Pakuningrat) [Cakraadiningrat II] 24554/8 <118> R. A. Soejati [Pakubuwono IX]
24655/8 <119> Bendoro Raden Mas Puspo Makmun Firmansjah [Pakubuwono X]
24756/8 <121+86> R. A. Soesilastoeti [Pakubuwono IX]
24857/8 <121+87> Raden Mas Salam Dirdjokoesoemo [Pakubuwono IX]
24958/8 <122+88> R. A. Soetanti [Soetanti]
25359/8 <95+74> G. R. M. Surjosuseno [Pakubuwono XII]
25460/8 <95+74> G. R. A. Kus Supijah (Gusti Kanjeng Ratu Galuh Kencono) [Pakubuwono XII]
25561/8 <125+89> R. A. Siti Handajoe Padmonagoro [Padmonagoro]
25662/8 <116+71> B. R. A. Koes Siti Marlia [Tjakraningrat]
25763/8 <116+71> B. R. A. Koes Sistijah Siti Mariana [Tjakraningrat]
25864/8 <116+72> Bendoro Raden Mas Muhammad Malikul Adil Tjakraningrat [Cakraadiningrat II]
26065/8 <109> K. P. H. Soerjo Windrojo Hamidjojo [Pakubuwono X]
26166/8 <126+131!> Bendoro Raden Mas Prawironagoro [Pakubuwono IX]
26267/8 <140> B. R. A. Gini Notopoero [Pakubuwono XI]
26368/8 <140> Bendoro Raden Mas Nugroho Iman [Pakubuwono XI]
26469/8 <140> Bendoro Raden Mas Dino Notopoero [Pakubuwono XI]
26570/8 <140> Bendoro Raden Mas Bowil Notopoero [Pakubuwono XI]
26671/8 <140> Bendoro Raden Mas Surjo Sugiharto [Pakubuwono XI]
26772/8 <136> K. P. H. Danursunu [Pakubuwono XI]
26973/8 <143+95> B. R. A. Moertini [Hadiningrat]
27174/8 <143+95> B. R. A. Moertijah [Hadiningrat]
27275/8 <144> R. A. Sri Lasinah [Pakubuwono IX]
27376/8 <145> Raden Mas Bagas Satria Nugraha [Hamengku Buwono V]
27477/8 <147+96> Raden Mas Soedadi [Wongsotjoendoko]
27578/8 <147+96> Raden Mas Soekardiman [Wongsotjoendoko]
27679/8 <149> R. A. Warsini [Pakubuwono V]
27780/8 <150+97> R. A. Soeginah (R. A. Sastrodipoero) [Wirjosoebroto]
27881/8 <150+97> Raden Mas Soegito (R. M. Lr. Gitosawego) [Wirjosoebroto]
27982/8 <150+97> R. A. Soegiati (R. A. Soedjoet) [Wirjosoebroto]
28083/8 <150+97> R. A. Doglong (R. A. Soemarno) [Wirjosoebroto]
28184/8 <150+97> Raden Mas Slamet Soebagijo [Wirjosoebroto]
28285/8 <150+97> R. A. Soegiah [Wirjosoebroto]
28386/8 <151+65> Raden Mas Soehardiman [Prodjoprawiro]
28487/8 <151+65> Raden Mas Martono [Prodjoprawiro]
28588/8 <151+65> Raden Mas Soediman [Prodjoprawiro]
28689/8 <151+65> Raden Mas Sajid Rahiman (R. M. P. Troenowirogo) [Prodjoprawiro]
28790/8 <151+65> R. A. Soemarti (R. A. Hadisoemarno) [Prodjoprawiro]
28891/8 <153+66> Raden Mas Soejono (Raden Mas Ngabehi Djojopranoto) [Boedjonagoro]
28992/8 <153+66> R. A. Sajekti (R. A. Sastromidjojo) [Boedjonagoro]
29093/8 <153> R. A. Soeharni (R. A. Darjoko) [Boedjonagoro]
29194/8 <153> Raden Mas Soenarno [Boedjonagoro]
29295/8 <156+98> Raden Mas Sajid Soehardjo [Wirjohartono]
29396/8 <156+98> R. A. Noek [Wirjohartono]
29497/8 <156+98> R. A. Soedinah (R. A. Troenowirogo II) [Wirjohartono]
29598/8 <156+98> Raden Mas Sajid Soerardjo [Wirjohartono]
29699/8 <156+98> Raden Mas Hartojo [Wirjohartono]
297100/8 <156+98> R. A. Hasrinah (R. A. Sastrosoesilo) [Wirjohartono]
298101/8 <157+67> Raden Mas Soedarman [Worosoegondo]
299102/8 <159+99> R. A. Martinah (R. A. Abdoelah Afandi) [Hardjosoemarto]
300103/8 <159+99> Raden Mas Aboedjono [Hardjosoemarto]
RM. Aboedjono gugur di masa Agresi Militer Belanda II.
301104/8 <159+99> Raden Mas Aboesanto [Hardjosoemarto]
302105/8 <159+99> Raden Mas Aboetoro [Hardjosoemarto]
303106/8 <159+99> Raden Mas Soemasto [Hardjosoemarto]
304107/8 <159+99> R. A. Marlijah (R. A. Soemarjo) [Hardjosoemarto]
305108/8 <162> Raden Mas Tjokroprawoto [Pakubuwono V]
306109/8 <162> Raden Mas Warsito [Pakubuwono V]
307110/8 <163> Raden Mas Soeminto [Pakubuwono V]
308111/8 <163> Raden Mas Soemitro [Pakubuwono V]
309112/8 <163> Raden Mas Soediro [Pakubuwono V]
310113/8 <164+100> Raden Mas Gondosoetanto [Djajengresmi]
311114/8 <164+100> Raden Mas Soeranto [Djajengresmi]
312115/8 <166> Raden Mas Soeprapto Hadisoerjo [Joedoprodjo I]
313116/8 <166> R. A. Koesrahmani (R. A. Danoenagoro) [Joedoprodjo I]
314117/8 <166> Raden Mas Toekoel Atmo Djojosoewarno [Joedoprodjo I]
315118/8 <166> R. M. Soedarmadi [Joedoprodjo I]
316119/8 <167> R. A. Srisajekti (R. A. Poerwosoegjanto) [Joedoprodjo I]
317120/8 <167> R. A. Retnosoejati (R. A. Soedono Tjokrosarsono) [Joedoprodjo I]
318121/8 <167> Raden Mas Soerjo Sandjojo [Joedoprodjo I]
319122/8 <168> R. A. Setijatinah (R. A. Soeminto) [Joedoprodjo I]
320123/8 <169+101> Raden Mas Widojo [Mangoenwiradi]
321124/8 <169+101> Raden Mas Wiratmoko [Mangoenwiradi]
322125/8 <169+101> R. A. Wirastoeti [Mangoenwiradi]
323126/8 <169+101> R. A. Wirasmani [Mangoenwiradi]
324127/8 <173+102> Raden Ajeng Sri Kamarin [Honggopradoto]
325128/8 <173+102> R. A. Sri Rahajoe (R. A. Darsono) [Honggopradoto]
326129/8 <173+102> Raden Mas Marjo [Honggopradoto]
327130/8 <173+102> Raden Mas Soemarno [Honggopradoto]
RM. Soemarno gugur selama Agresi Militer Belanda II.
328131/8 <173+102> Raden Mas Soemarso [Honggopradoto]
329132/8 <173+102> R. A. Menoek [Honggopradoto]
330133/8 <173+102> R. A. Srimartini [Honggopradoto]
331134/8 <174+103> R. A. Siti Roekmini (R. A. Soemasto) [Prodjodikromo]
332135/8 <174+103> R. A. Siti Karlinah (R. A. Soedarmasto) [Prodjodikromo]
333136/8 <175+104> Raden Mas Soejitno [Tjokrosoejitno]
334137/8 <175+104> Raden Mas Soejatno [Tjokrosoejitno]
335138/8 <175+104> Raden Mas Mochtarul Anam [Tjokrosoejitno]
336139/8 <175+104> R. A. Sakdijah [Tjokrosoejitno]
337140/8 <175+104> Raden Mas Moechtar Paridji [Tjokrosoejitno]
338141/8 <176+105> R. A. Siti Hardjinah [Djojosangodjo]
339142/8 <176+105> R. A. Siti Marinah [Djojosangodjo]
340143/8 <176+105> R. A. Siti Pandinah [Djojosangodjo]
341144/8 <176+105> R. A. Siti Mardikah [Djojosangodjo]
342145/8 <176+105> Raden Mas Soebardjo [Djojosangodjo]
343146/8 <176+105> Raden Mas Soenardjo [Djojosangodjo]
344147/8 <176+105> R. A. Siti Hartati [Djojosangodjo]
345148/8 <177+106> Raden Mas Amino Gondohoetomo [Gondohoetomo]
346149/8 <177+106> R. A. Srijatoen (R. A. Goenari) [Gondohoetomo]
347150/8 <177+106> R. A. Sardjoeni (R. A. Imam Soebarkah) [Gondohoetomo]
348151/8 <178+107> R. A. Koestijam (R. A. Tjokrosoedarsono) [Tjokrosoesastro]
349152/8 <178+107> R. A. Soewarti (R. A. Tjokrosoebroto) [Tjokrosoesastro]
350153/8 <178+107> Raden Mas Soehartono [Tjokrosoesastro]
351154/8 <178+107> Raden Mas Soedarjanto [Tjokrosoesastro]
352155/8 <154+179!> Raden Mas Doeliman [Mangkoedirdjo]
353156/8 <154+179!> R. A. Retno Djatmiko (R. A. Hadisapoetro) [Mangkoedirdjo]
354157/8 <154+179!> Raden Mas Maktal Tedjosapoetro [Mangkoedirdjo]
355158/8 <154+179!> Raden Mas Santjoko Mangkoeatmodjo [Mangkoedirdjo]
356159/8 <154+179!> R. A. Kantinah [Mangkoedirdjo]
357160/8 <180+108> R. A. Srijati (R. A. Hartosajono) [Hardjodiprodjo]
358161/8 <182> Raden Mas Djokosasono Sosrosoediro [Mangkoedirdjo]
359162/8 <182> R. A. Soeprapti (R. A. Mangkoewardojo) [Mangkoedirdjo]
360163/8 <182> R. A. Srikasti Rindoean [Mangkoedirdjo]
361164/8 <183> R. A. Indrogini (R. A. Hardjono) [Pakubuwono IX]
362165/8 <189+183!> Bendoro Raden Mas Indropoetro [Pakubuwono IX]
363166/8 <189+183!> Bendoro Raden Mas Indroatmodjo [Pakubuwono IX]
364167/8 <189+183!> Bendoro Raden Mas Indradi [Pakubuwono IX]
365168/8 <184> R. A. Soepihedi (R. A. Darmokoesoemo) [Pakubuwono IX]
366169/8 <184> Raden Mas Iskandar [Pakubuwono IX]
367170/8 <184> Raden Mas Ismail [Pakubuwono IX]
368171/8 <184> Raden Mas Iskak [Pakubuwono IX]
369172/8 <184> R. A. Iskandari [Pakubuwono IX]
370173/8 <184> R. A. Isbandinah [Pakubuwono IX]
371174/8 <184> R. A. Sri Ismijati [Pakubuwono IX]
372175/8 <184> Raden Ajeng Sri Istidjah [Pakubuwono IX]
373176/8 <186+109> R. A. Soerjantinah [Wiranto]
374177/8 <186+109> Raden Mas Soerjanto Parboe Harjanto [Wiranto]
375178/8 <188> R. A. Darmijati [Wirowirjono]
376179/8 <188> R. A. Moelatinah [Wirowirjono]
378180/8 <100+?> Pangeran Hario Rayno Priowitjaksono Wijaya [Wijaya] 380181/8 <95+76> G. R. A. Kus Ismanijah [Pakubuwono XII] 381182/8 <199> K. R. M. P. Mloyohadiwijoyo [Pakubuwono IX]
Tampilan
Peralatan pribadi