Kanjeng Pangeran Haryo Gondosuputro b. 2 September 1881
Dari Rodovid ID
Marga (saat dilahirkan) | Mangkunegara IV |
Jenis Kelamin | Pria |
Nama lengkap (saat dilahirkan) | Kanjeng Pangeran Haryo Gondosuputro |
Orang Tua
♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara IV (Th:1853-1881) [Mangkunegara IV] |
Momen penting
2 September 1881 lahir: Surakarta
penguburan: Astana Girilayu, Karanganyar
Catatan-catatan
KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu dia masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, ia mengikuti Mangkunegara IV ke Batavia untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh Ludolph Anne Jan Wilt, baron Sloet van de Beele.
Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan Mangkunegara IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh Mangkunegaran IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.
Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian ia diangkat dalam jabatan “yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran”. Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah Mangkunegara IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semenjak KPH. Gondosaputra mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, ia melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo.
Semasa ia memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah Mangkunegara IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, ia memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.
Dengan dipimpin oleh adiknya, Kapten KPH. Gondosisworo, pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura. Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran dapat membalikkan keunggulan pasukan Belanda atas Pasukan Kesultanan Aceh. Atas jasa jasa Legiun Mangkunegaran yang dipimpinnya selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Salib Penunggang) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV. Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosaputra dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran.
Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, hingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas Artileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.
Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputra bukan merupakan daerah yang asing. Dia sejak lama mendapat tugas dari ayahnya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum dia wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputra. Pada tahun 1881 ayahnya wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, KPH. Gondosaputra menyusul ayahnya. Keduanya dimakamkan di Girilayu.
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu