Pangeran Hario Prabuamijoyo - Keturunan (Inventaris)

Dari Rodovid ID

Orang:26101
Langsung ke: panduan arah, cari
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?> Pangeran Hario Prabuamijoyo [Mangkunegara I]

2

21/2 <1> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II (Th:1796-1835) [Mangkunegara II]
perkawinan: <2> Kanjeng Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkunegoro II [Mangkunegara]
gelar: 25 Januari 1796, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro II
gelar: 30 Januari 1832, Medali Militaire Willems Orde (Kelas Tiga)
gelar: 1833?, Medali Orde van de Nederlandsche Leeuw
wafat: 26 Januari 1835, Astana Mangadeg
Mangkunegara II adalah raja di Mangkunegaran yang melanjutkan tahta pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Pemerintahannya berlangsung selama lebih kurang 40 tahun (1796-1835).Mangkunegara II merupakan keturunan langsung dari Mangkunegara I sebab ayahnya Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I.

Asal Usul Mangkunegara II Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.

Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.

Pemerintahan Mangkunegara II

Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.
32/2 <1+?> Kph. Djojokusumo / Eyang Santri [Mangkunegara I]
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Cidahu Gunung Salak dan Makam Eyang Santri

Silsilah dan Kelahiran

Tempat Pemakaman KPH DJOJOKUSUMO/Eyang Santri), Sumber : [http://www.merbabu.com/gunung/gunung_salak_curug_pilung.php
Tempat Pemakaman KPH DJOJOKUSUMO/Eyang Santri), Sumber : [http://www.merbabu.com/gunung/gunung_salak_curug_pilung.php
Eyang Santri yang nama muda-nya Pangeran Djojokusumo adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran yang lahir pada tahun 1770. Ia adalah cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu : Pangeran Prabuamidjojo, di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.

Masa Remaja

Di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.

Berkontribusi Dalam Penyusunan Serat Centhini

Pada tahun1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.

Keliling Jawa

Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa. Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.

Keterkaitan dengan Pangeran Diponegoro

Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.

Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat,bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.

Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.

Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.

Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata “Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.

Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.

Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.


Pasca Perang Diponegoro

Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.

Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.

Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagiWahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.

Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.

Ada beberapa cerita bahwa wajah eyang santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin, -hidup abadi- dalam terminologi India? Yang jelas eyang santri wafat tahun 1929 di usianya yang 159 tahun.

Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri kepada Bung Karno.

(Anton DH Nugrahanto).

3

41/3 <2> Pangeran Hadipati Suryomijoyo I [Mangkunegara II] 52/3 <2+2> Raden Kanjeng Ayu Suyati / Raden Ayu Notokusumo [Mangkunegara II] 63/3 <2> Raden Ajeng Sekeli [Mangkunegara II] 74/3 <2> Pangeran Suryohadiwinoto [Mangkunegara II]

4

81/4 <5+3> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara III (Th:1835-1853) [Mangkunegara III]
lahir: 16 Januari 1803
perkawinan: <5> Raden Ayu Sekarkedhaton [Pakubuwono V]
gelar: 16 Januari 1843, Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro III
wafat: 27 Januari 1853, Astana Mangadeg
92/4 <6+4> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara IV (Th:1853-1881) [Mangkunegara IV]
103/4 <7> Bendoro Raden Ayu Atmosuharto [Mangkunegara II] 114/4 <5+3> Raden Ayu Sariadi [Amangkurat IV]

5

171/5 <9> Pangeran Harya Gandahatmaja [Mangkunegara IV]
penguburan: Astana Girilayu, Karanganyar
252/5 <9> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosewoyo [Mangkunegara IV]
lahir: 16 September 1838
263/5 <9> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosuputro [Mangkunegara IV]
lahir: 2 September 1881, Surakarta
penguburan: Astana Girilayu, Karanganyar
KPH. Gondosuputra mengabdikan hampir seluruh kariernya di Legiun Mangkunegaran. Pada waktu dia masih berpangkat Kapten, di Kalimantan terjadi kerusuhan. Pemerintah Belanda meminta bantuan Legiun Mangkunegaran untuk memadamkan kerusuhan tersebut. Pada tahun 1860, Kapten GPH. Gondosuputra diperintahkan untuk memimpin pasukan ekspedisi yang akan berangkat ke Kalimantan. Namun sebelum pasukan sempat diberangkatkan, kerusuhan sudah berhasil dipadamkan. Masih sebagai Kapten Legiun Mangkunegaran, ia mengikuti Mangkunegara IV ke Batavia untuk melakukan perundingan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang pada waktu itu di jabat oleh Ludolph Anne Jan Wilt, baron Sloet van de Beele.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.

Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.

Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan Mangkunegara IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh Mangkunegaran IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.

Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian ia diangkat dalam jabatan “yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran”. Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah Mangkunegara IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semenjak KPH. Gondosaputra mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, ia melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo.

Semasa ia memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah Mangkunegara IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, ia memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.

Dengan dipimpin oleh adiknya, Kapten KPH. Gondosisworo, pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura. Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran dapat membalikkan keunggulan pasukan Belanda atas Pasukan Kesultanan Aceh. Atas jasa jasa Legiun Mangkunegaran yang dipimpinnya selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Salib Penunggang) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV. Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosaputra dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran.

Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, hingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas Artileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.

Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputra bukan merupakan daerah yang asing. Dia sejak lama mendapat tugas dari ayahnya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum dia wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputra. Pada tahun 1881 ayahnya wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, KPH. Gondosaputra menyusul ayahnya. Keduanya dimakamkan di Girilayu.
134/5 <9+14!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VI (Th:1896-1916) [Mangkunegara VI]
gelar: 1896, Prabu Mangkunegara VI [1896-1916]
125/5 <9+14!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara V (Th:1881-1896) [Mangkunegara V]
146/5 <8> Raden Ayu Dunuk [Mangkunegara III]
157/5 <8+?> 1. Raden Mas Suryahandaka [Mangkunegara III]
168/5 <8+?> 2. Raden Ajeng Kuning [Mangkunegara III]
189/5 <8> RM Suryodarmoyo [Mangkunegara III]
1910/5 <8> B.r.m. Soerjopoetro [Mangkunegara III] 2011/5 <8> B. R. M. Soerjohoedojo [Mangkunegara III] 2112/5 <9> B. R. M. Gondowidjojo [Mangkunegara IV]
2213/5 <8> Kanjeng Pangeran Haryo Suryodiningrat [Mangkunegara III]
2314/5 <9> B. R. A. Praboewidjojo [Mangkunegara IV] 2415/5 <9+14!> B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV] 2716/5 <9> Kanjeng Pangeran Haryo Gondosisworo [Mangkunegara IV]
2817/5 <9> Kanjeng Pangeran Haryo Doyosuputro [Mangkunegara IV]
2918/5 <9> Kanjeng Pangeran Haryo Doyokisworo [Mangkunegara IV]
3019/5 <9> Raden Mas Panji Nitikusumo [Mangkunegara IV]
3120/5 <9> Kanjeng Pangeran Haryo Handoyonoto [Mangkunegara IV]

6

321/6 <12> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII [Mangkunegara VII]
lahir: 15 Agustus 1855
perkawinan: <16> Raden Roro Mardewi [Wongsosoetirto]
perkawinan: <17> B. R. A. Setyowati [Setyowati]
perkawinan: <18> Mas Ayu Retnoningrum [Retnoningrum]
perkawinan: <19> Mas Ayu Sitaningrum [Sitaningrum]
perkawinan: <20> Mas Ayu Kamijem [Kamijem]
perkawinan: <21> B. R. A. Tedjowati [Tedjowati]
pekerjaan: 11 Januari 1916 - 1944, Surakarta, Sunan Surakarta bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII
perkawinan: <22> Gusti Kanjeng Ratu Timur [Hb.7.65] (Bendoro Raden Ajeng Mursudarya) [Hamengku Buwono VII] , Surakarta
wafat: 19 Juli 1944
KGPAA. Mangkunegara VII (lahir 12 November 1885 - wafat 1944) adalah pemegang tampuk pemerintahan Mangkunegaran dari tahun 1916 - 1944. Ia adalah salah seorang putera dari Mangkunegara V. Ia menggantikan pamannya, Mangkunegara VI, yang mengundurkan diri pada 11 Januari 1916.

Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada jamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama tradisional.

Mangkunegara VII terlahir dengan nama Raden Mas Soerjo Soeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.

Anak putri tertua Mangkunegara VII, yaitu BRAy. Partini, menikah dengan P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari Serang, Banten.

Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun 1916.

Semangat Mangkunegara VII untuk mencari ilmu pengetahuan sudah tampak sejak muda, ketika pamannya Mangkunegara VI melarangnya untuk masuk HBS, ia memilih untuk berkelana dan menjalani hidup di luar keraton; menjadi penerjemah bahasa Belanda-Jawa dan mantri di tingkat kabupaten. Sedangkan kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa Java-Instituut, tidak luput juga karya ilmiahnya tentang simbolisme wayang Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).

Ia juga turut menjadi tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa.

Selain itu ia juga seorang perwira KNIL dengan jabatan Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.
572/6 <25> Raden Mas Pandji Gondosoenario [Mangkunegara IV]
lahir: 1859?
333/6 <12+11> Bendoro Raden Mas Samekto (K. P. H. Soerjokoesoemo) [Mangkunegara V]
lahir: 9 Oktober 1873, solo, Putra mahkota dari KGPAA Mangkunegara V
perkawinan: <23> B. R. A. Catharina Bertha [Catharina Bertha]
perkawinan: <24> B. R. A. Soerjokoesoemo [Wreksodiningrat]
wafat: 22 September 1934, Klaten
penguburan: 23 September 1934, Astana Girilayu, Karanganyar
554/6 <12+9> B. R. A. Soerarti [Mangkunegara V] 565/6 <12+10> K. P. H. Soerjosoerardjo [Mangkunegara V]
lahir: 6 Oktober 1891
346/6 <18> RM. Soemodarmoyo [Mangkunegara III]
357/6 <19> R.m. Ng. Hardjosoepoetro [Mangkunegara III] 368/6 <20> R.m. Ng. Wirjohoedojo [Mangkunegara III] 379/6 <19> R. M. P. Warsohatmodjo [Mangkunegara III] 3810/6 <21> R. Ay. Siti Atini [?] 3911/6 <18> R. Ay. Harjosebroto (Sudarmi) [Mangkunegara III]
4012/6 <18> R. Ay. Mangunhartono (Sumarni) [Mangkunegara III]
4113/6 <18> R. Aj. Sukarti [Mangkunegara III]
4214/6 <18> R. M. Ng. Wirodarmoyo (Sujono) [Mangkunegara III]
4315/6 <22> Raden Mas Ngabehi Harjokoesoemo [Mangkunegara III] 4416/6 <13> K. P. H. Soejono Handojoningrat [Mangkunegara VI]
4517/6 <12> Bendoro Raden Ajeng Sutantinah (B. R. A. Koesoemodiningrat) [Mangkunegara V] 4618/6 <12> K. P. H. Soerjosoegijanto [Mangkunegara V]
4719/6 <12> K. P. H. Soerjosoewito [Mangkunegara V]
4820/6 <12> K. P. H. Soerjosoebandoro [Mangkunegara V]
4921/6 <12> K. P. H. Soerjosoemasto [Mangkunegara V]
5022/6 <12> K. P. H. Soerjosoemanto [Mangkunegara V]
5123/6 <12+11> K. P. H. Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
5224/6 <12> K. P. H. Soerjosoekanto [Mangkunegara V]
5325/6 <12> K. P. H. Soerjosoetanto [Mangkunegara V]
5426/6 <12> K. P. H. Soerjosoebandrijo [Mangkunegara V]
5827/6 <25> Raden Mas Gondosoebario [Mangkunegara IV]
5928/6 <12> B. R. A. Soeparti [Mangkunegara V] 6029/6 <12> Bendoro Raden Mas Soerarso (K. P. H. Soerjosoerarso) [Mangkunegara V]

7

861/7 <33+23> R. A. Hendrarsi Soerjokoesoemo [Mangkunegara V]
lahir: 3 Juli 1894, Surakarta
perkawinan: <29> Raden Mas Iskak Tjondrodipoero (K. R. M. T. Iskak Martonagoro) [Tjondrodipoero] b. 19 Oktober 1883
wafat: 22 September 1964, Surakarta
812/7 <32+16> B. R. A. Partini [Mangkunegara VII]
lahir: 14 Agustus 1902
perkawinan: <30> Hoessein Djajadiningrat [Djajawinata] b. 8 Desember 1886 d. 12 November 1960
wafat: 1998
623/7 <32+22> Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani / Gusti Noeroel [Mangkunegara VII]
lahir: 17 September 1921, Surakarta
perkawinan: <63!> Raden Mas Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
wafat: 10 November 2015, Bandung
Gusti Noeroel terkenal memiliki paras yang cantik. Karena kecantikannya, pada saat itu Gusti Noeroel menjadi primadona di Kota Solo dan didambakan para tokoh negara. Mulai dari mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir yang biasa mengirimkan kado melalui sekretarisnya ke kediaman Gusti Noeroel di Pura Mangkunegaran ketika rapat kabinet digelar di Yogyakarta. Gusti Noeroel juga didambakan oleh Kolonel GPH Djatikusumo, salah seorang prajurit militer. Yang menarik adalah mantan Presiden Soekarno yang juga tertarik dengan Gusti Noeroel namun konon kalah bersaing dengan Sutan Sjahrir.[3] Tokoh negara lainnya yang mencoba meminang Gusti Noeroel adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memiliki 9 orang selir. Namun semua tokoh tersebut tidak ada satupun yang berhasil memikat hati Gusti Noeroel. Putri bangsawan ini memutuskan untuk menerima pinangan seorang militer berpangkat letnan kolonel yang bernama RM Soerjo Soejarso.

Kecantikan Gusti Noeroel yang termasyhur ini juga dibarengi dengan kepiawaiannya menari. Suatu kali, di usianya yang masih 15 tahun, Gusti Noeroel diminta datang secara khusus untuk menari di hadapan Ratu Wilhelmina di Belanda. Tarian tersebut dipersembahkan sebagai kado pernikahan Putri Juliana. Menariknya, saat itu rombongan dari Mangkunegaran tidak membawa gamelan untuk mengiringi tarian Gusti Nurul. Tarian itu diiringi alunan gamelan yang dimainkan dari Pura Mangkunegaran dan dipancarkan melalui Solosche Radio Vereeniging, yang siarannya bisa ditangkap dengan jernih di Belanda[4].

Gusti Noeroel juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang membidani berdirinya Solosche Radio Vereeniging, stasiun radio pertama di Indonesia.
854/7 <33+24> R. A. Soenitoeti [Mangkunegara V]
R. A. Soenitoeti adalah puteri KPH. Sowrjokoesoemo dari perkawinannya dengan puteri Wreksodiningrat, Patih Surakarta.
615/7 <32+18> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara Vlll (Th:1944-1987) [Mangkunegara VIII]
636/7 <60> Raden Mas Soerjosoejarso [Mangkunegara V] 647/7 <34+?> RM. Askarim Sumodarmoyo [Mangkunegara III] 658/7 <35> R.M.Ng. Hatmowarsono [Mangkunegara III] 669/7 <36> R.Ay. Wirjati [Mangkunegara III] 6710/7 <37+38!> R. M. Srijatto [Mangkunegara III] 6811/7 <34+?> R. Ay. Wignyosudiro (Rukiyarti) [Mangkunegara III]
6912/7 <34+?> R. M. P. Partodamoyo (Rukiyatmo) [Mangkunegara III]
7013/7 <34+?> R. Ay. Satyopranowo (Rukiyarsi) [Mangkunegara III]
7114/7 <34+?> R. M. Sastrodarmoyo (Rukiyarso) [Mangkunegara III]
7215/7 <34+?> R. M. Hartodarmoyo (Rukiyarto) [Mangkunegara III]
7316/7 <34+?> R. Ay. Prawirosiwoyo (Rukiyarni) [Mangkunegara III]
7417/7 <34+?> R. M. Rukiyarno Sumodarmoyo [Mangkunegara III]
7518/7 <34+?> R. M. Suraryo Sumodarmoyo [Mangkunegara III]
7619/7 <34+?> R. Ay. Suyoso [Mangkunegara III]
7720/7 <34+?> R. M. Joedojo Sumodarmoyo [Mangkunegara III]
7821/7 <34+?> R. Ay. Yudasih [Mangkunegara III]
7922/7 <34+?> R. M. Darminto Prawiro Darmoyo (Darminto Gendu) [Mangkunegara III]
8023/7 <43+26> K. P. H. Soemoharjomo [Mangkunegara III] 8224/7 <32+19> Bendoro Raden Mas Santoso (K. P. H. Hamidjojo Santoso) [Mangkunegara VII]
8325/7 <32+20> B. R. M. Sanjaya [Mangkunegara VII]
8426/7 <32+21> B. R. A. Partina [Mangkunegara VII] 8727/7 <33+23> Raden Mas Hendrarko Soerjokoesoemo [Mangkunegara V]
8828/7 <55+25> R. A. Soenjoto [Warsohadiningrat]
8929/7 <55+25> Raden Mas Soekarno [Warsohadiningrat]
9030/7 <55+25> Raden Mas Sarono [Warsohadiningrat]
9131/7 <55+25> R. A. Sarjati [Warsohadiningrat]
9232/7 <55+25> Raden Mas Sajogja [Warsohadiningrat]
9333/7 <55+25> Raden Mas Soegondo [Warsohadiningrat]
9434/7 <55+25> R. A. Sarwimoerti [Warsohadiningrat]
9535/7 <55+25> R. A. Moektini [Warsohadiningrat]
9636/7 <55+25> Raden Mas Sapoetro [Warsohadiningrat]
9737/7 <55+25> R. A. Warmarti [Warsohadiningrat]
9838/7 <45+27> B. R. A. Soewarni [Pakubuwono IX] 9939/7 <45+27> B. R. A. Soewarsi [Pakubuwono IX] 10040/7 <45+27> K. P. H. Tjokrokoesoemo [Pakubuwono IX]
K. P. H. Tjokrokoesoemo adalah menantu Pakubuwono X.
10141/7 <33+23> R. A. Hendrastoeti [Mangkunegara V]
10242/7 <48> K. R. M. T. H. Soediarto Soerjosoebandoro [Mangkunegara V]
10343/7 <51> K. P. H. Soetardjo Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
perkawinan: <36> w Dolly Zegerius [Zegerius] b. 1925 d. 18 September 2019
10444/7 <43+26> K. P. H. Prawironegoro [Mangkunegara III]

8

1281/8 <86+29> Raden Mas Soedarmo Martonagoro [Tjondrodipoero] 1252/8 <86+29> R. A. Noek Soedarti Martonagoro [Tjondrodipoero]
lahir: 1918
perkawinan: <37> Raden Mas Soedjarwadi [Gitodiprodjo] b. 3 Maret 1903 d. 6 Maret 1967
wafat: 1987
1163/8 <80+32> w R. A. Siti Hartinah [Mangkunegara III]
lahir: 23 Agustus 1923, Jaten, Karanganyar
perkawinan: <38> w Soeharto [Kertoirono] b. 8 Juni 1921 d. 27 Januari 2008
wafat: 28 April 1996, Jakarta
1294/8 <81+30> Hoessein Wahjoe Djajadiningrat [Djajawinata] 1415/8 <81+30> R. M. A. A. Djajadiningrat [Djajawinata]
lahir: 21 April 1928
1186/8 <61+85!> G. P. H. Radityo Praboekoesoemo [Mangkunegara VIII]
lahir: 20 September 1942
perkawinan: <40> Erna Santoso [Santoso]
wafat: 21 November 1977, GPH. Radityo Praboekoesoemo meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
1197/8 <61+85!> G. R. A. Retnosatoeti [Mangkunegara VIII]
lahir: 24 September 1944
perkawinan: <41> R. M. H. Rahadian Jamin (Kph. Surjadiningrat) [Khatib] d. 1979
1208/8 <61+85!> G. R. A. Rosati [Mangkunegara VIII] 1349/8 <82> R. A. Joyce Joconda Amaid Siti Sjahriati Hamidjojo Santoso [Mangkunegara VII]
lahir: 1947?
perkawinan: <43> R. M. H. Hoedionoto Harjoto [Harjoto]
wafat: 24 Juni 2022, Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati
14710/8 <103+36> w K. R. A. Soemarini Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
lahir: 2 November 1947, Malang
perkawinan: <44> Tinton Soeprapto [Soeprapto] b. 21 Mei 1945
perkawinan: <45> w Idris Sardi [Soekamto] b. 7 Juni 1938 d. 28 April 2014
perceraian: <46> Didi Abdoelkadir Hadjoe [Hadjoe] d. 6 April 2020
perkawinan: <47> Boerhan Noer Abdoellah [Abdoellah]
14611/8 <103+36> w K. P. H. Japto Sulistio Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
lahir: 16 Desember 1949, Surakarta
perkawinan: <48> Retno Sutjiati [Sutjiati]
10512/8 <61+85!> Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX / Gusti Pangeran Haryo Sujiwokusuma [Mangkunegara IX]
lahir: 18 Agustus 1951
perkawinan: <49> Prisca Marina Jogi Soepardi (Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX) [Soepardi]
perkawinan: <50> Raden Ayu Sukmawati Soekarnoputri [Hamengku Buwono II] b. 26 Oktober 1951
wafat: 13 Agustus 2021, Jakarta
penguburan: 15 Agustus 2021, Astana Girilayu, Karanganyar
Mangkunegara IX adalah putra laki laki kedua dari Mangkunegara VIII.Pada masa remajanya bernama GPH Sujiwokusuma.Dalam pada itu GPH Sujiwokusuma menjadi Raja Muda di Mangkunegaran pada jaman dengan alam yang sudah merdeka jadi alamnya Republik Indonesia.Naiknya GPH Sujiwokusuma ke tampuk kekuasaan Mangkunegaran membawa suasana yang menebalkan catatan catatan para sejarahwan dan juga para kuli tinta (wartawan).
12113/8 <61+85!> Gusti Raden Mas Saktia Hamidjojo Saroso [Mangkunegara VIII]
lahir: 1 November 1959
perkawinan: <51> M. G. Sutjiati [Sutjiati]
12214/8 <61+85!> Gusti Raden Mas Herwasta Hamidjojo Saroso (Gusti Pangeran Haryo Robertus Gregorius Herwasto Kusumo) [Mangkunegara VIII]
lahir: 10 Mei 1961
wafat: 31 Juli 2012
12415/8 <61+31> Bendoro Raden Mas Surjo Amiseno [Mangkunegara VIII]
lahir: 15 Juni 1963
12316/8 <61+85!> G. R. A. Retnoastrini [Mangkunegara VIII]
lahir: 16 Maret 1964
perkawinan: <52> Tunku Abu Bakar [Ismail (Johor)]
14217/8 <86+29> R. M. H. Hartono [Tjondrodipoero]
wafat: 9 April 1991
10618/8 <64+107!> R Ayu Sri Astanti [Mangkunegara III]
10719/8 <65+66!> R Ayu Soemarti [Mangkunegara III] 10820/8 <65+66!> R. Ay. Soemartijah [Mangkunegara III] 10921/8 <67+108!> R. Ay. Endang Luki Marjanti [Mangkunegara III] 11022/8 <67+108!> R. M. Bambang Soeroto, BA [Mangkunegara III] 11123/8 <67+108!> R. M. Ir. Ary Soeprijanto, M.Sc. [Mangkunegara III] 11224/8 <67+108!> R. M. Rachmat Djoenartono, BE [Mangkunegara III] 11325/8 <64+107!> R. Ay. Sri Aswati [Mangkunegara III]
11426/8 <64+107!> R. M. Subekti Asaji [Mangkunegara III]
11527/8 <64+107!> R. M. Drs. Astianto [Mangkunegara III]
11728/8 <102> Raden Mas Bambang Soetjahjo Adjie [Mangkunegara V]
12629/8 <86+29> Raden Mas Waloejo Martonagoro [Tjondrodipoero] 12730/8 <86+29> R. A. Soemarsi Martonagoro [Tjondrodipoero]
13031/8 <81+30> Partoeti Djajadiningrat [Djajawinata] 13132/8 <81+30> Pardewi Djajadiningrat [Djajawinata]
13233/8 <86+29> R. A. Soetrepti Martonagoro [Tjondrodipoero] 13334/8 <86+29> Raden Mas Oetojo Martonagoro [Tjondrodipoero]
13535/8 <62+63!> Raden Mas Sularso Basarah Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
13636/8 <62+63!> R. A. Parimita Wiarti Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
13737/8 <63+62!> Raden Mas Adji Pamoso Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
13838/8 <63+62!> R. A. Heruma Wiarti Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
13939/8 <63+62!> R. A. Rasika Wiarti Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
14040/8 <63+62!> R. A. Wimaja Wiarti Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
14341/8 <102> R. A. Niniek Soerjosoebandoro [Mangkunegara V]
14442/8 <86+29> Raden Mas Soedarjo Martonagoro [Tjondrodipoero]
14543/8 <103+36> K. P. H. Soenarjo Soerjosoemarno [Mangkunegara V]
Tampilan
Peralatan pribadi