3. Nyai Ageng Ngerang I/ Nyai Siti Rochmah (Dewi Roro Kasihan) - Keturunan (Inventaris)

Dari Rodovid ID

Orang:706457
Langsung ke: panduan arah, cari
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> 3. Nyai Ageng Ngerang I/ Nyai Siti Rochmah (Dewi Roro Kasihan) [Brawijaya V]
== NYAI AGENG NGERANG ==

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro


A. ASAL - USUL NYAI AGENG NGERANG

Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan[1]. Walaupun disisi lain, ada yang mengatakan bahwa nama beliau banyak sekali, bahkan sampai 24 nama, akan tetapi itu hanya nama samaran ketika beliau mengadakan peperangan dengan bertujuan untuk berdakwah, menyebarkan agama Islam, Supaya tidak diketahui jatidiri beliau sebenarnya. Karena kalau nama asli beliau yang dipergunakan, justru akan menghambat misi perjuangan dakwah beliau.

Beliau adalah merupakan seorang waliyullah yang banyak disegani banyak orang, karena disamping beliau mempunyai keturunan bangsawan / darah biru dari Raja Brawijaya V, juga beliau seorang Waliyullah yang gigih dan berani untuk menegakkan kebenaran serta Penyayang dan Melindungi kaum yang lemah dan teraniaya.

Beliau senang sekali terhadap orang yang kehidupanya sederhana serta suka membantu orang yang mengalami kesusahan dalam menghadapi problema kehidupan yang tak kunjung sirna, selama mereka mau bertawasul kepada Beliau. Sesuai dengan namanya Siti Rahmah Roro Kasihan adalah seseorang yang suka menaruh belas kasihan / iba dan memberi kasih sayang terhadap kaum muslimin yang ingin mendoakan dan sekaligus membutuhkan bantuan beliau ( Tawasul kepada beliau ) untuk meminta kepada Allah SWT.

Beliau mempunyai pandangan yang jauh dan luas dalam hidup dan kehidupan manusia secara hakiki. Sebagai seorang sufi yang tidak senang dengan kemewahan dunia belaka, maka hidupnya diabdikan dan tawakal kepada Allah untuk berjuang menegakkan agama islam dengan berdakwah dari tempat satu ketempat yang lain, yang beliau anggap tepat sasaranya.

Menurut apa yang dituturkan dari berbagai sumber dan catatan – catatan bersejarah, bahwa beliau berasal dari kerajaan majapahit tepatnya pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V, Prabu Kertabumi, yang telah menurunkan Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Raden Bondan kejawan mempunyai istri Dewi Nawangsih. Dewi Nawangsih merupakan Putri dari Nawang Wulan dan Nawang Wulan adalah istri dari Ki Jaka Tarub, Kidang Telangkas[2].

Raden Bondan Kejawan menurunkan tiga putra, yaitu Ki Ageng Wanasaba, Ki Ageng Getas Pandawa dan Putri yang bungsu bernama Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan[3].

Adapun sejarah kedatangan beliau menurut catatan ahli tarikh. Pada waktu itu beliau hidup dalam kerajaan yang syarat dengan banyak aturan duniawi, serta terbelenggunya kegiatan penyebaran agama islam, oleh karena itu, beliau melakukan melanglang buana dalam rangka misi dakwah dengan menjauhkan diri dari kerajaan tesebut untuk benar – benar dapat menemukan kehidupan yang hakiki dan diridhoi ilahi robbi. Dengan uzlah (mengasingkan diri) dan berdakwah agama islam, dengan sistim berpindah tempat, dari tempat satu ketempat yang lain, termasuk pernah singgah ditanah muria, dan akhirnya beliau mendapatkan wilayah yang layak dan tepat untuk berdakwah yaitu di Pati kidul, tepatnya di dusun Ngerang Tambakromo Pati.

Dalam cerita masyarakat, bahwa pada saat berkumpul dan musyawarah beserta para saudara, Auliya dan penggede pada saat itu, untuk menentukan langkah selanjutnya dalam misi perjuangan dakwah. Beliau kadang diremehkan, karena seorang perempuan. “Perempuan identik dirumah dan tidak bisa berbuat apa-apa, bagian perempuan hanya sedikit (setengah bagian dari laki-laki), lain halnya dengan bagian laki-laki ”, karena langkah seorang perempuan itu sempit dan tidak bisa mendapatkan wilayah kekuasaan yang begitu luas. Oleh karenya menurut beberapa versi, beliau langsung membakar Slendang Kemben yang menjadi warisan dari nenek beliau Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub. Dan beliau berkata, “Langes dari bakaran slendang ini yang dibawa angin, dimanapun jatuhnya, dan tempat yang kejatuhan langes tersebut akan menjadi Bumi Ngerang. Ada juga yang mengatakan bahwa slendang beliau di hamtamkan keatas udara dan keluar percikan api dan percikan api tersebut mengeluarkan sisa yang dinamakan langes.

Menurut versi lain bahwa beliau membuat perapian dengan membakar sisa batang padi, kemudian langes dari perapian tersebut ditiup angin dari hembusan Slendang Kemben beliau. Kemudian langes tersebut dimanapun jatuhnya akan membentuk bumi Ngerang.

Dengan melihat kejadian tersebut, konon saudara-saudara beliau juga tidak mau kalah dengan apa yang telah dilakukakanya, maka tidak berfikir banyak, saudara-saudara beliau kemudian membakar kaosnya. Dimanapun langes bakaran dari kaos tersebut jatuh, maka akan membentuk bumi / tanah muria. Dengan demikian itu bumi Ngerang dan bumi muria terdapat dimana-mana. Dan bumi tersebut tidak ada yang kuat menempatinya ( banyak problem dan masalah kehidupan yang dihadapinya ), kecuali yang memanfaatkan adalah anak dan cucu beliau.

Didalam perjalanan perjuangan dakwah Nyai Ageng Ngerang sangat penuh dengan cobaan, rintangan dan halangan. Tapi itu semua, tidak membuat beliau jera dan putus asa, karena perjuangan untuk membumikan syariat agama Islam, syarat dengan halangan dan rintangan. Perjuangan beliau berakhir didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati Jawa Tengah. Akhirnya beliau membangun masjid dan tempat tinggal sebagai wadah untuk istiqomah dalam berdakwah di dusun Ngerang tersebut, tepatnya di muludan, sebelah utara makam beliau.

Makam Beliau ada di dusun Ngerang kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, tanah pemakaman beliau disebut dengan istilah sentono ( tanah kerajaan ), karena dahulu ditempat itu merupakan sebuah kerajaan dimasa hidup beliau. Makam beliau sangat dikeramatkan, dihormati dan dirawat serta dijaga oleh warga dusun Ngerang Tambakromo Pati dengan baik, karena beliau selain sebagai pejuang islam yang tangguh, juga beliau merupakan cikal bakal dusun Ngerang Tambakromo.

B. SILSILAH KETURUNAN

Menurut beberapa catatan dan keterangan dari berbagai sumber, termasuk dari Keraton Surakarta Hadiningrat, bahwa Nyai Ageng Ngerang mempunyai nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan, setelah menikah dengan Ki Ageng ngerang, nama beliau berubah menjadi Nyai Ageng Ngerang. Beliau mempunyai tali lahir maupun batin dengan sultan – sultan dan guru besar agama yang bersambung pada Raja Brawijaya V, raja majapahit Prabu Kertabumi, Beliau diberikan nama dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang dan makamnya ada didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, ada beberapa versi yang mengatakan, beliau senang membantu orang yang sedang di ganggu demit dan termasuk didusun Ngerang juga banyak demit yang pating sliwerang, kemudian dikalahkan dan diusir oleh beliau dari dusun itu, maka oleh karena itu beliau disebut Nyai Ageng Ngerang.

Dilihat dari silsilah beliau kebawah dan seterusnya. Nyai Ageng Ngerang yang makamnya di Ngerang Tambakromo Pati adalah Nyai Ageng Ngerang, Siti rohmah Roro Kasihan. Beliau di peristri Ki Ageng Ngerang I.Ki Ageng Ngerang I Putra dari Syaihk Maulana Malik Ibrahim.[4] Dan atas perkawinan Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang I, beliau mempunyai dua orang Putra, Pertama adalah seorang putri dan belum diketahui dan dijelaskan namanya didalam buku – buku maupun sumber lain. Putri Beliau yang pertama diperistri oleh Ki Ageng Selo[5]. Dan Ki Ageng Selo adalah putra dari Ki Ageng Getas Pendawa. Putra yang kedua beliau adalah Ki Ageng Ngerang II yang disebut Ki Ageng Pati, makamnya sekarang berada di Ngerang Pakuan Juana,

Ki Ageng Ngerang II mempunyai empat putra yaitu Ki Ageng ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V dan Pangeran Kalijenar.

Sedangkan Ki Ageng Ngerang III, Makamnya sekarang ada di Laweyan solo Jawa Tengah[6]. Ki Ageng Ngerang III ini yang telah menurunkan Ki Ageng Penjawi. Ki Ageng Penjawi, orang yang pernah menjadi Adipati Kadipaten pati setelah gugurnya Arya Penangsang, Arya Penangsang adalah adipati Jipang Panolan dan Arya penagnsang adalah putra Pangeran Sedalepen.

Ki Ageng Penjawi sangat berjasa dalam menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh laskar Soreng yang dpimpin oleh Arya Penangsang, untuk membunuh semua keturunan Sultan Trenggono, karena iri hati. Sedangkan Ki Ageng Penjawi sebagai panglima perang bersama Danang Sutawijaya, Ki Juru Mertani, Ki Pemanahan ( tiga Serangkai ) akhirnya dapat mengalahkan Arya Penangsang beserta bala tentaranya.

Dari silsilah Nyai Ageng Ngerang keatas, beliau menjadi Putri bungsu Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng, atas pernikahanya dengan Dewi Nawangsih. Dan Raden Bondan Kejawan sendiri merupakan Putra dari Raja Brawijaya V, Raja majapahit, Prabu Kertabumi. Raja Brawijaya bertahta pada tahun 1468 – 1478 M[7].

Ayah Nyai Ageng Ngerang masih saudara Raden Patah. Raden Patah adalah orang yang pertama kali menjadi Sultan pada Kerajaan Islam pertama di pulau jawa, yaitu Kasultanan Demak Bintoro. Kerajaan islam pertama dijawa yang didirikan oleh Raden Patah dan Raden Patah bergelar “Akbar Alfatt” Raden Patah juga Putra Raja Brawijaya V dengan ibu Syarifah Siti Jaenab adik kandung Sunan Ampel/Raden Rahmat keturunan Champa, daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam.

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Jaka Tarub, Kidang Telangkas. Jaka tarub mempunyai istri bernama Nawang Wulan. Nawang Wulan dan Ki Jaka Tarub mempunyai Putri Nawangsih dan Nawangsih diperistri Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Nawangsih, telah menurunkan tiga putra, pertama Syaikh Ngabdullah yang sekarang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Wanasaba, dan putra kedua adalah Syaikh Abdullah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Getas Pandawa dan yang bungsu adalah Siti Rohmah Roro Kasihan yang terkenal dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang[8].

Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Sunan Muria, bahwa Sunan Muria merupakan saudara Nyai Ageng Ngerang yang kesekian kalinya. Dengan melihat beberapa versi tentang silsilah orang tua Sunan muria. Versi pertama mengatakan bahwa Sunan Muria anak Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, padahal anaknya sunan Kalijaga yang bernama Raden Ayu Penengah menjadi istri Ki Ageng Ngerang III, oleh karena itu dapat tarik kesimpulan bahwa Sunan Muria bukan menantu Nyai Ageng Ngerang, seperti yang disebutkan dalam cerita masyarakat, bahwa Dewi Roroyono menjadi Putri Nyai Ageng Ngerang dan diperistri Sunan Muria. Sunan Muria merupakan keponakan Nyai Ageng Ngerang dari Sunan Kalijaga.

C. SAUDARA – SAUDARA BELIAU

Seperti yang disebutkan diatas. Diceritakan bahwa pada sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu :

  • 1.Ki Ageng Wanasaba
  • 2.Ki Ageng Getas Pendawa dan
  • 3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto[9].

Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ).

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.

Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno. Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.

2. Ki Ageng Getas Pendawa, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Abdullah atau yang disebut Raden Depok adalah saudara kandung beliau, Ki Ageng Getas Pendawa merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang kedua. Ki Ageng Getas Pendawa juga seorang yang hebat, berwibawa dan karismatik serta sangat sederhana dalam hidup dan kehidupan manusia.

Beliau juga seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa, oleh karena itu beliau disebut Ki Ageng Getas Pendawa. Beliau sangat tangguh dan konon sangat kuat dalam riyadhoh / tirakat, mengolah batin untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan harapan bisa menenangkan diri dan dapat menyebarkan agama islam dengan ikhlas, tulus dan berhasil. Makam beliau juga dikeramatkan oleh warga sekitar. Makam Ki Ageng Getas Pandawa ada di desa Kuripan Purwodadi, Grobogan.

Ki Ageng Getas Pendawa mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Ki Ageng Purna. Ki Ageng Kare, Ki Ageng wanglu, Ki Ageng Bokong dan Ki Ageng Adibaya. Sedangkan Ki Ageng Sela mempunyai Putra KI Ageng Enis dan Ki Ageng Enis menurunkan putra yang bernama Ki Ageng Pemanahan.

2

21/2 <1+1> 1.1.1.1. Nyai Ageng Selo II / Roro Kinasih / Nyai Bicak [Azmatkhan] 32/2 <1+1> 1.1.1.2. Ki Ageng Ngerang II Kyai Bodo [Azmatkhan]

3

41/3 <2+2> 7. Ki Ageng Enis / Ki Ageng Luwih (Bagus Henis) [Brawijaya]
Pendiri Kraton Mataram adalah penembahan senopati. Dalam menjalankan pemerintahan-Nya, Dia selalu mendapat bimbingan spritual dari sunan Kali Jaga. Pada tahun 1568, Joko Tingkir naik tahta dikerajaan Pajang dan bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukan direstui oleh Sunan Giri, seorang wali sekaligus penasehat politi Jawa yang tinggal dikewalian Giri, Gresik Jawa bagian Timur. Sultan Hadiwijaya yang arif dan bijaksana itu segera mendapat pengakuan dari Adipati-Adipati diseluruh Jawa Tengah dan Jawa timur. Sedangkan salah seorang anak sultan Prawoto yaitu Arya Panggiri diangkat menjadi Adipati Demak. Dalam usahanya untuk menegakkan kekuasaan Pajang, Sultan Hadiwijaya harus berhadapan dengan Adipati Jipang, Arya Penangsang, putra sinuwun Sekar seda Lepen yang tidak rela tahta Demak diambil oleh Sultan Hadiwijaya, karena Ia menantu Sultan Trenggana. Sultan Hadiwijaya membuat strategi jitu untuk menghadapinya. Ia percaya bahwa dirinya akan mampu mengalahkan, walaupun tidak mudah. Arya Penangsang terkenal memiliki senjata ampuh, yaitu keris setan kober yang selalu menggetarkan dan mencundangi musuh. Kemudian atas nasehat para pini sepuh, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat mengalahkan Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah Pati dan Mataram.Ahirnya Arya Penangsang bisa dikalahkan Oleh Danang Sustawijaya, Putra Pemanahan. Karena kesuksesannya ini merupakan strategi Pemanahan dan Penjawi, Maka Sultan Hadi Wijaya memberikan hadiah tanah itu kepada mereka. Penjawi mendapatkan tanah Pati sebuah kadipaten dipesisir utara dan Pemanahan mendapatkan Tanah Mataram yang masih berupa hutan Memtaok. Menurut sisilah, Pemanahan adalah putra dari Ki Ageng Enis cucu Kiageng Sela. Alas Mentaok berada disekitar Kota Gede Yogyakarta. Pemanahan kemudian lebih dikenal dengan Ki Gede Mataram. Berdasarkan ramalan Sunan Giri, Mataram kelak akan menjadi sebuah kerajaan yang besar, sehingga hal itu membuat Sultan Pajang mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan tanah Mataram ke Ki Pemanahan. Atas nasehat Ki Juru mertani, agar Pemanahan agar segera menghadap Sunan Kalijaga. Sunan Kali Jaga memberikan fatwa bahwa Sultan Hadiwijaya adalah benar, seorang raja harus konsisten, sabda pandita ratu tan kena wola wali. Sunan Kalijaga juga menasehati agar Ki Pemanahan menepati janji untuk tidak memberontak kepada Pajang.

Atas jasa Sunan Kalijaga inilah Mataram diserahkan kepada Ki Pemanahan.

Kerajaan Mataram berkembang pesat,namun Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia pada tahun 1575, sebelum menikmati hasilnya. Kemudian usahanya diteruskan sang anak yaitu Danang Sustawijaya. Beliau terkenal ahli strategi perang dengan julukan Senopati Ing Alaga. Dan menjadi Raja dengan gelar Panembahan Senopati (1575-1601). (http://banyumataramkasampurnan.blogspot.com/2010/11/sunan-kali-jaga-guru-para-raja-mataram.html)

Foto: Makam Ki Ageng Henis (tengah). Sebelah kanan adalah makam Nyai Ageng Pati, istri dari Ki Penjawi yang merupakan putra dari Ki Ageng Henis. Yang kiri adalah makam Nyai Ageng Pandanaran. (http://www.harianjogja.com/tag/ki-ageng-henis/)
52/3 <2+2> 1. Nyai Ageng Lurung Tengah [Mataram]
63/3 <2+2> 2. Nyi Ageng Saba / Nyai Ageng Saba [Brawijaya] 74/3 <2+2> 3. Nyai Ageng Bangsri [Mataram]
85/3 <2+2> 4. Nyai Ageng Jati [Mataram]
96/3 <2+2> 5. Nyai Ageng Patanen [Mataram]
107/3 <2+2> 6. Nyai Ageng Pakis Dadu [Mataram]
118/3 <3> 1.1.1.2.1. Ki Ageng Ngerang III Kyai Buyut (Pati) [Azmatkhan] 129/3 <3> 1.1.1.2.2. Ki Ageng Ngerang IV [Azmatkhan]
1310/3 <3> 1.1.1.2.3. Ki Ageng Ngerang V [Azmatkhan]
1411/3 <3> 1.1.1.2.4. Pangeran Kalijenar [Azmatkhan]

4

201/4 <11+5> 1.1.1.2.1.1. Ki Ageng Penjawi [Azmatkhan]
lahir: Diputus Nomor Silsilah dibawah ini : 70469 769464 705736
Ki Ageng Penjawi bersama Pemanahan dan Jurumertani ketika masih muda, pemah berguru kepada Ki Ageng Sela. Mereka bertiga disebut tiga serangkai, yang masih keturunan Raja Brawijaya V atau Prabu Kertabumi yang bertahta pada tahun l468 – l478 M.
  • Silsilah KiAgeng Penjawi adalah sebagai berikut:Raja Brawijaya V berputra Raden Bondan Kejawan. Raden Bondan Kejawan mempunyai tiga putra yang bungsu putri bernama Rara Kasihan diperistri Ki Ageng Ngerang. Pasangan antara Ki Ageng Ngerang dengan Rara Kasihan ini menurunkan dua putra orang yaitu Ki Ageng Ngerang II dan seorang putri (diperistri Ki Ageng Sela). Ki Ageng Ngerang II mempunyai putra empat yaitu Ki Ageng Ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V, dan Pangeran Kalijenar. Ki Ageng Ngerang III mempunyai putra bernama Penjawi.
  • Silsilah Ki Ageng Pemanahan sebagai berikut : Putra Raden Bondan Kejawan yang nomor dua bernama Ki Ageng Getas Pandawa. Ki Ageng Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela berputra Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis menurunkan putra bernama Pemanahan.
  • Silsilah Ki Jurumertani sebagai berikut : putra Raden Bondan Kejawan yang tertua adalah Ki Ageng Wanasaba. Ki Ageng Wanasaba berputra Pangeran Made Pandan I. Pangeran Made Pandan I berputra Ki Ageng Pakringan yang mempunyai isri bemama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat putra yaitu Ageng Nyai Laweh, Nyai Manggar, Putri, dan Jurumertani.
Ki Ageng Penjawi, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Jurumertani yang masih keturunan Raja Brawijaya tersebut mempunyai peran besar dalam rangka ikut menyelesaikan konflik keluarga Kerajaan Demak yang memakan korban besar.
152/4 <4+3> Ki Ageng Pemanahan / Bagus Kacung (Kyai Gede Mataram) [Brawijaya]
lahir: 1501, Sultan Trenggana wafat 1546, Panembahan Senapati turut serta dalam Sayembara menangkap Arya Panangsang dalam usia sekitar 18 tahun, Senapati lahir (1546-18+2=1530) pada tahun 1530. Pemanahan lahir (1530-29=1501) pada tahun 1501
perkawinan: <17!> Nyai Ageng Pamanahan / Nyai Sabinah [Brawijaya]
pekerjaan: tahun 1556 Ki Ageng Pemanahan di beri hadiah tanah di daerah MATARAM yang merupakan peninggalan Kerajaan Mataram Kuno yg kini sudah menjadi hutan. Di tanah inilah Ki Ageng Pemanahan mulai menata struktur kerajaan baru yg pada saat berdirinya dimulai oleh putranya yaitu Panembahan Senopati.
wafat: 1584?
== Ki Ageng Pamanahan ==


Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gede Pamanahan, adalah pendiri desa Mataram tahun 1556, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Mataram di bawah pimpinan putranya, yang bergelar Panembahan Senapati.

Daftar isi

Asal usul

Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).

Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang yang juga murid Ki Ageng Sela. Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang.


Peran awal

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami perpecahan akibat perebutan takhta. Putra Sultan yang naik takhta bergelar Sunan Prawata tewas dibunuh sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang.

Arya Penangsang yang didukung Sunan Kudus juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung Danaraja menunggu kematian Arya Penangsang bupati Jipang.

Arya Penangsang ganti mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tapi gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya datang ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya dari kursi jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.

Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan.


Melawan Arya Penangsang

Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah Mataram dan Pati.

Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya, bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.

Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.

Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya.


Membuka Mataram

Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.

Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.

Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.

Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.

Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap saja.

Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pamanahan selaku leluhur raja-raja Mataram. Konon, sesudah membuka desa Mataram, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.

Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja pulau Jawa.

Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584. Ia digantikan putranya, yaitu Sutawijaya sebagai pemimpin desa selanjutnya.Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan nama Panembahan Senopati.

Kepustakaan

Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
193/4 <4> Ki Ageng Pemanahan [Brawijaya]
wafat: 1584
Official Link. Adm : Hilal Achmar

Ki Pamanahan adalah putra Ki Ageng Henis, putra Ki Ageng Sela. Ia menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Nyai Sabinah, putri Nyai Ageng Saba (kakak perempuan Ki Ageng Henis).

Ki Pamanahan dan adik angkatnya, yang bernama Ki Penjawi, mengabdi pada Hadiwijaya bupati Pajang yang juga murid Ki Ageng Sela. Keduanya dianggap kakak oleh raja dan dijadikan sebagai lurah wiratamtama di Pajang. [sunting] Peran awal

Sepeninggal Sultan Trenggana tahun 1546, Kesultanan Demak mengalami perpecahan akibat perebutan takhta. Putra Sultan yang naik takhta bergelar Sunan Prawata tewas dibunuh sepupunya sendiri, yaitu Arya Penangsang, bupati Jipang.

Arya Penangsang yang didukung Sunan Kudus juga membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat, putri Sultan Trenggana. Sejak itu, Ratu Kalinyamat memilih hidup bertapa di Gunung Danaraja menunggu kematian Arya Penangsang bupati Jipang.

Arya Penangsang ganti mengirim utusan untuk membunuh Hadiwijaya di Pajang tapi gagal. Sunan Kudus pura-pura mengundang keduanya untuk berdamai. Hadiwijaya dating ke Kudus dikawal Ki Pamanahan. Pada kesempatan itu, Ki Pamanahan berhasil menyelamatkan Hadiwijaya dari kursi jebakan yang sudah dipersiapkan Sunan Kudus.

Dalam perjalanan pulang, Hadiwijaya singgah ke Gunung Danaraja. Ki Pamanahan bekerja sama dengan Ratu Kalinyamat membujuk Hadiwijaya supaya bersedia menghadapi Arya Penangsang. Sebagai hadiah, Ratu Kalinyamat memberikan cincin pusakanya kepada Ki Pamanahan. [sunting] Melawan Arya Penangsang

Hadiwijaya segan memerangi Arya Penangsang karena masih sama-sama anggota keluarga Kesultanan Demak. Maka, ia pun mengumumkan sayembara, barang siapa bisa membunuh Arya Penangsang akan mendapatkan hadiah tanah Mataram dan Pati.

Ki Pamanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara atas desakan Ki Juru Martani (kakak ipar Ki Pamanahan). Putra Ki Pamanahan yang juga anak angkat Hadiwijaya, bernama Sutawijaya ikut serta. Hadiwijaya tidak tega sehingga memberikan pasukan Pajang untuk melindungi Sutawijaya.

Perang antara pasukan Ki Pamanahan dan Arya Penangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Ki Juru Martani, Arya Penangsang tewas di tangan Sutawijaya.

Ki Juru Martani menyampaikan laporan palsu kepada Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang mati dibunuh Ki Pamanahan dan Ki Penjawi. Apabila yang disampaikan adalah berita sebenarnya, maka dapat dipastikan Hadiwijaya akan lupa memberi hadiah sayembara mengingat Sutawijaya adalah anak angkatnya. [sunting] Membuka Mataram

Hadiwijaya memberikan hadiah berupa tanah Mataram dan Pati. Ki Pamanahan yang merasa lebih tua mengalah memilih Mataram yang masih berupa hutan lebat, sedangkan Ki Penjawi mandapat daerah Pati yang saat itu sudah berwujud kota.

Bumi Mataram adalah bekas kerajaan kuno yang runtuh tahun 929. Seiring berjalannya waktu, daerah ini semakin sepi sampai akhirnya tertutup hutan lebat. Masyarakat menyebut hutan yang menutupi Mataram dengan nama Alas Mentaok.

Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, Hadiwijaya dilantik menjadi raja baru penerus Kesultanan Demak. Pusat kerajaan dipindah ke Pajang, di daerah pedalaman. Pada acara pelantikan, Sunan Prapen cucu (Sunan Giri) meramalkan kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.

Ramalan tersebut membuat Sultan Hadiwijaya resah. Sehingga penyerahan Alas Mentaok kepada Ki Pamanahan ditunda-tunda sampai tahun 1556. Hal ini diketahui oleh Sunan Kalijaga, guru mereka. Keduanya pun dipertemukan. Dengan disaksikan Sunan Kalijaga, Ki Pamanahan bersumpah akan selalu setia kepada Sultan Hadiwijaya.

Maka sejak tahun 1556 itu, Ki Pamanahan sekeluarga, termasuk Ki Juru Martani, pindah ke Hutan Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi desa Mataram. Ki Pamanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak, di mana Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap saja.

Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pamanahan selaku leluhur raja-raja Mataram. Konon, sesudah membuka desa Mataram, Ki Pamanahan pergi mengunjungi sahabatnya di desa Giring. Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.

Ki Pamanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Pamanahan menghabiskan airnya. Ki Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pamanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja pulau Jawa.

Ki Ageng Pamanahan memimpin desa Mataram sampai meninggal tahun 1584. Ia digantikan putranya, yaitu Sutawijaya sebagai pemimpin desa selanjutnya.Kelak Sutawijaya menjadi raja Mataram Islam yang pertama dengan nama Panembahan Senopati. [sunting] Kepustakaan

   Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
   H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
184/4 <6+4> Ki Juru Martani / Adipati Mandaraka (Mondoroko I) [Brawijaya]
lahir: Versi 1 : http://www.jatiningjati.com/2009/08/akan-banyak-orang-yang-tidak-percaya.html Versi 2 : http://kincho-ngerang.blogspot.com/ Versi 3 : http://kiagengmandaraka.blogspot.com/2011/06/saya-pengagum-beliau.html
perkawinan: <6> Ratu Mas Banten [Sultan Hadiwijaya]
gelar: 1601 - 1613, Mataram, Patih Kesultanan Mataram
wafat: 1615
== ASAL-USUL KI JURU MARTANI ==

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro

Terdapat 2 versi mengenai asal-usul Ki Juru Martani :

  • 1. Versi Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Juru_Martani) dengan sumber referensi :
    • 1.Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu
    • 2.Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
    • 3.H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
    • 4.Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional **5.Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional
    • 6.M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
    • 7.Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius

Silsilahnya sebagai berikut :

Ki Juru Martani adalah putra Ki Ageng Saba atau Ki Ageng Madepandan, putra Sunan Kedul, putra Sunan Giri anggota Walisanga pendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Ki Ageng Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad).

Juru Martani memiliki adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Ki Ageng Pamanahan, putra Ki Ageng Ngenis, putra Ki Ageng Sela. Dengan demikian, Ki Ageng Pemanahan adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Martani.

Juru Martani memiliki beberapa orang anak yang menjadi bangsawan pada zaman Kesultanan Mataram, antara lain Pangeran Mandura dan Pangeran Juru Kiting.

Pangeran Mandura berputra Pangeran Mandurareja dan Pangeran Upasanta. Mandurareja pernah mencoba berkhianat pada pemerintahan Sultan Agung tapi batal. Ia kemudian ikut menyerang Batavia yahun 1628 dan dihukum mati di sana bersama para panglima lainnya karena kekalahannya. Sementara itu Upasanta diangkat menjadi bupati Batang. Putrinya dinikahi Sultan Agung sebagai selir, yang kemudian melahirkan Amangkurat I.

  • 2. Versi tulisan Ulil Ahbab 17 Februari 2010 (http://kincho-ngerang.blogspot.com/), sumber referensinya adalah :
    • 1.RT. Hamaminatadipura, “Babad Karaton Mataram”.
    • 2.Soeprapto, “Riwayat Keraton Surakarta”.
    • 3.Umar Hasyim, “Sunan Muria Antara fakta dan Legenda”.
    • 4.M. Puspopranoto, “Riwayat Negeri pati”.
    • 5.Ahmadi, S.Pd.” Sejarah Pati”.
    • 6.Sholikhin Salim, “Sekitar Walisongo”.
    • 7.A.M. Nurtjahyo, “Cerita Rakyat Sekitar Walisongo”.
    • 8.K.H. Mustofa Bisri, “Tarikhul Auliya”.
    • 9.Praba Hapsara dan Eva Banowati, “Kisah – Kisah Lama dari Pati”.
    • 10.Endar Wisnu Mulyani, ”Kejayaan Bangsa di jaman”. Kerajaan.
    • 11.Ahnan M.H. dan Ustad Maftuh Ahnan, 1994. “Serpihan Mutiara Kisah walisongo. Anugerah, Surabaya”.
    • 12.Graff. DR.H. J. de. 1987. “Awal Kebangkitan Mataram”. Pt. Pustaka grafitti. Jakarta
    • 13.Wirya Panitra, 1993.” Babad Tanah Jawi”, Dahara Prize Semarang.
    • 14.Moedjanto, 1987. ”Konsep Kekuasaan Jawa”, Jakarta.
    • 15.………. Himpunan Sejarahing Nata Tanah Jawi.

Silsilahnya sebagai berikut :

Sekitar tahun 1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih mempunyai tiga orang Putra yaitu :

  • 1.Ki Ageng Wanasaba
  • 2.Ki Ageng Getas Pendawa dan
  • 3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan

1. Ki Ageng Wanasaba, yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo, tepatnya di desa Plobangan Selo merto[9].

Dalam masa hidupnya, Ki Ageng Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik. Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo. Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut terpengaruh oleh dialek Banyumas.

Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan Kejawan, Lembu Peten , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih, dan Nawangsih sendiri putri dari Ki jaka Tarub yang menikah dengan Dewi Nawang wulan ( epos Jaka Tarub ).

Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri dan Ki juru Mertani.
165/4 <4+3> Ki Ageng Karotangan [Pagergunung] 176/4 <6+4> Nyai Ageng Pamanahan / Nyai Sabinah [Brawijaya]

5

221/5 <16+7> Ki Ageng Sutogati [Pagergunung]
lahir:
perkawinan: <8> Putri [Pajang]
452/5 <15+17!> 18. Nyai Ageng Suwakul [Brawijaya]
lahir: Wafat dimakamkan di Astana Lawiyan.
213/5 <15+17!> Kanjeng Panembahan Senapati /Danang Sutawijaya (Raden Bagus Sutawijaya) [Kesultanan Mataram]
lahir: 1530c
perkawinan: <9> Nyai Adisara [?]
perkawinan: <24!> 1.1.1.2.1.1.1. Waskita Jawi / Ratu Mas (Putri Waskita Jawi) [Azmatkhan]
perkawinan: <10> Rara Semangkin [?]
perkawinan: <11> Niken Purwosari / Rara Lembayung [Ki Ageng Giring]
perkawinan: <12> Kanjeng Ratu Kidul [?]
perkawinan: <13> Raden Ayu Retno Dumilah [Raden Trenggono]
gelar: 1575 ? 1601, SULTAN MATARAM KE 1 (1587-1601), bergelar Panembahan Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama
wafat: 1601
== Panembahan Senopati ==

Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.


Daftar isi

Asal-Usul

Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.


Peran Awal

Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.

Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.


Memberontak Terhadap Pajang

Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).

Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.


Memerdekakan Mataram

Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.

Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.

Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.

Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.


Menjadi Raja

Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.

Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.

Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.

Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.


Memperluas Kekuasaan Mataram

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.

Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.

Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.

Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.


Akhir Pemerintahan

Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.


Kepustakaan

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu

Sekar Sinom

"Nulata laku utama, tumraping wong Tanah Jawi. Priyagung hing Ngeksigondo, Panembahan Senapati. Kapati amarsudi, sudaning hawa lan napsu. Pinesu tapa brata, tanapi hing siyang ratri.

Amemangun karyanak tyasing sasama."
254/5 <15+17!> 11. Pangeran Gagak Baning / Pangeran Gagak Pranolo (Bupati Pajang) [Mataram]
gelar: 1588 - 1591, Pajang, Adipati Pajang
wafat: 1591, Astana Kota Gede
235/5 <15> Kanjeng Panembahan Senopati / Danang Sutawijaya (Raden Sutowijoyo) [Mataram]
gelar: Sultan Mataram Ke 1 (1587-1601), Gelar :"Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa"
perkawinan: <14> Kanjeng Ratu Mas / Waskita Jawi (Roro Sari) [Waskita Jawi]
perkawinan: <15> Raden Ajeng Dilah [Gp.2] / Raden Ayu Dumilah [Raden Trenggono]
wafat: 1601
== Panembahan Senopati ==

Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.


Daftar isi

Asal-Usul

Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.

Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.


Peran Awal

Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.

Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.


Memberontak Terhadap Pajang

Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).

Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.


Memerdekakan Mataram

Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.

Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.

Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.

Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.


Menjadi Raja

Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.

Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.

Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.

Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.


Memperluas Kekuasaan Mataram

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.

Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.

Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.

Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.


Akhir Pemerintahan

Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.


Kepustakaan

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
246/5 <20> 1.1.1.2.1.1.1. Waskita Jawi / Ratu Mas (Putri Waskita Jawi) [Azmatkhan] 267/5 <20> 1.1.1.2.1.1.2. Prince (Raden) Adipati Pragola II (Pangeran Adipati Pragola II) [Azmatkhan]
===Adipati Pragola II===


atau Wasis Jayakusuma II, putra dari Wasis Jayakusuma I atau Adipati Pragola I. Adipati Pragola II, beristrikan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yg merupakan Adik Sultan Agung. Maka, Adipati Pragola II tidak lain adalah adik ipar dari Sultan Agung, sang penguasa Mataram.

Pada masa kepemimpinanya, sang adipati meneruskan kebijakan ayahnya, yang menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Karena hal ini, sang adipati tidak mau mengikuti Pisowanan Agung yang diwajibkan bagi bawahan Mataram. Awalnya, Sultan Agung masih membiarkan ketidakhadiran adik iparnya itu. Karena daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yg paling kuat karena satu-satunya wilayah yg belum terkalahkan. Sehingga, jangan sampai melakukan pemberontakan.

Akhir dari hubungan Mataram-Pati, adalah dengan meletusnya perang Pati. Sebab perang ini adalah, penyerangan Pati ke Jepara karena sebuah konflik. Namun, oleh Patih Endranata, Pati dilaporkan akan memberontak dari Mataram.

Sultan Agung memutuskan untuk menyerbu Pati dari tiga penjuru, yaitu Timur, Selatan dan Barat. Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Sebagai Senapatinya, Mataram menunjuk Tumenggung Alap-alap.

Pasukan dari arah Timur, yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, dan bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur. Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin oleh Pangeran Madura yg membawahi prajurit Kedu, Begalan dan Pamijen, pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.

Pasukan dari arah barat dipimpin oleh bupati Sumedang (Rangga Gempol I) yang membawahi pasukan khusus berkuda, pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati. Terakhir keluarga raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit semua kapendak yang ada diantara mereka harus mengikuti raja.

Dalam pertempuran ini, Adipati Pragola II dibantu oleh enam tumenggung. Ke enam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, Tumenggung Sindurejo, serta seluruh rakyat Pati.

Pada hari Jum’at Wage, tanggal 4 Oktober 1627 M, Adipati Pragola II wafat setelah tertusuk tombak Kyai Baru milik Sultan Agung, yang diserahkan pada Lurah Kapedak, Naya Derma. Sang adipati meninggal dan dikebumikan di Sendang Sani.

Setelah wafatnya Adipati Pragola II, Sultan Agung menemui adiknya, Ratu Mas Sekar, yang tidak lain adalah istri dari sang adipati. Sultan Agung menanyakan alasan pemberontakan Pati terhadap Mataram. Ratu Mas Sekar, dengan perasaan duka yang mendalam, menjawab bahwa semua berita yang didengar oleh sang sultan adalah berita yang dipalsukan oleh Patih Endranata. Patih Endranata akhirnya ditangkap, dan dieksekusi.

Perlawanan Adipati Pragola II yang gagah berani dalam melawan Mataram, untuk menjaga kehormatan Kadipaten Pati terus hidup dalam ingatan masyarakat Pati. Karena peristiwa penyerangan Mataram ini, ada sebuah pantangan bagi masyarakat Pati. Yaitu, orang Pati jangan sampai menikah dengan orang Mataram.
278/5 <18+6> Pangeran Mandura [Brawijaya]
289/5 <18+6> Pangeran Juru Kiting [Martani]
2910/5 <18+6> Adipati Jagabaya Banten [Juru Martani]
Mas Karebet / Sultan Hadiwijaya pada waktu masih balita telah ditinggal wafat ayah, dan tak lama kemudian ibunya wafat. Sepeninggalan orang tuanya diasuh oleh Kiyai Ageng Tingkir, beliau adalah seperguruan dengan ayah Mas Karebet. Oleh karenya tempat tinggal berpindah dari Pengging ke Tingkir (letaknya dekat kota Slatiga), dan kebetulan Kiayi Ageng Tingkir tidak mempunyai keturunan.

Dalam riwayat Mas Karebet setelah dewasa mengabi ke Demak menjadi prajurit Tamtama, karena berparas tampan dan cerdik diambil menantu oleh Sang Prabu, dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka.

Menurunkan 7(tujuh) putera puteri, adalah:

1. Ratu Mas Pambayun, di Ngarisbaya;
2. Ratu Mas Kumelut, di Tuban;
3. Ratu Mas Adipati, di Surabaya;
4. Ratu Mas Banten, dinikahi Adipati Mondoroko/Ki Juru Martani, sebagai Patih dari Sinuhun Panembahan Senopati.
5. Ratu Mas Japara;
6. Adipati Benawa, nama gelar Sultan Hawijaya, di Pajang, dan
7. Pangeran Sindusena.

Ratu Mas Banten, menikah dengan Adipati Mondoroko Ki Jurumartani, menjabat Patih Paduka Sinuhun Panembahan Senapati ing Ngalaga, di Mataram, menurunkan putera puteri :

1. Adipati Jagabaya Banten, menurunkan putra :

   a. Adipati Senabaya Banten, menurunkan putra :
   b. Kanjeng Panembahan Bagus Banten, mwnurunkan putra :
   c. Raden Ayu Tirtokusumo ing Pancuran, menurunkan putra :
   d. Raden Ajeng Temu, menikah dengan Adipati Sindurejo, menjabat Patih dari Hingkang Sinuhun
      Paku Buwana III di Surakarta, menurunkan putra :
   e. Kanjeng Bandara Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II di Surakarta, menurunkan putra :
   f. Raden Ayu Notokusumo (Raden Ajeng Sayati) menurunkan putra :
   g. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro III.


Ini adalah Trah Keturunan dari Adipati Mondoroko Ki Jurumartani.

Adipati Mondoroko menurunkan putra :

  • Pangeran Hupasanta hing Batang, menikah dengan putri Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putra :
 1. Kanjeng Ratu Batang, sebagai Prameswari Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu 
    Hanyokrokusumo, di Mataram.
 2. Panembahan Mas, menjabat Adipati di Pajang putra dari Adipati Benawa, peputra Panembahan Radin, 
    Panembahan Ramawijaya, dan Raden Ayu Purbaya III.
 3. Kanjeng Ratu Kulon, sebagai prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing Mataram.
 4. Pangeran Pujamenggala.
 5. Pangeran Adipati Wiramenggala.
Sumber : http://asalsilahipunparanata.blogspot.com/
3011/5 <15+17!> 1. Adipati Manduranegara [Brawijaya]
3112/5 <17+15!> 3. Pangeran Ronggo [Brawijaya]
3213/5 <17+15!> 4. Nyai Ageng Tumenggung Mayang [Brawijaya] 3314/5 <17+15!> 5. Pangeran Hario Tanduran [Brawijaya]
3415/5 <17+15!> 6. Nyai Ageng Tumenggung Jayaprana [Brawijaya]
3516/5 <17+15!> 7. Pangeran Teposono [Brawijaya]
3617/5 <17+15!> 8. Pangeran Mangkubumi ? (Raden Jambu) [Mataram]
3718/5 <17+15!> 9. Pangeran Singasari / Raden Santri [Mataram] 3819/5 <17+15!> 10. Raden Ayu Kajoran [Brawijaya]
3920/5 <17+15!> 12. Pangeran Pronggoloyo [Brawijaya]
4021/5 <17+15!> 13. Nyai Ageng Haji Panusa, di Tanduran [Brawijaya]
4122/5 <17+15!> 14. Nyai Ageng Panjangjiwa [Brawijaya]
4223/5 <17+15!> 15. Nyai Ageng Banyak Potro, di Waning [Brawijaya]
4324/5 <15+17!> 16. Nyai Ageng Kusumoyudo Marisi [Brawijaya]
4425/5 <15+17!> 17. Nyai Ageng Wirobodro, di Pujang [Brawijaya]
4626/5 <15+17!> 19. Nyai Ageng Mohamat Pekik di Sumawana [Brawijaya]
4727/5 <17+15!> 20. Nyai Ageng Wiraprana di Ngasem [Brawijaya]
4828/5 <17+15!> 21. Nyai Ageng Hadiguno di Pelem [Brawijaya]
4929/5 <17+15!> 22. Nyai Ageng Suroyuda Kajama [Brawijaya]
5030/5 <17+15!> 23. Nyai Ageng Mursodo Silarong [Brawijaya]
5131/5 <17+15!> 24. Nyai Ageng Ronggo Kranggan [Brawijaya]
5232/5 <17+15!> 25. Nyai Ageng Kawangsih Kawangsen [Brawijaya]
5333/5 <17+15!> 26. Nyai Ageng Sitabaya Gambiro [Brawijaya]
5434/5 <15> Raden Roro Subur [Subur]

6

571/6 <22+8> Ki Ageng Putu Martogati [Pagergunung]
lahir:
582/6 <22+8> Nyai Ageng Sutojoyo Pati Keponjong [Pagergunung]
lahir:
643/6 <21> 7. Pangeran Adipati Jayaraga / Raden Mas Barthotot [Kesultanan Mataram]
gelar: Bupati Ponorogo
Di Ponorogo
874/6 <27> 2. Pangeran Huposonto / Pangeran Adipati Batang (Pangeran Upasanta) [Brawijaya]
gelar: Bupati Batang
perkawinan: <19> Putri Adipati Benawa Hing Pajang [?]
Ini adalah Trah Keturunan dari Adipati Mondoroko Ki Jurumartani.

Adipati Mondoroko menurunkan putra :

  • Pangeran Hupasanta hing Batang, menikah dengan putri Adipati Benawa hing Pajang, menurunkan putra :
 1. Kanjeng Ratu Batang, sebagai Prameswari Paduka Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, di Mataram.
 2. Panembahan Mas, menjabat Adipati di Pajang putra dari Adipati Benawa, peputra Panembahan Radin, 
    Panembahan Ramawijaya,dan Raden Ayu Purbaya III.
 3. Kanjeng Ratu Kulon, sebagai prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing Mataram.
 4. Pangeran Pujamenggala.
 5. Pangeran Adipati Wiramenggala.
Sumber : http://asalsilahipunparanata.blogspot.com/
885/6 <37+17> Radin Mas Bagus/ Pangeran Blitar I (Kanjeng Pangeran Adipati Jumina Petak) [Demak]
lahir: Bupati of Madiun 1601-1613
666/6 <32+16> Raden Pabelan [Pajang]
wafat: 1587?
597/6 <21+13> 11. Pangeran Adipati Pringgoloyo I ? (Raden Mas Djulig) [Kesultanan Mataram]
lahir: Level 3 = Buyut ke 11 Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 1 Raden Ayu Djumilah + Panembahan Senopati
gelar: 1595 - 1601, Bupati Madiun Ke 5
Raden Mas Djulig Pringgolojo memegang tampuk pimpinan pemerintahan di Kabupaten Madiun tahun 1595-1661 menggantikan Raden Mas Sumekar dan Raden Mas Rangsang
788/6 <21+11> 5. Pangeran Purubaya / Raden Mas Damar (Jaka Umbaran) [Kesultanan Mataram]
lahir: 1597c, Kalkulasi Kelahiran : [(kelahiran Senapati=1530)+(Usia saat nikah=65)+((2)]= 1597
wafat: 13 Oktober 1676, Kotagede Yogyakarta
Pangeran Purbaya, diberikan sebutan Purbaya terbang. Bibi dari Giring. P Purubaya dimakamkan di Wotgaleh (Berbah, Kabupaten Sleman yang berada di sebelah selatan Bandara Adisutjipto)
559/6 <21+13> 12. Ki Ageng Panembahan Djuminah ? (Pangeran Adipati Djuminah Petak / Pangeran Blitar I) [Kesultanan Mataram]
lahir: Level 3 = Buyut ke 12 Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 2 Raden Ayu Djumilah + Panembahan Senopati
gelar: 1601 - 1613, Bupati Madiun Ke 6
Diputus :

25705 706867 Pada periode berikutnya setelah Raden Mas Djulig Pringgolojo menjadi Bupati Madiun selama tidak kurang dari 12 tahun Kabupaten Madiun berada di bawah pemerintahan Bupati yang bernama Raden Mas Bagus Djunina Petak alias Mangkunegoro I. Bupati ini mengawali masa jabatannya pada tahun 1601 dan berakhir tahun 1613.


Silsilah Versi http://silsilah-pangeran-haryo-juminah.blogspot.co.id/2011/08/silsilah-pangeran-juminah.html SILSILAH KANJENG PANGERAN HARYO JUMINAH(PUTRA SENOPATEN) SILSILAH KPH HARYO JUMINAH (PUTRA SENOPATEN)

KANJENG PANGERAN HARYO (KPH) JUMINAH adalah putra Paembahan Senopati RAJA Mataram dari isteri Ratu Retno Dumilah putra bupati madiun. Makamnya berada pada makam HASTONO GIRILOYO timur HASTONO IMOGIRI Bantul Daeral Istimewa Jogjakarta. Kalau ditarik dari Garis silsilah aayah dan ibu, akan bertemu pada Prabu Brawijoyo V Raja Majapahit terakhir. Satu makam dengan RATU MAS ADI ( Isteri SUSUHUNAN HANYOKROWATI ing Krapyak). Dari keturunan KPH Haryo Juminah ini, para bupati Kaliwungu tempo doelu hampir semuanya anak cucunya. Salah satu putera KPH Juminah adalah RM Ronggo Wongsoprono dimakamkan di HASTANA Kuntul ngelayang Komplek pemakaman PARA PANGGEDE (Pejabat tempo doelu) Desa Protomulyo Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal Jawa Tengah. RM RONGGO Wongsoprono yang orang menganggapnya Pangeran Juminah Kaliwungu sebenarnya adalah putera pangeran Juminah Giriloyo. Berdampingan dengan makam RM RONGGO Hadimanggolo ke 1 Bupti Kaliwungu Pertama beserta Istri Bupati Kaliwungu pertama. 3 orang tersebut berada dalam satu cungkup (Gedung kecil) posisi ini berada di bagian Gedung Lor(Utara) di sekitarnya masih dalam Komplek Gedung Lor kecuali itu ada makam RT. RONODIWIRYO Bupati Batang tempo doeloe. Selanjutnya di bagian Gedung Tengah terdapat makam Bupati Kaliwungu ke II (RM Ronggo Hadi Manggolo II), RT Sumo Diwiryo II (Bupati Kaliwungu ke VII, RT. REKSO NAGORO (salah satu Bupati Semarang). Raden Ayu Reksonegoro dan Garwo (Ronggo/Bupati Anom Ungaran) Pada bagian Gedung Kidul (selatan) terdapat makam RM Ronggo Hadi Manggolo III (Bupati Kaliwungu ke III). RT Soemo Diwiryo ke-1 (Bupati Kaliwungu ke VI) RT Hadi Negoro II Bupati Demak, RT Hadi Negoro III Bupati Demak, RT Kromo Manduro Bupati Kaliwungu ke-5.

PANEMBAHAN SENOPATI BERPUTERA DIANTARANYA :

1. PANGERAN JUMINAH. (makamnya di Hastana Giriloyo Bantul Jogyakarta) berputera diantaranya : 1.1 RM. Ronggo Wongsoprono (KY Ageng Lempuyang, Makamnya di Gedong Lor satu cungkup dengan makam Bupati Kaliwungu Pertama, sedangkan sebelahnya adalah Makam Istri Bupati Kaliwungu Pertama 1.2 Pangeran Haryo Balitar 1.3 R. Ayu Sarifah Mertokusumo (guru ngaji Jepara) 1.4 R. Ay. Sontodirdjo 1.5 R. Ay. Wonoboyo 1.6 R. Ayu Kadjoran 1.7 RM. Surolojo

1.1 RM Ronggowongso Prono Berputra diantaranya : 1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo I (Bupati Kaliwungu Pertama) makamnya menyatu dengan RM Ronggowongso Prono dan isteri Bupati Kaliwungu pertama). Sekarang sudah dibangun cungkup (Gedung) oleh pemerintah Kabupaten Kendal.

1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo I berputera diantaranya : 1.1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo II (Bupati Kaliwungu ke II) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1 RM Ronggo Hadi Manggolo III (Bupati Kaliwungu ke III, pecah perang di Tlogohaji Gubug) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1 RT Ronggo Hadimanggolo IV (Hadinegoro Sepuh) Bupati Kaliwungu ke IV pernah menjabat Bupati Batang, menantu Adipati citrosomo Bupati Jepara. Berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.1 RT Suro Hadiningrat (Kyai Kromo Manduro) Bupati Kaliwungu ke V 1.1.1.1.1.1.2 RT Sumo Diwiryo I (Bupati Kaliwungu ke VI) 1.1.1.1.1.1.3 RT Ronodiwiryo Bupati Batang

1.1.1.1.1.1.2 RT Sumo Diwiryo I (Bupati Kaliwungu ke VI) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.1 R. Ayu Mertokusumo menantu Bupati Kendal 1.1.1.1.1.1.2.2 RT. Sumo Diwiryo II (Bupati Kaliwungu ke VII) 1.1.1.1.1.1.2.3 Kyai Hadipati Hadinegoro Bupati Kaliwungu ke VIII, kemudian pindah menjadi Bupati Demak berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.1 R.A.A. Adinegoro Bupati Demak (Tahun 1839) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.1.1 R. Ngabei Hastronagoro Wedono Ungaran berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.1.1.1 R. Ayu Darmi (R. Ayu Hastrodilogo) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.1.2 R. Sudardjo

1.1.1.1.1.1.2.3.1.2 R. Ngabei Wiryo Wijoyo (Bekti) berputera diantaranya : 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.1 R. Hadiwidjojo (Sutik) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.2 R. Nganten Surodipuro (Isteri Mas Surodipuro Grogol) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.3 R. Nganten Haji abdul Majit (pabrik tahu Kauman Semarang) 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.4 R. Tjitrokumoro 1.1.1.1.1.1.2.3.1.2.5 R. Hadi Sumelang

1.1.1.1.1.1.2.3.2 R. Ayu Purbokusumo 1.1.1.1.1.1.2.3.3 R. Ayu Prawirokusumo 1.1.1.1.1.1.2.3.4 R. Ayu Adipati Mangkudipuro II Bupati Juwana (Isteri ke-1 Adipati Mangkudipuro)

1.1.1.1.1.1.2.3.5 Isteri ke-2 R. Adipati Mangkudipuro II Bupati Juwana berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.5.1 R. Ngabei Prawirodipuro Wedono Ngerang 1.1.1.1.1.1.2.3.5.2 R. Ayu Ronggowiratmojo berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.5.2.1 R. Notowiratmejo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.2.2 R. Mertokusumo Fiskal Pati 1.1.1.1.1.1.2.3.5.2.3 R. Ngabei Surowinoto Wedono Juwana

1.1.1.1.1.1.2.3.5.3 R. Ayu Hardjokusumo Isteri Fiskal Pati 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4 R. Ngabei Wirjodipuro Kolektor Juwana berputera diantaranya : 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1. R. Ayu Panji Sumoprojo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.2. R. Ayu Sastrodimejo (isteri Jaksa Semarang) 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.3. R. Wirjo Saputro

1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1 R. Ayu Tirtoredjo (Garwo R. Tirtorejo Wedono Jeporo) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1.1 R. Supardi Jaksa Solotigo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1.2 R. Ayu Sudarjo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.1.3 R. Suparman

1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.2 R. Ayu Sumowidjojo 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.3 R. Surodipuro 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.4 R. Ayu Notodipuro 1.1.1.1.1.1.2.3.5.4.5 R. Ayu Murti (isteri Mantri Kabupaten Juwana)

1.1.1.1.1.1.2.3.5.5 R. Ayu Hadipati Aryo Tejokusumo (isteri Bupati Kediri)

1.1.1.1.1.1.2.3.5.6 R. Ngabei Kromodipoero Patih Kudus berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.1 R. Kromohadipuro 1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.2 R. Ayu Suryodiputro (isteri patih Kendal) 1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.3 R. Ayu Muslimah 1.1.1.1.1.1.2.3.5.6.4 R. Kromodipuro

1.1.1.1.1.1.2.3.5.7 R. Ngabei Notodipuro Wedono Undaan 1.1.1.1.1.1.2.3.5.8 R. Ayu Hastronagoro

1.1.1.1.1.1.2.3.6 R. Ngabei Mangkudiwiryo Wedono Grobogan 1.1.1.1.1.1.2.3.7 R. Ngabei Citrodiwirjo Patih Demak 1.1.1.1.1.1.2.3.8 R. Ngabei Condrodiwirjo Patih Demak 1.1.1.1.1.1.2.3.9 R. Ayu Purwodiwirjo (Isteri Wedono Wedung)

1.1.1.1.1.1.2.4 R. Ayu Rekso Negoro (Isteri Rekso Negoro Ronggo Ungaran(Setingkat Bupati Anom, Wedono, Wakil Bupati Ungaran tempo doelu)) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.4.1 RT. Aryo Reksonegoro Bupati Semarang (meninggal tahun 1862 M) berputera diantaranya 1.1.1.1.1.1.2.4.1.1 R. Ngabehi Reksodirdjo ( Patih Semarang) berputera diantaranya ; 1.1.1.1.1.1.2.4.1.1.1 R. Ay. Djojodirdjo (Mantri Polisi Ungaran) 1.1.1.1.1.1.2.4.1.1.2 R. Reksobronto Juru tulis Wedono Srondol

1.1.1.1.1.1.2.5 R. Ayu Wirosaroyo (isteri Demang Desa Gunungpati ). Keterangan : Demang setingkat Kepala Desa, Glondong, Kentol. Berputera diantaranya ;

1.1.1.1.1.1.2.5.1 R. Wirokusumo Demang Desa Gunungpati 1.1.1.1.1.1.2.5.2 R. Wirotanoyo Demang Desa Gunungpati

1.1.1.1.1.1.2.6 RT. Aryo Adinegoro Bupai Demak tahun 1825 – 1830 perang Diponegaran berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.6.1 R. Ayu Merto Hadinegoro (Isteri RT. Merto Hadinegoro Bupati Grobogan) berputera diantaranya :

1.1.1.1.1.1.2.6.1.1 R. Ayu Surodipuro Nilo Prabongso (Isteri R. Surodipuro Nilo Prabongso Wedono Tengaran, Putera Surohadi Manggolo VII Bupati Semarang)


1.2 Pangeran Haryo Balitar berputra diantaranya :

1.2.1 Pangeran Tumenggung Balitar berputra diantaranya :

1.2.1.1 Putri (Istri Pakubuwana ke 1) 1.2.1.2 Pangeran Haryo Balitar

1.3 R. Ayu Sarifah Mertokusumo (guru ngaji Jepara) berputera diantaranya : 1.3.1 R. Ayu Noyowongso Djongke (makam Gendingan Semarang) berputera diantaranya : 1.3.1.1 Kyai Ngabei Boestam Kartoboso Onder Regent (Bupati Anom) Terboyo Semarang

Keterangan : masih dalam perbaikan, selanjutnya silsilah secara lengkap menyusul

Diposkan oleh SILSILAH KPH HARYO JUMINAH (PUTRA SENOPATEN) di 07.15
5610/6 <21+24!> 8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati / Raden Mas Jolang (Panembahan Seda ing Krapyak) [Kesultanan Mataram]
perkawinan: <20> Dyah Banowati / Kanjeng Ratu Mas Hadi [Pajang]
perkawinan: <21> Ratu Tulungayu [Ponorogo]
perkawinan:
gelar: 1601 - 1613, Kota Gede, Mataram, Sultan Mataram Ke 2 bergelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram
wafat: 1613
gelar: 1613, "Anumerta Panembahan Seda ing Krapyak"
== Panembahan Hanyakrawati ==


Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (lahir: Kotagede, ? - wafat: Krapyak, 1613) adalah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Tokoh ini merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang juga pahlawan nasional Indonesia.


Daftar isi

Silsilah keluarga

Nama asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih terjalin hubungan sepupu.

Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja, kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu.

Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik).

Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.


Peran awal

Mas Jolang pernah dikirim ayahnya untuk menghadapi pemberontakan pamannya dari pihak ibu, yaitu Adipati Pragola dari Pati tahun 1600.

Pemberontakan tersebut dipicu oleh perkawinan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua. Pragola marah karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Ia pun memberontak menyatakan Pati lepas dari Mataram.

Panembahan Senapati menugasi Mas Jolang untuk memadamkan pemberontakan Pragola. Namun ia tidak mampu mengalahkan kesaktian pamannya itu. Ia bahkan jatuh pingsan karena terluka menghadapi Pragola dan terpaksa dibawa mundur oleh pasukannya.

Pemberontakan Adipati Pragola akhirnya ditumpas langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.


Pemberontakan Pangeran Puger

Pangeran Puger alias Raden Mas Kentol Kejuron adalah putra kedua Panembahan Senapati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Saat itu putra pertama Senapati yang bernama Raden Rangga Samudra (lahir dari Rara Semangkin) telah meninggal sejak lama. Hal ini membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas takhta Kesultanan Mataram daripada Mas Jolang.

Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1601 dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai raja Mataram selanjutnya, yang bergelar Prabu Hanyakrawati. Pengangkatan tersebut membuat Pangeran Puger sakit hati dan tidak mau menghadap ke pertemuan kenegaraan. menyadari hal itu, Hanyakrawati pun mengangkat kakaknya itu sebagai adipati Demak.

Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap saja memberontak pada tahun 1602. Perang saudara antara Mataram dan Demak pun meletus. Akhirnya, pada tahun 1605 Pangeran Puger dapat ditangkap dan dibuang ke Kudus.

Pemberontakan selanjutnya terjadi pada tahun 1607, dilakukan oleh Pangeran Jayaraga (alias Raden Mas Barthotot), adik Hanyakrawati yang menjadi bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adik yang lain, yaitu Pangeran Pringgalaya (alias Raden Mas Julik putra Retno Dumilah). Jayaraga tertangkap dan dibuang ke Masjid Watu di Nusakambangan.


Menyerang Surabaya

Pada tahun 1610 Hanyakrawati melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut.

Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.


Kematian di Krapyak

Prabu Hanyakrawati meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak.

Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah Mas Rangsang. Namun, karena sebelumnyua pernah berjanji pada istri pertama (Ratu Tulungayu), maka Mas Wuryah pun lebih dahulu dijadikan raja bergelar Adipati Martopuro selama satu hari.

Setelah memerintah selama satu hari, Adipati Martopuro kemudian digantikan oleh Mas Rangsang, atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Agung.


Catatan

Pangeran Puger kakak Prabu Hanyakrawati yang memberontak pada tahun 1602-1605 berbeda dengan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I. Pangeran Puger Pakubuwana I adalah cicit Hanyakrawati yang hidup pada zaman selanjutnya. Ia menjadi raja Kasunanan Kartasura pada tahun 1705-1719.


Kepustakaan

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
6211/6 <21+9> 3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuron [Kesultanan Mataram]
gelar: 1601?, Adipati Demak
6012/6 <21+13> 13. Pangeran Adipati Martoloyo / Mangkunegoro II (Raden Mas Kanitren) [Kesultanan Mataram]
lahir: Level 3 = Buyut ke 13 Sultan Trenggono Demak Bintoro atau putera ke 3 Raden Ayu Djumilah + Panembahan Senopati
gelar: 1613 - 1645, Bupati Madiun Ke 7
Memasuki tahun 1613 Raden Mas Keniten Mertolojo alias Mangkunegoro II menduduki jabatan. Bupati Madiun yang dalam urutannya sebagai bupati yang ke-7 memerintah hingga saat wafatnya tahun 1645, pusaranya di makam Taman.
6113/6 <23+14> 8. Sultan Agung Hanyokrowati Panembahan Sedo Krapyak (Raden Mas Jolang) [Mataram]
lahir: Sultan Mataram Ke 2 (1601-1613), Gelar : "Anumerta Panembahan Seda ing Krapyak"
wafat: 1613
== Panembahan Hanyakrawati ==


Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (lahir: Kotagede, ? - wafat: Krapyak, 1613) adalah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Tokoh ini merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang juga pahlawan nasional Indonesia.


Daftar isi

Silsilah keluarga

Nama asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih terjalin hubungan sepupu.

Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja, kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu.

Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik).

Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.


Peran awal

Mas Jolang pernah dikirim ayahnya untuk menghadapi pemberontakan pamannya dari pihak ibu, yaitu Adipati Pragola dari Pati tahun 1600.

Pemberontakan tersebut dipicu oleh perkawinan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua. Pragola marah karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Ia pun memberontak menyatakan Pati lepas dari Mataram.

Panembahan Senapati menugasi Mas Jolang untuk memadamkan pemberontakan Pragola. Namun ia tidak mampu mengalahkan kesaktian pamannya itu. Ia bahkan jatuh pingsan karena terluka menghadapi Pragola dan terpaksa dibawa mundur oleh pasukannya.

Pemberontakan Adipati Pragola akhirnya ditumpas langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.


Pemberontakan Pangeran Puger

Pangeran Puger alias Raden Mas Kentol Kejuron adalah putra kedua Panembahan Senapati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Saat itu putra pertama Senapati yang bernama Raden Rangga Samudra (lahir dari Rara Semangkin) telah meninggal sejak lama. Hal ini membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas takhta Kesultanan Mataram daripada Mas Jolang.

Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1601 dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai raja Mataram selanjutnya, yang bergelar Prabu Hanyakrawati. Pengangkatan tersebut membuat Pangeran Puger sakit hati dan tidak mau menghadap ke pertemuan kenegaraan. menyadari hal itu, Hanyakrawati pun mengangkat kakaknya itu sebagai adipati Demak.

Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap saja memberontak pada tahun 1602. Perang saudara antara Mataram dan Demak pun meletus. Akhirnya, pada tahun 1605 Pangeran Puger dapat ditangkap dan dibuang ke Kudus.

Pemberontakan selanjutnya terjadi pada tahun 1607, dilakukan oleh Pangeran Jayaraga (alias Raden Mas Barthotot), adik Hanyakrawati yang menjadi bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adik yang lain, yaitu Pangeran Pringgalaya (alias Raden Mas Julik putra Retno Dumilah). Jayaraga tertangkap dan dibuang ke Masjid Watu di Nusakambangan.


Menyerang Surabaya

Pada tahun 1610 Hanyakrawati melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut.

Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.


Kematian di Krapyak

Prabu Hanyakrawati meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak.

Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah Mas Rangsang. Namun, karena sebelumnyua pernah berjanji pada istri pertama (Ratu Tulungayu), maka Mas Wuryah pun lebih dahulu dijadikan raja bergelar Adipati Martopuro selama satu hari.

Setelah memerintah selama satu hari, Adipati Martopuro kemudian digantikan oleh Mas Rangsang, atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Agung.


Catatan

Pangeran Puger kakak Prabu Hanyakrawati yang memberontak pada tahun 1602-1605 berbeda dengan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I. Pangeran Puger Pakubuwana I adalah cicit Hanyakrawati yang hidup pada zaman selanjutnya. Ia menjadi raja Kasunanan Kartasura pada tahun 1705-1719.


Kepustakaan

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
6814/6 <21> 1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun [Kesultanan Mataram]
perkawinan: <22> Kyai Ageng Mangir III Ki Jaka Mangir ? (Wonoboyo) [Brawijaya V]
perkawinan: <23> Kyai Ageng Karanglo [?]
wafat: 1625, Jatinegara, Jakarta
penguburan: 1625, Tapos, Depok
Gusti Kanjeng Ratu Pambayun Garwa Kiayi Ageng Mangir. Setelah berstatus janda menikah dengan Kiyai Ageng Karanglo.
6315/6 <21+10> 2. Pangeran Ronggo Samudra [Kesultanan Mataram]
diriwayatkan bertarung dengan Uling Laut Selatan. Bibi dari Kalinyamat
6516/6 <25> Pangeran Sidawini ? (Pangeran Pajang) [Mataram]
6717/6 <29> Adipati Senabaya Banten [Juru Martani]
6918/6 <21+9> 4. Pangeran Teposono [Kesultanan Mataram]
7019/6 <21> 6. Pangeran Rio Manggala [Kesultanan Mataram]
7120/6 <21> 9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil. [Kesultanan Mataram]
7221/6 <24+21!> 10. Gusti Raden Ayu Wiramantri [Kesultanan Mataram]
Di Ponorogo
7322/6 <21+13> 14. Pangeran Demang Tanpa Nangkil ? (Raden Mas Kadawung) [Kesultanan Mataram]
7423/6 <23> 1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun [Mataram]
7524/6 <23> 2. Pangeran Ronggo [Mataram]
7625/6 <23> 3. Pangeran Puger [Mataram]
7726/6 <23> 4. Pangeran Teposono [Mataram]
7927/6 <23> 6. Pangeran Rio Manggala [Mataram]
8028/6 <23> 7. Adipati Jayaraga di Ponorogo [Mataram]
8129/6 <23> 9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkail [Mataram]
8230/6 <23> 10. Gusti Raden Ayu Wiramantri, di Ponorogo [Mataram]
8331/6 <23> 11. Pangeran Pringgalaya [Mataram]
8432/6 <23> 12. Panembahan Juminah [Mataram]
8533/6 <23> 13. Adipati Martalaya [Mataram]
8634/6 <23> 14. Pangeran Tanpa Nangkil [Mataram]
8935/6 <28> Raden Wirakusuma / Raden Aria Wirakusuma [Brawijaya]
9036/6 <27> 1. Pangeran Adipati Mandurareja [Brawijaya V]
9137/6 <21> Raden Ayu Sarifah Mertokusumo [Kesultanan Mataram]
9238/6 <21> Raden Ayu Sontodirdjo [Kesultanan Mataram]
9339/6 <21> Raden Ayu Wonoboyo [Kesultanan Mataram]
9440/6 <21+24!> Raden Ayu Kadjoran Raden Ayu Purubaya [Kesultanan Mataram]
9541/6 <21> Raden Mas Surolojo [Kesultanan Mataram]
9642/6 <21> Raden Mas Ronggo Wongsoprono ? (Kyai Ageng Lempuyang) [Kesultanan Mataram]
9743/6 <28> Pangeran Juru Wirapraba [Ki Juru Martani]
9844/6 <36> Adipati Sukawati [Ki Ageng Pemanahan]
9945/6 <36> Bagus Petak Madiun [Ki Ageng Pemanahan]
10046/6 <26> Prince (Raden) Kyai Wonokriyo / Wanakriya [Wonokriyo]
Kyai Wonokriyo menurut silsilah kraton adalah anak dari pangeran pragola 2 dari Pati cucu Pengeran Puger menantu Sultan Agung.
10147/6 <21> Raden Ajeng Lawi [Kesultanan Mataram] 10248/6 <21> Raden Ajeng Denok [Kesultanan Mataram]

7

1051/7 <57> Ki Ageng Buyut Martasuto [Pagergunung]
lahir:
1062/7 <58> Ki Ageng Pogangan [Pagergunung]
lahir:
1083/7 <87+19> 1. Kanjeng Ratu Batang [Gp.2] / Ratu Ayu Wetan (R.Ayu Prahilla) [Brawijaya]
lahir: Setelah Kanjeng Ratu Kulon (Cirebon) diusir dari Keraton, berubah nama menjadi Kanjeng Ratu Kulon
perkawinan: <104!> 1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (Raden Mas Rangsang) [Mataram] b. 1593 d. 1645
1174/7 <56> 11. Gusti Ratu Wirokusumo [Brawijaya]
lahir: Ing Djipang
1215/7 <88+?> Pangeran Adipati Blitar. [Demak]
lahir: Bupati of Madiun 1645-1677 856021 Diputus ayahnya
1236/7 <87+19> 3. Kanjeng Ratu Kulon [?]
lahir: prameswari dari Paduka Sinuhun Prabu Hamangkurat Agung ing
1307/7 <68+22> Bagus Wonoboyo [Brawijaya V]
lahir: 1588, Pati
perkawinan: <26> Nyimas Linggarjati [?]
pekerjaan: 1624 - 1629, Komandan divisi Telik Sandi di Mataram, Timnya berhasil membunuh Gubernur Jenderal VOC ke 4 Yan Pieters Zoen Coen pada 20 September 1629
Bagus Wonoboyo putra tunggal Ki Ageng Mangir dengan Roro Pembayun, Komandan divisi Telik Sandi di Mataram 1624 - 1529, Timnya berhasil membunuh Gubernur Jenderal VOC ke 4 Yan Pieters Zoen Coen pada 20 September 1629
1048/7 <56+20> 1. Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (Raden Mas Rangsang) [Mataram]
lahir: 1593, Kuto Gede - Kesultanan Mataram
perkawinan: <108!> 1. Kanjeng Ratu Batang [Gp.2] / Ratu Ayu Wetan (R.Ayu Prahilla) [Brawijaya]
perkawinan: <27> Kanjeng Ratu Kulon [Gp.1] / Ratu Mas Tinumpak (Ratu Mas Ayu Sakluh) [Cirebon] d. 1653
perkawinan: <28> Mas Ayu Wangen [?]
perkawinan: <29> Mas Ayu Sekar Rini [?]
gelar: 1613 - 1645, Mataram, SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma
wafat: 1645, Plered, Bantul, Kesultanan Mataram
== Sultan Agung dari Mataram ==


Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma

Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram
Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman
Susuhunan Hanyakrakusuma
Panembahan Hanyakrakusuma
Prabu Pandita Hanyakrakusuma
Senapati-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama

Masa kekuasaan : 1613 – 1645 Pendahulu  : Adipati Martapura Pengganti  : Amangkurat I

Permaisuri-1  : Ratu Kulon putri Kesultanan Cirebon

Permaisuri-2  : Ratu Wetan putri Adipati Batang Wangsa  : Dinasti Mataram Ayah  : Panembahan Hanyakrawati Ibu  : Ratu Mas Hadi Dyah Banawati

Perangko Republik Indonesia cetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.

Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Daftar isi

2 Gelar yang Dipakai
3 Awal pemerintahan
4 Menaklukkan Surabaya
5 Pasca penaklukan Surabaya
6 Hubungan dengan VOC
7 Menyerbu Batavia
8 Setelah kekalahan di Batavia
9 Akhir kekuasaan
10 Wafatnya Sultan Agung
11 Rujukan
12 Lihat pula
13 Referensi


Daftar isi

Silsilah keluarga

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.

Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).


Gelar yang Dipakai

Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".

Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,

Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".


Awal pemerintahan

Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.

Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.

Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.

Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.

Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.


Menaklukkan Surabaya

Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.

Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.

Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.

Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.


Pasca penaklukan Surabaya

Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.

Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.


Hubungan dengan VOC

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.

Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.

Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.


Menyerbu Batavia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Besar di Batavia

"Serangan Besar di Batavia oleh Sultan Mataram" pada tahun 1628 (cetakan setelah 1680).[1] [2] Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.

Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.

Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.


Setelah kekalahan di Batavia

Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.

Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.

Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.

[Akhir kekuasaan]

Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.

Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.

Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.

Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.


Wafatnya Sultan Agung

Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890). Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.

Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.


Rujukan

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Мoscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.

Lihat pula

Babad Tanah Jawi
Rara Mendut

Referensi

1.^ Montanus, A. "Oud en nieuw Oost-Indien", hal. 358

2.^ [1] Afbeelding - AMH (Berkas AMH)
1039/7 <56+21> 4. Pangeran Arya Martapura / Adipati Martopuro (Raden Mas Wuryah) [Brawijaya]
lahir: 1605, Kotagede
wafat: 1688, Magelang
10710/7 <61> Sultan Agung / Raden Mas Rangsang [Mataram]
lahir: Sultan Mataram Ke 3 (1613-1645, Gelar : "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma"; "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma"; "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman";"Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram"
wafat: 1645
== Sultan Agung dari Mataram ==


Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma

Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram
Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman
Susuhunan Hanyakrakusuma
Panembahan Hanyakrakusuma
Prabu Pandita Hanyakrakusuma
Senapati-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama


frameless|alt=

Lukisan Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma


Masa kekuasaan : 1613 – 1645 Pendahulu  : Adipati Martapura Pengganti  : Amangkurat I

Permaisuri-1  : Ratu Kulon putri Kesultanan Cirebon

Permaisuri-2  : Ratu Wetan putri Adipati Batang Wangsa  : Dinasti Mataram Ayah  : Panembahan Hanyakrawati Ibu  : Ratu Mas Hadi Dyah Banawati

Perangko Republik Indonesia cetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.

Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.

Daftar isi

2 Gelar yang Dipakai
3 Awal pemerintahan
4 Menaklukkan Surabaya
5 Pasca penaklukan Surabaya
6 Hubungan dengan VOC
7 Menyerbu Batavia
8 Setelah kekalahan di Batavia
9 Akhir kekuasaan
10 Wafatnya Sultan Agung
11 Rujukan
12 Lihat pula
13 Referensi


Daftar isi

Silsilah keluarga

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.

Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).


Gelar yang Dipakai

Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".

Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,

Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".


Awal pemerintahan

Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.

Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.

Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.

Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.

Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.


Menaklukkan Surabaya

Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.

Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.

Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.

Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.


Pasca penaklukan Surabaya

Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.

Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.


Hubungan dengan VOC

Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.

Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.

Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.


Menyerbu Batavia

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Besar di Batavia

"Serangan Besar di Batavia oleh Sultan Mataram" pada tahun 1628 (cetakan setelah 1680).[1] [2] Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.

Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.

Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.

Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.

Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.


Setelah kekalahan di Batavia

Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.

Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.

Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.

[Akhir kekuasaan]

Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.

Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.

Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.

Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.

Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.


Wafatnya Sultan Agung

Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890). Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.

Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.


Rujukan

Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Мoscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.

Lihat pula

Babad Tanah Jawi
Rara Mendut

Referensi

1.^ Montanus, A. "Oud en nieuw Oost-Indien", hal. 358

2.^ [1] Afbeelding - AMH (Berkas AMH)
13611/7 <55> 1. Pangeran Adipati Blitar II / Pangeran Kyai Balitar Irodikromo / Mangkunegoro III [Mataram]
lahir: 1645 - 1677, Bupati of Madiun Ke 8
10912/7 <56+20> 5. Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari (Raden Ajeng Walik) [Mataram]
perkawinan: <110!> Pangeran Pekik Suroboyo Panembahan Romo ING Kadjoran [Panembahan Romo ING Kadjoran] d. 1663
wafat: 21 Februari 1659, Kotagede Yogyakarta, Dimakamkan di Pajimatan Imogiri
11013/7 <101+24> Pangeran Pekik Suroboyo Panembahan Romo ING Kadjoran [Panembahan Romo ING Kadjoran]
perkawinan: <109!> 5. Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari (Raden Ajeng Walik) [Mataram] d. 21 Februari 1659
wafat: 1663, Kotagede Yogyakarta, Dimakamkan di Makam Banyusumurup, Imogiri
11114/7 <56+20> 6. Kanjeng Ratu Mas Sekar [Brawijaya]
Diputus : 663633
11215/7 <56> 2. Pangeran Mangkubumi [Brawijaya]
11316/7 <56> 7. Pangeran Bhuminata [Brawijaya]
11417/7 <56> 8. Pangeran Notopuro [Brawijaya]
11518/7 <56> 9. Pangeran Pamenang [Brawijaya]
11619/7 <56+21> 10. Pangeran Selarong [Brawijaya]
11820/7 <56> 12. Pangeran Pringoloyo [Brawijaya]
11921/7 <67> Kanjeng Panembahan Bagus Banten [Juru Martani]
12022/7 <56+20> 3. Pangeran Bumidirja ? (Ki Bumi) [Brawijaya]
12223/7 <87+19> 2. Panembahan Mas, Menjabat Adipati di Pajang [?]
12424/7 <87+19> 4. Pangeran Pujamenggala [?]
12525/7 <87+19> 5. Pangeran Adipati Wiramenggala [?]
12626/7 <56> Pangeran Ronggo / Ratu MAS Sekar [Mataram]
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
12727/7 <56+20> 13. Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat (1.1.1.5.28x ) [Kesultanan Mataram]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


1.1.15.4 NR. Soemalintang or NR Ajoemajar or RA Soedarsah .
1.1.15.4X Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat 
Keseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976. Dalam bentuk file report lengkap yang tercakup dalam database silsilah pada "Descendants of Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat"]
12828/7 <96> Raden Mas Ronggo Hadi Manggolo I ? (Bupati Kaliwungu I) [Senopati]
12929/7 <91> Raden Ayu Noyowongso Djongke [Senopati]
13130/7 <90> Raden Pasingsingan [Ki Juru Martani]
13231/7 <61> Tumenggung Maduseno ? (Kertiwongso) [Mataram] 13332/7 <90> Raden Mas Tumenggung Karto Nagoro / Ki Ageng Ketib Grobogan [Brawijaya V]
13433/7 <101+?> Panembahan Romo Syeikh Kajoran [Syeikh Kajoran]
13534/7 <94+78!> K P Purubaya II [P Purubaya]
13735/7 <55> 2. Radin Ayu Jurukiting/Jurumajam [Mataram]
13836/7 <64> Kyai Dugel Kesambi [Gadingrejo Ponorogo] 13937/7 <100> Prince (Raden) Kyai Puspotruno [Puspotruno]
14038/7 <102+25> Raden Pulangjiwo [Pulangjiwo]
14139/7 <59+?> P. Padurekso (Adipati Gresik) [Panembahan Senapati]
14240/7 <78> K P Prangwadana [P Purubaya]

8

1441/8 <105> Ngabei Sutomarto [Pagergunung]
lahir:
1692/8 <130+26> Raden Panji Wanayasa [Senopati.1.1.2] [Senopati]
lahir: Versi 2
1763/8 <120> Kyai Bagus [Bumidirdja]
pekerjaan: Mataram, Lurah Wirobumi
1784/8 <120> Kyai Bekel [Bumidirdja]
pekerjaan: Lurah Lundong Kebumen
1435/8 <104+27> 6. Sunan Prabu Amangkurat Agung / Susuhunan Ing Alaga (Raden Mas Sayidin) [Mataram]
lahir: 24 Juni 1619
gelar: 1646 - 13 Juli 1677, SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat 1)
wafat: 13 Juli 1677, Wanayasa, Banyumas
Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia banyak mengalami pemberontakan selama masa pemerintahannya. Ia meninggal dalam pelariannya tahun 1677 dan dimakamkan di Tegalwangi (dekat Tegal), sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek, karena ia terluka saat menumpas pemberontakan Mas Alit adiknya sendiri.

Silsilah Amangkurat I Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.

Awal pemerintahanPada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.

Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.

[[Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered]]. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.

Hubungan dengan pihak lainAmangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.

Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.

Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Perselisihan dengan putra mahkotaAmangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).

Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.

Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

Pemberontakan TrunajayaMas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.

Maka dimulailah [[pemberontakan Trunajaya pangeran Madura]]. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.

Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.

Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.

Kematian Amangkurat IPelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.
1466/8 <107> Sunan Prabu Amangkurat Agung [Mataram]
gelar: Sultan Mataram Ke 4 (1646-1677), Gelar :"Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung"
pekerjaan: 1646, Raja Kesultanan Mataram Tahun 1646 - 1677
wafat: 1677, Tegalwangi, Tegal, Jawa Tengah
Official Link. Adm: Hilal Achmar

Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau disingkat Amangkurat I adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah tahun 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ia banyak mengalami pemberontakan selama masa pemerintahannya. Ia meninggal dalam pelariannya tahun 1677 dan dimakamkan di Tegalwangi (dekat Tegal), sehingga dikenal pula dengan gelar anumerta Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Nama lainnya ialah Sunan Getek, karena ia terluka saat menumpas pemberontakan Mas Alit adiknya sendiri.

Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.

Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.

Awal pemerintahan

Pada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.

Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.

Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.

Hubungan dengan pihak lain

Amangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.

Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.

Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.

Perselisihan dengan putra mahkota

Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).

Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.

Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

Pemberontakan Trunajaya

Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.

Maka dimulailah pemberontakan Trunajaya pangeran Madura. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.

Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.

Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.

Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.

Kematian Amangkurat I

Pelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.

Kepustakaan Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu (http://id.wikipedia.org/wiki/Amangkurat_I)

Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) Tunggul Ametung Maesa Wong Ateleng Maesa Cempaka / Ratu Angabhaya / Batara Narasinga Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II Bhre Pajang I Wikramawardana / Hyang Wisesa / R Cagaksali Kertawijaya / Bhre Tumapel III Rajasawardana / Brawijaya II Lembu Amisani / R. Putro / R. Purwawisesa Bhre Tunjung / Pandanalas / R. Siwoyo Kertabumi / Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo Ki Ageng Anis (Ngenis) Ki Ageng Pemanahan / Mataram R Sutowijoyo / Panembahan Senopati Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Sunan Prabu Amangkurat Agung

Sunan Prabu Mangkurat II - Kartasura Sunan Prabu Mangkurat III - Kartasura Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura (http://www.babadbali.com/babad/silsilah.php?id=550981)

Foto Dari (http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1373573&page=5)
1747/8 <136> Pangeran Temenggong Blitar Tumapel III [Mataram]
gelar: 1677 - 1703, Bupati of Madiun Ke 9
1458/8 <104> 1. Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil [Mataram]
1479/8 <109+110!+173!> Ratu Kulon II / Roro Oyi [Giri]
14810/8 <104> 8. Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit [Mataram]
== Tokoh Sunan Amangkurat Tegalwangi ==

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro dari tulisan Sartono Kusumaningrat (http://www.tembi.org/majalah-prev/ratu.htm)

Sunan Amangkurat Agung adalah putra kesepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan merupakan putra kedua dari permaisuri kedua yang bernama Raden Ayu Wetan. Permaisuri pertama Sultan Agung Hanyakrakusuma bernama Kanjeng Ratu Kulon (Ratu Emas Tinumpak). Permaisuri pertama ini setelah melahirkan putranya yang diberi nama Raden Mas Sahwawrat diusir dari kraton dan tempatnya digantikan oleh permaisuri kedua. Setelah permaisuri pertama meninggalkan kraton, permaisuri kedua diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Kulon.

Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin kemudian diberi nama Jibus dan Rangkah ( yang berarti 'semak berduri', 'tutup batas'). Sebagai putra mahkota secara resmi ia diberi nama Pangeran Aria Mataram. Raja ini juga dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga, Susuhunan Tegalwangi, dan Sultan Plered. Sering pula ia disebut dengan nama Tegalwangi saja. Ia diberi nama Tegalwangi karena meninggal di Tegalwangi (daerah Tegal, Jawa Tengah) dalam pelariannya karena penyerbuan Trunajaya.

Raja ini pulalah yang memindahkan kratonnya dari Kerta ke Plered tidak lama setelah ia menerima tampuk pimpinan pemerintahan. Usaha pemindahan kraton itu sendiri sebenarnya telah dimulai sejak 26 Januari 1648 semasa Sultan Agung masih memegang pemerintahan.

Amangkurat Tegalwangi pernah menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit / Raden Mas Alit (putra kedua Kanjeng Ratu Kulon) yang mendapat dukungan kaum ulama Mataram. Menurut cerita tutur pemberontakan Pangeran Alit terjadi karena hasutan Tumenggung Pasingsingan (pengasuh Pangeran Alit) dan anaknya yang bernama Tumenggung Agrayuda. Kedua tumenggung itu mengobarkan nafsu Pangeran Alit untuk menjadi raja dan mereka menjamin bahwa separuh Mataram berpihak kepadanya. Akan tetapi pemberontakan Pangeran Alit tidak berhasil karena rencananya terburu diketahui oleh pihak Amangkurat Tegalwangi. Pangeran Alit sendiri tewas oleh karena tergores oleh kerisnya sendiri yang beracun.

Untuk membalas dendam atas dukungan kaum ulama Mataram terhadap adiknya yang memberontak itu, Amangkurat memerintahkan empat orang kepercayaannya untuk melakukan sapu bersih kaum ulama. Empat orang kepercayaannya itu adalah Raden Mas atau Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta (Tumenggung Pati), Tumenggung Suranata (Tumenggung Demak)., dan Kiai Ngabei Wirapatra. Dalam tragedi ini sebanyak 5-6 ribu orang ulama tewas dibantai secara mengerikan.
14911/8 <119> Raden Ayu Tirtokusumo ing Pancuran [Juru Martani]
15012/8 <104+29> 2. Pangeran Ronggo Kajiwan [Mataram]
15113/8 <104+28> 3. Gusti Ratu Ayu Winongan [Mataram]
15214/8 <104> 5. Pangeran Purubaya [Mataram] 15315/8 <104> 7. Gusti Raden Ayu Wiromantri [Mataram]
15416/8 <104> 4. Pangeran Ngabehi Loring Pasar [Mataram]
15517/8 <104+27> 1. Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang [Mataram]
15618/8 <104> Ratu Pandansari [Mataram] 15719/8 <133+158!> Raden Tumenggung Sontoyudo I [Mataram]
15820/8 <111+31+30> Raden Ayu Ketib Grobogan [Mataram]
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
15921/8 <127+?> 1.1.15.4.1 Seureupeun Manangel [Kesultanan Mataram]
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
16022/8 <127+?> 1.1.15.4.2 Seureupeun Cibeuli [Kesultanan Mataram]
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
16123/8 <127+?> 1.1.15.4.3 Seureupeun Cihaurbeuti [Kesultanan Mataram]
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
16224/8 <127+?> 1.1.15.4.4 Seureupeun Dawagung [Kesultanan Mataram]
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
16325/8 <127+?> 1.1.15.4.5 Sareupeun Ciboeni Agoeng [Kesultanan Mataram]
16426/8 <128> Raden Mas Ronggo Hadi Manggolo II ? (Bupati Kaliwungu II) [Senopati]
16527/8 <129> Kyai Ngabei Boestam Kartoboso ? (Bupati Anom Terboyo Semarang) [Senopati]
16628/8 <130+26> Nyi Utari Sandyaningsih [Senopati.1.1.1] (Nyi Utari Wonosobo) [Senopati]
Dibantu oleh Asisten JP Coen , Wong Agung Aceh, Nyi Utari yang saat itu menjadi penyanyi klub perwira VOC membunuh JP Coen pada tanggal 20 September 1629 dengan racun arsenikum dalam minuman sang Gubernur Jendral, kemudian ia memenggal kepala dan menyerahkannya pada Wong Agung Aceh yang kemudian melarikannya keluar benteng. Kepala JP Coen kemudian diterima oleh Tumenggung SuroTani dan Bagus Wanabaya untuk dibawa ke Mataram Plered.

Sultan Agung memerintahkan agar kepala itu diawetkan dan kelak dikuburkan ditengah tangga ke makam Sultan Agung. JP Coen tewas karena kelengahan dan kehilangan kewaspadaan karena terpukul kematian istri dan anaknya tanggal 16 September 1629 atau 4 hari sebelum JP Coen tewas, apakah Nyi Utari berperan dalam tewasnya istri dan anak JP Coen? yang jelas Nyi Utari adalah sahabat karib Eva Ment, istri JP Coen. Intrik dalam benteng Batavia ini dirancang cermat oleh Bagus Wanabaya yang mempertaruhkan keselamatan Nyi Utari Sandi Jayaningsih anaknya, operasi intelejen ini jelas terinspirasi cerita saat Roro Pembayun, sang ibunda menjadi penari jalanan dalam upaya Mataram Kotagedhe menaklukkan kerajaan Mangir 50 tahun sebelumnya.

Kini jasad sang pahlawan Nyi Utari Sandijayaningsih terbaring damai bersama jenazah Wong agung Aceh yang menjadi suaminya di keramat Tapos yang terkenal dengan keramat Wali Mahmudin, dinaungi oleh pohon Beringin yang tumbuh miring merunduk seolah menghormati tuannya, Pohon Beringin besar bergaris tengah 2 meter itu menjadi saksi sebuah episode bisu perjuangan besar pahlawan Tapos Depok.Foto dalam tulisan ini : Sultan Agung Al Matarami, Gubernur Jendral Belanda ke IV di Batavia Jan Pieterz Soen Coen dan Eva Ment istri JP Coen


Sumber: http://pahlawan-kali-sunter.blogspot.com
16729/8 <131> Raden Padureja [Ki Juru Martani]
16830/8 <130+26> Dewi Sekar Rinonce [Senopati.1.1.3] [Senopati] 17031/8 <132> Bodronolo [Senopati]
17132/8 <133> Kyai Gulu [Brawijaya V]
17233/8 <134+173!> Ki Ageng Wonosegoro [?]
17334/8 <135> RAY Kajoran [P Purubaya]
17535/8 <120> Kyai Gusti / Raden Tumenggung Wongsodirjo [Bumidirdja]
17736/8 <120> Nyai Ageng [Bumidirdja] 17937/8 <117> Raden Ayu Jayawinata [?] 18038/8 <110+109!> Kanjeng Gusti Pangeran Timur [Sultan Agung]
18139/8 <138> Kyai Nur Salim / Ki Ageng Mantup (Ngasinan Ponorogo) [Gadingrejo Ponorogo]
18240/8 <104> Raden Bagus Rinangku [Mataram]
18341/8 <139> Raden Tumenggung Jayawinata (Gajah Cilik) [Jayawinata (Gajah Cilik)]
18442/8 <110> Pangeran Sutokerti (Sutonegoro) [Soetokerti]
18543/8 <140> Raden Sumoyudo Kabruk [Kabruk]
18644/8 <141> P. Darpa Sentana (Adipati Gresik) [Panembahan Senapati]
18745/8 <135> Raden Tumenggung Gadjah Barong [P Purubaya]
18846/8 <142> R.m. Sumowidjojo [?]
Tampilan
Peralatan pribadi