13. Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat (1.1.1.5.28x ) - Keturunan (Inventaris)
Dari Rodovid ID
1.1.15.4 NR. Soemalintang or NR Ajoemajar or RA Soedarsah . 1.1.15.4X Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema DiningratKeseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976. Dalam bentuk file report lengkap yang tercakup dalam database silsilah pada "Descendants of Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat"]
2
3
4
penguburan: Pasir Baganjing
ASAL-USUL
Terbentuknya Pemerintahan di Sukapura, berkaitan erat dengan kemunduran serta kehancuran dari kejayaan Majapahit di Jawa Timur. Karena berawal dari sanalah cikal bakalnya Sukapura. Adalah Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat . Pangeran Kusuma Diningrat merupakan salah satu pewaris tahta kerajaan pada waktu itu. sewaktu terjadi perang saudara antara Pajang dan Mataram, Pangeran Kusumah Diningrat belum dewasa, untuk menyelamatkannya beliau di titipkan pada Sultan Demak. Sambil menunggu peperangan selesai, Pangeran Kusumah Diningrat mengembara mencari ilmu, dan sampailah di tanah Sunda.Tepatnya di kampung Cibadak Kecamatan Singaparna sekarang. ( versi lain Kampung Padarek, Kecamatan Cigalontang ?). Beliau mendapat julukan ‘Pangeran Dago Jawa’.
Setelah menetap beberapa lama, Pangeran Kusuma diningrat menikah dengan R.A. Sudarsah, puteri dari Pangeran Rangga Gempol cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 orang putera :
1. Seureupeun Manangel 2. Seureupeun Cibeuli 3. Seureupeun Cihaurbeuti 4. Seureupeun Dawagung 5. Seureupeun Cibuniagung
Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung Puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara). Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :
1). Raden Wirawangsa; 2). Raden Astawangsa; 3). Raden Pranawangsa; 4). Raden Narahita; 5). Raden Bagus Chalipah
Versi wikipedia ( Pangeran Kusumah Diningrat menikah dengan Rd. Ayu Sudarsah. Putera Pangeran Rangga Gempol (Cucu Pangeran Geusan Ulun dari Sumedang). Beliau menurunkan putera 5 orang antara lain :
- Seureupeun Manangel
- Seureupeun Cibeuli
- Seureupeun Cihaurbeuti
- Seureupeun Dawagung
- Seureupeun Cibuniagung (yang menurunkan Sukapura). Seureupeun Cibuniagung berputera :
1. Rd. Wirahadiningrat (Entol Wiraha) 2. Nyi Ageng Rd. Wirahadiningrat menikah dengan putera dalem Sukakerta, bernama Brajayuda ( Baratajayuda ? ) Keturunan dari Srigading Anteg (terah galunggung). Beliau mempunyai putera lima orang, antara lain: Rd. Wirawangsa, dari beliau lah dimulai masa pemerintahan bupati sukapura.)
BERDIRINYA SUKAPURA DAN PERKEMBANGANNYA
Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha, gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa, Bupati Sukapura pertama (sekarang kota Tasikmalaya) karena telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur Wangsanata (penguasa wilayah Priangan) tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I. gelar tersebut diberikan Kanjeng Sultan tidaklah beralasan akan tetapi tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.
Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama. Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.
Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :
- . Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang
- . Mandala dan Kelapa Genep
- . Cipinaha dan Lingga Sari
- . Cigugur, Parakan Tiga (Pameungpeuk) dan Maroko
- . Parung
- . Karang
- . Bojongeureun
- . Suci
- . Panembong (Garut)
- . Cisalak
- . Nagara
- . Cidamar
Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah :
- . Saunggantang
- . Taraju
- . Malangbong
Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.
PIAGAM PENGANGKATAN BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG DARI SULTAN AGUNG
Penget srat piagem *)
Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen. Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang, kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon, pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija, papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe. Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.
Terjemahan :
Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiranagunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami. Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu. Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi raja, jurutulis.
- ) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-egentschappen”,
Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian. Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.
Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara. Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung. Maka, rakyat dan pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing-masing sehingga negara Sukapura pada saat itu ads peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.
Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kanjeng Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka. Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :
- Rd. Wangsadipura
- Rd. Kartijasa
- Rd. Djajamanggala
- Rd. Anggadipa
- Rd. Wangsadikusumah
- Nyi Rd. Ajoe
- Rd. Pranadjaja
- Rd. Ardimanggala
- Rd. Tjandradipa
- Nyi Rd. Doekoeh
- Rd. Digajasa
- Rd. Wirandana
- Rd. Gentoer
- Nyi Rd. Katempel
- Rd. Anggawangsa
- Nyi Rd. Wanadapa
- Nyi Rd. Pelang
- Nyi Rd. Parnati
- Nyi Rd. Adjeng
- Rd. Poespawidjaja
- Rd. Darmamanggala
- Rd. Puspamanggala
- Rd. Kartadipa
- Rd. Wangsataruna
- Nyi Rd. Djampang
- Nyi Rd. Purba
- Nyi Rd. Sampan
- Nyi Rd. Widuri
5
231/5 <13+?> ♂ 1.1.15.4.5.1.1.5 Rd. Wangsadikusumah [Wiradadaha]wafat: 1674, Banjoemas, Sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat
penguburan: 1674, Pasir Huni kecamatan Sukaraja, Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
BUPATI SUKAPURA ke II Tahun 1674
(Raden Jayamanggala / Raden Tumenggung Wiradadaha II)
Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”. Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :
1. Rd. Indramanggala
2. Rd. Widjanggana
3. Nyi Rd. Gandapura
4. Nyi Rd. Apiah
5. Nyi Rd. Kusumahnagara
6. Nyi Rd. Legan
7. Nyi Rd. Djanglangas
8. Rd. Madjadikaranamun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
BUPATI SUKAPURA ke III Tahun 1674 – 1723
(Raden Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III)
Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.
Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda;
- . Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
- . R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
- . R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
- . R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.
Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :
1. Rd. Joedanagara 2. Rd. Soebamanggala (Penerus Bupati) 3. Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel 4. Rd. Mandoera 5. Nyi Rd. Radji 6. Rd. Soeriadinata 7. Rd. Indramanggala 8. Rd. Dipanagara 9. Rd. Tjandrakoesoemah 10. Rd. Indrataroena 11. Nyi Rd. Impoen 12. Nyi Rd. Idjah 13. Rd. Rarap 14. Rd. MS. Bagoes 15. Nyi Rd. Poespa 16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah 17. Nyi Rd. Dita 18. Rd. Djiwamanggala 19. Nyi Rd. Patradanta 20. Rd. Lingga(Legan) 21. Nyi Rd. Ardi 22. Rd. Arsabaja 23. Rd. Soetra 24. Rd. Tjandramanggala 25. Rd. Betok 26. Nyi Rd. Ika 27. Rd. Soemanagara 28. Nyi Rd. Koesoemakaraton 29. Rd. Indra Widjaja 30. Rd. Kertimanggala 31. Rd. Soebang 32. Rd. Wiradimanggala 33. Nyi Rd. Wiratsari 34. Rd. Abdoel Moh. Arip 35. Rd. Wiranagara 36. Rd. Tirtapradja 37. Rd. Mertamanggala 38. Nyi Rd. Djahah 39. Rd. Singadiprana 40. Nyi Rd. Soemanimbang 41. Rd. Radjamanggala 42. Rd. Djagasatroe 43. Rd. Singadimanggala 44. Rd. Daroes (Daroe) 45. Nyi Rd. Doeji ( Dewi) 46. Rd. Bima 47. Rd. Soemadimanggala 48. Rd. Karadinata 49. Rd. Najapoespa 50. Nyi Rd. Karimah 51. Rd. Bodong 52. Rd. Wangsamanggala 53. Rd. Indradinata 54. Rd. Ardimanggala 55. Rd. Tjandradinata 56. Rd. Kartadipa 57. Rd. Bagoes II ( Saloengan ) 58. Rd. Soerajoeda 59. Rd. Djajamanggala 60. Rd. Kartamanggala 61. Rd. Natawatjana 62. Rd. Gandapradja
Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)
Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala. Bersambung…. ( sumber )6
631/6 <20+?> ♀ 16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah / R. Ajeng Halimah / Nyi Rd. Ayu Salamah Binti Wiradadaha 3 [Wiradadaha]wafat: Pamijahan
BUPATI SUKAPURA ke IV Tahun 1723-1745
(Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV)
Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.
Berkuasanya beliau tidak lama karena wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau. Keempat patihnya (lihat Sejarah Tasikmalaya bagian 2) masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, (Patih II), karena dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.
Raden Anggadipa/Dalem Abdoel berputra 14 orang yaitu :
1. Rd. Demang Setjapati 2. Rd. Anggadiwiredja 3. Rd. Anggapradja 4. Rd. Djajawiguna 5. Nyi Rd./ Katjinagara 6. Nyi Rd. Bandoe 7. Rd. Soeradiredja 8. Rd. Anggadipa 9. Rd. Sidjah 10. Nyi Rd. Djandipoera 11. Nyi Rd. Soemadikara 12. Nyi Rd. Gimbar 13. Nyi Rd. Soerianagara14. Rd. Wiradrapa
7
1121/7 <86> ♀ Nyi Raden Ayu Bahta (Putri Dalem Sacaparana bin Wiradadaha 3) [Wiradadaha] 1193/7 <84> ♂ Raden Nurjen [Nurjen]wafat: Sukapura
BUPATI SUKAPURA Ke – V Tahun 1745-1747
(Rd. Setjapati/ Kg. Tumenggung Wiradadaha V)
Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram.
Rd. Demang Setjapati berputra 10 orang yaitu :
1. Nyi Rd. Gandalarang 2. Rd. Djajanggadiredja 3. Rd. Indranagara 4. Rd. Wiradiredja 5. Rd. Satjadikusumah 6. Nyi Rd. Winari 7. Nyi Rd. Nimbang 8. Nyi Rd. Djaleha 9. Nyi Rd. Landjang 10. Rd. PanimbaBeliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.
8
1292/8 <119> ♂ Raden Raksadisuta [Raksadisuta]wafat: Sukapura
BUPATI SUKAPURA Ke – VI Tahun 1747-1765
(Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI)
Nama Rd. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI.
Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC).
Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.
Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu. Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).
Rd. Djajanggadiredja berputra 3 orang yaitu :
1). Rd. Djajamanggala; 2). Nyi Rd. Kartiwinagara;3). Nyi Rd. Kartakusumah.
Sunan Wanaperih atau Pangeran Salingsingan atau Raden Aria kikis merupakan putra sulung dari Prabu Pucuk Umum dari Ratu Sunyalarang (putri Sunan Parung, saudara sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri) dan menjadi Raja di Kerajaan Talaga Manggung pada tahun 1553-1556 Masehi, Prabu Pucuk Umum atau Raden Rangga Mantri yang merupakan cicit Raja Pajajaran Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Sunan Wanaperih mendirikan pesantren tertua di Majalengka serta memindahkan Ibukota Kerajaan Talaga, dari Sangiang ke Wanaperih yang termasuk wilayah Desa Kagok saat ini.
Setelah Ratu Sunyalarang meninggal dunia, Arya Kikis atau Sunan Wanaperih mendirikan pesantren dan mendatangkan guru mengaji Syekh Sayyid Faqih Ibrahim yang merupakan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya dikenal dengan Sunan Cipager makamnya berjarak 1 kilometer dari sini atau
Masa-masa pemerintahan Sunan Wanaperih diwarnai dengan perkembangan Islam yang pesat. Pada masa kepemimpinannya seluruh rakyat di Talaga Manggung telah menganut agama Islam dan agama Islam semakin berkembang karena Sunan Wanaperih berputra 6 orang yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya, Ratu Radeya, Ratu Putri dan Dalem Wangsa Goparana, keturunannya turut menyebarkan Islam bahkan sampai ke luar wilayah Majalengka.
Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan anak Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasik yaitu Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Cipager dan mereka menjadi penyebar Islam disamping putranya Dalem Wangsa Goparana yang pindah ke Sagala Herang Cianjur dan keturunannya menjadi trah Bupati Cianjur seperti Bupati Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) dan seterusnya.
Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis (Sunan Wanaperih) putera kedua Ratu Parung (Ratu Sunyalarang). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Dia mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu dia adalah Raja Muda Cianjur yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.
Hubungan Demak dan Cirebon
Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan.
Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga
Kesepakatan Keraton Ciburang
Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah.
Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan telaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung ( Caruban ) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis) . Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”
Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengizinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakikat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.