Gusti Bendoro Pangeran Haryo Blitar / Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana (Raden Mas Sudhomo) d. September 1721 - Keturunan (Inventaris)

Dari Rodovid ID

Orang:599694
Langsung ke: panduan arah, cari
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> Gusti Bendoro Pangeran Haryo Blitar / Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana (Raden Mas Sudhomo) [Pakubuwono I]
perkawinan: <1> Raden Ayu Brebes [Martalaya]
wafat: September 1721

2

21/2 <1> Raden Ayu Wulan [Pakubuwono I] 32/2 <1> Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I]

3

41/3 <2+2> 1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara I]
lahir: 7 April 1725, Kartasura
perkawinan: <6> Raden Ayu Kusuma Patahati [Nuriman]
perkawinan: <7> Ratu Alit [Pakubuwono III]
perkawinan: <8> 2. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] d. 30 Desember 1801
gelar: 1757, Surakarta, Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto
perceraian: <8!> 2. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] d. 30 Desember 1801
wafat: 28 Desember 1795, Surakarta
gelar: 1983, Jakarta, Pahlawan Nasional Indonesia
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I alias Pangeran Sambernyawa alias Raden Mas Said (lahir di Kraton Kartasura, 7 April 1725 – meninggal di Surakarta, 28 Desember 1795 pada umur 70 tahun) adalah pendiri Praja Mangkunegaran, sebuah kadipaten agung di wilayah Jawa Tengah bagian timur, dan Pahlawan Nasional Indonesia. Ayahnya bernama Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura dan ibunya bernama R.A. Wulan.

Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.

Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati"


Daftar isi

Riwayat

Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.

Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749.

RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.

Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.

Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.

Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.

Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.

Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.

Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.


Perjanjian Salatiga

Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.

Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.

Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara

Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.

Tarian Ciptaan Mangkunegoro

Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : 1.Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. 2.Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. 3.Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.

Gelar Pahlawan Nasional

Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795

Putra Mahkota

Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM. |Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 'Kartasura".

Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini adalah putra mahkota kerajaan Mataram.

Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom" yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah menjadi Hamengkunegara.

Penggeseran kedudukan putra mahkota tidak menghilangkan jabatan di kerajaan karena di Mataram Pangeran Mangkunegara tetap menjabat sebagai penasehat kerajaan. Keberadaan Mangkunegara sebagai penasehat ini pun oleh kelompok lawan lawan poltiknya masih diupayakan untuk menjegal dan lebih jauh melenyapkan karena sebagai waris sah yang tergeser bisa diprediksikan diwaktu waktu mendatang bakal menjadi bom waktu yang siap meledak.

Keberhasilan lawan lawan Mangkunegara dalam menyingkirkan putra mahkota sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh Mataram yang begitu saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan peragu. Hohendorf sendiri sebagai kepala garbnisun di Surakarta pernah menyampaikan kepada Sunan (PB II) bahwa Mataram selama dalam pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidak stabilan kerajaan.

Pada satu sisi pernyataan kepala garnisun belanda itu juga kontroversial berhubung dia sendiri sebagai seorang militer Belanda melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya.

Dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini, sekilas sudah dapat dicatat adanya satu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas limit perjuangan.

Target Mataram yang utuh dan tidak terbagi gagal dipertahankan tetapi Mataram yang muda dan utuh berhasil diperjuangkan karena kemudian menjelma menjadi Mangkunegaran (mengikuti nama putra mahkota Mataram; Mangkunegara). Mataram yang muda berada berada ditangan raja sedang mataram yang muda berada ditangan putra mahkota.

Mataram yang yang tua akhirnya menerima nasib dibagi menjadi dua yang sama saja menamatkan keberadaannya sedang mataram yang muda bertahan dan menjelma menjadi Mangkunegaran.

Dalam percaturan politik Jawa mau tidak mau dua keraton lain dan belanda harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik. Meski posisi diatas kertas kedudukan Mangkunegaran di posisikan sebagai yang dibawah kerajaan karena status kadipaten (sesuai wilayah putra mahkota kerajaan) akan tetapi defacto politik tidak hanya show dan pamer kemegahan semata.Politik dan kekuasaan adalah perwahyuan yang harus dijaga sekaligus kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa tidak mampu dalam permainan itu sejarah tetap akan mencatat prestasi masing masing kerajaan.
52/3 <2+2> Raden Mas Umar [Amangkurat IV]

4

61/4 <4> Pangeran Hario Prabuamijoyo [Mangkunegara I] 72/4 <4> Kanjeng Pangeran Adipati Ario Padmonagoro [?]
KPAA Padmonagoro, Bupati Wirosobo
83/4 <4> Kanjeng Pangeran Tumenggung Adipati Purbonagoro [Mangkunegara I]
KPTA Purbanagoro pernah menjabat sebagai Bupati Kediri Propinsi Jawa Timur
94/4 <4> Bendoro Raden Ayu Tumenggung Suryonagoro [Mangkunagoro]
Bendoro Raden Ayu Tumenggung Suryonagoro adalah Istri Raden Tumenggung Suryonagoro Bupati Keduang
105/4 <4> R. M. Tg. Hr. Soerjokoesoemo Patje [Mangkunegara]
R. M. Tg. Hr. Soerjokoesoemo Patje atau B.R.M.H.T. Soerjokoesoemo adalah salah satu anak dari K. G. Pn. Hp. Hr. Mangkoenegoro I.

Image:Gambar_Sejarah_Kraton_Surakarta_(small).JPG

Image:Kanjeng_Gusti_Pangeran_Adipati_Arya_Mangkunegara_I_dan_turunan_pertamanya.jpg
116/4 <4> Bendoro Raden Ayu Semi [Mangkunegoro I] 127/4 <4+?> Bendoro Raden Ayu Adipati Suroadimenggolo [Mangkunegara I]
138/4 <4> Bandoro Raden Ayu Soerjadiprana [Soeryadiprana] 149/4 <4> Bendoro Raden Mas Sumarjana Cakraatmaja [Mangkunegara I]

5

151/5 <6> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II (Th:1796-1835) [Mangkunegara II]
perkawinan: <12> Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II [Mangkunegara]
gelar: 25 Januari 1796, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro II
gelar: 30 Januari 1832, Medali Militaire Willems Orde (Kelas Tiga)
gelar: 1833?, Medali Orde van de Nederlandsche Leeuw
wafat: 26 Januari 1835, Astana Mangadeg
Mangkunegara II adalah raja di Mangkunegaran yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835).Mangkunegara II merupakan keturunan langsung dari Mangkunegara I sebab ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I.

Asal Usul Mangkunegara II Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.

Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

Pemerintahan Mangkunegara II

Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
162/5 <7> Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo [Padmonagoro]
Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo istri Bupati Blora
173/5 <8> Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo [?]
Raden Ayu Tumenggung Tirtokusumo adalah istri Bupati Blora
184/5 <9> Raden Ayu Demang Sumodiwongso [Suryonagoro]
195/5 <9> RMH Suryokantha [Suryonagoro]
206/5 <10> R. M. P. Dirdjokoesoemo / Tjandrakoesoemo [?]
217/5 <8> Raden Mas Tumenggung Wironagoro [Mangkunegoro I]
228/5 <6+?> Kph. Djojokusumo / Eyang Santri [Mangkunegara I]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Cidahu Gunung Salak dan Makam Eyang Santri

Silsilah dan Kelahiran

Tempat Pemakaman KPH DJOJOKUSUMO/Eyang Santri), Sumber : [http://www.merbabu.com/gunung/gunung_salak_curug_pilung.php
Tempat Pemakaman KPH DJOJOKUSUMO/Eyang Santri), Sumber : [http://www.merbabu.com/gunung/gunung_salak_curug_pilung.php
Eyang Santri yang nama muda-nya Pangeran Djojokusumo adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran yang lahir pada tahun 1770. Ia adalah cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu : Pangeran Prabuamidjojo, di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.

Masa Remaja

Di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.

Berkontribusi Dalam Penyusunan Serat Centhini

Pada tahun1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.

Keliling Jawa

Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa. Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.

Keterkaitan dengan Pangeran Diponegoro

Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.

Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat,bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.

Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.

Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.

Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata “Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.

Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.

Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.


Pasca Perang Diponegoro

Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.

Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.

Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagiWahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.

Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.

Ada beberapa cerita bahwa wajah eyang santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin, -hidup abadi- dalam terminologi India? Yang jelas eyang santri wafat tahun 1929 di usianya yang 159 tahun.

Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri kepada Bung Karno.

(Anton DH Nugrahanto).
239/5 <8> Bendoro Raden Ajeng Ngaisah [Mangkunegara I]
perkawinan: <13> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Vlll [Pakubuwono VIII] b. 20 April 1789 d. 28 Desember 1861

6

241/6 <15> Pangeran Hadipati Suryomijoyo I [Mangkunegara II] 252/6 <15+12> Raden Kanjeng Ayu Suyati / Raden Ayu Notokusumo [Mangkunegara II] 263/6 <15> Raden Ajeng Sekeli [Mangkunegara II] 274/6 <23+13> Gusti Kanjeng Ratu Bendoro [Pakubuwono VIII]
285/6 <16> Raden Mas Ronggo Tirtokusumo II [Tirtokusumo]
296/6 <17> Raden Mas Panji Sumodiwiryo [Tirtokusumo]
307/6 <23+13> Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.6.1] ? (Gusti Kanjeng Ratu Hamengku Buwono, Pakubuwono VIII) [Pakubuwono VIII]
318/6 <20> R. Adj. Marijati R. Ayu Wirjokastro / Wirjosoedir [?]
329/6 <21> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sutanogoro [Mangkunegoro I] 3310/6 <15> Pangeran Suryohadiwinoto [Mangkunegara II]

7

341/7 <25+14> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara III (Th:1835-1853) [Mangkunegara III]
lahir: 16 Januari 1803
perkawinan: <18> Raden Ayu Sekarkedhaton [Pakubuwono V]
gelar: 16 Januari 1843, Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro III
wafat: 27 Januari 1853, Astana Mangadeg
352/7 <26+15> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara IV (Th:1853-1881) [Mangkunegara IV]
433/7 <32+17> 11. Raden Mas Tumenggung Kartowadono / Wiratmojo [Mangkunegoro I]
lahir: 16 Juni 1860, Purworejo
pendidikan: 1874, Masuk sekolah Jawa dan lulu Ujian Pendadaran Calon Priyayi Alit
perkawinan: <20> Burni Sudarmilah [Cokronagoro I]
pekerjaan: 1878, Ampel, Menjadi carik (juru tulis) di Kabupaten Ampel dengan nama Wiroatmojo
pekerjaan: 1879, Ampel, Diangkat menjadi ‘griffier’ (mantri) pada ‘Pradoto’ Kabupaten Ampel dan beliau berganti nama menjadi Raden Ronggo Joyosugito kemudian menjadi Panewu Distrik Kota Surakarta
perkawinan: <21> Atmodiwati / Rubini [Wongsonegoro]
pekerjaan: 1896, Boyolali, Menjadi Kliwon Polisi Boyolali dengan nama Raden Ngabehi Kartowadono
perkawinan: <22> Citrowati / Siti Kalsum [Tejokusumo]
pekerjaan: 1916, Sukoharjo, Menjadi Kliwon Polisi Kepala di Kabupaten Sukoharjo
wafat: 23 Desember 1929, Surakarta, Solo, Dimakamkan di pemakaman Gedong Obat Kartosuro
364/7 <27+15> Pangeran Hario Hadiwijoyo II [Amangkurat IV]
375/7 <28> Raden Mas Ngabehi Poncogerjito [Sumodiwiryo]
Raden Mas Ngabehi Poncogerjito pernah menjadi Penewu Tawangmangu
386/7 <29> Raden Ayu Poncogerjito [?]
397/7 <30+16> Gusti Raden Ajeng Kusdilah [Hb.6.14] [Hamengku Buwono VI]
408/7 <30+16> Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hb.6.15] [Hamengku Buwono VI]
419/7 <27+15> Raden Ayu Kustiyah [Amangkurat IV]
4210/7 <31> R. M. Soebadi Martosoedirdjo [?]
4411/7 <33> Bendoro Raden Ayu Atmosuharto [Mangkunegara II] 4512/7 <25+14> Raden Ayu Sariadi [Amangkurat IV]

8

581/8 <35> Pangeran Harya Gandahatmaja [Mangkunegara IV]
penguburan: Astana Girilayu, Karanganyar
902/8 <35> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosewoyo [Mangkunegara IV]
lahir: 16 September 1838
483/8 <41+26> Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X / Sunan Panutup (Raden Mas Malikul Kusno) [Pakubuwono X]
lahir: 29 November 1866, Surakarta
perkawinan: <29> Ratu Mandayaretna [Pakubuwono III]
perkawinan: <89!> B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV]
perkawinan: <30> R. A. Pandamroekmi [Pandamroekmi]
perkawinan: <31> R. A. Tranggonoroekmi [Tranggonoroekmi]
perkawinan: <32> B. R. A. Retno Poernomo [Rejodipuro]
gelar: 30 Maret 1893 - 1 Februari 1939, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X
perkawinan: <33> Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Hb.7.61] [Hamengku Buwono VII] d. 28 Mei 1944, Yogyakarta
wafat: 1 Februari 1939, Surakarta
Sri Susuhunan Pakubuwana X (lahir: Surakarta, 1866 – wafat: Surakarta, 1939) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1893 – 1939.

Kisah Kelahiran Nama aslinya adalah Raden Mas Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat Ayu Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari Ayu Kustiyah.

Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ayu Kustiyah melahirkan Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.

Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.

Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipuran.

Masa Pemerintahan

Kereta khusus untuk mengangkut jenazah Pakubuwana X ke Yogyakarta menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang cenderung stabil, di samping itu juga merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern.Pakubuwono X menikah dengan Ratu Hemas (putri Raja Hamengkubuwono VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR Pembajoen

Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun melalui simbol budayanya Pakubuwana X tetap mampu mempertahankan wibawa kerajaan. Pakubuwana X sendiri juga mendukung organisasi Sarekat Islam cabang Solo, yang saat itu merupakan salah satu organisasi pergerakan nasional Indonesia.

Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai [[Sunan Panutup]] atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Pakubuwana XI.
914/8 <35> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosuputro [Mangkunegara IV]
lahir: 2 September 1881, Surakarta
penguburan: Astana Girilayu, Karanganyar
KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu dia masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, ia mengikuti Mangkunegara IV ke Batavia untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh Ludolph Anne Jan Wilt, baron Sloet van de Beele.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.

Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan Mangkunegara IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh Mangkunegaran IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.

Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian ia diangkat dalam jabatan “yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran”. Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah Mangkunegara IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semenjak KPH. Gondosaputra mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, ia melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo.

Semasa ia memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah Mangkunegara IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, ia memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.

Dengan dipimpin oleh adiknya, Kapten KPH. Gondosisworo, pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura. Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran dapat membalikkan keunggulan pasukan Belanda atas Pasukan Kesultanan Aceh. Atas jasa jasa Legiun Mangkunegaran yang dipimpinnya selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Salib Penunggang) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV. Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosaputra dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran.

Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, hingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas Artileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.

Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputra bukan merupakan daerah yang asing. Dia sejak lama mendapat tugas dari ayahnya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum dia wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputra. Pada tahun 1881 ayahnya wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, KPH. Gondosaputra menyusul ayahnya. Keduanya dimakamkan di Girilayu.
475/8 <35+52!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VI (Th:1896-1916) [Mangkunegara VI]
gelar: 1896, Prabu Mangkunegara VI [1896-1916]
466/8 <35+52!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara V (Th:1881-1896) [Mangkunegara V]
497/8 <37+?> Raden Ayu Poncopranowo I [?]
508/8 <36> KPH Soekirman Mangun Wijaya [Amangkurat IV]
519/8 <38> Raden Ayu Poncopranowo I [?]
5210/8 <34> Raden Ayu Dunuk [Mangkunegara III] 5311/8 <40+25> Raden Mas Soecipto Hadiwijoyo [Hb.5.9.1] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
5412/8 <40+25> Raden Mas Soengkowo Hadiwijoyo [Hb.5.9.2] [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono III]
5513/8 <40+25> Raden Mas Dracman Sahid Hadiwijoyo [Hb.5.9.3] [Hamengku Buwono V]
5614/8 <34+?> 1. Raden Mas Suryahandaka [Mangkunegara III]
5715/8 <34+?> 2. Raden Ajeng Kuning [Mangkunegara III]
5916/8 <42> R. Ngt. Ismilatin Martodiwirjo [?]
6017/8 <43> Raden Ayu Sadiyah [Kartowardono]
6118/8 <43> Raden Ayu Robiatu Adawiyah [Kartowardono]
6219/8 <43> Raden Ayu Mariati [Kartowardono]
6320/8 <43> Raden Mas Ngabehi Mangunpandoyo [Kartowardono]
6421/8 <43> Raden Mas Tumenggung Secodiningrat [Kartowardono]
6522/8 <43> Raden Ayu Maharsi [Kartowardono]
6623/8 <43> Raden Ayu Endang Nowawi [Kartowardono]
6724/8 <43> Raden Ayu Harinah [Kartowardono]
6825/8 <43> Raden Surasno [Kartowardono]
6926/8 <43> Raden Ayu Suyanah [Kartowardono]
7027/8 <43> Raden Mas Soediono [Kartowardono]
7128/8 <43> Raden Mas Sutoyo Cokropranoto [Kartowardono]
7229/8 <43> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sutanto Sutonagoro [Kartowardono]
7330/8 <43> Raden Mas Sahitman Sosroatmojo [Kartowardono]
7431/8 <43> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sulistiyo Wironagoro [Kartowardono]
7532/8 <43> Raden Ayu Andira [Kartowardono]
7633/8 <43> Raden Mas Sumeto [Kartowardono]
7734/8 <43> Raden Ayu Suminah [Kartowardono]
7835/8 <43> Kanjeng Raden Mas Tumenggung Sugoto Kartonagoro [Kartowardono]
7936/8 <43> Raden Mas Sumiwo [Kartowardono]
8037/8 <43> Raden Ayu Sumawi [Kartowardono]
8138/8 <43> Raden Ayu Sukatin [Kartowardono]
8239/8 <43> Raden Agoes Soeparwo [Kartowardono]
8340/8 <34> RM Suryodarmoyo [Mangkunegara III]
8441/8 <34> B.r.m. Soerjopoetro [Mangkunegara III] 8542/8 <34> B. R. M. Soerjohoedojo [Mangkunegara III] 8643/8 <35> B. R. M. Gondowidjojo [Mangkunegara IV]
8744/8 <34> Kanjeng Pangeran Haryo Suryodiningrat [Mangkunegara III]
8845/8 <35> B. R. A. Praboewidjojo [Mangkunegara IV] 8946/8 <35+52!> B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV] 9247/8 <35> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosisworo [Mangkunegara IV]
9348/8 <35> Kanjeng Pangeran Haryo Doyosuputro [Mangkunegara IV]
9449/8 <35> Kanjeng Pangeran Haryo Doyokisworo [Mangkunegara IV]
9550/8 <35> Raden Mas Panji Nitikusumo [Mangkunegara IV]
9651/8 <35> Kanjeng Pangeran Haryo Handoyonoto [Mangkunegara IV]
Tampilan
Peralatan pribadi