2. Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger (Raden Mas Drajat) d. 1719 - Keturunan (Inventaris)
Dari Rodovid ID
perkawinan: <2> ♀ Raden Ajeng Sendhi [?]
perkawinan: <3> ♀ Mas Ajeng Tejawati [?]
perkawinan: <4> ♀ Mas Ajeng Retnowati [?] d. 22 Februari 1719
perkawinan: <5> ♀ Mas Ayu Tjondrowati [?]
gelar: 6 Juli 1704 - 1719, Kartasura, Sultan Mataram VI MATARAM KE 6, Sunan Kartasura III bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa
wafat: 1719
Pangeran Puger (lahir: Mataram, ? - wafat: Kartasura, 1719) adalah raja ketiga Kasunanan Kartasura yang setelah naik takhta bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I. Ia memerintah pada tahun 1704 - 1719. Naskah-naskah babad pada umumnya mengisahkan tokoh ini sebagai raja agung yang bijaksana. [[Asal-usul]]Nama asli Pangeran Puger adalah Raden Mas Darajat. Ia merupakan putra Sunan Amangkurat I, raja terakhir Kesultanan Mataram yang lahir dari Ratu Wetan atau permaisuri kedua. Ibunya tersebut berasal dari Kajoran, yaitu sebuah cabang keluarga keturunan Kesultanan Pajang.
Mas Darajat pernah diangkat menjadi pangeran adipati anom (putra mahkota), ketika terjadi perselisihan antara Amangkurat I dengan Mas Rahmat. Mas Rahmat adalah kakak tiri Mas Darajat yang lahir dari Ratu Kulon atau permaisuri pertama. Amangkurat I mencopot jabatan adipati anom dari Mas Rahmat dan menyerahkannya kepada Mas Darajat. Namun, ketika Keluarga Kajoran terbukti mendukung pemberontakan Trunajaya tahun 1674, Amangkurat I terpaksa menarik kembali jabatan tersebut dari tangan Mas Darajat.
Perang Di PleredPuncak pemberontakan Trunajaya terjadi pada tahun 1677. Pangeran dari Madura tersebut melancarkan serangan besar-besaran ke ibu kota Kesultanan Mataram yang terletak di Plered. Amangkurat I melarikan diri ke barat dan menugasi Adipati Anom (Mas Rahmat) untuk mempertahankan istana. Namun, Adipati Anom menolak dan memilih ikut mengungsi. Pangeran Puger pun tampil menggantikan kakak tirinya tersebut untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa tidak semua anggota Keluarga Kajoran terlibat pemberontakan Trunajaya.
Ketika pasukan Trunajaya tiba di istana Plered, pihak Amangkurat I telah pergi mengungsi. Pangeran Puger pun berjuang menghadapinya. Namun, kekuatan musuh sangat besar. Ia terpaksa menyingkir ke desa Jenar. Di sana Pangeran Puger membangun istana baru bernama Kerajaan Purwakanda. Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Susuhunan Ingalaga.
Trunajaya menjarah harta pusaka keraton Mataram. Ia kemudian pindah ke markasnya di Kediri. Pada saat itulah Sunan Ingalaga kembali ke Plered untuk menumpas sisa-sisa pengikut Trunajaya yang sengaja bertugas di sana. Sunan Ingalaga pun mengangkat dirinya sebagai raja Mataram yang baru.
Perang Saudara Sementara itu Amangkurat I meninggal dunia dalam pengungsiannya di daerah Tegal. ia sempat menunjuk Adipati Anom sebagai raja Mataram yang baru bergelar Amangkurat II. Sesuai wasiat ayahnya tersebut, Amangkurat II pun meminta bantuan VOC - Belanda. pemberontakan Trunajaya akhirnya berhasil ditumpas pada akhir tahun 1679.
Amangkurat II merupakan raja tanpa istana karena Plered telah diduduki Sunan Ingalaga, adiknya sendiri. Ia pun membangun istana baru di hutan Wanakerta, yang diberi nama Kartasura pada bulan September 1680. Amangkurat II kemudian memanggil Sunan Ingalaga supaya bergabung dengannya tapi panggilan tersebut ditolak.
Penolakan tersebut menyebabkan terjadinya perang saudara. Akhirnya, pada tanggal 28 November 1681 Sunan Ingalaga menyerah kepada Jacob Couper, perwira VOC yang membantu Amangkurat II. Sunan Ingalaga pun kembali bergelar Pangeran Puger dan mengakui kedaulatan kakaknya sebagai Amangkurat II. Kekalahan Pangeran Puger menandai berakhirnya Kesultanan Mataram yang kemudian menjadi daerah bawahan Kasunanan Kartasura. Meskipun demikian, naskah-naskah babad tetap memuji keberadaan Pangeran Puger sebagai orang istimewa di Kartasura. Yang menjadi raja memang Amangkurat II, namun pemerintahan kasunanan seolah-olah berada di bawah kendali adiknya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah-naskah babad ditulis pada zaman kekuasaan raja-raja keturunan Pangeran Puger.
Kamatian Kapten TackAmangkurat II berhasil naik takhta berkat bantuan VOC, namun disertai dengan perjanjian yang memberatkan pihak Kartasura. Ketika keadaan sudah tenang, Patih Nerangkusuma yang anti Belanda mendesaknya supaya mengkhianati perjanjian tersebut. Pada tahun 1685 Amangkurat II melindungi buronan VOC bernama Untung Suropati. Kapten Francois Tack datang ke Kartasura untuk menangkapnya. Amangkurat II pura-pura membantu VOC.
Namun diam-diam, ia juga menugasi Pangeran Puger supaya menyamar sebagai anak buah Untung Suropati. Dalam pertempuran sengit yang terjadi di sekitar keraton Kartasura pada bulan Februari 1686, sebanyak 75 orang tentara VOC, tewas ditumpas pasukan Untung Suropati. Pasukan Untung Suropati berhasil membunuh Kapten Tack yang tidak berhasil turun dari kudanya.
Pengungsian Ke SemarangAmangkurat II meninggal dunia pada tahun 1703. Takhta Kartasura jatuh ke tangan putranya yang bergelar Amangkurat III. Menurut Babad Tanah Jawi, ketika Pangeran Puger datang melayat, ia melihat kemaluan jenazah kakaknya "berdiri". Dari ujung kemaluan muncul setitik cahaya yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Barang siapa mendapatkan wahyu tersebut, maka ia akan menjadi raja Tanah Jawa. Pangeran Puger pun menghisap sinar tersebut tanpa ada seorang pun yang melihat. Sejak saat itu dukungan terhadap Pangeran Puger berdatangan karena banyak yang tidak menyukai tabiat buruk Amangkurat III. Hubungan antara paman dan keponakan tersebut pun diwarnai ketegangan. Kebencian Amangkurat III semakin bertambah ketika Raden Suryokusumo putra Puger memberontak. Pada puncaknya, yaitu bulan Mei 1704 Amangkurat III mengirim pasukan untuk membinasakan keluarga Puger.
Namun Pangeran Puger dan para pengikutnya lebih dahulu mengungsi ke Semarang. Yang ditugasi mengejar adalah Tumenggung Jangrana, bupati Surabaya. Namun Jangrana sendiri diam-diam memihak Puger sehingga pengejarannya hanya bersifat sandiwara belaka.
Bupati Semarang yang bernama Rangga Yudanegara bertindak sebagai perantara Pangeran Puger dalam meminta bantuan VOC. Kepandaian diplomasi Yudanegara berhasil membuat VOC memaafkan peristiwa pembunuhan Kapten Tack. Bangsa Belanda tersebut menyediakan diri membantu perjuangan Pangeran Puger, tentu saja dengan perjanjian yang menguntungkan pihaknya. Isi Perjanjian Semarang yang terpaksa ditandatangani Pangeran Puger antara lain penyerahan wilayah Madura bagian timur kepada VOC.
Kartasura di rebutPada tanggal 6 Juli 1704 Pangeran Puger diangkat menjadi raja bergelar Susuhunan Paku Buwana Senapati Ingalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama Khalifatulah Tanah Jawa, atau lazim disingkat Pakubuwana I. Setahun kemudian, yaitu tahun 1705, Pakubuwana I dikawal gabungan pasukan VOC, Semarang, Madura (barat), dan Surabaya bergerak menyerang Kartasura. Pasukan Kartasura yang ditugasi menghadang dipimpin oleh Arya Mataram, yang tidak lain adalah adik Pakubuwana I sendiri. Arya Mataram berhasil membujuk Amangkurat III supaya mengungsi ke timur, sedangkan ia sendiri kemudian bergabung dengan Pakubuwana I.
Dengan demikian, takhta Kartasura pun jatuh ke tangan Pakubuwana I, tepatnya pada tanggal 17 September 1705.
Masa PemerintahanPemerintahan Pakubuwana I dihadapkan pada perjanjian baru dengan VOC sebagai pengganti perjanjian lama yang pernah ditandatangani Amangkurat II. Perjanjian lama tersebut berisi kewajiban Kartasura untuk melunasi biaya perang Trunajaya sebesar 4,5 juta gulden. Sedangkan perjanjian baru berisi kewajiban Kartasura untuk mengirim 13.000 ton beras setiap tahun selama 25 tahun.
Pada tahun 1706 gabungan pasukan Kartasura dan VOC mengejar Amangkurat III yang berlindung di Pasuruan. Dalam pertempuran di Bangil, Untung Surapati yang saat itu menjabat sebagai bupati Pasuruan tewas. Amangkurat III sendiri akhirnya menyerah di Surabaya pada tahun 1708, untuk kemudian dibuang ke Srilangka.
Pada tahun 1709 Pakubuwana I terpaksa menghukum mati Adipati Jangrana bupati Surabaya yang dulu telah membantunya naik takhta. Hukuman ini dilakukan karena pihak VOC menemukan bukti bahwa Jangrana berkhianat dalam perang melawan Untung Surapati tahun 1706. Jangrana digantikan adiknya yang bernama Jayapuspita sebagai bupati Surabaya. Pada tahun 1714 Jayapuspita menolak menghadap ke Kartasura dan mempersiapkan pemberontakan. Pada tahun 1717 gabungan pasukan Kartasura dan VOC bergerak menyerbu Surabaya. Menurut Babad Tanah Jawi, perang di Surabaya ini lebih mengerikan daripada perang di Pasuruan dahulu. Jayapuspita akhirnya kalah dan menyingkir ke Japan (sekarang Mojokerto) tahun 1718.
Akhir HayatSunan Pakubuwana I meninggal dunia pada tahun 1719. Yang menggantikannya sebagai raja Kartasura selanjutnya adalah putranya, yang bergelar Amangkurat IV. Pemerintahan Amangkurat IV ini kemudian dihadapkan pada pemberontakan saudara-saudaranya sesama putra Pakubuwana I, antara lain Pangeran Blitar, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Dipanegara Madiun.
Pangeran Puger Yang Lain Dalam sejarah keluarga Kesultanan Mataram terdapat tokoh lain yang juga bergelar [[Pangeran Puger]]. Salah satunya adalah putra Panembahan Senapati yang lahir dari selir Nyai Adisara, bernama asli Raden Mas Kentol Kejuron. Tokoh ini hidup pada zaman sebelum Pakubuwana I.
Pangeran Puger yang ini pernah memberontak pada tahun 1602 - 1604 terhadap pemerintahan adiknya, yaitu Prabu Hanyokrowati (kakek buyut Pangeran Puger Pakubuwana I).2
21/2 <1> ♂ Raden Mas Sengkuk [Mataram]wafat: 1700
perkawinan: <8> ♀ Raden Ayu Susilowati Suropati [?]
perkawinan: <9> ♀ Ratu Kencana / Ratu Mas Kadipaten [Sunan Kudus]
perkawinan: <10> ♀ Mas Ayu Tejawati [Brawijaya]
perkawinan: <11> ♀ Kanjeng Ratu Kencana / Kanjeng Ratu Amangkurat [Gp.Am.4.5] (Kanjeng Ratu Ageng) [Sunan Kudus]
perkawinan: <12> ♀ Ratu Mas Wirasmoro [?] d. 15 Januari 1728
perkawinan: <13> ♀ Mas Ayu Kambang ? (Mbok Ajeng Kambang) [?]
perkawinan: <14> ♀ Mas Ayu Sasmita ? (Mbok Ajeng Sasmita) [?]
perkawinan: <15> ♀ Mas Ayu Asmoro ? (Mbok Ajeng Asmara) [?]
perkawinan: <16> ♀ Mas Ayu Sumanarsa / Raden Ayu Sepuh (Ratu Ayu Kulon) [/ Raden Ayu Sepuh] d. 1719
perkawinan: <17> ♀ Mas Ayu Rangawita / Raden Ayu Bandandari ? (Raden Ayu Chandrasari/Rangawati) [Cendana]
perkawinan: <18> ♀ Mas Ayu Tenaranga ? (Mas Ayu Pujawati) [?]
perkawinan: <19> ♀ Mas Ayu Nitawati [?]
perkawinan: <20> ♀ Mas Ayu Kamulawati [?]
perkawinan: <21> ♀ Mas Ayu Waratsari ? (Mbok Ajeng Waratsari) [?]
perkawinan: <22> ♀ Mas Ayu Puspita ? (Mbok Ajeng Puspita) [?]
perkawinan: <23> ♀ Mas Ayu Tanjangpura ? (Mbok Ajeng Tanjangpura) [?]
perkawinan: <24> ♀ Mas Ayu Rangapura ? (Mbok Ajeng Rangapura) [?]
perkawinan: <25> ♀ Mas Ayu Kamudewati ? (Mbok Ajeng Kamudewati) [?]
perkawinan: <26> ♀ Raden Ayu Arawati ? (Ratu Ayu Kulon) [?]
perkawinan: <27> ♀ Ratu Malang [?]
gelar: 1713, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Negara Sudibya Rajaputra Narendra ing Mataram
gelar: 1719 - 1726, SULTAN MATARAM KE 7 (1719-1726), SUNAN KARTASURA KE IV bergelar Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa
perkawinan: <28> ♀ Raden Ayu Brebes [Martalaya]
perceraian: <28!> ♀ Raden Ayu Brebes [Martalaya]
wafat: 20 April 1726, Kertasura
Daftar isi |
Amangkurat IV
Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa atau disingkat Amangkurat IV (lahir: Kartasura, ? - wafat: Kartasura, 1726) adalah raja keempat Kasunanan Kartasura yang memerintah tahun 1719 - 1726.
Silsilah
Nama aslinya adalah Raden Mas Suryaputra, putra dari Pakubuwana I yang lahir dari permaisuri Ratu Mas Blitar (keturunan Pangeran Juminah, putra Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah putri Madiun).
Amangkurat IV memiliki beberapa orang putra yang di antaranya menjadi tokoh-tokoh penting, misalnya, dari permaisuri lahir Pakubuwana II pendiri keraton Surakarta, dari selir Mas Ayu Tejawati lahir Hamengkubuwana I raja pertama Yogyakarta, dan dari selir Mas Ayu Karoh lahir Arya Mangkunegara, ayah dari Mangkunegara I.
Reaksi Terhadap Pengangkatannya[sunting]Pangeran Arya Dipanegara adalah putra Pakubuwana I yang lahir dari selir. Pada tahun 1719 ia ditugasi menangkap Arya Jayapuspita, pemberontak dari Surabaya (adik Adipati Jangrana). Mendengar berita kematian ayahnya yang dilanjutkan dengan pengangkatan Amangkurat IV sebagai raja baru membuat Dipanegara enggan pulang ke Kartasura.
Arya Dipanegara lalu mengangkat diri menjadi raja bergelar Panembahan Herucakra yang beristana di Madiun. Ia bergabung dengan kelompok Jayapuspita yang bermarkas di Mojokerto. Bersama mereka menyusun pemberontakan terhadap Amangkurat IV yang dilindungi VOC.
Sementara itu, Amangkurat IV juga berselisih dengan kedua adiknya, yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya. Kedua pangeran itu akhirnya dicabut hak dan kekayaannya oleh Amangkurat IV.
Pangeran Blitar akhirnya memberontak di istana dengan dukungan kaum ulama yang anti VOC. Pangeran Purbaya dan Arya Mangkunegara (putra Amangkurat IV) bergabung dalam pemberontakan itu. Namun karena pihak Amangkurat IV lebih kuat, para pemberontak akhirnya menyingkir meninggalkan Kartasura.
Pangeran Blitar lalu membangun kembali kota Karta (bekas istana Mataram zaman Sultan Agung). Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Kartasekar.
Paman Amangkurat IV, yaitu Arya Mataram juga meninggalkan Kartasura menuju Pati di mana ia mengangkat diri sebagai raja di sana.
Perang Suksesi Jawa Kedua[sunting]Perang saudara memperebutkan takhta Kartasura yang oleh para sejarawan disebut Perang Suksesi Jawa II ini menyebabkan rakyat Jawa terpecah belah. Sebagian memihak Amangkurat IV yang didukung VOC, sebagian memihak Pangeran Blitar, sebagian memihak Pangeran Dipanegara Madiun, dan sebagian lagi memihak Pangeran Arya Mataram.
Pangeran Blitar berhasil membuat Jayapuspita (sekutu Dipanegara) memihak kepadanya dan menggunakan kekuatan Mojokerto itu untuk menggempur Madiun. Arya Dipanegara kalah dan menyingkir ke Baturrana. Di sana ia ganti dikejar-kejar pasukan Amangkurat IV. Akhirnya, Dipanegara pun menyerah pada Pangeran Blitar dan bergabung dalam kelompok Kartasekar.
Pada bulan Oktober 1719 pihak Kartasura dan VOC menumpas paman Amangkurat IV lebih dahulu, yaitu Arya Mataram yang memberontak di Pati. Putra Amangkurat I ini ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung di Jepara.
Pada bulan November 1720 gabungan pasukan Kartasura dan VOC menyerang Mataram. Kota Kartasekar dihancurkan sehingga kelompok Pangeran Blitar menyingkir ke timur.
Satu per satu kekuatan pemberontak berkurang. Jayapuspita meninggal karena sakit tahun 1720 sebelum jatuhnya Kartasekar. Pangeran Blitar sendiri juga meninggal tahun 1721 akibat wabah penyakit saat dirinya berada di Malang.
Perjuangan dilanjutkan Pangeran Purbaya yang berhasil merebut Lamongan. Namun kekuatan musuh jauh lebih besar. Perang akhirnya berhenti tahun 1723. Kaum pemberontak dapat ditangkap. Pangeran Purbaya dibuang ke Batavia, Pangeran Dipanegara Herucakra dibuang ke Tanjung Harapan, sedangkan Panji Surengrana (adik Jayapuspita) dan beberapa keturunan Untung Suropati dibuang ke Srilangka.
Akhir Pemerintahan[sunting]Amangkurat IV kemudian berselisih dengan Cakraningrat IV bupati Madura (barat). Cakraningrat IV ini ikut berjasa memerangi pemberontakan Jayapuspita di Surabaya tahun 1718 silam. Ia memiliki keyakinan bahwa Madura akan lebih makmur jika berada di bawah kekuasaan VOC daripada Kartasura yang dianggapnya bobrok.
Hubungan dengan Cakraningrat IV kemudian membaik setelah ia diambil sebagai menantu Amangkurat IV. Kelak Cakraningrat IV ini memberontak terhadap Pakubuwana II, pengganti Amangkurat IV.
Amangkurat IV sendiri jatuh sakit bulan Maret 1726 karena diracun. Sebelum sempat menemukan pelakunya, ia lebih dulu meninggal dunia pada tanggal 20 April 1726.
Amangkurat IV digantikan putranya yang baru berusia 15 tahun bergelar Pakubuwana II sebagai raja Kartasura selanjutnya.
Catatan
Para sejarawan menyebut adanya tiga perang besar memperebutkan takhta di antara keturunan Sultan Agung. Ketiganya disebut Perang Suksesi Jawa atau Perang Takhta.
Perang Suksesi Jawa I terjadi tahun 1704-1708 antara Amangkurat III melawan Pakubuwana I. Perang Suksesi Jawa II terjadi tahun 1719-1723 antara Amangkurat IV melawan saudara-saudaranya (lihat artikel di atas). Perang Suksesi Jawa III terjadi tahun 1746-1757 antara Pakubuwana II dan Pakubuwana III melawan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Ratu Amangkurat
Sang God Mother & Intrik-Intrik Istana
Ratu Amangkurat atau Ratu Kencana atau Ratu Ageng adalah gelar yang diberikan kepada isteri kelima dari 21 isteri Amangkurat IV. Ratu Amangkurat hidup dalam masa pemerintahan paling tidak 5 raja, yaitu Amangkurat III (1703-1708) dan PB I/Pangeran Puger (1705-1719), Amangkurat IV /Amangkurat Jawi (1719-1726), PB II (1726-1749) dan PB III (1749-1788).
Ratu Amangkurat adalah anak dari Raden Adipati Tirtakusuma, Bupati Kudus. Sebelum diperisteri oleh Amangkurat IV, ia adalah janda dari bekas Bupati Jepara. Tidak diketahui apakah suami pertamanya meninggal atau memang ia dicerai oleh suaminya saat ia diperisteri oleh Amangkurat IV. Anehnya lagi dalam perkawinannya dengan Sunan Amangkurat IV itu, ia dimadu dengan adiknya sendiri. Adiknya tersebut bergelar Ratu Kencana/ Ratu Mas Kadipaten[1]. Adapun isteri -isteri Amangkurat IV selengkapnya yang tercatat (termasuk Ratu Amangkurat) adalah :
o Mas Ayu Sumanarsa/RA Sepu/RA Kulon (Meninggal di Lumajang 1719 dan dimakamkan di Imogiri. Dengan Sunan Amangkurat IV ia berputera PA (Pangeran Aria) Mangkunegara, ayah pendiri Pura Mangkunegaran)
o Mas Ayu Nitawati
o Mas Ayu Kamulawati
o RA Arawati/ RM Sundaya /RA Kulon (Anak Adipati Sindupraya dari Pemalang)
o Ratu Amangkurat (Anak Bupati Kudus, Raden Adipati Tirtakusuma, dan janda dari bekas Bupati Jepara. Ratu Amangkurat dengan Sunan Amangkurat IV dikaruniai anak yang kelak menjadi raja dengan gelar Pakubuwono II)
o Mbok Ajeng Kamudewati
o Ratu Kencana/ Ratu Mas Kadipaten (Adik Ratu Amangkurat. Dari perkawinannya dengan Sunan Amangkurat IV, ia dikaruniai anak yang bergelar Pangeran Buminata I. Pangeran ini kawin dengan RA Tembelek, bekas isteri PB II)
o Mbok Ajeng Rangawita / Raden Bandandari/RA Chandrasari/ Rangawati (anak Pangeran Cendana dari Kudus)
o Mbok Ajeng Sasmita
o Mbok Ajeng Asmara
o Mbok Ajeng Tejawati/Mas Ayu Tejawati (Anak dari hasil perkawinannya dengan Sunan Amangkurat IV bernama RM Sujana / PA Kartasurya / PA Mangkubumi yang kelak menjadi raja Yogyakarta dengan gelar Hamengkuwuwana I)
o Mbok Ajeng Rangapura
o Mbok Ajeng Puspita
o Mbok Ajeng Tanjangpura
o Mbok Ajeng Waratsari
o Mbok Ajeng Kambang
o Mas Ayu Tenaranga/Mas Ayu Pujawati
o Ratu Malang
o RA Brebes (Anak perempuan RA Martalaya Bupati Brebes. Sebelum menikah dengan Amangkurat IV, ia adalah janda dari RM Sudhama / Pangeran Aria Blitar, saudara kandung Amangkurat IV. Ia kawin dengan Amangkurat IV pada tahun 1722 dan bercerai dengannya tahun 1726)
o Anak perempuan Tumenggung Suradiningrat
o Ratu Mas Wirasmara (Wanita peranakan Cina yang dihadiahkan oleh Adipati Semarang kepada Amangkurat IV. Perempuan ini masih perawan saat raja tersebut meninggal. Ia dihamili dan kemudian diperisteri oleh Pakubuwono II pada bulan Agustus 1726. Wirasmara dikabarkan dibunuh tanggal 15 Januari 1728 – karena skandalnya dengan PA Mangkunegara - dan kemudian dimakamkan di Imogiri)[2].
Ratu Amangkurat mempunyai dua anak dari Amangkurat IV yaitu Raden Mas Gusti Prabhu Suyasa (yang kelak menjadi PB II) dan Raden Ayu Bengkring / Kanjeng Ratu Maduratna (1711-1738, yang kelak menjadi isteri Cakraningrat dari Madura). Amangkurat IV meninggal 20 April 1726. Ada kabar bahwa kematiannya akibat diracun. Pakubuwono II kemudian menggantikannya.
Selama Pakubuwono II memerintah, dikabarkan bahwa Ratu Amangkurat, disamping Patih Danureja, banyak berperan dalam politik di istana. Belanda pun menganggap bahwa baik Ratu Amangkurat maupun Patih Danureja adalah orang-orang yang cerdik. Beberapa hal yang dicatat sebagai kiprah politik dari Ratu Amangkurat ini di antaranya adalah :
· Untuk mendekati PB II, para bupati daerah atau para pejabat lainnya di lingkungan Kerajaan Mataram, seringkali perlu beraudiensi terlebih dahulu dengan Ratu Amangkurat. Mereka menganggap bahwa ibu suri ini banyak berpengaruh atas puteranya yang menjadi raja itu.
· Atas permohonan Ratu Amangkurat (ibu PB II), hukuman mati yang hendak dijatuhkan oleh PB II kepada PA Mangkunegara – yang melakukan skandal dengan selir PB II - diubah menjadi hukuman buang ke luar Jawa.
Ratu Amangkurat menurut catatan sejarah tidak luput dari skandal. Tahun 1729, selama lebih dari setahun, Ratu Amangkurat (yang telah menjadi janda) diberitakan hidup bersama dengan Raden Surawijaya. Hampir tiap malam Raden Surawijaya menghibur ibu suri tersebut. Suatu hal yang tak disukai oleh PB II (PB II saat itu berusia 19 tahun), anak kandung Ratu Amangkurat sendiri. PB II memerintahkan Tirtawiguna, Wirajaya dan kemudian Mangunnagara untuk membunuhnya. Namun ketiganya menghindar. Akhirnya Danurejalah yang disuruh. Surawijaya kemudian dibunuh tanggal 21 Oktober 1729 di bawah pohon beringin di Paseban. Karena tahu siapa otak pembunuhan kekasihnya itu maka Ratu Amangkurat lalu bergabung dengan lawan-lawan politik Danureja.
Hasilnya mulai terlihat pada Januari 1730 saat orang-orang kesayangan Danureja banyak dicopot dari jabatannya. Sejak saat itu Danureja kehilangan kontrol dalam pengangkatan pejabat baru.
Adik Ratu Amangkurat sendiri, yang menjadi madunya, Ratu Kencana/ Ratu Mas Kadipaten juga berselingkuh. Ia – yang janda AM IV - didakwa bermain serong dengan Raden Anggakusuma, pengurus rumah tangga Pangeran Buminata (anak Ratu Mas dengan AM IV). Ratu Mas hamil dan karena itu istana menjadi geger. Raden Anggakusuma kemudian dihukum cekik tanggal 17 Maret 1735 di kediaman Demang Urawan /P Arya Purbaya / Patih Sunan PB II atas perintah Sunan.
Rupanya perselingkuhan di dalam lingkungan istana waktu itu sudah demikian runyamnya. Sekitar tahun 1739, misalnya, dikabarkan salah seorang selir PB II selingkuh dengan anak lelaki Tumenggung Tirtawiguna. Anak lelaki tersebut dengan menyamar sebagai wanita masuk keputren. Ketika ketahuan, dia dan kekasihnya dieksekusi secara diam-diam. Kemudian tahun 1740, Resajiwa, seorang lurah pengawas barang-barang rumah tangga kerajaan, terlibat korupsi barang sitaan dan main selingkuh dengan selir-selir PB II
Keadaan politik yang kacau disertai dengan berbagai skandal asmara itu menyebabkan banyak pihak tidak puas. Ketidakpuasan demi ketidakpuasan terjadi dan bermuara pada timbulnya pemberontakan. Tanggal 30 Juni 1742, Kartasura diduduki pemberontak Cina yang berkolaborasi dengan tokoh-tokoh lainnya yang tidak puas kepada PB II. Ratu Amangkurat, PB II dan keluarga keraton lainnya terpaksa mengungsi dan ujung-ujungnya, Belanda lah yang kembali “menyelamatkan” raja dan keluarganya sehingga mereka berhutang budi kepada kolonialis Eropa tersebut.
Tanggal 20 Desember 1742, Kartasura yang telah dibebaskan pasukan Madura -bekerja sama dengan Belanda - dari pemberontak, diserahkan kembali kepada PB II. Tanggal 21 Desember 1742, Ratu Amangkurat bertangis-tangisan dengan anaknya PB II di Kartasura karena demikian bahagia bahwa Kartasura telah dibebaskan kembali dari para pemberontak.
Demikian riwayat singkat kiprah Ratu Amangkurat, sesosok perempuan yang pernah menjadi raja atas raja sehingga sempat menentukan arah kebijaksanaan dari Kerajaan. Dalam kaitan ini ada banyak hal yang dapat disimpulkan dari kisah Ratu Amangkurat tersebut. Di antaranya adalah :
· Hidup sebagai permaisuri mungkin merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Ratu Amangkurat walaupun periodenya cuma 7 tahun (1719-1726 M). Namun mungkin ada perasaan sedih karena ia dimadu dengan adiknya sendiri.
· Sebagai ibu dari raja yang masih muda, intervensinya di dunia perpolitikan telah menyebabkan timbulnya pusat kekuasaan baru. Bersama Patih Danureja, ia banyak menentukan kebijaksanaan di pemerintahan Mataram.
· Sebagai wanita yang berpolitik di tingkat tinggi, apalagi suaminya AM IV telah mangkat, kemungkinan besar Ratu Amangkurat sangat kesepian. Mungkin itulah yang menyebabkanmya ia lantas berselingkuh. Posisinya sebagai ibu suri telah menyelamatkannya dari hukuman sementara pasangan selingkuhnya dihukum mati.
Sumber : · Christopher Buyers,2002. The Surakarta Dinasty, October 2001-January 2002. Diakses via Internet. · Willem Remmelink, 2001. Perang Cina. Penerbit Jendela, Wates, Jogyakarta. [1] Amangkurat IV – yang tercatat mempunyai 41 anak - adalah anak Pakubuwono I (P Puger). Pakubuwono I adalah saudara Amangkurat II yang dengan dukungan Belanda berhasil menjadi Raja Mataram setelah mengkudeta Sunan Mas / Amangkurat III (1703-1705)
[2] Dikabarkan bahwa Wirasmara bermain cinta dengan PA Mangkunegara, anak Amangkurat IV dari isterinya yang bernama Mas Ayu Sumanarsa/RA Sepu/RA Kulon. Tanggal 15 Januari 1728, Wirasmara dibunuh atas perintah Pakubuwono II.perkawinan: <29> ♀ Mas Ajeng Kuning [Pelegen]
perkawinan: <30> ♀ Mas Ajeng Dewi [?]
perkawinan: <31> ♀ Mas Ajeng Ragil [?]
perkawinan: <32> ♀ Dewi Retno Nawangwulan [?]
gelar: 1749, Diangkat menjadi Bupati Nayaka dengan gelar Raden Tumenggung Aroeng Binang oleh Susuhunan Pakubuwono III
3
231/3 <2> ♂ Raden Mas Ario Macan Darat [Mataram]gelar: Kasunanan Kartosuro
perkawinan:
perkawinan: <36> ♀ Raden Ayu Rogo Asmoro [Cakraningrat III]
perkawinan: <27!> ♀ Raden Ayu Wulan [Pakubuwono I] d. 24 September 1726
perkawinan: <36!> ♀ Raden Ayu Rogo Asmoro [Cakraningrat III]
perkawinan: <37> ♀ Mursalah ? (Gegulu, Hadiwongso) [?]
perkawinan: <38> ♀ Surati [?]
perkawinan: <62!> ♀ Raden Ayu Gelang [Pakubuwono I]
wafat: 4 Juni 1744
perkawinan: <35!> ♂ Pangeran Cakraningrat IV / Panembahan Siding Kaap (Raden Jurit) [Cakraningrat II] d. 1753
wafat: 1738
perkawinan: <39> ♀ Raden Ayu Srie Berie Budjang [?]
perkawinan: <29!> ♀ Kanjeng Ratu Kencana / Ratu Mas (Raden Ayu Sukiya/Subiya) [Pakubuwono I]
perkawinan: <12!> ♀ Ratu Mas Wirasmoro [?] d. 15 Januari 1728, Kertasura
gelar: 15 Agustus 1726 - 1742, Kartasura, Raja Kasunanan Kartasura
perkawinan: <57!> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I]
perceraian: <57!> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I]
perkawinan: <40> ♀ Raden Ajeng Sumila / Raden Ayu Suryowikromo [Amangkurat III] b. 1723
perceraian: <40!> ♀ Raden Ajeng Sumila / Raden Ayu Suryowikromo [Amangkurat III] b. 1723
gelar: 1745 - 11 Desember 1749, Surakarta, Raja Susuhunan Surakarta Ke-I
wafat: 20 Desember 1749, Surakarta
Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Prabasuyasa, putra Amangkurat IV dari permaisuri keturunan Sunan Kudus. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Desember 1711.
Pakubuwana II naik takhta tanggal 15 Agustus 1726 dalam usia 15 tahun. Karena masih sangat muda, beberapa tokoh istana bersaing untuk menguasainya. Para pejabat Kartasura pun terbagi menjadi dua kelompok, yaitu golongan yang bersahabat dengan VOC dipelopori Ratu Amangkurat (ibu suri), dan golongan anti VOC dipelopori Patih Cakrajaya.
Tokoh penting lain adalah Arya Mangkunegara kakak Pakubuwana II {lain ibu} yang dulu terlibat Perang Suksesi Jawa Kedua, namun menyerah dan diampuni ayahnya (Amangkurat IV). Kini ia menjadi tokoh kuat yang dibenci Patih Cakrajaya. Pada tahun 1728 Cakrajaya berhasil menjebaknya seolah ia berselingkuh dengan istri Pakubuwana II. Atas desakan Pakubuwana II, VOC terpaksa membuang Arya Mangkunegara ke Srilangka, kemudian ke Tanjung Harapan.
Pada tahun 1732 terjadi perselisihan antara Pakubuwana II dengan Patih Cakrajaya (yang juga bergelar Danureja). Pakubuwana II meminta VOC membuang patihnya itu tahun 1733. Tentu saja VOC melaksanakan permintaan tersebut dengan senang hati. Sebagai patih baru ialah Natakusuma yang ternyata juga anti VOC.
Hubungan Pakubuwana II dengan VOC pada awalnya memang cukup baik. Pakubuwana II secara rutin mengangsur hutang-hutang biaya perang sejak zaman kakeknya, Pakubuwana I dahulu.
Geger Pacinan Pemberontakan orang-orang Cina yang juga dikenal dengan nama Geger Pacinan pada Oktober 1740 menjadi penyebab runtuhnya Kartasura. Peristiwa ini dipicu oleh pembantaian warga Cina oleh masyarakat Eropa di Batavia atas izin Adriaan Valckenier, gubernur jenderal VOC saat itu.
Warga Cina yang selamat menyingkir ke timur melancarkan aksi penyerbuan terhadap pos-pos VOC yang mereka temui. Pakubuwana II didesak kaum anti VOC supaya mendukung pemberontakan Cina. Maka, pada bulan November 1741 Pakubuwana II pun mengirim 20.000 prajurit membantu kaum pemberontak mengepung kantor VOC di Semarang. Sebelumnya, ia juga menumpas garnisun VOC yang bertugas di Kartasura bulan Juli 1741.
Jatuhnya Kartasura Cakraningrat IV bupati Madura (barat) adalah ipar Pakubuwana II namun membenci pemerintahan Kartasura yang dianggapnya bobrok. Ia menawarkan diri membantu VOC asalkan dibantu lepas dari Kartasura. VOC terpaksa menerima tawaran itu.
Keadaan pun berbalik. Kaum Cina dipukul mundur. Pakubuwana II menyesal telah memusuhi VOC yang kini unggul setelah dibantu Madura. Perdamaian pun dijalin.[[ Kapten Baron von Hohendorff]] tiba di Kartasura bulan Maret 1742 sebagai wakil VOC menandatangani perjanjian damai dengan Pakubuwana II.
Perdamaian ini membuat para pemberontak sakit hati. Mereka mengangkat raja baru, yaitu Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun) dengan gelar Amangkurat V alias Sunan Kuning (karena memimpin kaum kulit kuning). Mayoritas pemberontak kini bukan lagi kaum Cina, melainkan orang-orang Jawa anti VOC, yang semakin banyak bergabung.
Pada bulan Juni 1742 Patih Natakusuma yang anti VOC dibuang Pakubuwana II. Para pemberontak membalas dengan menyerbu Kartasura secara besar-besaran. Pakubuwana II dan von Hohendorff pun melarikan diri ke Ponorogo.
Mendirikan Surakarta Cakraningrat IV berhasil merebut Kartasura bulan Desember 1742 dan mendesak VOC agar Pakubuwana II dibuang saja karena dinilai tidak setia. Namun VOC menolak permintaan itu karena Pakubuwana II masih bisa dimanfaatkan. Cakraningrat IV terpaksa menyerahkan Kartasura karena khawatir VOC batal membantu kemerdekaan Madura.
Pakubuwana II kembali ke Kartasura bulan November 1743. Sebelumnnya, Sunan Kuning telah tertangkap pada bulan Oktober. Perjanjian dengan VOC semakin memberatkan Pakubuwana II. Selain hutang atas biaya perang yang wajib dilunasi, raja juga dilarang mengangkat putra mahkota dan patih tanpa mendapat persetujuan VOC terlebih dahulu.
Karena istana Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala, yang bernama Surakarta. Istana baru ini ditempatinya mulai tahun 1745.
Keadaan Surakarta Belum Aman Posisi Cakraningrat IV makin kuat. Ia banyak merebut daerah-daerah di Jawa Timur dalam penumpasan Geger Pacinan. Daerah-daerah tersebut ingin dimasukkannya ke dalam wilayah Madura, namun ditolak VOC.
Cakraningrat IV akhirnya memberontak pula. VOC secara resmi memerangi bekas sekutunya itu pada Februari 1745. Beberapa bulan kemudian Cakraningrat IV terdesak dan melarikan diri ke Banjarmasin. Namun, sultan negeri itu justru menangkap dan menyerahkannya kepada VOC. Cakraningrat IV pun dibuang ke Tanjung Harapan.
Sisa-sisa pendukung pemberontakan Cina yang masih bertahan adalah Raden Mas Said putra Arya Mangkunegara. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah Sokawati untuk siapa saja yang berhasil merebut daerah itu dari tangan Mas Said.
Pangeran Mangkubumi adik Pakubuwana II memenangkan sayembara itu tahun 1746. Ia dulu juga ikut mendukung pemberontakan Cina, namun kembali ke istana dan diterima Pakubuwana II. Saingan politiknya, yaitu Patih Pringgalaya membujuk raja supaya tidak menyerahkan hadiah sayembara tersebut.
Muncul pula[[ Baron van Imhoff]] gubernur jenderal VOC yang memperkeruh suasana. Ia datang ke Surakarta mendesak Pakubuwana II agar menyewakan daerah pesisir kepada VOC dengan harga 20.000 real tiap tahun. Pangeran Mangkubumi menentang hal itu. Terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Akhir Pemerintahan Pakubuwana II Pangeran Mangkubumi sakit hati dan meninggalkan Surakarta untuk bergabung dengan Mas Said sejak Mei 1746. Meletuslah perang saudara yang oleh para sejarawan disebut Perang Suksesi Jawa Ketiga.
Di tengah panasnya suasana perang, Pakubuwana II jatuh sakit akhir tahun 1749. Baron von Hohendorff, kawan lamanya yang kini menjabat gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, tiba di Surakarta sebagai saksi VOC atas jalannya pergantian raja. Pakubuwana II bahkan menyerahkan kedaulatan kerajaan secara penuh kepada von Hohendorff.
Perjanjian pun ditandatangani tanggal 11 Desember 1749 sebagai titik awal hilangnya kedaulatan Kasunanan Surakarta ke tangan Belanda. Sejak itu, hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram (Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman). Peraturan ini terus berlaku sampai zaman kemerdekaan Indonesia.
Pakubuwana II akhirnya meninggal dunia akibat sakitnya itu tanggal 20 Desember 1749, dan digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana III.
Catatan Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III melawan kaum pemberontak, yaitu:
1.Pangeran Mangkubumi, pamannya, kelak bergelar Hamengkubuwana I.
2.Raden Mas Said, sepupunya, kelak bergelar Mangkunegara I.perkawinan: <63!> ♀ Raden Ajeng Salima ? (Radin Ayu Umpling) [Pakubuwono I]
perceraian: <63!> ♀ Raden Ajeng Salima ? (Radin Ayu Umpling) [Pakubuwono I]
perkawinan: <41> ♀ Bendoro Mas Ayu Asmorowati [Hamengku Buwono]
perkawinan: <28!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Pakuwono I] d. 1777
perkawinan: <42> ♀ BR Tiarso [Mataram]
perkawinan: <43> ♀ Bendoro Mas Ayu Sawerdi [Mataram]
perkawinan: <44> ♀ Bendoro Mas Ayu Mindoko [G.Hb.1.6] [?]
perkawinan: <45> ♀ Bendoro Raden Ayu Jumanten [G.Hb.1.8] [?]
perkawinan: <46> ♀ Bendoro Mas Ayu Wilopo [G.Hb.1.9] [?]
perkawinan: <47> ♀ Bendoro Mas Ayu Ratnawati [G.Hb.1.10] [?]
perkawinan: <48> ♀ Bendoro Mas Ayu Tandawati [G.Hb.1.12] [Blambangan]
perkawinan: <49> ♀ Bendoro Mas Ayu Tisnawati [G.Hb.1.13] [?]
perkawinan: <50> ♀ Bendoro Mas Ayu Turunsih [Brawijaya V]
perkawinan: <51> ♀ Bandara Mas Ayu Ratna Puryawati [G.Hb.1.15] [?]
perkawinan: <52> ♀ Bendoro Radin Ayu Doyo Asmoro [G.Hb.1.16] [?]
perkawinan: <53> ♀ Bendoro Mas Ayu Gandasari [G.Hb.1.17] [?]
perkawinan: <54> ♀ Bendoro Raden Ayu Srenggara [?]
perkawinan: <55> ♀ Bendoro Mas Ayu Karnokowati [G.Hb.1.18] [?]
perkawinan: <56> ♀ Bendoro Mas Ayu Setiowati [G.Hb.1.19] [?]
perkawinan: <57> ♀ Bendoro Mas Ayu Padmosari [G.Hb.1.20] [?]
perkawinan: <58> ♀ Bendoro Mas Ayu Sari [G.Hb.1.21] [?]
perkawinan: <59> ♀ Bendoro Mas Ayu Pakuwati [G.Hb.1.22] [?]
perkawinan: <60> ♀ Bendoro Mas Ayu Citrakusumo [G.Hb.1.23] [?] d. 24 Maret 1792
perkawinan:
perkawinan: <61> ♀ 2. Mas Roro Juwati / Raden Ayu Beruk / KRK Kadipaten / KRK Ageng / KRKTegalraya (Kanjeng Ratu Mas) [Mataram] b. ~ 1734 d. 17 Oktober 1803
perkawinan: <62> ♀ 4. Bendoro Raden Ayu Handayahasmara / Mbak Mas Rara Ketul [Kramaleksana]
perkawinan: <63> ♀ Raden Ayu Wardiningsih [Wardiningsih]
gelar: 29 November 1730 - 13 Februari 1755, Kartasura, Pangeran Mangkubumi
perkawinan: <64> ♀ Bendoro Mas Ayu Cindoko [G.Hb.1.11] [?] , Yogyakarta
gelar: 13 Februari 1755 - 24 Maret 1792, Yogyakarta
wafat: 24 Maret 1792, Imogiri, Yogyakarta
gelar: 10 November 2006, Jakarta, Pahlawan Nasional RI
Silsilah Sri Sultan Hamengku Buwono I
Babad Raja-Raja Jawa (Tumapel) Tunggul Ametung Maesa Wong Ateleng Maesa Cempaka / Ratu Angabhaya / Batara Narasinga Kertarajasa Jayawardana / Raden Wijaya Tri Buwana Tungga Dewi / Bhre Kahuripan II Bhre Pajang I Wikramawardana / Hyang Wisesa / R Cagaksali Kertawijaya / Bhre Tumapel III Rajasawardana / Brawijaya II Lembu Amisani / R. Putro / R. Purwawisesa Bhre Tunjung / Pandanalas / R. Siwoyo Kertabumi / Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo Silsilah Hamengku Buwono I Ki Ageng Anis (Ngenis) Ki Ageng Pemanahan / Mataram R Sutowijoyo / Panembahan Senopati Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo Sunan Prabu Amangkurat Agung Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura Sinuwun Prabu Mangkurat IV - Kartasura Pangeran Hadipati Mangkunagoro - Kartasura Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II Pangeran Hadipati Hadiwijoyo Pangeran Hario Mangkubumi - Hamengku Buwono I Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II K G P Adipati Ario Paku Alam I
Beliau memerintah di Yogyakarta, tahun 1755. Terlahir dengan nama Raden Mas Sujono yang merupakan adik Kanjeng Susuhunan Paku Buwono II di Surakarta. Pada tahun 1746 ia memberontak karena Paku Buwono II mengingkari janji memberikan daerah Sukawati (sekarang Sragen) atas kemenangan Mangkubumi melawan Raden Mas Said. Pemberontakan tersebut berakhir dengan tercapainya Perjanjian Gianti (13 Februari 1755) yang menyatakan bahwa separuh Mataram menjadi milik Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengku Buwono I yang bergelar Senopati Ing Ngalogo Sayidin Panotogomo Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. (http://www.babadbali.com/babad/babadpage.php?id=550988)
Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan sedikit dari peninggalan sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang masih hidup hingga kini, dan masih mempunyai pengaruh luas di kalangan rakyatnya.
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755. Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kerajaan dengan hak mengatur rumah tangga sendiri. Semua itu dinyatakan di dalam kontrak politik. Kontrak politik terakhir Kasultanan tercantum dalam Staatsblad 1941, No. 47.
Berikut ini merupakan Sultan-sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sejak awal didirikan hingga sekarang adalah :
1. Sultan Hamengku Buwono I Sultan Hamengku Buwono I (6 Agustus 1717 – 24 Maret 1792) terlahir dengan nama Raden Mas Sujana yang merupakan adik Susuhunan Mataram II Surakarta. Sultan Hamengkubuwana I dalam sejarah terkenal sebagai Pangeran Mangkubumi pada waktu sebelum naik tahta kerajaan Ngayogyakarta, beliau adalah putra Sunan Prabu dan saudara muda Susuhunan Pakubuwana II. Karena berselisih dengan Pakubuwana II, masalah suksesi, ia mulai menentang Pakubuwana II (1747) yang mendapat dukungan Vereenigde Oost Indische Compagnie atau lebih terkenal sebagai Kompeni Belanda (perang Perebutan Mahkota III di Mataram).
Dalam pertempurannya melawan kakaknya, Pangeran Mangkubumi dengan bantuan panglimanya Raden Mas Said, terbukti sebagai ahli siasat perang yang ulung, seperti ternyata dalam pertempuran-pertempuran di Grobogan, Demak dan pada puncak kemenangannya dalam pertempuran di tepi Sungai Bagawanta. Disana Panglima Belanda De Clerck bersama pasukannya dihancurkan (1751). peristiwa lain yang penting menyebabkan Pangeran Mangkubumi tidak suka berkompromi dengan Kompeni Belanda.
Pada tahun 1749 Susuhunan Pakubuwana II sebelum mangkat menyerahkan kerajaan Mataram kepada Kompeni Belanda; Putra Mahkota dinobatkan oleh Kompeni Belanda menjadi Susuhunan Pakubuwana III. Kemudian hari Raden Mas Said bercekcok dengan Pangeran Mangkubumi dan akhirnya diberi kekuasaan tanah dan mendapat gelar pangeran Mangkunegara.
Pangeran Mangkubumi tidak mengakui penyerahan Mataram kepada Kompeni Belanda. Setelah pihak Belanda beberapa kali gagal mengajak Pangeran Mangkubumi berunding menghentikan perang dikirimkan seorang Arab dari Batavia yang mengaku ulama yang datang dari Tanah Suci. Berkat pembujuk ini akhirnya diadakan perjanjian di Giyanti (sebelah timur kota Surakarta) antara Pangeran Mangkubumi dan Kompeni Belanda serta Susuhunan Pakubuwana III (1755).
Menurut Perjanjian Giyanti itu kerajaan Mataram dipecah menjadi dua, ialah kerajaan Surakarta yang tetap dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwana III dan kerajaan Ngayogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi diakui sebagai Sultan Hamengkubuwana I yang bergelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah dengan karatonnya di Yogyakarta. Atas kehendak Sultan Hamengkubuwana I kota Ngayogyakarta (Jogja menurut ucapan sekarang) dijadikan ibukota kerajaan. Kecuali mendirikan istana baru, Hamengkubuwana I yang berdarah seni mendirikan bangunan tempat bercengrama Taman Sari yang terletak di sebelah barat istananya.
Kisah pembagian kerajaan Mataram II ini dan peperangan antara pangeran-pangerannya merebut kekuasaan digubah oleh Yasadipura menjadi karya sastra yang disebut Babad Giyanti. Sultan Hamengkubuwana I dikenal oleh rakyatnya sebagai panglima, negarawan dan pemimpin rakyat yang cakap. Beliau meninggal pada tahun 1792 Masehi dalam usia tinggi dan dimakamkan Astana Kasuwargan di Imogiri. Putra Mahkota menggantikannya dengan gelar Sultan Hamengkubuwono II. Hamengkubuwana I dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia pada peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2006. (http://www.beritaunik.net/unik-aneh/silsilah-lengkap-raja-raja-ngayogyakarta-hadiningrat.html)
Sri Sultan Hamengkubuwana I (lahir di Kartasura, 6 Agustus 1717 – meninggal di Yogyakarta, 24 Maret 1792 pada umur 74 tahun) merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Yogyakarta yang memerintah tahun 1755 - 1792
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati pada tanggal 6 Agustus 1717.
Pada tahun 1740 terjadi pemberontakan orang-orang Cina di Batavia yang menyebar sampai ke seluruh Jawa. Pada mulanya, Pakubuwana II (kakak Mangkubumi) mendukung pemberontakan tersebut. Namun, ketika menyaksikan pihak VOC unggul, Pakubuwana II pun berubah pikiran.
Pada tahun 1742 istana Kartasura diserbu kaum pemberontak . Pakubuwana II terpaksa membangun istana baru di Surakarta, sedangkan pemberontakan tersebut akhirnya dapat ditumpas oleh VOC dan Cakraningrat IV dari Madura.
Sisa-sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said (keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi) berhasil merebut tanah Sukowati. Pakubuwana II mengumumkan sayembara berhadiah tanah seluas 3.000 cacah untuk siapa saja yang berhasil merebut kembali Sukowati. Mangkubumi dengan berhasil mengusir Mas Said pada tahun 1746, namun ia dihalang-halangi Patih Pringgalaya yang menghasut raja supaya membatalkan perjanjian sayembara.
Datang pula Baron van Imhoff gubernur jenderal VOC yang makin memperkeruh suasana. Ia mendesak Pakubuwana II supaya menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton terhadap Belanda. Hal ini ditentang Mangkubumi. Akibatnya, terjadilah pertengkaran di mana Baron van Imhoff menghina Mangkubumi di depan umum.
Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada bulan Mei 1746 dan menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.Sebagai ikatan gabungan Mangkubumi mengawinkan Mas Said dengan puterinya yaitu Rara Inten atau Gusti Ratu Bendoro.
Geneologis Hamengku Buwana I
Hamengku Buwana I secara geneologis adalah keturunan Brawijaya V baik dari ayahandanya Amangkurat IV maupun dari ibundanya Mas Ayu Tejawati. Dari garis ayahandanya silsilah keatas yang menyambung sampai Brawijaya V secara umum sudah pada diketahui namun dari pihak ibundanya masih sedikit yang mengungkapkannya. Dari Brawijaya V seorang dari puteranya bernama Jaka Dhalak yang kemudian menurunkan Wasisrowo atau Pangeran Panggung. Pangeran Panggung selanjutnya berputera Pangeran Alas yang memiliki anak bernama Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan mengabdikan diri di pajang pada Sultan Hadiwijaya dan beliau berputera Kyai Cibkakak di Kepundung jawa Tengah.Selanjutnya Ktai Cibkakak ini menurunkan putra bernama Kyai Resoyuda. dari Resoyuda ini menurunkan putra bernama Ngabehi Hondoroko yang selanjutnya punya anak putri bernama Mas Ayu Tejawati, ibunda Hamengku Buwana I. [sunting] Perang Tahta Jawa Ketiga
Perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 orang prajurit.
Pertempuran demi pertempuran dimenangkan oleh Mangkubumi, misalnya pertempuran di Demak dan Grobogan. Pada akhir tahun 1749, Pakubuwana II sakit parah dan merasa kematiannya sudah dekat. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta tanggal 11 Desember.
Sementara itu Mangkubumi telah mengangkat diri sebagai raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II sebagai Pakubuwana III tanggal 15. Dengan demikian terdapat dua orang Pakubuwana III. Yang satu disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut Susuhunan Kebanaran, karena bermarkas di desa Kebanaran di daerah Mataram.
Perang kembali berlanjut. Pertempuran besar terjadi di tepi Sungai Bogowonto tahun 1751 di mana Mangkubumi menghancurkan pasukan VOC yang dipimpin Kapten de Clerck. Orang Jawa menyebutnya Kapten Klerek. [sunting] Berbagi Wilayah Kekuasaan
Pada tahun 1752 Mangkubumi dengan Raden Mas Said terjadi perselisihan.Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi Tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.Dalam jajak pendapat dan pemungutan suara dukungan kepada Raden Mas Said oleh kalangan elite Jawa dan tokoh tokoh Mataram mencapai suara yang bulat mengalahkan dukungan dan pilihan kepada Mangkubumi.Dalam dukungan elite Jawa menemui fakta kalah dengan Raden Mas Said maka Mangkubumi menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengalahkan Raden Mas Said tetapi Mangkubumi menemui kegagalan.Raden Mas Said kuat dalam dukungan-pilihan oleh elite Jawa dan juga kuat dalam kekuatan bersenjata.Mangkubumi bahkan menerima kekalahan yang sangat telak dari menantunya yaitu Raden Mas Said.Akibat kekalahan yang telak Mangkubumi kemudian menemui VOC menawarkan untuk bergabung dan bertiga dengan Paku Buwono III sepakat menghadapi Raden Mas Said.
Tawaran Mangkubumi untuk bergabung mengalahkan Raden Mas Said akhirnya diterima VOC tahun 1754. Pihak VOC diwakili Nicolaas Hartingh, yang menjabat gubernur wilayah pesisir utara Jawa. Sebagai perantara adalah Syaikh Ibrahim, seorang Turki. Perudingan-perundingan dengan Mangkubumi mencapai kesepakatan, Mangkubumi bertemu Hartingh secara langsung pada bulan September 1754.
Perundingan dengan Hartingh mencapai kesepakatan. Mangkubumi mendapatkan setengah wilayah kerajaan Pakubuwana III, sedangkan ia merelakan daerah pesisir disewa VOC seharga 20.000 real dengan kesepakatan 20.000 real dibagi dua;10.000 real untuk dirinya Mangkubumi dan 10.000 real untuk Pakubuwono III.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan naskah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I. Wilayah kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III dibelah menjadi dua. Hamengkubuwana I mendapat setengah bagian.Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwono III dan VOC menjadi persekutuan untuk melenyapkan pemberontak kelompok Raden Mas Said.
Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Paku Buwono III adalah permulaan menuju kesepakatan pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Dari persekutuan ini dapat dipertanyakan; Mengapa Mangkubumi bersedia membagi Kerajaan Mataram sedangkan persellisihan dengan menantunya Raden Mas Said berpangkal pada supremasi kedaulatan Mataram yang tunggal dan tidak terbagi? Dari pihak VOC langsung dapat dibaca bahwa dengan pembagian Mataram menjadikan VOC keberadaannya di wilayah Mataram tetap dapat dipertahankan. VOC mendapat keuntungan dengan pembagian Mataram. [sunting] Mendirikan Yogyakarta
Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.Mangkubumi sekarang sudah memiliki kekuasaan dan menjadi Raja maka tinggal kerajaan tempat untuk memerintah belum dimilikinya.Untuk mendirikan Keraton/Istana Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya . Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Oleh karena itu, ibu kota baru dari Kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat, atau disingkat Yogyakarta.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta. [sunting] Usaha Menaklukkan Surakarta
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin mengembalikan kerajaan warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali. Surakarta memang dipimpin Pakubuwana III yang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunegoro I yang juga tidak senang dengan Kerajaan yang terpecah, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Paku Buwono IV sebagai penguasa memiliki kesamaan dengan Hamengku Buwono I.Paku Buwono IV juga ingin mengembalikan keutuhan Mataram.Dalam langkah politiknya Paku Buwono IV mengabaikan Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengku Buwono I.Setelah pengangkatan saudaranya menjadi Pangeran, Paku Buwono IV juga tidak mengakui hak waris tahta putra Mahkota di Yogyakarta. Pihak VOC resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras kembali.
Paku Buwono IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama "Mangkubumi" untuk saudaranya.Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kasultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung Jawab Kerajaan.
Sikap konfrontatif Paku Buwono IV ini beriring dengan munculnya penasehat penasehat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (alias Mas Said) kembali bekerja sama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Paku Buwono IV memiliki penasehat penasehat Spiritual yang membuat khawatir VOC. Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasehat penasehat spiritualnya dibubarkan oleh VOC.Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasehat spiritual dengan golongan Ningrat yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Paku Buwono III raja Surakarta dengan tujuan untuk bersatunya kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan waris dari Paku Buwono III lahir untuk menggantikan ayahnya. [sunting] Sebagai Pahlawan Nasional
Hamengkubuwana I meninggal dunia tanggal 24 Maret 1792. Kedudukannya sebagai raja Yogyakarta digantikan putranya yang bergelar Hamengkubuwana II.
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Hamengkubuwana I tidak hanya seorang raja bijaksana yang ahli dalam strategi berperang, namun juga seorang pecinta keindahan. Karya arsitektur pada jamannya yang monumental adalah Taman Sari Keraton Yogyakarta.Taman Sari di rancang oleh orang berkebangsaan Portugis yang terdampar di laut selatan dan menjadi ahli bangunan Kasultanan dengan nama Jawa Demang Tegis.
Meskipun permusuhannya dengan Belanda berakhir damai namun bukan berarti ia berhenti membenci bangsa asing tersebut. Hamengkubuwana I pernah mencoba memperlambat keinginan Belanda untuk mendirikan sebuah benteng di lingkungan keraton Yogyakarta. Ia juga berusaha keras menghalangi pihak VOC untuk ikut campur dalam urusan pemerintahannya. Pihak Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan pemberontakan Pangeran Mangkubumi adalah perang terberat yang pernah dihadapi VOC di Jawa (sejak 1619 - 1799).
Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Sultan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta.perkawinan: <57!> ♀ Raden Ayu Tembelek [Pakubuwono I]
wafat: 30 November 1736
perkawinan: <65> ♀ Raden Ayu Buminoto [Amangkurat III] , Kertasura
wafat: 24 September 1726
wafat: 1777
gelar: 1784 - 1797, Bupati Madiun Ke 15 di : Wonosari
wafat: 27 Juli 1787, Yogyakarta
perceraian: <20!> ♂ 8. Kanjeng Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Gusti Prabu Suyasa [Pakubuwono II] b. 8 Desember 1711 d. 20 Desember 1749
perkawinan: <40!> ♂ 14. Gusti Pangeran Hario Buminoto / Raden Mas Saidun (Raden Mas Karaton) [Amangkurat IV] b. 1719 d. 30 November 1736
perkawinan: <68> ♂ Gusti Pangeran Haryo Teposono (Gusti Pangeran Mangkudiningrat) [Amangkurat III] d. 10 Juli 1741, Kertasura
perceraian: <34!> ♂ 6. Gusti Pangeran Haryo Diponegoro I / Gusti Pangeran Haryo Adinegoro (Raden Mas Utara) [Amangkurat IV] b. 1715
perkawinan: <69> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Notowijoyo /Adipati Notokusumo II [Notokusumo]
4
851/4 <23> ♂ Raden Mas Mangun Asmoro [Mataram]gelar: Kliwon di Kasunanan Surakarta
wafat: 1819
perkawinan: <71> ♀ Raden Ayu Kusuma Patahati [Nuriman]
perkawinan: <72> ♀ Ratu Alit [Pakubuwono III]
perkawinan: <122!> ♀ 2. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] d. 30 Desember 1801
gelar: 1757, Surakarta, Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto
perceraian: <122!> ♀ 2. Gusti Kanjeng Ratu Bendoro / Gusti Raden Ayu Inten [Hamengku Buwono] d. 30 Desember 1801
wafat: 28 Desember 1795, Surakarta
gelar: 1983, Jakarta, Pahlawan Nasional Indonesia
Julukan Pangeran Sambernyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, gubernur VOC, karena di dalam peperangan RM. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
Ia menikah dengan seorang wanita petani bernama Rubiyah, yang terkenal dengan julukannya "Matah Ati"
Daftar isi |
Riwayat
Perjuangan RM Said dimulai bersamaan dengan pemberontakan laskar Tionghoa di Kartosuro pada 30 Juni 1742 yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi (juga disebut "Sunan Kuning"), mengakibatkan tembok benteng kraton Kartasura setinggi 4 meter roboh. Pakubuwono II, Raja Mataram ketika itu melarikan diri ke Ponorogo. ketika itu RM Said berumur 19 tahun. Dia bergabung bersama-sama untuk menuntut keadilan dan kebenaran atas harkat dan martabat orang orang Tionghoa dan rakyat Mataram, yang ketika itu tertindas oleh Kumpeni Belanda (VOC) dan Rajanya sendiri Pakubuwono II.Geger pecinan ini berawal dari pemberontakan orang-orang Cina terhadap VOC di Batavia. Kemudian mereka menggempur Kartasura,yang dianggap sebagai kerajaan boneka dari Belanda. Sejak Pasukan Cina mengepung kartasura pada awal 1741, para bangsawan mulai meninggalkan Kraton Kartasura. RM Said membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta, Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning melawan VOC. Said diangkat sebagai panglima perang bergelar Pangeran Perang Wedana Pamot Besur. Ia menikah dengan Raden Ayu Kusuma Patahati. Adapun Pangeran Mangkubumi justru lari ke Semarang, menemui penguasa Belanda dan meminta dirinya dirajakan. VOC menolak permintaan itu. Ia kemudian bergabung dengan Puger di Sukowati. Berkat bantuan Belanda, pasukan Cina diusir dari Istana Kartasura, enam bulan kemudian, Paku Buwono II kembali ke Kartasura mendapatkan istananya rusak. Ia memindahkan Istana Mataram ke Solo (Surakarta). Kebijakan raja meminta bantuan asing itu, ternyata harus dibayar mahal. Wilayah pantai utara mulai Rembang, Jawa Tengah, hingga Pasuruan, Surabaya dan Madura di Jawa Timur harus diserahkan kepada VOC. Setiap pengangkatan pejabat tinggi Keraton wajib mendapat persetujuan dari VOC. Posisi raja tak lebih dari Leenman, atau “Peminjam kekuasaan Belanda”. Pangeran Mangkubumi, akhirnya kembali ke Keraton.
Pangeran Mangkubumi lalu bergabung dengan Mangkunegoro, yang bergerilya melawan Belanda di pedalaman Yogyakarta, Mangkunegara dalam usia 22 tahun, dinikahkan untuk kedua kalinya dengan Raden Ayu Inten, Puteri Mangkubumi. Sejak saat itulah RM Said memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara Senopati Panoto Baris Lelono Adikareng Noto. Nama Mangkunegara diambil dari nama ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, yang dibuang Belanda ke Sri Langka. Ketika RM Said masih berusia dua tahun, Arya Mangkunegara ditangkap karena melawan kekuasaan Amangkurat IV (Paku Buwono I) yang dilindungi VOC dan akibat fitnah keji dari Patih danureja. Mungkin karena itulah, Said berjuang mati-matian melawan Belanda. Melawan Mataram dan Belanda secara bergerilya, Mangkunegara harus berpindah-pindah tempat. Ketika berada di pedalaman Yogyakarta ia mendengar kabar bahwa Paku Buwono II wafat. Ia menemui Mangkubumi, dan meminta mertuanya itu bersedia diangkat menjadi raja Mataram. Mangkubumi naik tahta di Mataram Yogyakarta dengan gelar Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ngaloka Abdurrahman Sayidin Panotogomo. Penobatan ini terjadi pada “tahun Alip” 1675 (Jawa) atau 1749 Masehi. Mangkunegoro diangkat sebagai Patih –perdana menteri– sekaligus panglima perang dan istrinya, Raden Ayu Inten, diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Bandoro. Dalam upacara penobatan itu, Mangkunegara berdiri di samping Mangkubumi. Dengan suara lantang ia berseru, “Wahai kalian para Bupati dan Prajurit, sekarang aku hendak mengangkat Ayah Pangeran Mangkubumi menjadi raja Yogya Mataram. Siapa dia antara kalian menentang, akulah yang akan menghadapi di medan perang” meski demikian, pemerintahan Mataram Yogyakarta berpusat di Kotagede itu tidak diakui Belanda. Setelah selama sembilan tahun berjuang bersama melawan kekuasaan Mataram dan VOC, Mangkubumi dan Mangkunegara berselisih paham, pangkal konflik bermula dari wakatnya Paku Buwono II. Raja menyerahkan tahta Mataram kepada Belanda. Pangeran Adipati Anom, putera Mahkota Paku Buwono II, dinobatkan sebagai raja Mataram oleh Belanda, dengan gelar Paku buwuno III, pada akhir 1749.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755, sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III & Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi,Pamannya sekaligus mertua Beliau yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC), serta pasukan Kumpeni (VOC), pada tahun 1752-1757. Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Mangkoenagoro melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibèh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabèh; mukti siji, mukti kabèh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dengan motto ini, rasa kebersamaan pasukannya terjaga.
Tiga pertempuran dahsyat terjadi pada periode 1752-1757.Ia dikenal sebagai panglima perang yang berhasil membina pasukan yang militan. Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegoro dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya. Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman.
Yang pertama, pasukan Said bertempur melawan pasukan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) di desa Kasatriyan, barat daya kota Ponorogo, Jawa Timur. Perang itu terjadi pada hari Jumat Kliwon, tanggal 16 Syawal “tahun Je” 1678 (Jawa) atau 1752 Masehi. Desa Kasatriyan merupakan benteng pertahanan Said setelah berhasil menguasai daerah Madiun, Magetan, dan Ponorogo.
Yang kedua, Mangkoenagoro bertempur melawan dua detasemen VOC dengan komandan Kapten Van der Pol dan Kapten Beiman di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan Sitakepyak Sultan mengirim pasukan dalam jumlah besar untuk menghancurkan pertahanan Mangkunegoro. Besarnya pasukan Sultan itu dilukiskan Mangkunegoro “bagaikan semut yang berjalan beriringan tiada putus”. Kendati jumlah pasukan Mangkunegoro itu kecil, ia dapat memukul mundur musuhnya. Ia mengklaim cuma kehilangan 3 prajurit tewas dan 29 menderita luka. Di pihak lawan sekitar 600 prajurit tewas. Perang besar yang kedua pecah di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang, yang berbatasan dengan Blora, Jawa Tengah (Senin Pahing, 17 Sura, tahun Wawu 1681 J / 1756 M).Pada pertempuran ini, Mangkunegoro berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan kirinya dan diserahkan kepada salah satu istrinya sebagai hadiah perkawinan.
Yang ketiga, penyerbuan benteng Vredeburg Belanda dan keraton Yogya-Mataram (Kamis 3 Sapar, tahun Jumakir 1682 J / 1757 M).Peristiwa itu dipicu oleh kekalutan tentara VOC yang mengejar Mangkunegara sambil membakar dan menjarah harta benda penduduk desa. Mangkunegoro murka. Ia balik menyerang pasukan VOC dan Mataram. Setelah memancung kepala Patih Mataram, Joyosudirgo, secara diam-diam Mangkunegara membawa pasukan mendekat ke Keraton Yogyakarta. Benteng VOC, yang letaknya cuma beberapa puluh meter dari Keraton Yogyakarta, diserang. Lima tentara VOC tewas, ratusan lainnya melarikan diri ke Keraton Yogyakarta. Selanjutnya pasukan Mangkunegoro menyerang Keraton Yogyakarta. Pertempuran ini berlangsung sehari penuh Mangkunegoro baru menarik mundur pasukannya menjelang malam. Serbuan Mangkunegoro ke Keraton Yogyakarta mengundang amarah Sultan Hamengku Buwono I. Ia menawarkan hadiah 500 real, serta kedudukan sebagai bupati kepada siapa saja yang dapat menangkap Mangkunegara. Sultan gagal menangkap Mangkunegoro yang masih keponakan dan juga menantunya itu. VOC, yang tidak berhasil membujuk Mangkunegoro ke meja perundingan, menjanjikan hadiah 1.000 real bagi semua yang dapat membunuh Mangkunegoro.
Perjanjian Salatiga
Tak seorang pun yang berhasil menjamah Mangkunegara. Melihat kenyataan tersebut, Nicholas Hartingh, pemimpin VOC di Semarang, mendesak Sunan Paku Buwono III meminta Mangkunegara ke meja perdamaian. Sunan mengirim utusan menemui Mangkunegoro, yang juga saudara sepupunya. Mangkunegara menyatakan bersedia berunding dengan Sunan, dengan syarat tanpa melibatkan VOC. Singkatnya, Mangkunegara menemui Sunan di Keraton Surakarta dengan dikawal 120 prajuritnya. Sunan memberikan dana bantuan logistik sebesar 500 real untuk prajurit Mangkunegara.Akhirnya, terjadilah perdamaian dengan Sunan Pakubuwana III yang diformalkan dalam Perjanjian Salatiga, 17 Maret 1757. Pertemuan berlangsung di Desa Jemblung, Wonogiri. Sunan memohon kepadanya agar mau membimbingnya. Sunan menjemput Mangkunegara di Desa Tunggon, sebelah timur Bengawan Solo. Untuk menetapkan wilayah kekuasaan Said, dalam perjanjian yang hanya melibatkan Sunan Paku Buwono III, dan saksi utusan Sultan Hamengku Buwono I dan VOC ini, disepakati bahwa Said diangkat sebagai Adipati Miji alias mandiri. Walaupun hanya sebagai adipati, kedudukan hukum mengenai Mangkunegara I (nama kebesarannya), tidaklah sama dengan Sunan yang disebut sebagai Leenman sebagai penggaduh, peminjam kekuasaan dari Kumpeni, melainkan secara sadar sejak dini ia menyadari sebagai "raja kecil", bahkan tingkah lakunyapun menyiratkan bahwa "dia adalah raja di Jawa Tengah yang ke-3". demikian kenyataannya Kumpeni pun memperlakukannya sebagai raja ke III di Jawa Tengah, selain Raja I Sunan dan Raja II Sultan.
Ia memerintah di wilayah Kedaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Akhirnya, Mangkunegara mendirikan istana di pinggir Kali Pepe pada tanggal 4 Jimakir 1683 (Jawa), atau 1756 Masehi. Tempat itulah yang hingga sekarang dikenal sebagai Istana Mangkunegaran. Mangkunegara I tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Selama menjalankan pemerintahannya, ia menerapkan prinsip Tridarma.
Pasukan Wanita Laskar Mangkunegara
Sebanyak 144 di antara prajuritnya adalah wanita, terdiri dari satu peleton prajurit bersenjata karabijn (senapan), satu peleton bersenjata penuh, dan satu peleton kavaleri (pasukan berkuda). Mangkunegoro tercatat sebagai raja Jawa yang pertama melibatkan wanita di dalam angkatan perang. Prajurit wanita itu bahkan sudah diikutkan dalam pertempuran, ketika ia memberontak melawan Sunan, Sultan dan VOC. Selama 16 tahun berperang, Mangkunegara mengajari wanita desa mengangkat senjata dan menunggang kuda di medan perang. Ia menugaskan sekretaris wanita mencatat kejadian di peperangan.
Tarian Ciptaan Mangkunegoro
Tarian sakral yang telah diciptakan oleh RM.Said (KGPAA Mangkoenagoro I), yaitu : 1.Bedhaya Mataram-Senapaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan penabuh wanita), sebagai peringatan perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. 2.Bedhaya Mataram-Senapaten Diradameta (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. 3.Bedhaya Mataram-Senapaten Sukapratama (7 penari pria, pesinden, dan penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Vredeburg, Yogyakarta.
Gelar Pahlawan Nasional
Pada 1983, pemerintah mengangkat Mangkunegara I sebagai pahlawan nasional, karena jasa-jasa kepahlawanannya.Mendapat penghargaan Bintang Mahaputra. Mangkunegara I memerintah wilayah Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Pajang sebelah utara dan Kedu. Ia bertahta selama 40 tahun, dan wafat pada 28 Desember 1795
Putra Mahkota
Tradisi Mataram dengan Putra Mahkota bergelar "Mangkunegara" dimulai oleh putra sulung Paku Buwono I yaitu RM.suro kemudian menjadi RM. |Suryokusumo dan sebagai putra mahkota menjadi Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara 'Kartasura".
Ketika putra mahkota sudah menjadi raja Mataram, nama dan gelar seperti RM.Suro, RM. Suryokusumo dan Mangkunegara dikenakan pada putra sulungnya juga sehingga Pangeran Mangkunegara yang dibuang ke Ceylon ini adalah putra mahkota kerajaan Mataram.
Ketika penggeseran kedudukan putra mahkota dilakukan oleh kelompok RM.suryadi (kelak menjadi Paku Buwono II), kedudukan Pangeran Mangkunegara tidak dilepas tetapi kata "arya" diganti menjadi "Anom" yang artinya muda.Penggantian ini sekaligus menggeser kedudukan putra mahkota yang harus bersyarat "Arya" yaitu keprajuritan menjadi non keprajuritan alias awam soal kemiliteran. Mangkunegara pun diubah menjadi Hamengkunegara.
Penggeseran kedudukan putra mahkota tidak menghilangkan jabatan di kerajaan karena di Mataram Pangeran Mangkunegara tetap menjabat sebagai penasehat kerajaan. Keberadaan Mangkunegara sebagai penasehat ini pun oleh kelompok lawan lawan poltiknya masih diupayakan untuk menjegal dan lebih jauh melenyapkan karena sebagai waris sah yang tergeser bisa diprediksikan diwaktu waktu mendatang bakal menjadi bom waktu yang siap meledak.
Keberhasilan lawan lawan Mangkunegara dalam menyingkirkan putra mahkota sah ini selanjutnya akan dibayar mahal oleh Mataram yang begitu saja rela menyerahkan tampuk pemerintahan pada raja yang lemah dan peragu. Hohendorf sendiri sebagai kepala garbnisun di Surakarta pernah menyampaikan kepada Sunan (PB II) bahwa Mataram selama dalam pemerintahannya tidak pernah stabil dan terus digoyang oleh ketidak stabilan kerajaan.
Pada satu sisi pernyataan kepala garnisun belanda itu juga kontroversial berhubung dia sendiri sebagai seorang militer Belanda melihat sesuatu yang stabil adalah kejelekan yang tidak menguntungkan kantong pribadinya.
Dari peristiwa penggeseran putra mahkota Mataram ini, sekilas sudah dapat dicatat adanya satu kelompok yang akan bertahan sampai pada batas limit perjuangan.
Target Mataram yang utuh dan tidak terbagi gagal dipertahankan tetapi Mataram yang muda dan utuh berhasil diperjuangkan karena kemudian menjelma menjadi Mangkunegaran (mengikuti nama putra mahkota Mataram; Mangkunegara). Mataram yang muda berada berada ditangan raja sedang mataram yang muda berada ditangan putra mahkota.
Mataram yang yang tua akhirnya menerima nasib dibagi menjadi dua yang sama saja menamatkan keberadaannya sedang mataram yang muda bertahan dan menjelma menjadi Mangkunegaran.
Dalam percaturan politik Jawa mau tidak mau dua keraton lain dan belanda harus menerima Mangkunegaran sebagai neraca keseimbangan poltik. Meski posisi diatas kertas kedudukan Mangkunegaran di posisikan sebagai yang dibawah kerajaan karena status kadipaten (sesuai wilayah putra mahkota kerajaan) akan tetapi defacto politik tidak hanya show dan pamer kemegahan semata.Politik dan kekuasaan adalah perwahyuan yang harus dijaga sekaligus kecerdasan dan skill dalam permainan. Barang siapa tidak mampu dalam permainan itu sejarah tetap akan mencatat prestasi masing masing kerajaan.gelar: Dan setrusnya menjadi PANCER dari keturunannya ( Trah Kyai Adipati Nitidiningrat - Pasuruan )
perkawinan: <74> ♀ Garwo Padmi [ Putri Dari Tjakraadiningrat V, Nama Tidak Tercatat ] [Tjokrodiningrat - Sampang Madura]
gelar: 27 Juli 1751 - 8 November 1799, Pasuruan, Bupati Pasuruan I bergelar Kyai Adipati Nitiadiningrat I
Radenajoe Berie waktoe dieparingken kapada Patih Wongsonegoro soedah berhamil, darie itoe Kangdjeng Soesoehoenan Pakoeboewono ada pesen pada oetoesan Pangeran doewa jaitoe darie pada hamilan Raden ajoe itoe kaloe meiahirken lakie-lakie soepaia itoelah jang bakal menggantie kedoedoekan djadie Boepatie die Pasoeroewan. Kijaie Toemenggoeng Nitienegoro ini meningga! taoen 1751 die koeboer ada die Pekuentjen kotta Pasoeroewan. Dan Radenajoe Berie ada toeroenan darie Wali; Soesoehoenan Ampel Soerabaia die mana telah die periksa die Sedjarah Ampel toeroet oeroesan kedapet jang Raden ajoe Berie ada toeroenan ka ,,toedjoe kalie" darie Soesoehoenan Ampcl tadie. Djoega Radenajoe Berie meninggal dan die koeboer die Pekoentjen tapie ada terpiesah tempatnja darie pada Toemenggoeng Nitienegoro' tadie.
Fafzal III.
Kedjadian die dalem; taoen 1740 koetika Patih Wongsonegoro mangkat djadie Boepatie Pasoeroewan hamilan Radenajoe Serie itoe doeloe melahirken ,,poetra lakie" jaitoe ada die pasanggrahan desa Groedo district Kraton Pasoeroewan memang sengadja Radenajoe die bertempatken die sana sebab choewatir-nja Toemenggoeng Nitienegoro barangkalie anak toeroenannja Toemenggoeng Nitienegoro sendirie jang darie lain Iboe ada kaniatan djahat kapada Radenajoe dan anaknja tapie slamet tiadalah halangan apa-apa dan troes poetra lakie itoe die brieken nama Raden Groedo" serta soedah besar pakei gelaran Raden Bagoes Ingaebei Soemodrono jaitoe dia menggantie kadoedoekan djadie Boepatie die Pasoeroewan menoeroet resolutie 27 Juli 1751 koetika Gouverneur Ed. van Hohendorff bergelar Toemenggoeng Nitienegoro mendjadie itoe waktoe dia misi ocmoer 11 lahoen lantas die blakang gantie nama dan gelaran Kijaie Adipatie Nitiadinginrat serta tinggal beroemah die roemah kaboepaten die Pasoeroewan jang sekarang inie.perkawinan: <75> ♀ Kanjeng Ratu Kencana [Wiroredjo]
perkawinan: <76> ♀ Mbok Ajeng Wiled [Wiled]
gelar: 15 Desember 1749 - 26 September 1788, Kartasura, Susuhunan Surakarta Ke-II bergelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono III DIPUTUS: 26145; 26151; 26153; 322833; 469952
wafat: 26 September 1788, Surakarta
Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Suryadi, putra Pakubuwana II yang lahir dari permaisuri putri Pangeran Purbaya Lamongan (putra Pakubuwana I). Pakubuwana III naik takhta Surakarta tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya yang sakit keras (meninggal tanggal 20). Ia dilantik sebagai raja oleh Baron von Hohendorff gubernur pesisir Jawa bagian timur laut, yang mewakili VOC.
Pakubuwana III melanjutkan Perang Suksesi Jawa III menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. Pemberontakan Mangkubumi ini telah meletus sejak tahun 1746. Pihak pemberontak sendiri telah mengangkat Mangkubumi sebagai raja dan Mas Said sebagai patih tanggal 12 Desember 1749 di markas besar mereka, yaitu bekas daerah lama Mataram.
Yogyakarta Mendapatkan Kedaulatan Pasukan pemberontak semakin kuat. Para pejabat Surakarta yang bergabung dengan mereka pun semakin banyak. Berkali-kali mereka menyerang istana namun tidak mampu mengusir Pakubuwana III yang dilindungi VOC.
Pada tahun 1752 terjadi perpecahan antara Mangkubumi dan Mas Said. Pihak VOC segera menawarkan perdamaian dengan Mangkubumi sejak 1754. Perundingan-perundingan berakhir dengan kesepakatan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755. Perjanjian tersebut berisi pengakuan kedaulatan Mangkubumi sebagai raja Mataram yang menguasai setengah wilayah kekuasaan Pakubuwana III. Mangkubumi pun bergelar Hamengkubuwana I yang membangun istana baru bernama Yogyakarta tahun 1756 sebagai pusat kerajaan Mataram.
Pada perkembangan selanjutnya, Kesultanan Mataram yang dipimpin Hamengkubuwana I lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta, sedangkan kerajaan yang dipimpin Pakubuwana III (yang wilayahnya tinggal setengah) terkenal dengan nama Kasunanan Surakarta.
Akhir Pemberontakan Mas Said Sesuai isi Perjanjian Giyanti, Mas Said pun menjadi musuh bersama VOC, Pakubuwana III, dan Hamengkubuwana I. Mas Said yang mulai terdesak akhirnya bersedia berunding dengan VOC sejak 1756.
Puncaknya, pada bulan Maret 1757 Mas Said menyatakan kesetiaan terhadap VOC, Surakarta, dan Yogyakarta melalui Perjanjian Salatiga. Sejak itu, Mas Said bergelar Mangkunegara I. Daerah kekuasaannya bernama Mangkunegaran, yaitu sebidang tanah pemberian Pakubuwana III yang berada di dalam wilayah Surakarta. Sisa-sisa Pemberontak Setelah tahun 1757 suasana Pulau Jawa masih panas karena masih ada pemberontakan namun sifatnya relatif kecil. Pemberontakan ini dipimpin oleh Pangeran Singosari, paman Pakubuwana III dan berpusat di Jawa Timur.
Pangeran Singosari dahulu juga ikut bergabung dalam kelompok Mangkubumi dan Mas Said. Kini ia tetap melanjutkan pemberontakan dengan dukungan keturunan Untung Suropati di daerah Malang. Tawaran damai yang diajukan Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I ditolaknya.
Pasukan VOC menyerang Jawa Timur tahun 1767. Pangeran Singosari tertangkap tahun 1768. Pengadilan menjatuhinya hukuman buang namun ia lebih dulu meninggal dalam tahanan Surabaya. Sementara itu, keturunan terakhir Untung Suropati berhasil ditangkap tahun 1771.
Akhir Pemerintahan Pakubuwana III merupakan raja yang sangat tunduk kepada VOC. Setiap keputusan VOC selalu diterimanya dengan patuh karena perasaan ketergantungannya terhadap bangsa Belanda itu.
Kelemahan politik Pakubuwana III menyebabkan keadaan istana tegang. Muncul komplotan-komplotan yang berusaha mengendalikan pemerintahannya. Suasana tegang ini berlangsung sampai kematiannya tanggal 26 September 1788.
Pakubuwana III digantikan putranya, yang bergelar Pakubuwana IV, yaitu seorang raja yang jauh lebih cakap dan pemberani dibanding dirinya.perkawinan: <77> ♀ Bendoro Mas Ayu Doyorogo [Ga.Hb.2] [Hamengku Buwono]
perkawinan: <78> ♀ Bendoro Raden Ayu Nilaresmi ? (Bendoro Raden Ayu Wiryakrama) [Kramaleksana]
perkawinan: <79> ♀ Bendoro Mas Ayu Pujaningsih [Ga.Hb.2] [Hamengku Buwono]
perkawinan: <80> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton [Gp.Hb.2] [?] b. 1750 d. Juli 1820
perkawinan: <81> ♀ Bendoro Raden Ayu Herowati [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <82> ♀ Bendoro Mas Ayu Sumarsonowati [?]
perkawinan: <83> ♀ Bendoro Mas Ayu Rantamsari [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <84> ♀ Bendoro Mas Ayu Sukarso [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <85> ♀ Bendoro Mas Ayu Mironosari [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <86> ♀ Bendoro Raden Ayu Kulon [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <87> ♀ Bendoro Mas Ayu Gondowati [Ga.Hb.2] [?]
perkawinan: <88> ♀ Bendoro Mas Ayu Citrosari [Ga.Hb.2] / Bendoro Mas Ayu Citrowati [(Desa Beki - Purworejo)]
perkawinan:
perkawinan: <225!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.2] [?] b. 1760 d. 1826, Yogyakarta
gelar: Maret 1792 - 1799, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II
gelar: 1811 - 19 Juni 1812, Yogyakarta, Sultan Sepuh
gelar: 18 Agustus 1826 - 3 Januari 1828, Yogyakarta, Sultan Sepuh
wafat: 3 Januari 1828, Yogyakarta
Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II mempuyai 80 anak. Hamengkubuwono II (7 Maret 1750 – 2 Januari 1828) atau terkenal pula dengan nama lainnya Sultan Sepuh. Dikenal sebagai penentang kekuasaan Belanda, antara lain menentang gubernur jendral Daendels dan Raffles, sultan menentang aturan protokoler baru ciptaan Daendels mengenai alat kebesaran Residen Belanda, pada saat menghadap sultan misalnya hanya menggunakan payung dan tak perlu membuka topi, perselisihan antara Hamengkubuwana II dengan susuhunan surakarta tentang batas daerah kekuasaan juga mengakibatkan Daendels memaksa Hamengkubuwono II turun takhta pada tahun 1810 dan untuk selanjutnya bertahta secara terputus-putus hingga tahun 1828 yaitu akhir 1811 ketika Inggris menginjakkan kaki di jawa (Indonesia) sampai pertengahan 1812 ketika tentara Inggris menyerbu keraton Yogyakarta dan 1826 untuk meredam perlawanan Diponegoro sampai 1828. Hamengkubuwono III, Hamengkubuwono IV dan Hamengkubuwono V sempat bertahta saat masa hidupnya Sri Sultan Hamengku Buwono II.
Saat menjdi putra mahota beliau mengusulkan untuk dibangun benteng ktraton untuk menahan seragan tentara inggris. Tahun 1812 Raffles menyerbu Yogyakarta dan menangkap Sultan Sepuh yang kemudian diasingkan di Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon. (nug: dari berbagai sumber. Referensi: www.wikipedia.com).
Dari HB II ini, keturunannya sekarang banyak tersebar di kota-kota besar di Jawa, seperti Yogyakarta, sebagai tanah leluhur, Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Malang dan juga sampai di Banyuwangi yang dapat ditelusuri.
A. Pengantar Sultan Hamengku Buwono (HB) II adalah raja di Kesultanan Yogyakarta yang memerintah antara tahun 1792 dan 1828. Ada dua fenomena menarik dari pribadi sultan pada saat berkuasa. Pertama adalah masa pemerintahannya yang ditandai dengan pergolakan politik yang belum pernah terjadi di Jawa pada periode sebelumnya. Pada periode tersebut, Jawa menjadi bagian dari perubahan besar yang berlangsung sebagaikonsekuensi konstelasi politik di Eropa. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan empat kali rezim kolonial dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, yaitu dari VOC, Prancis, Inggris dan Belanda. Perubahan rezim yang juga menimbulkan pergantian kebijakan kolonial ini mengakibatkan terjadinya instabilitas politik dari penguasa kolonial khususnya tindakan pemerintah kolonial terhadap raja-raja pribumi. Kondisi ini meningkatkan eskalasi konflik yang cukup tajam antara penguasa kolonial dan penguasa Jawa. Fenomena kedua adalah pribadi Sultan Hamengku Buwono II yang cukup kontroversial. Sejauh ini berbagai sumber data yang ditinggalkan oleh para penguasa kolonial memuat laporan dan gambaran negatif terhadap raja Jawa ini. Sultan HB II digambarkan sebagai seorang raja yang keras kepala, tidak mengenal kompromi, kejam termasuk terhadap kerabatnya sendiri, dan tidak bisa dipercaya. Informasi yang terkandung di dalam data kolonial tersebut masih mendominasi historiografi baik yang ditulis oleh sejarawan asing maupun sejarawan lokal. Hal ini menimbulkan daya tarik tersendiri sebagai bahan kajian dalam penelitian sejarah khususnya yang menempatkan para tokoh atau penguasa pribumi sebagai fokusnya. Kredibilitas informasi yang dimuat dalam data kolonial tentang Sultan HB II perlu dikritisi terutama lewat studi komparasi dengan sumber-sumber yang diperoleh dari naskah lokal yang sezaman (Jawa). Dari hasil perbandingan tersebut dapat diketahui bagaimana pribadi Sultan HB II yang sebenarnya dan peristiwa penting apa yang terjadi selama masa pemerintahannya. Di samping itu juga bisa diungkapkan karya apa yang diwariskannya dan motivasi apa yang mendasarinya B. Sebelum Menjadi Raja Sultan HB II dilahirkan pada hari Sabtu Legi tanggal 7 Maret 1750 di lereng gunung Sindoro, daerah Kedu Utara. Ketika lahir, Sultan HB II diberi nama Raden Mas (RM) Sundoro. Nama ini diberikan sesuai dengan nama tempat kelahirannya yang berada di lereng gunung Sindoro. RM Sundoro adalah putra Pangeran Mangkubumi, yang kemudian menjadi raja pertama di Kesultanan yogyakarta pada tahun 1755 dengan gelar Sultan Hamengku Buwono I.1 Meskipun berstatus sebagai putra raja, masa kecil RM Sundoro tidak dialaminya dengan penuh fasilitas dan kebahagiaan layaknya seorang pangeran. Pada saat dilahirkan, ayahnya sedang bergerilya untuk melawan VOC dan Kerajaan Mataram, di bawah Sunan Paku Buwono III. Medan perang Mangkubumi yang terbentang dari Kedu di utara sampai pesisir selatan dan dari Banyumas di barat hingga Madiun di timur membuat RM Sundoro hampir tidak pernah bertemu dengan ayahnya. Sejak lahir hingga usia lima tahun, RM Sundoro diasuh oleh ibunya, Kanjeng Ratu Kadipaten,permaisuri kedua Pangeran Mangkubumi. Ketika perjuangan Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tanggal 13 Pebruari 1755, Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua (palihan nagari). Sebagian kerajaan ini tetap dikuasai oleh Sunan Paku Buwono III yang bertahta di Surakarta, dan sebagian lagi diperintah oleh Mangkubumi yang menjadi raja baru. Kerajaan yang baru diberi nama Kesultanan Yogyakarta dan Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja pertama yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I.2 Setelah peristiwa palihan nagari ini, Sultan HB I membangun kompleks kraton baru di Yogyakarta dan membawa seluruh keluarganya ke kraton, termasuk GKR Kadipaten bersama putranya RM Sundoro. Sejak saat itu, RM Sundoro mulai tinggal di kraton dengan status sebagai seorang putra raja. Kecintaan dan kepercayaan Sultan HB I terhadap RM Sundoro mulai tampak sejak mereka tinggal bersama. Ini terbukti dengan keinginan Sultan HB I menunjuk RM Sundoro sebagai putra mahkota pada saat ia dikhitan pada tahun 1758. Sultan HB I mengetahui sifat putranya yang memiliki kekerasan jiwa sebagai akibat dari pengalaman hidupnya di wilayah pengungsian. Pengalaman hidup inilah yang membentuk watak RM Sundoro yang kelak dianggap sebagai pribadi yang keras dan tegas dalam pengambilan keputusan. Meskipun ada beberapa orang calon lain, khususnya dari permaisuri pertama GKR Kencono yang berputra dua orang, Sultan HB I tetap memilih RM Sundoro sebagai putra mahkota. Keyakinan ini semakin kuat ketika dua putra dari GKR Kencono dianggap tidak memenuhi syarat sebagai putra mahkota.3 Setelah Sundoro mulai tumbuh dewasa, Sultan HB I mulai berpikir tentang calon pendamping hidup RM Sundoro khususnya yang akan memperoleh status sebagai permaisuri. Sebagai seorang putra raja, RM Sundoro hendaknya berdampingan dengan seorang wanita yang juga keturunan raja. Untuk itu Sultan HB I berniat menjodohkan putranya dengan putri Sunan PB III. Ketika RM Sundoro berkunjung ke kraton Surakarta, tahun 1763 dan 1765, Sundoro disambut langsung oleh Sunan PB III. Harapan yang ada dari kedua orang raja Jawa itu adalah bahwa dengan ikatan perkawinan ini, ketegangan politik yang selama ini terjadi antara Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta akan berkurang. Akan tetapi, usaha tersebut gagal akibat adanya campur tangan Pangeran Adipati Mangkunegoro I yang juga menginginkan putri yang sama. Akibatnya RM Sundoro tidak berhasil mempersunting putri PB III. Kejadian ini membuat hubungan kedua raja Jawa ini menjadi renggang. Faktor lain yang memicu ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta adalah sengketa perbatasan daerah. Sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Giyanti, pembagian daerah antarkedua kerajaan itu tidak didasarkan pada batas-batas alam melainkan didasarkan atas elit setempat yang berkuasa. Pembagian wilayah ditentukan oleh adanya ikatan kekerabatan dan hubungan darat antara setiap penguasa daerah dan masing-masing raja. Akibatnya, pembagian wilayah milik Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta tidak ditentukan oleh batas yang jelas tetapi letaknya tumpang tindih. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya konflik horizontal di kalangan masyarakat bawah yang memicu konflik vertikal antarsesama penguasa daerah. Proses ini berlangsung hampir dua puluh tahun lamanya dan baru berakhir dengan perjanjian yang difasilitasi oleh Gubernur VOC van den Burgh tanggal 26 April 1774 di Semarang. Dalam perjanjian ini batas wilayah masing-masing raja Jawa dipertegas dan diatur kembali dengan tujuan agar konflik tersebut tidak terjadi lagi.4 RM Sundoro mulai menyadari bahwa baik dalam Perjanjian Giyanti tahun 1755 maupun Perjanjian Semarang tahun 1774, kekuasaan dan wilayah raja-raja Jawa semakin sempit. Sebaliknya, wilayah VOC menjadi semakin luas. Perluasan wilayah dan kekuasaan VOC ini berlangsung seiring dengan meningkatnya intervensi VOC dalam kehidupan kraton raja-raja Jawa. Dengan adanya pembagian wilayah baru, VOC memperoleh kesempatan semakin besar untuk melakukan eksploitasi ekonomi yang berbentuk pemborongan sumber-sumber pendapatan raja-raja Jawa seperti tol, pasar, sarang burung, penambangan perahu, pelabuhan laut dan penjualan candu.5 Tekanan ekonomi dan politik VOC semakin intensif ketika kondisi fisik raja-raja Jawa baik Sultan HB I maupun Sunan PB III semakin merosot setelah tahun 1780. Hal tersebut menumbuhkan kebencian RM Sundoro kepada VOC khususnya dan orang asing pada umumnya. Sultan HB I menyadari hal ini dan mengetahui bahwa RM Sundoro adalah putra yang diharapkan mampu mempertahankan kewibawaan dan menjaga keutuhan wilayah Kesultanan Yogyakarta dari ancaman dan rongrongan pihak asing. Pandangan ini memperkuat tekad Sultan HB I untuk mengukuhkan status Sundoro
(4 John F. Snelleman, Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, vierde deel (‘s Gravenhage, 1905, Martinus Nijhoff), hal.584.)
(5 Yang dimaksudkan sebagai tol adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh orang yang akan melewati wilayah atau jembatan tertentu. Tol ini biasanya diborongkan kepada pihak ketiga.
sebagai putra mahkota. Meskipun ada penentangan dari para pejabat VOC yang sudah menyadari sikapnya, Sultan HB I tetap menjadikan RM Sundoro sebagai calon pewaris tahta pada tahun 1785. Dengan statusnya yang baru, RM Sundoro memiliki wewenang yang lebih besar. Hampir semua tindakan yang berhubungan dengan Kesultanan Yogyakarta disetujui oleh ayahnya. Setelah diangkat menjadi putra mahkota, langkah pertama yang diambilnya adalah melindungi kraton Yogyakarta terhadap ancaman VOC. Ia menyadari bahwa ancaman VOC semakin besar dengan pembangunan benteng Rustenburg oleh Komisaris Nicolaas Harstink pada tahun 1765, yang sebagian materialnya dibebankan kepada Sultan HB I. Ia berusaha mencegah agar benteng Rustenburg tidak terwujud. Dengan segala upaya ia berhasil menghambat pembangunan benteng itu. Akibatnya, hingga tahun 1785, bangunan benteng itu belum juga selesai.6 Ketika Johannes Siberg datang ke kraton Yogyakarta dalam acara pelantikan RM Sundoro sebagai putra mahkota, Siberg mengingatkan kepada Sultan HB I tentang kewajibannya membantu pembangunan benteng itu. Desakan Siberg membuat RM Sundoro menghentikan aktivitasnya. Meskipun setelah peristiwa itu pembangunan benteng dapat diselesaikan, RM Sundoro tidak menghentikan aktivitasnya melawan VOC. Ia meminta izin ayahnya untuk memperkuat pertahanan kraton Yogyakarta sebagai perimbangan kekuatan menghadapi benteng VOC yang berada di depan kraton. Setelah memperoleh izin dari ayahnya, RM Sundoro memerintahkan pembangunan tembok baluwarti yang mengelilingi alun-alun baik utara maupun selatan kraton Yogyakarta. Di bagian depan bangunan ini diperkuat dengan pemasangan 13 buah meriam. Senjata ini diarahkan ke depan menghadap benteng Rustenburg. Pembangunan yang dimulai pada tahun 1785 itu terus berlangsung hingga RM Sundoro naik tahta menjadi Sultan HB II. C. Kebijakan Politik dan Konflik Pada saat yang hampir bersamaan dengan memuncaknya ketegangan antara Kesultanan Yogyakarta dan VOC pada akhir tahun 1780-an, di Surakarta terjadi pergantian tahta. Sunan PB III wafat pada tanggal 26 September 1788. Tiga hari kemudian putra mahkota RM. Subadyo diangkat menjadi Sunan PB IV. Sifat-sifat Sunan PB IV yang juga diketahui anti-Belanda telah mengalihkan perhatian Jan Greeve sebagai Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-ootkust) dan Andries Hartsink sebagai Komisaris Kraton Jawa dari Yogyakarta ke Surakarta. Hal ini dilakukan setelah terbongkarnya rencana konspirasi Sunan PB IV (6 ANRI, surat Siberg kepada Sultan HB I tanggal 10 Pebruari 1785, bundel Semarang )
dengan para penasehat santrinya untuk membunuh orang-orang Belanda di Kesunanan Surakarta pada bulan September 1790. Peristiwa tersebut tidak hanya mengakibatkan pengawasan yang semakin ketat terhadap Kesunanan Surakarta, tetapi juga memulihkan hubungan baik antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran. Membaiknya hubungan antara Kesultanan Yogyakarta dan Mangkunegaran ini disebabkan oleh permintaan bantuan VOC kepada mereka untuk menghadapi Sunan PB IV. Bersama-sama dengan VOC keduanya menemukan kesempatan untuk saling bekerja sama.7 Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama. Sunan PB IV bersedia menghentikan rencananya dan menyerahkan tujuh orang santri penasehatnya kepada Hartsink bulan Oktober 1790. Ketenangan di kraton Jawa kembali terusik, ketika Sultan HB I wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Perhatian para pejabat VOC kembali beralih ke Yogyakarta. Sesuai tradisi dan kesepakatan yang dibuat dengan VOC, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Pieter Gerard van Overstraten 8 mengukuhkan RM Sundoro dan melantiknya sebagai Sultan Hamengku Buwono II pada tanggal 2 April 1792. Sejak itu masa pemerintahan Sultan HB II dimulai. Selama masa pemerintahannya, sifatnya yang antikolonial semakin jelas. Sultan HB II menyadari bahwa orang-orang Belanda merupakan ancaman utama terhadap keutuhan wilayah dan kewibawaan raja-raja Jawa khususnya di Kesultanan Yogyakarta. Berbeda dengan Sunan PB IV yang berambisi untuk memulihkan kekuasaan ayahnya sebagai raja Mataram, Sultan HB II tidak berpikir untuk mengembalikan wilayah Kerajaan Mataram lama di bawah satu pemerintahan. Sebaliknya, tujuan utama Sultan HB II adalah menjadikan Kesultanan Yogyakarta sebagai suatu kerajaan Jawa yang besar, berwibawa dan disegani oleh para penguasa lain termasuk oleh orang-orang Eropa. Harapan Sultan HB II adalah Kesultanan Yogyakarta menjadi penegak dan pendukung utama tradisi budaya dan kekuasaan Jawa. Bertolak dari konsep ini, Sultan HB II bertekad untuk menolak semua intervensi Belanda yang mengakibatkan merosotnya kewibawaan raja Jawa dan berkurangnya wilayah kekuasaan raja-raja Jawa.9 Konflik terbuka pertama terjadi antara Sultan HB II dan VOC. Peristiwa ini berlangsung tidak lama setelah pelantikannya. Gubernur van Overstraten meminta kepada Sultan HB II agar dalam setiap acara pertemuan dengan sultan, kursinya disejajarkan dan diletakkan di sebelah kanan kursi sultan. HB II beranggapan bahwa ia harus menghormati orang yang duduk di samping kanannya pada forum resmi di depan semua kerabat dan rakyatnya. Sultan HB II dengan tegas menolak tuntutan Overstraten itu. Karena tidak berhasil memaksakan kehendaknya, Overstraten melaporkan hal itu ke Batavia. Sebaliknya pemerintah VOC di Batavia yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan dan menghadapi blokade Inggris bermaksud mencegah insiden yang bisa menimbulkan konflik dengan raja-raja Jawa. Gubernur Jenderal Arnold Alting melarang Van Overstraten bertindak lebih jauh. Sampai ia diganti oleh J.R. Baron van Reede tot de Parkeler pada tanggal 31 Oktober 1796, tuntutan itu tidak pernah dikabulkan oleh Sultan HB II. Utusan Belanda tetap diperlakukan seperti seorang utusan para penguasa taklukan di depan Sultan HB II.10 Parkeler yang mengetahui diri Sultan HB II dari van Overstraten bertindak hati-hati. Pertemuan politik pertama dengan sultan ini terjadi pada bulan Agustus 1799 ketika Parkeler menghadiri acara pemakaman Patih Danurejo I. Menurut perjanjian tahun 1743, raja Mataram wajib meminta pertimbangan VOC sebelum menunjuk seseorang menjadi patih. Sultan HB II berusaha menghindari hal itu dengan alasan bahwa Kesultanan Yogyakarta bukan Kerajaan Mataram dan (http://id.rodovid.org/skins/common/images/button_media.png)Sultan berhak mengangkat patihnya sendiri.11 Parkeler bertindak hati-hati dan lebih banyak menggunakan jalur diplomatik untuk mencegah ketegangan dengan Sultan. Melalui perundingan dan pembicaraan yang dilakukan, akhirnya Parkeler berhasil membujuk Sultan HB II untuk memperbaharui perjanjian itu. Pada bulan September 1799 Sultan HB II bersedia menandatangani perjanjian baru dengan Parkeler yang memuat pengangkatan patih baru. Setelah perjanjian ini disahkan, Sultan HB II mengangkat Tumenggung Mangkunegoro, cucu Patih Danurejo I, yang bergelar Patih Danurejo II. Pada saat yang bersamaan Sunan PB IV juga menandatangani perjanjian yang intinya menghindari konflik terbuka ketika terjadi ketegangan dengan Kesultanan Yogyakarta dan meminta VOC untuk menengahinya.
12 7 ANRI, surat Sultan HB I kepada Mangkunegoro tanggal 24 September 1790, bundel Solo. 8 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa (Noord-Oost-Kust)diserahterimakan dari Jan Greeve kepada penggantinya P.Gerard van Overstraten pada tanggal 1 September 1791 (lihat GP. Rouffaer.”Vorstenlanden” dalam John F Snelleman. 1905. Encyclopaedie van Nederlandsch Indie,vierde deel, ’s Gravenhage, hal. 587—653. 9 ANRI, Memorie van Residen J.G. van den Berg in Jogjacarta 1799-1803, bundel Yogyakarta. 10 Anonim, “Overzicht van de voornaamste gebeurtenissen in het Djocjocartasche-Rijk, sedert deszelf stichting (1755) tot aan Het einde van het Engelsche tusschen-bestuur in 1815”, dalam TNI, III deel, 1844, hal. 129 11 Perjanjian tanggal 11-13 November 1743, pasal 3 dan 4, yang dibuat antara G.W. Baron van Imhoff dan Sunan Paku Buwono II di Mataram, dimuat dalam “Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum’, BKI jilid 96, tahun 1938, hal. 361-362 12 ANRI, contract met Sultanaat Jogjakarta over het jaar 1799, dalam bundel Hooge Regeerings.
1. Sri Paduka Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II (Sultan Sepoeh)
Sultan Sepoeh adalah putra ke 3 dari Sultan Hamengku Buwono I (lahir tahun 1750), dalam sejarah perjuangan Bangsa memang terkenal sebagai salah seorang Sultan yang berani melawan Belanda. Beliau memerintah Kasultanan Yogyakarta mulai tahun 1792 dan kemudian ditangkap oleh Daendels pada tahun 1810. Pada 1811 dikembalikan ke tahta Ngayogyakarta, tetapi baru satu tahun, 1812 Sri Sultan Sepoeh ditangkap dan dibuang ke Pulau Pinang oleh Raffles, bahkan kemudian dipindahkan ke Ternate selama 14 tahun. Pada tahun 1826 dikembalikan ke Jawa dan diangkat lagi dengan suatu upacara besar – besaran di Istana Bogor, namun hal ini sebenarnya hanya siasat Belanda agar Sultan Sepoeh mau menghentikan pemberontakan Pangeran Diponegoro (kemenakannya = Putra SPKS HB III), namun beliau tidak bersedia. Sri paduka kanjeng Sultan Hamengku Buwono akhirnya wafat pada tahun 1828 dalam usia 78 tahun dan disemayamkan di Makam Agung Pasargede (Kota Gede)
2. Kanjeng Pangeran Ario Moerdaningrat
Beliau adalah putra ke 9 dari Eyang Sultan Sepoeh (SPKS HB II). Pada waktu SPKS HB IV seda tahun 1822, putra mahkota beliau Sultan menol masih berusia 3 tahun; oleh karena itu dibentuk DEWAN MANGKUBUMI, yang terdiri dari : Neneknya : Kanjeng Ratu Ageng Ibundanya : Kanjeng Ratu Kencana K.P.A Mangkubumi (putra ke 8 Sultan Sepoeh) K.P.A Diponegoro (putra dari SPKS HB III) Pada waktu itu Kumpeni Belanda kurang menghormati pada tata cara adat Kasultanan dan bertindak kejam kepada Rakyat, sehingga membuat marah Pangeran Diponegoro dan menyatakan perang melawan Belanda. Setelah Pangeran Diponegoro mengangkat senjata melawan Belanda KPA MAngkubumi juga ikut dan menjadi Penasehat Agung K.P.A Diponegoro, kemudian Dewan Mangkubumi (pada bulan Oktober 1825) diserahkan kepada : K.P.A Moerdaningrat (putra ke 9 Sultan Sepoeh), dan K.P.A Panular. Dalam sejarah diceritakan bahwa Belanda sangat kewalahan melawan Pasukan Pangeran Diponegoro yang didukung oleh Rakyat yang gagah berani dan melakukan perang gerilya secara cerdik. Beliau juga dibantu oleh Pangeran Ngabei Jayakusuma, Kiyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo. Suatu ketika Jendral Van Geen membawa Pasukan 1000 orang kemudian menyandera K.P.A Moerdaningrat dan K.P.A Panular digunakan sebagai tameng waktu menyerbu Markas Besar (MB) Pangeran Diponegoro. Namun hal ini sudah diketahui oleh Beliau sehingga usaha Kumpeni gagal. Naas bagi pasukan Belanda karena waktu kembali ke Yogyakarta disanggong oleh Pasukan Diponegoro di sebuah jurang dekat sungai Krasak (Lengkong) dan mengalami kekalahan yang sangat memalukan bagi pihak Belanda. Di pertempuran Lengkong ini K.P.A Moeredaningrat (dan K.P.A Panular) gugur di medan bhakti (Juli 1826), kemudian disarekan di Pesarean Lengkong.
3. R.M.A.A Djojodiningrat
Beliau adalah putra ke 4 dari Eyang K.P.A Moerdaningrat, dengan nama kecil : R.M Abdoel Djalil. Semasa kecilnya diajak menemani kakeknya Sultan Sepoeh (HB II) waktu dibuang ke Ternate selama 14 tahun. Pada jaman perang Diponegoro R.M Abdoel Djalil turut secara aktif berjuang, bahkan dijadikan ajudan pribadi Pangeran Diponegoro (Liaison Officer); sering diutus sebagai penghubung antara MB dan Para Komandan Operasional di Lapangan (menyampaikan perintah atau laporan). Pada waktu Pangeran Diponegoro kemudian ditipu dan ditangkap Belanda, R.M Abdoel Djalil langsung menghilang dan masuk ke Pesantren Brangkal (Gombong) mengaku sebagai Santri Ngabdoeldjalil. Namun akhirnya diketahui oleh mata – mata Belanda dan diambil kembalikan ke Kasultanan untuk diberi pendidikan indoktrinasi mengenai Loyalitas ala Barat. Selesai p[endidikan ditipkan kepada Raden Adipati Tjokronegoro (Bupati Poerworejo) agar tidak berhubungan langsung dengan rakyat. Selang beberapa waktu R.M Abdoel Djalil diberi pekerjaan mengikat, sebagai anggota Landraad di Poerworejo dan berganti nama : R.M Djojoprono. Setelah berapa lama diangkat menjadi Fiscaal (Jaksa), kemudian karena kecakapannya diangkat menjadi Bupati Ngroma Jatinegara pada tahun 1844, dengan gelar : Raden Mas Ario Adipati (R.M.A.A Djojodiningrat). Pada waktu diangkat beliau minta agar menguasai juga daerah Bagelen Selatan sehingga seperti berpangkat Residen; Belanda terpaksa mengabulkannya karena memang daerah Bagelen belum terkonsolidasi (Residen Belanda hanya sebagai penasehat saja). Dari Kraton Yogyakarta beliau mendapat anugerah tertinggi berupa Songsong Gilap (menurut hierarki Kraton seharusnya Songsong Gilap hanya dimiliki oleh seorang Pangeran dengan sebutan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati). Berhubung alam sekitar Ngroma tidak memenuhi selera estetika, maka beliau membangun ibukota Kabupaten baru yang ditanganinya sendiri selama 4 tahun dan diberi nama KarangAnyar, yang di-inaugurasi tahun 1848. Sewaktu pensiun tahun 1864 beliau ikut putra sulungnya R.M.T.A Tjokrohadisoeryo yang mengikuti jejak ayahnya sebagai Bupati Ledok dengan ibukota Wonosobo. R.M.A.A Djojodiningrat menetap di Sepoeran kurang lebih 10 km dari ibukota; setelah wafat beliau dimakamkan di makan keluarga “Candi Wulan” Wonosobo. (http://ikdonline.wordpress.com/history/) Foto Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II (Sumber: http://jogjakini.wordpress.com/2007/11/30/sri-sultan-hb-ii/)
BERSAMBUNGperkawinan: <141!> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Danukusumo ? (Wedono Jobo) [Danurejo I] d. Januari 1812
penguburan: Agustus 1758, Imogiri, Yogyakarta
lahir: 21 Maret 1764, Yogyakarta
gelar: 28 Januari 1812 - 31 Desember 1829, Yogyakarta, Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I [1812-1829]
wafat: 31 Desember 1829, Yogyakarta
wafat: < 1820
gelar: ~ 1810, Yogyakarta, Pangeran Muhamad Abubakar
wafat: 1826
wafat: 30 Juli 1826, Nglengkong, Sleman
wafat: 1815
pekerjaan: Januari 1828, Wakil Dalem
gelar: 1799 - 17 Desember 1810, Bupati Madiun Ke 16 di : Maospati
wafat: 17 Desember 1810, Banyu Sumurup-Imogiri dipindahkan ke Giripurno-Gn Bancak-Magetan pada 1957
perkawinan: <86!> ♂ 1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara I] b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795
perceraian: <86!> ♂ 1. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunegara I (Pangeran Sambernyawa) [Mangkunegara I] b. 7 April 1725 d. 28 Desember 1795
wafat: 30 Desember 1801
wafat: 28 Agustus 1807
gelar: November 1811, Bupati Kliwon
5
1641/5 <91+74> ♀ Raden Ayu Rawoeh [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]perkawinan: <100> ♂ Raden Adipati Suroadinegoro / Babah Sam [HAN dinasti - China]
gelar: Kasunanan Surakarta, jabatan Kaliwon
gelar: Nama gelar "TOHPATI", saking lelabet dumateng Sinuhun Pakubuwana kaping X, kautus Sinuhun ngaturaken KUDA petak dumateng Ratu Kidul, ngatos 40 dinten tanpa kabar, lajeng keluarga ngawontenaken tahlilan ing ndalem Tohpaten minangka pakurmatan layon, namung
gelar: (Isteri ke 1)
perkawinan: <101> ♂ Raden Panji Tumenggung Tjokronegoro I / Raden Panji Djangrana (Djayengrono) (Raden Notopuro) [Ki Ageng Brondong]
perkawinan: <102> ♂ Ki Tumenggung Djimat Djoyonegoro [Ki Ageng Brondong]
pekerjaan: Bupati Puger, NB: Rumah kediaman keluarga di Klatak tepi laut pantai Selatan (segara kidul)
pekerjaan: Pasuruan, Bupati Pasuruan Th 1799-1809 dengan Surat Keputusan Pejabat Bupati: Besluit tg 28 Pebruari 1800, de jong dee XII No:498.
perkawinan: <103> ♀ Puteri ke ...dari Raden Adipati Suroadinegoro / Babah Sam / Bupati Ridder [HAN Dinasti - China]
wafat: Dimakamkan di belakang Masjid Kota Bangil - Pasuruan - Jawa Timur
pekerjaan: Malang, Bupati Malang Th 1820-1839, menjabat Bupati Malang I adalah Raden Tumenggung Notodiningrat I yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda berdasarkan resolusi Gubernur Jenderal 9 Mei 1820 Nomor 8 Staatblad 1819 Nomor 16.
wafat: Malang, Wafat dimakamkan di Pesarean Gribik di Malang
perkawinan: <104> ♂ Mas Adipati Djoyodirono II [Ki Ageng Brondong]
wafat: Wafat dimakamkan di Pesarean Kromodjayan Bibis (Utara Stasiun KA Semut Surabaya / Plaza Semut, belakang Masjid.
gelar: Gelar tsb mengikuti jabatan suami Raden Tumenggung Tjokronegoro, Bupati Pati. NB: RB Yasin mencatat bahwa RT Tjokronegoro sebelumnya sebagai Prajurit/tentara berpangkat Letnan di Malang, dan yang menurunkan Embah Raden, di desa Pagentan/Tjungkup Singosar
perkawinan: <105> ♂ Raden Djoyolelono [Soeropati]
perkawinan: <102!> ♂ Ki Tumenggung Djimat Djoyonegoro [Ki Ageng Brondong]
pekerjaan: R kertonegoro Patih Pasuruan
perkawinan:
perkawinan: <92!> ♂ 4. Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwono II [Hb. 1.4] [Hamengku Buwono I] b. 7 Maret 1750 d. 3 Januari 1828, Yogyakarta
wafat: 1826
perkawinan:
perkawinan: <202!> ♀ 8. Gusti Kanjeng Ratu Bendara [Hamengku Buwono II]
penguburan: 20 Juni 1812, Pemakaman Jejeran, Wonokromo, Plered, Bantul, Yogyakarta, diatas jam 10 malam
wafat: 20 Juni 1812, Masjid Alun2 Selatan Kraton Yogyakarta, Geger Sepehi, Sabtu, 20 Juni 1812 Antara Jam 5-6 pagi
Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat Trah Para Wali Besar Mataram Islam, Syahid dalam Perang Sepehi 1812, Cucu Sultan Hamengkubuwono I, Menantu Sultan Hamengkubuwono II, Panglima Perang Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Berjulukan Singobarong
KRT SUMODININGRAT adalah pahlawan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam Perang Sepehi di Yogyakarta 18-20 Juni 1812, pada masa Sultan Hamengkubuwono II. Ia pernah menjabat sebagai Bupati Jaba kedua pada 1794 dan Wedana Jero pertama pada 1797 (Carey 2008, 188; Carey 1980, 191). Sehari-hari ia juga bertindak sebagai penasehat militer utama Kraton Yogyakarta (Qomar 2023, 248). Di tengah medan Perang Sepehi, ia ditugaskan untuk menjadi panglima utama yang berdiri di garis terdepan menjaga wilayah Yogyakarta. Sosok inilah yang dijuluki Singobarong oleh masyarakat Yogyakarta sebagaimana terabadikan di dalam Babad Ngayogyakarta (1876) karya Pangeran Suryanegara dan Raden Adipati Danureja V
Kelahiran dan Silsilah
KRT Sumodiningrat dilahirkan sekira 1760-an di wilayah Remame, Kedu Selatan. Ia merupakan anak KRT Jayaningrat, bupati Kedu Selatan. Di masa kecil hingga mudanya, ia mendapatkan pendidikan keislaman dari seorang guru bernama Kyai Tambi Jenggi, yang merupakan seorang wali pemilik otoritas pengasuhan anak-cucu keluarga Karaton Ngayogyakarta (Arafat 2023, 89). Dalam arsip-arsip Kraton Yogyakarta pada zaman Sultan Hamengkubuwono II diceritakan peristiwa surat-menyurat antara KRT Sumodiningrat dan gurunya ini (Carey 1980, 191). KRT Sumodiningrat merupakan cucu Sultan Hamengkubuwono I. Ayahnya, KRT Jayaningrat, menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat, anak keempat Sultan Hamengkubuwono I (Dajapertama & Dirdjasoebrata t.t., 13; Mandoyokusumo 1988, 10). Perkawinan ini membuahkan lima orang anak: Tumenggung Sumodiningrat; Tumenggung Wiryawinata; Tumenggung Jayaningrat; Raden Ayu Rangga Madiun; dan Tumenggung Wiryadiningrat (Serat Salasilah Para Loeloehoer ing Kadanoeredjan 1899, 207).
Nasab KRT Sumodiningrat terhubung kepada Kyai Ageng Penjawi, salah satu dari tiga tokoh pembuka Kerajaan Mataram Islam di selatan Jawa pada permulaan abad ke-16. Sedangkan ke atasnya lagi, nasab ini bersambung hingga Kyai Ageng Ngerang. Diurutkan dari atas, nasab KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Ageng Ngerang I → Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang) → Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan) →Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8)
Dari jalur lain, KRT Sumodiningrat juga merupakan keturunan Kyai Jejer, Tumenggung Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting, tiga tokoh penting pada masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang memerintah pada 1613-1645 (Sejarah Ratu t.t., 64). Tumenggung Singaranu adalah Patih kedua Kerajaan Mataram Islam di masa Sultan Agung Hanyakrakusuma, Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting adalah Wedana Jaksa dan anggota Dewan Ulama Penasehat Sultan Agung Hanyakrakusuma (Hanyakrakusuma 1999, 10), sedangkan Kyai Jejer adalah guru sekaligus mertua Sultan Agung Hanyakrakusuma yang juga menjadi tokoh cikal-bakal wilayah Jejeran, Bantul, Yogyakarta.
Darah ketiga tokoh besar Mataram Islam era Sultan Agung itu menyatu di dalam diri KRT Sumodiningrat. Alurnya dimulai dari perkawinan Kyai Ageng Wonokriyo/Kyai Kriyan dengan Nyai Ageng Kriyan. Siapakah Nyai Ageng Kriyan? Perempuan agung ini adalah anak dari pernikahan antara Adipati Singaranu bin Kyai Jejer dengan Nyai Adipati Singaranu binti Tumenggung Singaranu. Dari pernikahan Kyai Ageng Wonokriyo/Kyai Kriyan dengan Nyai Ageng Kriyan lahirlah Tumenggung Jayawinata Gajah Gede yang menikahi R.Ay. Jayawinata binti Raden Riyo Wirokusumo bin Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting. Melalui alur Tumenggung Jayawinata Gajah Gede hingga ke bawah akan sampai kepada KRT Sumodiningrat.
Dari sini menjadi jelas bahwa KRT Sumodiningrat adalah juga keturunan Kyai Jejer, Tumenggung Singaranu, dan Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting. Jadi, di dalam darah KRT. Sumodiningrat mengalir darah Sri Sultan Hamengkubuwono I, Tumenggung Singaranu, Kyai Jejer, Panembahan Juru Mayem/Kyai Juru Kiting, dan Kyai Ageng Penjawi. Dapat dipastikan secara mutlak bahwa KRT Sumodiningrat adalah tokoh pribumi negeri Mataram Islam. Dari jalur Tumenggung Singaranu, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Tumenggung Singaranu → Nyai Adipati Singaranu → Nyai Ageng Kriyan → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8). Dari jalur Kyai Jejer, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Jejer : → Ki Bagus Sangat/Adipati Singaranu → Nyai Ageng Kriyan → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8).
Dari jalur Kyai Juru Kiting, alur nasabnya hingga ke KRT Sumodiningrat adalah: Kyai Juru Kiting → Raden Riyo Wirokusumo → Raden Ayu Jayawinata Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat → KRT Sumodiningrat (Serat Salasilah 1899, 163–64 & 201–8).
Perkawinan
KRT Sumodiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwono II Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat dengan GKR Kedaton (Mandoyokusumo 1988, 16; Sejarah Ratu, 80 & 123; Serat Salasilah 1899, 208). Sedangkan GKR Kedaton adalah anak Tumenggung Purwodiningrat, Bupati Magetan (Mandoyokusumo 1988, 15), atau Bupati Kertosono setelah Perang Giyanti (1746-1757) sebagaimana termaktub di dalam catatan Lucien Adam, seorang Residen Madiun 1938-1938, pada 1940 (Reinhart 2021, 242). Silsilah Tumenggung Purwodiningrat ke atas masih terhubung dengan keluarga besar para priyagung Madura.
Perkawinan KRT Sumodiningrat dengan GKR Bendara tidak membuahkan keturunan. Dari istri lain, ia memiliki anak bernama Tumenggung Sumonegoro, yang kelak menjadi Wedana Distrik Maosan Dalem Pengasih hingga Nanggulan (Serat Salasilah 1899, 208). Baik KRT Sumodiningrat maupun anaknya, Tumenggung Sumonegoro, sama-sama dimakamkan di Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta.
Kewafatan
Kewafatan KRT Sumodiningrat terjadi pada pagi hari terakhir Perang Sepehi, 20 Juni 1812. Peristiwa kewafatan ini diceritakan di dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Padha I-VII. Babad Sepehi adalah karya sejarah yang ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, anak Sultan Hamengkubuwono II, yang memang langsung berada di tengah-tengah pertempuran (Mangkudiningrat; 2018, 65–66). Jadi, Babad Sepehi merupakan sumber primer sejarah yang ditulis oleh pelaku sejarah, Pangeran Mangkudiningrat, pada Selasa, 20 Rabi’ul Awal 1228 H tahun Ehe atau bertepatan dengan 23 Maret 1813. Dengan kata lain, naskah ini “lahir” hanya sekira setahun setelah Perang Sepehi.
Diceritakan di dalam Babad Sepehi bahwa KRT Sumodiningrat bertempur di sisi barat Kali Code dan menjaga pos pertahanan bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan Tumenggung Wiryawinata, adiknya sendiri. Peristiwa pertempuran pasukan Sepehi dengan KRT Sumodiningrat diceritakan di dalam tembang bermetrum Durma, Pupuh II, mulai Padha atau bait ke-6 dan ke-7 (Mangkudiningrat; 2018, 55–56)
Kutipan Tesis dari : M. YASER ARAFAT
KRT Sumadiningrat adalah menantu Sultan Hamengkubuwana II. Ayahnya, Ia merupakan anak tertua KRT Jayaningrat I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat binti Sultan HB I. Makam KRT Sumadiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Tepatnya di dalam sebuah cungkup di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. Di dalam tatanan pemerintahan Sultan HB II, KRT Sumadiningrat menjabat sebagai bupati jaba kedua pada 1794, wedana jero pertama pada 1797 (P. Carey 2008, 188; P. B. R. Carey 1980, 191).
Kesimpulan
- KRT Sumadiningrat BUKAN Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
- KRT Sumadiningrat yang tercatat sebagai menantu Sultan Hamengkubuwana II adalah tokoh yang juga sekaligus cucu Sultan Hamengkubuwana I. Tokoh ini pula yang dalam berita kolonial dan babad tradisional di Jawa disebut singo barong, BUKAN Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya.
- Ayah KRT Sumadiningrat adalah KRT Jayaningrat I. Siapa KRT Jayaningrat I?
- KRT Jayaningrat I adalah menantu Sultan Hamengkubuwana I yang menikah dengan Raden Ayu Jayaningrat (Mandoyokusumo 1988, 10). Raden Ayu Jayaningrat adalah anak keempat Sulan HB I (Dajapertama and Dirdjasoebrata n.d., 13).
- Urutan nasab KRT Sumadiningrat dari atas sebagai berikut (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 163–64 & 201–8): Kyai Ageng Ngerang I → Kyai Ageng Ngerang II (Kyai Bodo Pajang) → Kyai Ageng Ngerang III (Ki Buyut Pati) → Kyai Ageng Panjawi (Kyai Ageng Pati) → Adipati Pragolapati I → Adipati Pragolapati II → Kyai Wonokriyo (Bagus Jaka Kriya/Kyai Kriyan) → Demang Puspatruna/Demang Jawinata/Tumenggung Gajah Mada/Tumenggung Gajah Gede → Tumenggung Jawinata/Tumenggung Gajah Cilik → Adipati Jayaningrat/Gajah Tlena → Tumenggung Jayaningrat Manten/KRT Jayaningrat I → KRT Sumadiningrat [Jejeran].
- KRT Sumadiningrat memiliki 4 orang adik, yaitu; RT Wiryawinata [Jejeran]; RT Janingrat [Jejeran]; Raden Ayu Rangga Madiun; RT Wiryadiningrat (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 207).
- KRT Sumadiningrat menikah dengan GKR Bendara, putri Sultan Hamengkubuwana II dari hasil pernikahannya dengan GKR Kedaton (Mandoyokusumo 1988, 16; #Sejarah Ratu n.d., 80 & 123; Agustriyanto 2018; Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
- KRT Sumadiningrat gugur akibat keganasan serangan Inggris ke Yogyakarta pada peristiwa Geger Sepehi. Peristiwa ini diceritakan di dalam Babad Sepehi di Pupuh III, Pada I-VII. Babad Sepehi bercerita tentang peristiwa Geger Sepehi. Karya ini ditulis oleh Pangeran Mangkudiningrat, anak Sultan HB II, yang memang langsung berada di tengahtengah pertempuran (Irawan 2018, 65–66).
- Setelah gugur dalam Geger Sepehi, jenazah KRT Sumadiningrat dibawa untuk dimakamkan di Jejeran pada jam sepuluh malam. Makam KRT Sumadiningrat berada di tanah pamutihan yang memang merupakan haknya di Pasarean Astana Gedong, Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta. Tepat di sisi barat Masjid Kagungan Dalem Mi’rajul Muttaqinallah. Dulu masjid ini disebut Masjid Sumadiningratan (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
- Makam KRT Sumadiningrat berada di dalam sebuah cungkup khusus di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo), seorang ulama besar Mataram Islam pada zaman Sultan Agung hingga Amangkurat I yang tiada lain merupakan leluhurnya sendiri.
- Menjadi maklum bila KRT Sumadiningrat dimakamkan tepat di bawah atau di sisi selatan cungkup makam Kyai Kriyan yang merupakan punjer atau leluhurnya. Memang beginilah adat atau budaya pemakaman di Jawa. Tokoh tertentu akan dikuburkan di sebuah lahan yang sama dengan para leluhurnya.
- Sedangkan makam KRT Jayaningrat I juga berada di pasarean ini. Tepatnya di dalam cungkup khusus di sisi selatan pengimaman masjid.
- Perkawinan KRT Sumadiningrat dengan GKR Bendara tidak membuahkan keturunan.
- Hanya saja, di luar cungkup makam KRT Sumadiningrat ada makam KRT Sumanegara. Tokoh ini adalah anak KRT Sumadiningrat dari istri lain. Sayangnya Serat Salasilah hanya menyebutkan nama sang anak, bukan nama sang ibu atau sang istri lain itu.
- KRT Sumanegara adalah bupati wedana distrik maosan dalem Pengasih hingga Nanggulan. Selain itu ada pula makam keponakannya, KRT Tirtanegara bin KRT Janingrat. KRT Tirtanegara merupakan bupati maosan Kalibawang (Serat Salasilah Para Loeloehoer Kadanoeredjan 1899, 208).
- Belakangan makam KRT Sumadiningrat di Jejeran, oleh Majelis Taklim Darul Hasyimi Yogyakarta, juga disebut sebagai sebagai makam Sayyid Ahmad bin Thoha bin Yahya. Silahkan dicek narasi Sulistyo Eko Cahyono di dalam link YouTube di atas. Cek juga tautan ini: https://fb.watch/l1x33-0pBM/?mibextid=5Ufylb.
- Narasi penyebutan makam KRT Sumadiningrat di Jejeran sebagai makam Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya adalah sebagai berikut: a).Dalam narasi Sulistyo Eko Cahyono disebutkan di menit ke 2:42:13 bahwa ketika terjadi penyerangan oleh Legiun Inggris yang bertujuan untuk mencari Habib Hasan, kediaman Habib Hasan di Jejeran, Bantul, didatangi. Pada saat itu Habib Hasan melakukan koordinasi di ndalem Keraton Ngayogyakarta; b). Di menit ke 2:43:20, Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa Habib Ahmad yang tinggal di Suronatan sedang ada di Jejeran ketika legiun Inggris datang. Pasukan Inggris mengepung rumah Habib Hasan. Habib Ahmad lalu mengaku sebagai Habib Hasan kepada Inggris. Alasannya karena Habib Hasan diperlukan strategi dan kesatriaanya oleh keraton. Atas alasan itu Habib Ahmad mengaku menjadi Habib Hasan; c). Di menit ke 2:45:00, Sulistyo Eko Cahyono mengatakan bahwa keluarga Habib Hasan (termasuk Habib Ahmad dan putra puterinya) ditahan dan meninggal. Ini terjadi pada 1812 M. Habib Ahmad dimakamkan di Jejeran dan dikenal dengan nama KRT Sumodiningrat. Sebagai pengalihan agar pencarian Habib Hasan mengendor. Makam Jejeran dimitoskan angker. Sehingga Inggris tidak tertarik untuk mencari tahu siapa yang dimakamkan.
- Berdasarkan analisis atas data istri Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya yang bertentangan dengan data historis di atas, cerita tentang Habib Ahmad yang dikatakan mengaku sebagai KRT Sumadiningrat yang disebut dimakamkan di Jejeran ini meragukan. Babad Sepehi menceritakan secara rinci di mana posisi KRT Sumadiningrat saat itu hingga ia dibunuh. Diceritakan juga di sana bagaimana KRT Sumadiningrat menjaga pos pertahanan bagian tenggara Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat bersama dengan KRT Wiryawinata, adiknya sendiri.
- Makam Jejeran di barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah adalah pemakaman anak-turun Kyai Kriyan (Kyai Wonokriyo). KRT Sumadiningrat adalah cucu-buyut Kyai Kriyan. Sekali lagi, menjadi maklum bila jenazahnya dimakamkan di sana. Sebab memang itu pemakaman leluhurnya. Sangat ganjil jika dikatakan bahwa makam KRT Sumadiningrat di Jejeran merupakan makam Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya.
- Berdasarkan semua analisis di atas, jelas sekali bahwa KRT Sumadiningrat yang disebut menantu Sultan HB II dan menjabat sejumlah jabatan penting di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat hingga meninggal pada 1812 BUKANlah Habib Hasan bin Thoha Bin Yahya dan bukan pula Sayyid Ahmad bin Thoha Bin Yahya.
- Makam KRT Sumadiningrat berada di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta, tepat di sisi barat Masjid Mi’rajul Muttaqinallah. BUKAN di Semarang.
- Makam KRT Sumadiningrat dan seluruh leluhur hingga anak-keturunannya di Jejeran, Wonokromo, Bantul, Yogyakarta harus dijaga dan dirawat oleh terutama anak-turun Kyai Kriyan, Sultan HB I, Sultan HB II, dan seluruh kawula Mataram.
perkawinan: <108> ♀ Raden Ayu Pamogan [Majapahit]
perkawinan: <109> ♀ Kanjeng Raden Ayu Handoyo / Raden Ayu Adipati Anom (Ratu Kencana) [Cakraningrat]
perkawinan: <110> ♀ Ratu Kencanawungu / Raden Ayu Sukaptinah [Pakubuwono]
perkawinan: <111> ♀ Mas Ayu Rantansari Joyokartiko [?]
perkawinan: <112> ♀ Raden Retnodiningsih [Mangkuyudho III]
gelar: 29 September 1788 - 2 Oktober 1820, Surakarta, Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdur Rahman Sayyidin Panotogomo IV
wafat: 2 Oktober 1820, Surakarta
Awal Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Pakubuwana III yang lahir dari[[ permaisuri keturunan sultan Demak]]. Ia dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik takhta tanggal 29 September 1788, dalam usia 20 tahun.
Pakubuwana IV adalah raja Surakarta yang penuh cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang kurang cakap. Ia tertarik pada paham Kejawen dan mengangkat para tokoh golongan tersebut dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat Islam yang sudah mapan di istana.
Para tokoh Kejawen tersebut mendukung Pakubuwana IV untuk bebas dari VOC dan menjadikan Surakarta sebagai negeri paling utama di Jawa, mengalahkan Yogyakarta.
Peristiwa Pakepung Keadaan Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi raja. Pakubuwana IV sendiri membenci VOC terutama atas sikap residen Surakarta bernama W.A. Palm yang korup.
Residen Surakarta pengganti Palm yang bernama Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pakubuwana IV. VOC mulai cemas dan menduga Hartsinck dimanfaatkan Pakubuwana IV sebagai alat perusak dari dalam.
VOC akhirnya bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 bersama mereka mengepung Keraton Surakarta. Dari dalam istana sendiri, para pejabat senior yang tersisih ikut menekan Pakubuwana IV agar menyingkirkan para penasihat rohaninya. Peristiwa ini disebut Pakepung.
Pakubuwana IV akhirnya mengaku kalah tanggal 26 November 1790 dengan menyerahkan para penasihatnya yang berpaham Kejawen untuk dibuang VOC.
Sikap terhadap Yogyakarta Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I bersama menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan.
Meskipun demikian, Pakubuwana IV tetap saja menyimpan ambisi untuk mengembalikan Mataram-Yogyakarta ke dalam pangkuan Surakarta. Sejak tahun 1800 tidak ada lagi VOC karena dibubarkan pemerintah negeri Belanda. Sebagai gantinya, dibentuk pemerintahan Hindia Belanda yang juga dipimpin seorang gubernur jenderal.
Herman Daendels gubernur jenderal Hindia Belanda sejak 1808 menerapkan aturan yang semakin merendahkan kedaulatan istana. Dalam hal ini Pakubuwana IV seolah-olah menerima kebijakan itu karena ia berharap Belanda mau membantunya merebut Yogyakarta.
Pakubuwana IV juga pandai bersandiwara di hadapan Thomas Raffles, wakil pemerintah Inggris yang telah menggeser pemerintahan Hindia Belanda tahun 1811. Sementara itu Hamengkubuwana II (pengganti Hamengkubuwana I terkesan kurang ramah terhadap bangsa asing.
Pakubuwana IV memanfaatkan kesempatan itu. Ia saling berkirim surat dengan Hamengkubuwana II yang berisi hasutan supaya Yogyakarta segera memberontak terhadap penjajahan Inggris. Harapannya, Yogyakarta akan hancur di tangan Inggris.
Pihak Inggris lebih dulu mengambil tindakan. Pada bulan Juni 1812 istana Yogyakarta berhasil diduduki dengan bantuan Mangkunegara II. Hamengkubuwana II sendiri ditangkap dan dibuang ke Penang.
Persekutuan dengan Orang-Orang Sepoy Surat-menyurat antara Pakubuwana IV dan Hamengkubuwana II terbongkar. Pihak Inggris tidak menurunkan Pakubuwana IV dari takhta tapi merebut beberapa wilayah Surakarta.
Pakubuwana IV belum juga jera. Pada tahun 1814 ia bersekutu dengan kaum Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris untuk bertugas di Jawa. Tentara Sepoy ini diajak Pakubuwana IV untuk memberontak terhadap Inggris, serta menaklukkan Yogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwana III.
Persekutuan ini kandas tahun 1815. Sebanyak 70 orang Sepoy yang terlibat pemberontakan diadili pihak Inggris. Sejumlah 17 orang di antaranya dihukum mati, sedangkan sisanya dipulangkan ke India sebagai tawanan. Thomas Raffles juga membuang seorang pangeran Surakarta yang dianggap sebagai penghasut Pakubuwana IV.
Akhir Pemerintahan Pakubuwana IV masih menjadi raja Surakarta tanpa diturunkan Inggris. Sebaliknya, ia mengalami pergantian pemerintah penjajah, dari Inggris kembali kepada Belanda tahun 1816.
Pakubuwana IV meninggal dunia tanggal 2 Oktober 1820. Ia digantikan putranya yang bergelar Pakubuwana V.
Selain dikenal sebagai ahli politik yang cerdik, Pakubuwana IV juga terkenal dalam bidang sastra, khususnya yang bersifat rohani. Ia diyakini mengarang naskah Serat Wulangreh yang berisi ajaran-ajaran luhur untuk memperbaiki moral kaum bangsawan Jawa.
Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda ia pernah belajar beberapa ilmu kesaktian kepada Pakubuwana IV. Ranggawarsita sendiri merupakan cucu angkat Pangeran Buminoto, adik Pakubuwana IV.perkawinan: <113> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21] [?]
perkawinan: <285!> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningdiah [Ga.Hb.3.22] / Bendoro Raden Ajeng Ratnadimurti [Hamengku Buwono I]
perkawinan: <114> ♀ Bendoro Mas Ayu Mindarsih [?]
perkawinan: <288!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.1.?] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng [Gp.Hb.3.1] [Hamengku Buwono I]
perkawinan: <115> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangkorowati [Ga.Hb.3.1] [Hamengku Buwono] b. 1770 d. 7 Oktober 1852
perkawinan: <116> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningrum [?]
perkawinan: <117> ♀ Bendoro Raden Ayu Lesmonowati ? (Ratu Kencono) [?]
perkawinan: <118> ♀ Bendoro Raden Ayu Kusumodiningrum [?]
perkawinan: <119> ♀ Bendoro Raden Ayu Mulyoningsih [?]
perkawinan: <120> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitosari [?]
perkawinan: <121> ♀ Bendoro Raden Ayu Mulyosari [?]
perkawinan: <122> ♀ Bendoro Mas Ayu Puspitoningsih [?]
perkawinan: <123> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitolangen [?]
perkawinan: <124> ♀ Bendoro Raden Ayu Kalpikowati [?]
perkawinan: <125> ♀ Bendoro Raden Ayu Surtikowati [?]
perkawinan: <126> ♀ Bendoro Raden Ayu Panukmowati [?]
perkawinan: <127> ♀ Bendoro Mas Ayu Madrasah [?]
perkawinan: <128> ♀ Bendoro Raden Ayu Padmowati [?]
perkawinan: <129> ♀ Bendoro Raden Ayu Wido [?]
perkawinan: <130> ♀ Bendoro Raden Ayu Doyopurnomo [?]
perkawinan: <131> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspowati [?]
perkawinan: <132> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Gp.Hb.3.1] ? (Prawirodirjo) [?]
perkawinan: <133> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Wadhan [Gp.Hb.3.3] [?]
perkawinan: <134> ♀ Bendoro Mas Ayu Sasmitoningsih [Ga.Hb.3.19] [?]
perkawinan: <135> ♀ Bendoro Raden Ayu Renggoasmoro [Ga.Hb.3.20] [?]
perkawinan: <136> ♀ Bendoro Raden Ayu Hadiningsih [Ga.Hb.3.23] [?]
gelar: 31 Desember 1808, Yogyakarta, Raja Putro Narendro Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro (Pangeran Wali)
gelar: 1810 - 28 Desember 1811, Yogyakarta
gelar: 12 Juni 1812 - 3 November 1814, Yogyakarta, Sultan of Yogyakarta, 3rd
wafat: 3 November 1814, Yogyakarta
Nama aslinya adalah Raden Mas Surojo, putra Hamengkubuwana II yang lahir pada tanggal 20 Februari 1769. Pada bulan Desember 1810 terjadi serbuan tentara Belanda terhadap Keraton Yogyakarta sebagai kelanjutan dari permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Herman Daendels.
Hamengkubuwana II diturunkan secara paksa dari takhta. Herman Daendels kemudian mengangkat Raden Mas Surojo sebagai Hamengkubuwana III berpangkat regent, atau wakil raja. Ia juga menangkap dan menahan Pangeran Notokusumo saudara Hamengkubuwana II di Cirebon.
Pada tahun 1811 Inggris berhasil merebut jajahan Belanda terutama Jawa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hamengkubuwana II untuk naik takhta kembali dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 28 Desember 1811.
Kemudian terjadi permusuhan antara Hamengkubuwana II melawan Thomas Raffles, yaitu kepala pemerintahan Inggris di Jawa. Pertempuran terjadi di Keraton Yogyakarta, di mana Thomas Raffles membuang Hamengkubuwana II ke Pulau Penang, dan mengangkat kembali Hamengkubuwana III sebagai raja.
Akibat pertempuran tersebut, Kesultanan Yogyakarta harus menerima konsekuensi, antara lain:
Yogyakarta harus melepaskan daerah Kedu, separuh Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan kepada Inggris dan diganti kerugian sebesar 100.000 real setiap tahunnya. Angkatan perang Yogyakarta diperkecil dan hanya beberapa tentara keamanan keraton saja. Sebagian daerah kekuasaan keraton diserahkan kepada Pangeran Notokusumo yang berjasa mendukung Thomas Raffles, dan diangkat menjadi Paku Alam I.
Pemerintahan Hamengkubuwana III berakhir pada saat meninggalnya, yaitu tanggal 3 November 1814. Ia digantikan putranya yang masih anak-anak sebagai Hamengkubuwana IV. Sementara itu putra tertuanya yang lahir dari selir bernama Pangeran Diponegoro kelak melancarkan perang terhadap Belanda pada tahun 1825 – 1830.
Sri Sultan Hamengkubuwana III (lahir di Yogyakarta, 20 Februari 1769 – meninggal di Yogyakarta, 3 November 1814 pada umur 45 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah dalam dua periode, yaitu tahun 1810 – 1811 dan 1812 – 1814.
Kepustakaan
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Pada 1814, Hamengku Buwono III meninggal. Pangeran Djarot, yang baru berusia 13 tahun, diangkat menjadi Hamengku Buwono IV. Praktis kendali kekuasaan dikuasai Patih Danurejo IV -seorang pro Belanda dan bahkan bergaya hidup Belanda. Perlahan kehidupan kraton makin menjauhi suasana yang diharapkan Diponegoro. Apalagi setelah adiknya, Hamengku Buwono IV meninggal pada 1822. Atas inisiatif Danurejo pula, Pangeran Menol yang baru berusia 3 tahun dinobatkan menjadi raja. Makin berkuasalah Danurejo. Saran-saran Diponegoro tak digubris. Danurejo dan Residen Yogya A.H. Smissaert malah berencana membuat jalan raya melewati tanah Diponegoro di Tegalrejo. Tanpa pemberitahuan, mereka mematok-matok tanah tersebut. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo IV mengepung Tegalrejo. Diponegoro telah mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana, ia juga mengorganisasikan pasukan. Pertempuran pun pecah. Upaya damai dicoba dirintis. Belanda dan Danurejo mengutus Pangeran Mangkubumi -keluarga kraton yang masih dihormati Diponegoro. Namun, setelah berdialog, Mangkubumi justru memutuskan bergabung dengan Diponegoro. Gubernur Jenderal van der Capellen memperkuat pasukannya di Yogya. Namun 200 orang tentara itu, termasuk komandannya Kapten Kumsius, tewas di Logorok, Utara Yogya, atas terjangan pasukan Diponegoro di bawah komando Mulyosentiko. Dalam pertikaian ini, dua kraton Surakarta -Paku Buwono dan Mangkunegoro- berpihak pada Belanda. Pasukan pimpinan Tumenggung Surorejo dapat menghancurkan pasukan bantuan Mangkunegoro. Di Magelang, pasukan Haji Usman, Haji Abdul Kadir mengalahkan tentara Belanda dan Tumenggung Danuningrat. Danuningrat tewas di pertempuran itu. Di Menoreh, Diponegoro sendiri memimpin pertempuran yang menewaskan banyak tentara Belanda dan Bupati Ario Sumodilogo. Markas Prambanan diduduki. Meriam-meriam Belanda berhasil dirampas. Di daerah Bojonegoro-Pati-Rembang, pihak Belanda ditaklukkan pasukan rakyat Sukowati pimpinan Kartodirjo. Pertahanan Belanda di Madiun dihancurkan pasukan Pangerang Serang dan Pangeran Syukur. Belanda kemudian mendatangkan pasukan Jenderal van Geen yang terkenal kejam di Sulawesi Selatan. Dalam pertempuran di Dekso, Sentot Alibasyah menewaskan hampir semua pasukan itu. Van Geen, Kolonel Cochius serta Pangeran Murdoningrat dan Pangeran Panular lolos. Murdoningrat dan Panular kembali menyerang Diponegoro. Kali ini bersama Letnan Habert. Di Lengkong, mereka bentrok. Habert tewas di tangan Diponegoro sendiri. Pasukan Surakarta yang sepakat melawan Diponegoro dihancurkan di Delanggu. Benteng Gowok yang dipimpin Kolonel Le Baron, jatuh dalam serbuan 15-16 Oktober 1826. Diponegoro tertembak di kaki dan dada dalam pertempuran itu. Pasukan Sentot Alibasyah yang tinggal selangkah merebut kraton Surakarta dimintanya mundur. Tujuan perang, kata Diponegoro, adalah melawan Belanda dan bukan bertempur sesama warga. Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829. Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya (Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam."
De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.perkawinan: <137> ♀ Bendoro Mas Ayu Pulungayun [?]
pekerjaan: 9 September 1799 - 28 Oktober 1811, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo II
wafat: 28 Oktober 1811, Yogyakarta, Dimakamkan di Banyusumurup, kemudian dipindahkan ke Mlangi
perkawinan: <139> ♀ Raden Ayu Mangkudiningrat ? (Raden Ayu Kustinah) [Kusumowijoyo]
wafat: 13 Maret 1824?, Ambon
Bandara Pangeran Arya Mangkudiningrat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri), having had issue:
- Colonel Radin Temenggong Mangku Vijaya/Pangeran Adipati Mangku di-ning Rat II, Prince of Kalibawang (s/o the second wife). Granted the principality of Kalibawang in fief 28th April 1831. Exiled to Ambon in December 1831. m. (div. 1817) Bandara Radin Ayu Mangku Vijaya (m. second, Colonel Gusti Pangeran Adipati Prabhu ning Rat), daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana III Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta, by his wife, Ratu Kinchana/Ratu Ibu, daughter of Radin Temenggong Pangeran Sasra di-ning Rat I, Bupati of Jipang-Rajegwesi.
- Pangeran Arya Chakra ning Rat. b. 1801 (s/o a junior wife).
- Radem Mangku Wilaya/Radin Marta Atmaya/Pangeran Arya Suriya Mataram (cre. 1825). b. 1802 (s/o a junior wife).
- Radin Sasra Atmaya/Pangeran Arya Paku ning Rat. b. 1803 (s/o a junior wife). Cdr. of Ferryboats during the Java War 1825-1830.
- Colonel Radin Mas Papaki/Radin Temenggong Mangkundirja (cre. 1814)/Pangeran Adipati Natapraya (cre. 1825), Prince of Kalibawang. b. 1804 (s/o Radin Ayu Jaya Kusuma). Succeeded his brother as prince of Kalibawang 1831. He d. at Kalibawang, November 1853.
- Pangeran Arya Papak. b. 1804 (s/o a junior wife).
- Pangeran Arya Paku ning Prang. b. 1805 (s/o a junior wife).
- Major Radin Jaya di-ning Rat/Pangeran Arya Jaya di-ning Rat. b. 1806 (s/o a junior wife).
- Radin Arya Jayang Kusuma. He had issue:
- Radin Adipati Dhanu Praya.
- Pangeran Arya Malaya Kusuma. b. 1808 (s/o a junior wife).
- Gusti Kanjeng. m. Lieutenant-Colonel Pangeran Arya Nata ning Prang, third son of Colonel Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Raja Raja Paku Alam II, by his principal consort, Bandara Radin Ajeng Ratna Supira/Gusti Kanjeng Ratu Anum/Gusti Kanjeng Ratu Anum, twenty-fourth daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana II Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta. She had issue - see Indonesia (Pakualaman).
- Radin Ajeng Sukina (d/o Jaya Kusuma).
- Radin Ayu Wirya di-Pura.
- Radin Ayu Padma di-Pura.
- Atas permintaan Keluarga Diputus
1. KG.P.Ap Mangkudiningrat 2. Putranya : 850052
BABAD MANGKUDININGRATAN
Teks diawali dengan cerita tentang Pangeran Mangkudiningrat yang mendampingi Hamengku Buwana II, ayahnya yang diasingkan ke Pulau Pinang. Pangeran Mangkudiningrat selalu memohon kepada Tuhan agar ibu,istri, dan anak-anaknya dalam keadaan selamat. Di bagian akhir diceritakan keberhasilan Pangeran Mangkudiningrat (= Panji Asmara) sebagai orang yang dipercaya penduduk Ambon karena kemanjurannya dalam mengobati orang-orang sakit. Bagian akhir teks terputus karena kertas sobek/ lembaran-lembarannya hilang. Di beberapa halaman (h. 142—145, 161—163) terdapat
banyak tulisan yang dicoret sehingga tidak dapat dibacaperkawinan:
perkawinan: <140> ♀ Muktionowati [Ga.Pa.2.1] [?]
perkawinan: <141> ♀ Resminingdiah [Ga.Pa.2.3] [?]
perkawinan: <142> ♀ Widowati [Ga.Pa.2.4] [?]
perkawinan: <143> ♀ Sariningdiah [Ga.Pa.2.2] (Gondhowiryo) [Ga.Pa.2.2]
perkawinan: <232!> ♀ 37. Gusti Kanjeng Ratu Ayu Krama [Gp.Pa.2.1] [Hamengku Buwono II]
gelar: 1814, Yogyakarta, Pangeran Suryaningrat
gelar: 31 Desember 1829, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat
gelar: 4 Januari 1830 - 23 Juli 1858, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II
wafat: 23 Juli 1858, Yogyakarta
Pada 1814 ia dilantik menjadi Pangeran Suryaningrat. Setelah ayah mangkat, maka pada 31 Desember 1829 sang pangeran ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Suryaningrat. Melalui perjanjian politik 1831-1832-1833 dengan Pemerintah Hindia Belanda, KGP Adipati Suryaningrat dikukuhkan menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati (KGPA) Paku Alam II. Dalam masa pemerintahannya ditandai dengan apresiasi yang tinggi terhadap kesenian dan kesusastraan disamping meletakkan dasar pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Kebudayaan menemukan wujud yang baru dalam kadipaten walaupun tidak meninggalkan pokoknya.
Perlu dicatat bahwa Paku Alam II dari garwa padmi (permaisuri) mendapat empat orang putra. Sementara keseluruhan putra-putrinya berjumlah 16 orang. Pada waktu ia naik tahta putra sulungnya yang bernama GPH Suryoputro telah wafat. Putra kedua yaitu GPH Suryaningrat terganggu ingatannya karena terlalu mendalami soal mistik. Putra yang ketiga GPH Nataningprang mendampinginya dalam memegang tampuk pemerintahan dan merupakan tulang punggungnya. Namun putra ketiga ini mendahului meninggal dunia pada 1857. Dengan demikian putra terakhirnya, GPH Sasraningrat, yang menggantikan membantu tampuk pemerintahan sekaligus pewaris tahta berikutnya. Akhirnya KGPA Paku Alam II mangkat pada 23 Juli 1858 setelah bertahta sekitar 30 tahun dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.perkawinan: <292!> ♀ 2. Bendoro Raden Ayu Nuryani / Bendoro Raden Ayu Abdu'l Arifin Hadiwijoyo [Hamengku Buwono]
wafat: 30 Juli 1826, Nglengkong-Sleman, Termasuk dalam Daftar Panglima Perang Pangeran Diponegoro, (wafat pada 30 Juli 1826, dalam sebuah penyergapan Belanda didaerah Nglengkong-Sleman, Royal.Ark)
perkawinan: <332!> ♂ Pangeran Diponegoro [Hb.3.1] / Bendoro Raden Mas Mustahar [Hamengku Buwono III] b. 11 November 1785 d. 8 Januari 1855, Keraton Yogyakarta
gelar: 18 Februari 1825, Tegalrejo
wafat: 28 Februari 1827, Yogyakarta
Setelah geger Madiun reda di tahun 1814 untuk yang ke lima kalinya Pangeran Diponegoro menikah dengan R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Tahun 1826 ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan di Dekso, R.A Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Namun karena sakit beliau meninggal pada tahun 1828. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Joned pada tahun 1815 Dan Raden Mas Roub tahun 1816 . Raden Ayu Maduretno juga dikenal dengan Raden Ayu Ontowiryo atau Raden Ayu Diponegoro. Ketika menikah dengan R. A Maduretno, isteri pertama dan keempat sudah meninggal, sedangkan isteri kedua lebih senang tinggal diistana sehingga terjadilah hubungan yang tidak harmonis antara P. Diponegoro dengan RA. Retnokusumo. Hubungan Pangeran Diponegoro dengan keluarga besar Raden Ronggo semakin ditingkatkan untuk menambah kekuatan dan kedudukan kasultanan Jogja di mata penjajah.
Masa Perang Diponegoro di Madiun
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita. Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon ) Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda) Ulama dan Santri :
mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.perkawinan: <658!> ♀ Raden Ayu Sentotprawirodirjo [Hb.3.2.12] [Hamengku Buwono III]
wafat: 17 April 1855, Bengkulu
NMR: 29 Juni 1813, Yogyakarta
perkawinan: <269!> ♀ 74. Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hamengku Buwono II]
pekerjaan: 2 Desember 1813 - 22 Februari 1847, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo III
wafat: 1849, Mojokerto
perkawinan: <144> ♀ Raden Ayu Adipati Notodiningrat [Dermoyudo]
pekerjaan: 14 November 1825, Bangil, Bupati Bangil Th.1825-1854 Th 1832 jadi Adipati
wafat: 1853, Wafat umur 70 tahun, dimakamkan di belakang Masjid Kota Bangil - Pasuruan
Bandara Pangeran Arya Martasana/Bandara Pangeran Arya MurdaningRat (cre. 17th November 1825). b. 1774 (s/o Sepu). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Wakil Dalem to HBV from 17th November 1825. m. at Ambon, before 1824, a daughter of an exiled Surakarta prince. He was k. in an ambush at Nglengkong, near Sleman, 30th July 1826, having had issue: •a) Radin Mas Adipati Arya Jaya di-ning Rat. Served with Dipa Negara 1825-1829, Bupati of Kuta Arya 1830-1863. Copyright© Christopher Buyers
•b) Radin Temenggong Rana di-ning Rat. Mbr. Regency Cncl. 1814-1815. m. Bandara Radin Ayu Rana di-ning Rat, fourteenth daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana I Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping [Sunan Kabanaran or Sultan Suwarji], Sultan of Yogyakarta, by his junior wife Bandara Mas Ayu Chitra Kusuma.BPH Dipawiyana adalah anak dari Seri Sultan Hamengku Buwono. Sejarah Hamengku Buwono II: Sri Sultan Hamengkubuwana II (lahir 7 Maret 1750 – meninggal 3 Januari 1828 pada umur 77 tahun) adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah selama tiga periode, yaitu 1792 - 1810, 1811 - 1812, dan 1826 - 1828.[1] Pada pemerintahan yang kedua dan ketiga ia dikenal dengan julukan Sultan Sepuh.
Riwayat Masa Muda
Nama aslinya adalah Raden Mas Sundoro, putra Hamengkubuwana I, Ia dilahirkan tanggal 7 Maret 1750 saat ayahnya masih menjadi Pangeran Mangkubumi dan melakukan pemberontakan terhadap Surakarta dan VOC. Ketika kedaulatan Hamengkubuwana I mendapat pengakuan dalam perjanjian Giyanti 1755, Mas Sundoro juga ikut diakui sebagai Adipati Anom.
Pada tahun 1774 (atau tahun Jawa 1700) terjadi kegelisahan di kalangan Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta akibat mitos akhir abad, bahwa akan ada sebuah kerajaan yang runtuh. Dalam kesempatan itu, Mas Sundoro menulis kitab Serat Suryaraja yang berisi ramalan bahwa mitos akhir abad akan gugur karena Surakarta dan Yogyakarta akan bersatu di bawah pemerintahannya. Naskah tersebut sampai saat ini dikeramatkan sebagai salah satu pusaka Keraton Yogyakarta.
Pemerintahan Periode Pertama
Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792. Ia merupakan raja yang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II setia kepada Belanda, berbeda dengan rajanya.
Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. Ia bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799.
Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur jenderal VOC adalah Herman Daendels yang anti feodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen). Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. Ia memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Kemudian Hamengkubuwana II juga merestui pemberontakan besanya, yaitu Raden Rangga Prawiradirjo I bupati Madiun yang menentang penjajahan Belanda. Putera KPR Prawirodirjo I, Raden Ronggo Prawirosentiko Bupati Toenggoel menikah dengan puteri Hamengku Buwono II dari isteri ampeyannya BMA Yati.Raden Rangga Prawirodirjo I adalah juga paman Hamengku Buwono II. Ibu Hamengku Buwono II Kanjeng Ratu Tegalraya adalah adik KPR Prawirodirjo bapak mereka adalah Kyai Ageng Derpayuda.(Genealogy Keraton Yogya).
Belanda berhasil menumpas Raden Rangga dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menyebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinya dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II. [sunting] Pemerintahan Periode Kedua
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali.
Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu letnan gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya.
Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman. [sunting] Pemerintahan Periode Ketiga
Pada tahun 1825 terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro (putra Hamengkubuwana III) terhadap Belanda (yang kembali berkuasa sejak tahun 1816). Saat itu raja yang bertakhta di Yogyakarta adalah Hamengkubuwana V.
Pemberontakan Pangeran Diponegoro sangat mendapat dukungan dari rakyat. Pemerintah Hindia Belanda mencoba mengambil simpati rakyat dengan mendatangkan Hamengkubuwana II yang dulu dibuang Inggris. Hamengkubuwana II kembali bertakhta tahun 1826, sedangkan Hamengkubuwana V diturunkan oleh Belanda. Namun usaha ini tidak membuahkan hasil. Rakyat tetap saja menganggap Pangeran Diponegoro sebagai raja mereka.
Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sultan Sepuh) akhirnya meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1828. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V.Tahun 1828 setelah Raden Ayu Maduretno meninggal, Pangeran Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II dan mempunyai tiga puteri yaitu Raden Ayu Mangkukusumo, Raden Ayu Padmodipuro dan Raden Ayu Poncokusumo. Pernikahan ini adalah permintaan R.A Maduretno ketika beliau dalam keadaan sakit keras dan akhirnya meninggal.
Raden Ayu Retnaningrum sempat ikut Pangeran Diponegoro dalam perjalanan dari Magelang, Ungaran dan sampai ke Semarang. Namun karena sakit atas kehendak Pangeran Diponegoro, dia diminta kembali ke Yogyakarta pada tgl. 5 April 1830.Dari Ibu R. Sutawijaya cucu Paku Buwono yang menurunkan KGPA Mangkubumi dan menurunkan Raden Ajeng Bojati selanjutnya menurunkan Sutawijaya.
Raden Sutawijaya dapat istri anak Bupati Pasuruan yang dari kecil ikut kakeknya Panembahan Heru Cokro di Pancamanis Nusakambangan yang termasuk Guru Utama Raden Sutawijaya.
Setelah menikah Raden Sutawijaya diberi kekuasaan wilayah Kadipaten Merden yang lama kosong tidak ada pemerintahan kecuali setingkat kelurahan.
Raden Sutawijaya mulai membangun Merden dengan perencanaan yang cukup matang dari Tata Kota, ekonomi dan pemerintahan.
Dijantung Pemerintahan jalan dibuat 4 (empat) persimpangan, (Ke selatan menuju Gombong, Ke utara menuju Banjarnegara, ke Barat menuju Banyumas, Wirasaba, ke Timur menuju Kademangan Tampomas).
Di bidang industri Raden Sutawijaya mengundang ahli pande besi untuk membuka usaha di Merden. Pasar pun dibangun sebagai pusat perdagangan untuk wilayah kademangan Merden dan sekitarnya yang terkenal dengan Pasar Setu.
Dan juga mengundang para ahli Bathik dari Banyumas yang sengaja didatangkan oleh ayahandanya RM. Cokro Atmojo dari Banyumas, serta ahli pembuat alat dapur yang dibuat dari tanah liat (kundi) dan kerajinan dari bambu. Sisa-sisa kegiatan tersebut sampai sekarang masih ada.
Wilayah kademangan Merden adalah bekas kadipaten, saat itu sebelah barat Purworejo Klampok, sebelah utara dibatasi Sungai Serayu, sebelah selatan dibatasi Pegunungan Kendeng yang memisahkan Banjarnegara dan Kebumen, sebelah timur sampai Gunung6
3401/6 <176+104> ♂ R Adipati Panji Arya Prawirodirdjo / Panji Dongke [Ki Ageng Brondong]pekerjaan: Bupati Japan (Mojokerto);
perkawinan:
pekerjaan: Onder Collecteur Ronggo di Bangil.
perkawinan: <150> ♂ Raden Notodirdjo [Tdk ada Catatan]
perkawinan:
gelar: Kaliwon di Kasunanan Surakarta, Gelar asma "TOHPATI", nunggak semi asama saking hingkang eyang TOHPATI I, lelabet dumateng Sinuhun Pakubuwana kaping X, kautus Sinuhun ngaturaken KUDA petak dumateng Ratu Kidul, ngatos 40 dinten tanpa kabar, lajeng keluarga ngawontenaken tahlilan ing ndal
gelar: Sad Katuranggan
pekerjaan: Wedana Winongan, Pasuruan
pekerjaan: Wedana Wangkal, Pasuruan
perkawinan: <944!> ♀ Raden Ayu Aminah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] , <945!> ♀ Raden Ayu Asiyah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <151> ♂ Raden Tumenggung Ronggo Kertokusumo [R Tumenggung Arya Adikoro - Pamekasan]
pekerjaan: Bupati Malang 1839-1854.
perkawinan: <554!> ♀ Raden Ayu Arinah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <152> ♀ Raden Ayu Arsinah [RT Soeryoamidjoyo]
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan: <153> ♀ Nyonya Tjwan Tie [Tiong Hwa - China]
perkawinan: <153!> ♀ Nyonya Tjwan Tie [Tiong Hwa - China]
perkawinan:
perkawinan:
pekerjaan: Wedana Bendungan, Singkalan-Sidoarjo (= Sidokare)
wafat: RT Djodirono III, Th.1827 turut serta dalam peperangan melawan Kyai T. Kertowiryo/bupatinya P.Dipenogoro (Java Oorlog 1825-1830) di Kertosono, mengalami kekalahan. Wafat dimakamkan di Ds Kramattumenggung (pinggit sungai Brantas/jl besar, 5 Km dari Mojoker
pekerjaan: Patih Kanoman - Surabaya
pekerjaan: Wedana Jenggala I - Sidoarjo ( NB:seharusnya Sidokare )
perkawinan: <427!> ♂ 1. Kanjeng Raden Tumenggung Mangkuwijoyo / Pangeran Adipati Mangkudiningrat II [Hamengku Buwono] b. 1800?
perkawinan: <154> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Prabuningrat [?]
perkawinan: <155> ♀ Raden Nganten Harjosubroto [Ki Sontodikoro]
perkawinan: <156> ♀ Bendoro Raden Ayu Padmi [?]
penguburan: Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Yogyakarta
pekerjaan: Bupati Bangil - Pasuruan Th 1809 - 1833
wafat: 30 Januari 1833, Bangil, Dimakamkan di belakang Masjid Kota BAngil-Pasuruan.
Raden Adipatie Nitiadiningrat II, die fatzal VI itoe mempoenjaie anak nama Raden Pandjie Brongtokoesoemo lahir taoen 1782 jang die blakang sameninggalnja dia poenja papa taoen 1809 lantas menggantie kadoedoekanja mendjadi Boepatie die Pasoeroewan, koetika tanggal 1 November bergelar, pada taoen 1815 Raden Adipatie Nitiadiningrat dapet katetepan darie Gouvernement dengen besluit 1 Februari 1820. Djadinja Boepatie lamanja 24 tahoen dan dia toeroet oeroesken reroesoehan die Probolinggo, koetika Majoor tjina Han Kie Khoo die krojok dan die boenoeh oleh orang die desa Kedoepok (Tongas.) (I) Raden Adipatie Nitiadiningrat III, inie meninggal pada 30 Januari dalem taoen 1833 die koeboer die blakang mesdjit Pasoeroewan. Inie Boepatie ketjarita amat kaja dan poenja banjak barang poesaka terseboet .djoega dalem boekoe de Javaans'Che plechtigheid karangan toewan Resident Pasoeroewan S. van Deventer. (I) Reroesoehan itoe die dalem taoen 1813 itoe waktoe dia belom tetep djoemeneng Boepatie. Asal kekajaan itoe terbawa darie jang estrie ia itoe ada toeroenan darie Boepatie Bangil Raden Adipatie Soeroadinegoro jang terkenal oleh orang banjak nama “Boepatie lieder." (Ridder.)
Fatzal VI.
Sabelonnja meninggal Raden Adipatie Nitiadinirigrat III die fatzal V soedah mempoenjaie anak lakie-lakie nama : a. Raden Bagoes Amoen die lahirken Senen legie jam 1/2: 4 soree woekoe Soengsang 14 boelan Poewasa taoen Dal: 1743 atawa 29Juli taoen 1816. Serta. soedah besar koetika papanja . misie hidup Raden Bagoes Amoen itoe telah mendapat besluitnja Kandjeng Goivernement 14 Juni 1832 No. 21 die tetepken pakei gelaran Raden Toemenggoeng Ario Notokoesoemo. b. Raden Bagoes Soedarmo bergelar Raden Ario Soerioadikoesoemo lantas die blakang menoeroet besluit Gouvernement 25 Juni 1854 djadie Boepatie die negrie Bangil menggantie kedoedoekannja Raden Adipatie Ario Notoadiningrat die fatzal VI sda. 3. Raden Ario Soerioadikoesoemo srenta djadie Boepatie lantas dalem boelan Augustus tahoen !867 djadi Adipatie gantie nama sampei dapet gandjaran jaitoe Raden Adipatie Ario Soerioadiningrat, lamanja djadie Boepatie 16 tahoen meningga! die Pasoeroewan tahoen 1873 die koeboer die blakang mesdjit kotta Pasoereewan. Ketjarita Boepatie inie amat die takoetie oleh orang anak negrie sahingga sekarang orang-orang die Bangil misie meloehoerken itoe nama, dia terkenal oleh orang ketjil jaitoe Kangdjeng. Wallie Den Ario. c. Radenajoe Limbook .kawin pada poetranja Kangdjeng Pangeran Ario Prawiroadiningrat Boepatie die Bezoekie meninggal die Bezoekie die koeboer die Tegalmas (Bezoekie.) d. Raden ajoe Soemodiwirio estrinja Wedono district Djatie (Pasoeroewan) meninggal dan die koeboer die Pasoeroewan blakang mesdjit.
e. Radenajoe Arinahi kawin bermoela pada Raden Adipatie Ario Notodiningrat. Ridder die Malang, anak darie Raden Adipatie Notodiningrat die fatzal VI sub. 2. Dan die blakang kawin lagie dapet pada Raden Toemenggoeng Ario Soerioamidjoio, Boepatie di Sitoebondo, anaknja Kandjeng Pangeran Ario Prawiroadiningrat terseboet die c. Radenajoe Arinah inie slama djanda toeroet pada dia poenia soedara die Raden Bagoes Amoen (a). dan dapet onderstand darie negrieperkawinan: <159> ♀ Raden Ayu Sosrokusumo / Ratu Kencana [Martani]
perkawinan: <160> ♀ Ratu Mas / Kanjeng Ratu Ageng [?]
gelar: 10 Februari 1820 - 5 September 1823, Surakarta, Bergelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono V
wafat: 5 September 1823, Surakarta
Kisah Hidup Nama aslinya adalah Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo putri Adipati Cakraningrat bupati Pamekasan. Ia naik takhta pada tanggal 10 Februari 1820, selang delapan hari setelah kematian ayahnya.
Pakubuwana V juga dikenal dengan sebutan Sunan Sugih, yang artinya “Baginda Kaya”, yaitu kaya harta dan kaya kesaktian. Konon, ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama Kyai Kaget, yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat terjadinya pemberontakan orang Cina tahun 1740.
Pakubuwana V juga memerintahkan ditulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjabat Adipati Anom. Yang menjadi juru tulis naskah populer ini ialah Raden Rangga Sutrasna.
Pakubuwana V hanya memerintah selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Raja Surakarta selanjutnya adalah putranya, yaitu Pakubuwana VI, yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional.
SRI SUSUHUNAN PAKUBUWANA V, BUKAN HANYA RAJA dari Karaton Surakarta Hadiningrat, melainkan beliau juga seorang maecenas besar yang pernah dimiliki Indonesia. Meski kekuasaannya berlangsung sangat pendek (1820-1823), namun jasa dan gagasannya terukir panjang. Dari gagasan, dan tentu donasi beliau (yang bahkan telah dimulai ketika masih sebagai putra mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV), lahirlah pada awal abad 19 itu, Suluk Tambangraras yang kemudian lebih dikenal sebagai Serat Centhini. Serat Centhini, ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga Karaton Surakarta. Yakni, Ki Ngabei Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabei Sastradipura. Sebagai sebuah karya sastra, memenuhi syarat sebagai sebuah mahakarya yang memiliki pengaruh luas. Sampai banyak orang bisa berkomentar dan menilai, sekali pun sama sekali belum pernah membacanya, sampai hari ini. Begitu hebatnya ia, sampai-sampai karya ini muncul dalam banyak versi. Setidaknya ditengarai ada 12 versi Serat Centhini, dan itu sudah cukup menunjukkan kelasnya. Daerah tebanya begitu luas. Ia mengenai apa saja. Bukan hanya mengenai sastra atau seni, melainkan juga tentang adat-istiadat, obat-obatan, makanan dan minuman (jaman sekarang disebut kuliner), pengetahuan tentang hewan, tanaman, agama, sejarah, dan bahkan tentang seks. Tentang yang terakhir itulah, Serat Centhini antara lain dikenal luas. Karena Serat Centhini-lah karya sastra Jawa pada waktu itu, yang berbicara berterus-terang perihal seks. Penjabarannya, bukan hanya verbal tetapi kadang liar. Dalam Serat Centhini, juga dikisahkan bagaimana terjadi anal seks atau pun praktik homo-seksualitas. Dan bahkan, seks massal,... Pada bagian-bagian yang berkait dengan seks itu, konon Pakubuwana V sendiri yang turun tangan, menulis langsung. Itu terjadi setelah tiga penulisnya dirasa tidak memuaskannya. Tidak nges, dan kurang lugas. Kurang mak nyus, kata almarhum Prof. Dr. Umar Kayam (yang kemudian ditirukan atau dipopulerkan oleh pakar kuliner Bondan Winarno). Maka, Serat Centhini jilid 5 s.d 10 yang ditulis sendiri oleh sang Raja, sebagaimana kemudian bisa dibaca dalam kitab Serat Centhini sekarang ini. Ia mendapat banyak sebutan, sebagai karya korpus, monumental, sastra kanon yang begitu lengkap dan mencengangkan, karena cakupan isinya yang ensiklopedis, gaya bertuturnya, serta ketebalannya. Bayangkanlah, pada abad 19 itu, lahir karya sastra yang secara liris dan intens, ditulis sebanyak 12 jilid, dengan 722 pupuh tembang (jenis puisi Jawa). Satu pupuh tembang, tak jarang terdiri dari ratusan kuplet (bait), bahkan ada beberapa yang mencapai lebih dari 300 kuplet. Dan masing-masing kuplet terdiri antara 6 hingga 12 baris. Bisa dibayangkan, kepiawaian bahasa para penulisnya. Karena masing-masing pupuh tembang diikat oleh guru wilangan (jumlah suku kata yang terukur dan terhitung pasti), dan guru lagu (akhir suku kata masing-masing baris yang baku, untuk mendapatkan pola pantunnya). Karena itu, kata-kata dalam bahasa Jawa yang dipakai para penulisnya begitu lentur karena mengejar rima dan bunyi. Karena itu ketika Serat Centhini itu dilisankan (ditembangkan) siapa pun sepanjang mengetahui cara menyanyikan pupuh tembang itu, Centhini menjadi komunikatif, mudah untuk diapresiasi, dan mudah untuk disosialisasikan. Bahkan terbuka ditafsirkan dan punya kecenderungan bias, karena faktor pendengaran, pengertian, atau ingatan. Hal ini menjadi mudah terjadi, karena tembang sebagai sastra lisan yang jamak dilakukan pada waktu itu, terjadi dalam berbagai bentuk pertemuan banyak orang, ketika berada dalam upacara sunatan, pengantin, atau berbagai pertemuan-pertemuan rutin, yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok masyarakat, dalam berbagai waktu dan tempat. Karena itulah Centhini bisa muncul dalam banyak versi. Seperti Centhini Pegon. Centhini Jalalen. Centhini versi Madura. Dan lain sebagainya. Tidak dalam niat menyamakan, demikian pulalah ketika para sahabat Muhammad SAW hendak mengumpulkan hadist nabi, yang tentunya disampaikan secara lisan. Maka ketika hadist itu hendak dikumpulkan dan dituliskan, dibutuhkan para perawi hadis yang sahih, yang bisa menjamin tingkat kebenarannya. Apalagi, untuk kasus penulisan Alquran, yang dilakukan setelah nabi wafat. Demikian pula dengan kasus penulisan Injil, yang ditulis berdasar penuturan sahabat-sahabat Jesus seperti Lukas, Paul, Johannes dan lain sebagainya. Percontohan dalam karya sastra Indonesia, mungkin bisa ditemui pada novel “Para Priyayi” (1992) Umar Kayam, yang pembagian bab-nya ditulis menurut sudut pandang “aku” tokoh-tokohnya. Atau pada lahirnya novel kwarternarius “Bumi Manusia” (1980) Pramoedya Ananta Toer. Yang konon sebelum dituliskan, justeru dilisankan. Didongengkan terlebih dulu kepada sesama napi di Pulau Buru, untuk kemudian baru ditulis.
Serat Centhini (1815) berada dalam nasib berbeda, karena ia “hanya” sastra Jawa, yang tentu tidak segawat kasus penulisan kitab agama yang membutuhkan kesahihan dan kecanggihan. Demikian pula, ia bukan sastra teks Indonesia yang “mulia”, yang mempunyai para ahli kritiknya masing-masing. Sehingga perlu ada studi perbandingan atau studi kritis, sebagaimana dialami oleh Umar Kayam atau Pramoedya.perkawinan: <161> ♀ 3. Raden Ayu Retnodewati [Kyai di Wilayah Selatan Jogjakarta]
perkawinan:
perkawinan: <162> ♀ 5. Raden Ayu Retnaningsih [Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan] b. 1810 d. 1885
perkawinan: <278!> ♀ 7. Raden Ayu Retnaningrum [Dipawiyana II]
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan: <163> ♀ 1. Raden Ayu Retno Madubrongto [Kyai Gedhe Dadapan - Tempel Sleman]
gelar: 3 September 1805, Yogyakarta, Bendoron Raden Mas Ontowiryo (Carey,Peter, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro, 2014, pp.17)
perkawinan: <164> ♀ 2. Raden Ayu Retnakusuma / Raden Ayu Supadmi [Raden Tumenggung Natawijaya Iii, Bupati Panolan, Jipang] , Yogyakarta
perkawinan: <276!> ♀ 3. Raden Ayu Maduretno / Raden Ayu Diponegoro (Bendoro Raden Ayu Ontowiryo) [Hamengku Buwono] b. ~ 1798 d. 28 Februari 1827, Keraton Yogyakarta
perkawinan: <165> ♀ 6. Raden Ayu Retnakumala [Kyahi Guru Kasongan]
gelar: 15 Agustus 1825, Selarong, Yogyakarta, Sultan Eru Cakra, Sultan Ngah 'Abdu'l Hamid Eru Chakra Kabir ul-Mukminin Saiyid ud-din Panatagama Jawa Khalifat Rasu'llah
perkawinan: <165!> ♀ 6. Raden Ayu Retnakumala [Kyahi Guru Kasongan] , Kasongan
wafat: 8 Januari 1855, Makasar
Daftar isi |
Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro
Latar Belakang
- Sebagai putra sulung Sultan Hamengkubuwono (HB) III, raja kasultanan Jogyakarta Hadiningrat, Pangeran Diponegoro memiliki hubungan kekerabatan formal dengan kraton. Meskipun dia dibesarkan di luar tembok kraton, namun sebagai seorang pangeran dia tetap mendapat didikan ksatria Jawa, mengikuti tradisi kejawen, dan menghayati berbagai ritual kraton, tata cara, perilaku dan tutur bahasa yang sangat hierarkhis. Selain itu dia juga mendapat pendidikan perang seperti ulah kanuragan, olah senjata, menunggang kuda, dan juga ilmu pemerintahan.
Figur Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan putri itu berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekat makam keramat Tembayat (Carey, 1991:2). Dalam naskah lain Carrey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang (Carey, 1974:74). Sagimun MD. memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang Bupati yang konon masih berdarah Madura (Sagimun, 1986:36). R. Tanojo dalam Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak ibu tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat dari Tunjung Madura (Tanojo, t.t:4). Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum'at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB III (Carey, 1991:1). 1) Pada tahun 1805 Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Sepanjang hidupnya, tercatat ada tujuh wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro. Pernikahan pertama, terjadi tahun 1803 dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta. Kedua, tanggal 27 Pebruari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (R.A. Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati. Baik Madubrongto maupun Retnodewati wafat sewaktu Diponegoro masih berada di Tegalrejo. Isteri Keempat, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Ketika Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton.l 18 Pebruari 1828. Keelima, bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II. Keenam, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan, dan ketujuh, R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan (Babad, P. XIX, b. 21-26; Lihat juga Carey, 2007:767-769). 6)
Silsilah Keturunan Pangeran Diponegoro
Penangkapan dan Pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan karya Nicolaas Pieneman, "Penyerahan diri Pangeran Diponegero kepada Jenderal De Kock".28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, Sulawesi Selatan.Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
Perang Jawa-3 ; 1825 – 1830 Perjuangan Islam Melawan Penjajah
Langkah pertama yang ditempuh oleh Diponegoro adalah mengeluarkan seruan kepada seluruh rakyat Mataram untuk sama-sama berjuang menentang penguasa kolonial Belanda dan para tiran, yang senantiasa menindas rakyat. Seruan itu antara lain berbunyi: “Saudarasaudara di tanah dataran! Apabila saudura-¬saudara mencintai saya, datanglah dan bersama-sama saya dan paman saya ke Selarong. Siapa saja yang mencintai saya datangdah segera dan bersiap-siap untuk bertempur.” Seruan ini disebar-luaskan di seluruh tanah Mataram, khusuanya di Jawa Tengah dan mendapat sambutan hampir sebagian besar lapisan masyarakat. Dan daerah Selarong penuh sesak, dipenuhi oleh pasukan rakyat!
Seruan ini disambut baik oleh Kiai Mojo, seorang ulama besar dari daerah Mojo-Solo; yang datang bersama barisan santrinya menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro; ia menyerukan ‘perang sabil’ terhadap pihak penguasa kolonial Belanda. Jejak Kiai Mojo dengan santrinya, diikuti oleh para ulama dan santri-santri dari Kedu dibawah pimpinan Pangeran Abubakar; juga Muhamad Bahri, penghulu Tegalrejo. Perang sabil menentang penguasa kolonial Belanda-Kristen meledak membakar hampir seluruh tanah Mataram, bahkan sampai ke Jawa Timur dan Jawa Barat. Tampilnya Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja (Sentot) dan sebagian para bangsawan di kalangan penguasa kolonial Belanda dan kraton Yogyakarta. Akhimya diutuslah Pangeran Mangkubumi (paman Diponegoro) ke Tegakejo untuk memanggil Diponegoro ke kraton. Semula Diponegoro bersedia datang ke kraton, apabila ada jaminan dari Paugeran Mangkubumi bahwa ia tidak akan ditangkap. Tetapi karena Mangkubumi sendiri tidak berani menjamin dan bahkan ia sendiri tidak akan kembali lagi ke Yogyakarta, maka Diponegoro memperkuat diri dengan pasukan rakyat yang telah melakukan bai’ah (janji setia perjuangan). Melihat kegagalan Pangeran Mangkubumi ini untuk memanggil Diponegoro, Residen A.H. Smisaert mengutus kembali dua orang bupati yang dikawal dengan sepasukan militer. Sebelum utusan Belanda ini sampai, Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang sedang berunding menjadi terhenti, karena mendengar letusan senjata dan tembakan meriam yang ditujukan ke arah rumah Diponegoro. Serangan Belanda terhadap tempat kediaman Diponegoro, mengakibatkan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang disertai kawalan pasukan rakyat mengungsi ke daerah selarong, guna selanjutnya melancarkan peperangan untuk mengusir penguasa kolonial Belanda dari daerah kekuasaan kesultanan yogyakarta, khususnya dan Jawa umumnya. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 20 Juli 1825 dan disebut sebagai permulaan “Perang Jawa”.
Yogyakarta seperti antara lain Pangeran Ngabehi Jayakusuma, putera Sultan Hamengku Buwono II dan pangeran Mangkubumi melengkapi “Perang Jawa” yang dahsyat. Strategi perang gerilya yang dipergunakan oleh Diponegoro dengan taktik “serang dengan tiba-tiba pasukan musuh kemudian menghilang-bersembunyi”, merupakan strategi dan taktik yang dapat melumpuhkan pasukan kolonial Belanda; setidak-tidaknya pada awal perang Jawa.
Berita pecahnya perang Jawa sangat mengejutkan pihak Gubernur Jenderal Van der Capellen di Batavia. Karenanya pada tanggal 26 Juli 1825, ia telah memutus¬kan untuk mengirimkan pasukan dari Batavia langsung di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hendrik Marcus De Kock, pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda. Pada tanggal 29 Juli 1825 Let. Jend. De Kock telah tiba di Semarang untuk memimpin langsung operasi militer terhadap pasukan Diponegoro. Pasukan kolonial Belanda yang dipimpin oleh Kapten Kumsius dengan kekuatan 200 prajurit, yang dikirim dari Semarang, di daerah pisangan dekat Magelang disergap oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mulya Sentika. Hampir seluruh pasukan Belanda berhasil dimusnahkan dan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dirampas. Kekalahan pertama, menyebabkan Belanda me¬ngirimkan pasukan yang lebih besar dari Semarang dan dipimpin oleh Kolonel Von Jett untuk langsung me¬nyerang Selarong, markas besar pasukan Diponegoro. Tetapi serangan ini gagal, karena pasukan Diponegoro telah mengosongkan Selarong. Tatkala pasukan Belanda meninggalkan Selarong, di perjalanan, di tempat-tempat yang atrategis, pasukan Belanda diserang; sehingga menimbulkan kerugian yang cukup besar
Ibukota Yogyakarta di kepung oleh pasukan Diponegoro, sehingga pasukan kesultanan Yogyakarta dan Belanda terjepit, bahkan Sultan Hamengku Buwono V bersembunyi di benteng Beianda untuk menyelamatkan diri. Pada tanggal 28 Juli 1825, Belanda mengirimkan pasukan komando gabungan antara pasukan Belanda dan Mangkunegara dari Surakarta untuk menembus barikade pasukan Diponegoro di Yogyakarta, guna menyelamatkan pasukan Belanda dan Sultan Hamengku Buwono V yang terkurung. Tetapi pasukan komando gabungan Belanda Mangkunegara di bawah pimpinan Raden Mas Suwangsa di Randu Gunting dekat Kalasan disergap oleh pasukan Diponegoro dibawah pimpinan Tumenggung Surareja. Sergapan ini berhasil dengan baik dan Raden Mas Suwangsa, pimpinan komando gabungan itu sendiri tertangkap dan dibawa ke Selarong, markas besar pasukan Diponegoro.
Operasi militer Belanda yang senantiasa mengalami kekalahan, maka Let. Jend. De Kock menempuh jalan diplomasi, dengan jalan mengirim surat kepada Diponegoro; surat pertama tertanggal 7 Agustus 1825 dan surat kedua tertanggal 14 Agustus 1825. Isi surat-surat itu menyatakan keinginan Belanda untuk berunding dan bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, dengan syarat: pertempuran dihentikan. Surat Let. Jend. De Kock diperkuat oleh surat Susuhunan Surakarta, tertanggal 14 Agustus 1825. Surat-surat baik dari De Kock maupun dari Susuhunan Surakarta, semuanya dijawab oleh Diponegoro, dengan menekankan bahwa Perang Jawa ini terjadi karena kesalahan Belanda yang bertindak otoriter dan zalim, yang dibantu oleh pasukan militer Susuhunan Surakarta. Perdamaian yang diajukan oleh Belanda dan Susuhunan Surakarta ditolak; kecuali pasukan kolonial Belanda angkat kaki dari bumi Mataram. Jalan diplomasi gagal. Karena tidak ada jalan lain, De Kock sebagai panglima tertinggi pasukan Hindia Belanda, mengerahkan pasukannya dari berbagai daerah Batavia: Bone, Madura, Bali, Ambon dan lain-lain untuk dipusatkan di sekitar Yogyakarta; guna menembus barikade pasukan Diponegoro. Baru pada tanggal 25 September 1825, De Kock dengan pasukan komando gabungan yang besar sekali berhasil memasuki Yogyakarta menyelamatkan pasukan Belanda yang terkepung dan Sultan Hamengku Buwono V. Pertempuran antara pasukan Belanda dengan pasukan Diponegoro tidak hanya terjadi di sekitar Yogyakarta, tetapi juga menjalar dan terjadi di Magelang, Semarang, Pekalongan, Banyumas, Bagelen dan daerah Kedu seluruhnya. Pertempuran makin hari makin meluas, menjalar ke daerah Jawa Timur seperti Madiun, Ngawi dan Pacitan. Pertempuran yang luas itu memang melumpuhkan dan melelahkan pasukan kolonial Belanda dan para kolaborator; bahkan serangan kedua ke markas besar Selarong; tidak berhasil menangkap dan me¬lumpuhkan pasukan Diponegoro.
Pada tahun-tahun pertama (1825 -1826) pasukan Diponegoro memperoleh banyak kemenangan. Dengan pasukan-pasukan berkuda, mereka dapat bergerak capat dan mobile dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pertempuran ke pertempuran lain dan selalu lolos dari kepungan pasukan musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Tetapi sejak tahun 1827 pasukan kolonial Belanda mulai unggul, selain karena besarnya bala-bantuan yang didatangkan dari daerah-daerah, tetapi juga merubah strategi pertempuran yang selama ini ditempuh. Let. Jend. De Kock, selaku panglima tertinggi Hindia melaksanakan “sistem benteng” dalam operasi militernya. Pasukan Belanda mendirikan benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai kembali. Antara benteng yang satu dengan benteng yang lain dibuat jalan se¬hingga pasukan dapat bergerak dengan cepat. Dengan sistem benteng itu, pasukan Diponegoro tidak lagi dapat bergerak dengan leluasa; hubungan antar pasukan menjadi sukar. Tiap pasukan terpaku pada daerah operasinya masing-masing. Gerakan mobile dan cepat yang selama ini menjadi ciri pasukan Diponegoro menjadi lumpuh. Daerah-daerah yang dikuasai kembali oleh Belanda didirikanlah benteng-benteng seperti di Minggir, Groyak, Bantul, Brosot; Puluwatu, Kejiwan, Telagapinian, Danalaya, Pasar Gede, Kemulaka, Trayema, Jatianom, Delanggu, Pijenan. Di daerah-daerah pertempuran sebelah timur, benteng-benteng itu terdapat di Rembang, Bancar, Jatiraga, Tuban, Rajegwesi, Blantunan, Blora, Pamotan, Babat, Kopas dan lain-lain.
Di daerah-daerah pertempuran sebelah barat, benteng-benteng didirikan di Pakeongan, Kemit, Panjer, Merden dan lain lain. Sistim benteng ini memang dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro, apalagi setelah Sultan Sepuh yang telah berusia 70 tahun diangkat kembali menjadi Sultan Yogyakarta, yang secara psikologi sangat mempengaruhi pasukan Diponegoro. Oleh karena itu, berkat usaha Van Lawick von Pabst, Residen Yogyakarta, maka pada tanggal 21 Juni 1827, Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang Sutawijaya beserta para pengikutnya lebih kurang 850 orang menyerah kepada Belanda dan diperlakukan dengan baik. Penyerahan Pangeran Natapraja dan Pangeran Serang adalah pukulan yang besar sekali bagi perang Jawa. Sebab dengan menyerahnya kedua orang pemimpin ini, maka daerah rawan dan daerah pertempuran di sebelah timur kehilangan pimpinan. Seperti telah dimaklumi bahwa kedua orang inilah yang memimpin pasukan Diponegoro di medan pertempuran sebelah timur, mengancam Semarang dan Demak.
Walau demikian, pukulan hebat ini tidak menyebabkan pasukan Diponegoro berputus asa. Di kota Gede Yogyakarta telah terjadi pertempuran yang seru antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Mas Tumenggung Reksasentana melawan pasukan kolonial Belanda. Pertempuran ini terjadi karena usaha Belanda untuk menggiring pasukan Diponegoro untuk berada di daerah antara Sungai Progo dan Sungai Begowonto. Pertempuran terus berlangsung, tetapi usaha diplomasi juga dijalankan oleh Belanda, apalagi setelah kedua Pangeran tersebut menyerah.Usaha diplomasi menunjukkan hasil yang menggembirakan, dengan diselenggarakannya perundingan antara pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Kiai Mojo dan Pangeran Ngabehi Abdul Rahman dengan pasukan Belanda di bawah pimpinan Stavers pada tanggal 29 Agustus 1827 di Cirian-Klaten. Perundingan ini tidak membuahkan suatu hasil apapun bagi kedua belah pihak. Tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh Kiai Mojo dianggap terlalu berat oleh pihak Belanda, sebaliknya syarat-syarat yang diajukan oleh Belanda, termasuk janji-janji untuk memberikan kekuasaan yang luas kepada Diponegoro, tidak dapat diterima oleh Kiai Mojo. Perundingan yang gagal pada bulan Agustus 1827, mengakibatkan pada bulan September 1827 berkobar lagi pertempuran antara pasukan Diponegoro dengan pasukan kolonial Belanda di daerah-daerah Klaten, Puluwatu, Kemulaka dan Yogyakarta. Operasi militer Belanda yang besar ini langsung dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Pada tanggal 10 Oktober 1827 diadakan kembali gencatan senjata untuk mengadakan perundingan perdamaian antara kedua belah pihak, bertempat di Gamping. Pihak Belanda di pimpin oleh Letnan Roeps, seorang opsir Belanda yang pandai berbahasa Jawa, sedangkan dipihak Diponegoro di pimpin oieh Tumeng¬gung Mangun Prawira. Tetapi perundingan inipun gagal, sebab tuntutan mengenai pelaksanaan syari’at Islam, seperti pernah diajukan pada perundingan pertama, sangat ditentang delegasi Belanda. Kegagalan perundingan kedua ini, diikuti oleh operasi militer Belanda secara besar-besaran di bawah pimpinan Kolonel Cochius dan Sollewijn menyerang daerah-daerah sebelah selatan Yogyakarta, Plered, Tegalsari, Semen dan-lain. Pada tanggal 25 Oktober 1827 pasukan Belanda di bawah Mayor Sollewijn menyerbu markas perjuangan Diponegoro di Banyumeneng, tetapi Diponegoro dengan pasukan-pasukannya berhasil menghindar. Tetapi dalam perjalanan pulang pasukan Sollewijn berhasil dijebak dan diserang oleh pasukan Diponegoro, sehingga memporak-porandakan pasukan Belanda; dan hanya dengan susah payah pasukan Sollewijn dapat menyeberangi sungai Progo, terus masuk ke kota Yogyakarta.
Pertempuran yang terjadi setelah kegagalan perundingan kedua ini, bukan hanya terjadi di sekitar Yogyakarta saja, tetapi juga terjadi dan berkecamuk di daerah-daerah Kedu, Banyumas, Bagelen, Bojonegoro, Rembang, Tuban. Hanya dengan susah payah, pasukan Belanda bisa bertahan dan menyelamatkan diri. Pertempuran yang timbul berkecamuk lagi ini, mendorong Jenderal De Kock untuk mengerahkan bala ¬bantuan, termasuk dari negeri Belanda sendiri. Dan memusatkan markas besarnya di kota Magelang pada tanggal 13 Maret 1828; dengan menempatkan markas besarnya di Magelang, maka pasukan Belanda dapat beroperasi lebih mobile, karena tempat itu sangat strategis untuk menjangkau daerah-daerah Semarang di utara, Surakarta di timur, Yogyakarta di selatan dan Banyumas di barat. Strategi ini cukup berhasil, karena daerah Kedu hampir seluruhnya dapat diamankan oleh pasukan Belanda.
Keunggulan Belanda di bidang militer, diikuti dengan kemenangan di bidang.diplomasi, di mana pada tanggal 28 April 1828, Pangeran Natadiningrat beserta isteri, ibu dan kira-kira 20 orang pasukannya menyerah kepada Letnan Kolonel Sollewijn. Penyerahan Natadiningrat ini sangat menggembirakan Belanda, karena sampai waktu itu; bolehlah dikatakan tidak ada keluarga terdekat Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menyerah kepada Belanda. Pangeran Natadiningrat adalah putera kesayangan Pangeran Mangkubumi yang diharapkan oleh Belanda dapat membujuk ayahnya sendiri untuk menyerah kepada Belanda dan meninggalkan Diponegoro.
Selain itu, pasukan Diponegoro di daerah Rembang di bawah pimpinan Tumenggung Sasradilaga, yang semula berhasil memukul mundur pasukan Belanda, lambat-laun mulai terjepit dan akhirnya pada tanggal 3 oktober 1828 menyerah pula kepada Belanda. Kemudian operasi militer Belanda berhasil mempersempit daerah operasi pasukan Diponegoro dengan jalan menggiringnya ke daerah antara sungai Progo dan sungai Bogowonto. Usaha berhasil, setelah pertempuran sengit dengan pasukan Diponegoro di daerah Belige di bawah pimpinan Pangeran Bei pada tanggal 31 Maret 1828. Dengan daerah gerak yang makin sempit, sangat memungkinkan pasukan Belanda yang besar itu dapat mengurung pasukan Diponegoro. Apalagi banyak pasukan bekas anak buah Diponegoro yang menyerah kepada Belanda diikut-sertakan dalam operasi militer ini. Dalam posisi terus terdesak dan terjepit, pasukan Diponegoro bukan hanya kekurangan persenjataan, tetapi juga kekurangan suplai bahan makanan. Tambah ironis, dalam situasi semacam itu di kalangan pimpinan pasukan Diponegoro terjadi perpecahan; sehingga dengan tiba-tiba pada tanggal 25 Oktober 1828 Kiai Mojo dengan pasukannya menyatakan keinginannya untuk berunding dan mengadakan gencatan senjata dengan Belanda.
Pada tanggal 31 oktober 1828 perundingan berlangsung di Mlangi antara Kiai Mojo dengan delegasi Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Wiranegara, komandan pasukan kraton Yogyakarta. Perundingan dengan pengawalan yang ketat oleh pasukan Betanda, berakhir gagal. Perundingan kedua dilanjutkan lagi pada tanggal 5 Nopember 1828, dengan pengawalan ketat oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela; juga berakhir dengan kegagalan. Ketika perundingan gagal, Kiai Mojo beserta pasukannya kembali ke tempat semula, tetapi senantissa diikuti oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Dengan tiba-tiba pasukan Le Bron menyerang pasukan Kiai Mojo, tetapi gagal karena semua prajurit Kiai Mojo telah siap mati syahid. Letnan Kolonel Le Pron tak kehabisan akal untuk dapat menangkap Kiai Mojo. Tipu muslihat yang licik dan keji dipergunakan oleh Le Bron dengan mengajak berpura-pura untuk melanjutkan perundingan di Klaten. Kiai Mojo dengan pasukannya menyetujui tawaran ini. Kiai Mojo dengan pasukannya memasuki kota Klaten dengan nyanyian-nyanyian agama seolah-olah sebuah pasukan yang menang perang dari medan pertempuran.
Setelah sampai Klaten, Kiai Mojo diajak oleh Letnan Kolonel Le Bron de Vexela masuk ke sebuah gedung, sedangkan pssukannya beristirahat di luar. Dengan serta-merta Kiai Mojo ditangkap dan pasukannya yang sedang lengah disergap oleh pasukan Belanda yang lebih besar dan kuat persenjataannya. Dalam kondisi tak berdaya, Kiai Mojo beserta pasukannya tertangkap dan tertawan; tidak kurang dari 50 pucuk senapan dan 300 buah tombak yang dapat dilucuti dari pasukan Kiai Mojo. Bersamanya tertangkap pula para ulama yang turut menjadi pimpinan pasukan di medan per¬tempuran, seperti antara lain Kiai Tuku Mojo, Kiai Badren, Kiai Kasan Basari. Kiai Mojo beserta stafnya dibawa ke Surakarta; dari sana terus ke Salatiga tempat kediaman Jenderal De Kock. Dari Salatiga Kiai Mojo dengan teman-temannya dibawa ke Semarang untuk kemudian dikirim ke Batavia. Tertangkapnya Kiai Mojo dan stafnya diper¬gunakan sebaik-baiknya untuk bisa membujuk pasukan Diponegoro yang lainnya, yang masih melakukan perang gerilya. Pada awal Januari 1829, Komisaris Jenderal Du Bus telah mengirimkan Kapten Roeps dan seorang staf Kiai Mojo untuk mengadakan perundingan dengan Diponegoro di markas besarnya di Pengasih. Pada akhir Januari 1829 mereka dapat di terima di markas per¬juangan Diponegoro dan pembicaraan dimulai antara delegasi Belanda dengan delegasi Diponegoro. Tetapi di saat pembicaraan sedang berlangsung, tiba-tiba ter¬dengar suara dentuman meriam dari pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Bauer. Mendengar letusan meriam, serentak pasukan Diponegoro mau membunuh delegasi Belanda yang sedang berada di tengah-tengah meja perundingan. Berkat kebijaksanaan Alibasah (Sentot) delegasi Belanda itu dapat selamat dan me¬merintahkan agar pasukan Belanda mengundurkan diri, jika jiwa para delegasi Belanda ingin selamat.
Pada bulan Februari 1829 Belanda mengadakan gencatan senjata secara sepihak. Sebab Jenderal De Kock mencoba membujuk Alibasah, panglima muda remaja yang sangat ditakuti oleh Belanda. Jenderal De Kock mengirimkan surat kepada Alibasah, yang isinya antara lain menjamin kebebasan bepergian bagi Ali basah dengan pasukannya di daerah kekuasaan Belanda tanpa ada gangguan. Bahkan De Kock mengirimkan beberapa pucuk pistol kepada Alibasah sebagai tanda kenang-kenangan dan keinginan mau berdamai. Taktik licik Belanda ini mempengaruhi pimpinan pasukan Diponegoro, apalagi setelah beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Tumenggung Padmanegara, Pangeran Pakuningrat diberikan kebebasan bepergian di daerah kekuasaan Belanda pada bulan Ramadhan. Dalam kesempatan gencatan senjata ini Jenderal De Kock menggunakan waktu untuk terus mengirim surat kepada beberapa tokoh pasukan Diponegoro seperti Alibasah dan Pangeran Pakuningrat, yang isinya tidak lain menyanjung-nyanjung tokoh-tokoh tersebut dan keinginan Belanda untuk bekerjasama dengan mereka. Setelah gencatan senjata berjalan tiga bulan tanpa mendapat hasil yang memuaskan bagi Belanda, maka pertempuran dan operasi militer dilanjutkan. Terjadilah pertempuran sengit di antara kedua belah pihak, sampai Komisaris Jenderal Du Bus diganti oleh Johannes Van Den Bosch sebagai penguasa tertinggi Hindia Belanda di Indonesia, dan Jenderal Mercus De Kock diganti oleh Jenderal Mayor Benyamin Bischop sebagai pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda, pada bulan Mei 1829. Tetapi karena Jenderal Benyamin Bischop sakit-sakitan pada tanggal 7 Juli 1829 meninggal dunia, maka praktis pimpinan tertinggi militer Hindia Belanda masih tetap berada ditangan Jenderal De Kock.
Pada akhir bulan Mei 1829 pasukan kolonial Belanda mencari dengan seksama tempat pangeran Mangkubumi yang menjadi kepala urusan rumahtangga pasukan Diponegoro. Maksudnya tidak lain agar dapat menangkap para anggota keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro, untuk dapat memancing tokoh-tokoh itu supaya bisa menyerah. Pada tanggal 21 Mei 1829 tempat persembunyian Pangeran Mangkubumi dengan para keluarga tokoh-tokoh pasukan Diponegoro di desa Kulur diserbu oleh pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have. Hasilnya nihil, karena rombongan Pangeran Mangkubumi telah pergi bersembunyi ke tempat lain. Usaha pengejaran akan dilakukan, tetapi dengan tiba-tiba pasukan Di ponegoro di bawah pimpinan Alibasah menyerang pasukan Belanda tersebut, sehingga terpaksa menghadapinya dan dengan demikian rombongan Pangeran Mangkubumi lepas dari kejaran Belanda. Operasi militer untuk menangkap Pangeran Mangkubumi tidak berhasil; diikuti dengan diplomasi untuk mengajak berunding. Belanda menggunakan putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah yaitu Pangeran Natadiningrat untuk bisa membujuk Pangeran Mangkubumi agar menghentikan pertempuran dengan Belanda, dengan alasan usia telah lanjut dan Belanda berjanji untuk memberikan jabatan yang terhormat dengan tempat dan gaji yang besar. Usaha ini tampak akan berhasil, sebagaimana dilaporkan oleh Residen Van Nes pada tanggal 28 Juni 1829; tetapi hasilnya ternyata gagal.
Kegagalan ini mendorong untuk melakukan operasi militer besar-besaran ke pusat pertahanan pasukan Diponegoro di desa Geger. Pada tanggal 17 Juli 1829 pasukan kolonial Belanda di bawah pimpinan Kolonel Cochius; Letnan Kolonel Sollewijn dan Mayor Cox van Spengler dibantu dengan pasukan Mangkunegara menyerang desa Geger. Dengan kekuatan yang tidak seimbang, markas Geger dapat direbut oleh pasukan Belanda dan beberapa pimpinan pasukan Diponegoro gugur sebagai syuhada, antara lain Sheikh Haji Ahmad dan Tunenggung Banuja. Operasi militer terus ditingkatkan oleh Belanda terhadap “kantong kantong” persembunyian pasukan Diponegoro, sehingga pada akhir Juli 1829 putera Diponegoro yakni Diponegoro Anom dan Raden Hasan Mahmud tertangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Sollewijn. Tertangkapnya putera Diponegoro ini diper¬gunakan untuk melemahkan semangat perjuangan Diponegoro dengan cara mengancam akan membunuh Diponegoro Anom oleh Belanda. Jiwa puteranya akan selamat jika Diponegoro menghentikan pertempuran. Hal ini terlihat dari surat Jenderal De Kock tertanggal 6 Agustus 1829. Tetapi usaha ini tidak berhasil melemahkan semangat tempur Diponegoro. Dalam usaha konsolidasi, karena Alibasah dan Pangeran Bei sakit keras, maka Diponegoro telah mengangkat pimpinan pasukan infantri kepada Syeikh Muhammad dan Baisah Usman, sedangkan pasukan kavaleri dipimpin oleh Pangeran Sumanegara. Selesai konsolidasi, pasukan Diponegoro melakukan serangan terhadap pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Bauer dan Kapten Ten Have di Serma pada tanggal 3 Agustus 1829. Dalam pertempuran sengit ini, banyak korban yang jatuh di kedua belah pihak, antara lain Syekh Muhammad dan Hasan Usman.
Untuk meningkatkan efektifitas operasi militer, Jenderal De Kock telah memindahkan markas besarnya dari Magelang ke Sentolo. Dengan demikian pasukan Belanda akan lebih dekat dengan pusat-pusat pertempuran yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro. Bersamaan dengan operasi militer Belanda yang ditingkatkan, Panglima Alibasah dan Pangeran Bei telah sembuh, sehingga dapat aktif kembali memimpin pasukan Diponegoro yang telah kehilangan dua orang panglimanya yaitu Syeikh Muhammad dan Basah Usman. Pertempuran sengit tidak dapat dihindarkan lagi, disaat pasukan Diponegoro melintasi sungai Brogo menuju Pajang diserang oleh pasukan Belanda. Kedua belah pihak yang bertempur mati-matian, mengakibatkan banyak jatuh korban, diantaranya seorang perwira Belanda mati terbunuh yaitu Letnan Arnold. Seiring dengan operasi militer yang ditingkatkan, usaha diplomasi licik juga dilakukan. Pada tanggal 7 Agustus 1829 Letnan Kolonel Sollewijn datang ke Kreteg untuk membujuk keluarga Pangeran Mangku¬bumi untuk menyerah dengan janji jaminan dari Belanda. Akhirnya Raden Ayu Anom (isteri kedua Pangeran Mangkubumi) beserta anak-anaknya dan pengawalnya sebanyak 50 orang menyerah kepada Belanda.
Dengan posisi pasukan Diponegoro yang makin terjepit karena daerah operasinya makin diperkecil oleh Belanda, kelelahan dan kekurangan bahan makanan dengan perang yang telah berjalan lima tahun, akhirnya satu demi satu pasukan Diponegoro menyerah kepada Belanda. Pada tanggal 5 September 1829 Tunenggung Wanareja dan Tumenggung Wanadirja bersama dengan 44 orang pasukannya menyerah. Pada tanggal 6 September 1829, atas bujukan Tumenggung Surianegara yang sengaja ditugaskan oleh Jenderal De Kock, menyerah pulalah Tumenggung Suradeksana dan Sumanegara kepada Belanda di Kalibawang. Pada tanggal 9 September 1829, Pangeran Pakuningrat bersama dengan pasukannya sebanyak 40 orang menyerah lagi kepada Belanda. Pada tanggal 21 September 1829 atas nama pemerintah Hindia Belanda, Jenderal De Kock mengeluarkan pengumuman tentang ‘hadiah besar’ bagi setiap orang yang dapat menangkap hidup atau mati Diponegoro. Pengumuman itu antara lain berisi: “Barangsiapa yang berani menyerahkan Diponegoro hidup atau mati kepada penguasa Hindia Belanda, akan dinilai oleh Gubernur Jenderal Htndia Belanda sebagai seorang yang sangat besar jasanya. Kepada orang itu akan diberikan hadiah berupa uang kontan sebesar £ 50.000,- (lima puluh ribu pounds) dan diberikan gelar kehormatan dengan gaji dan tanah yang cukup luas”. Pengumuman yang menyayat hati ini belum lagi kering, pada akhir September 1829 telah gugur Pangeran Bei bersama dua orang puteranya yaitu Pangeran Jayakusuma dan Raden Mas Atmakusuma.
Bulan September 1829 benar-benar bulan yang menyedihkan bagi Diponegoro, sebagai pemimpin tertinggi Perang Jawa. Pada tanggal 25 September 1829 Mayor Bauer bersama Raden Mas Atmadiwirja (putera Pangeran Mangkubumi), Tumenggung Reksapraja beserta rombongan mencari Pangeran Mangkubumi, tetapi hasilnya nihil. Tetapi Belanda tidak berputus asa. Jenderal De Kock mengutus Pangeran Natadiningrat, putera Pangeran Mangkubumi yang telah menyerah, untuk membujuk ayahnya. Maka pada tanggal 27 September 1829 Pangeran Natadiningrat berhasil membujuk ayahnya untuk menyerah kepada Belanda. Keesokan harinya, tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi dibawa oleh puteranya ke Yogyakarta. Di pertengahan jalan (di Mangir) rombongan Pangeran Mangkubumi telah dijemput oleh Residen Van Nes dan pejabat-pejabat kesultanan Yogyakarta. Pengaruh dari menyerahnya Pangerang Mangkubumi sangat besar bagi pasukan Diponegoro, karena secara berturut-turut telah menyerah pula pangeran Adinegara, Kanjeng Pangeran Aria Suryabrangta, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryakusuma, Kanjeng Pangeran Dipasana, semuanya adalah mempunyai hubungan famiIi dengan Diponegoro sendiri. Menyerah¬nya secara berturut-turut orang-orang di sekitar Diponegoro, benar-benar dapat melumpuhkan pasukan Diponegoro. Apalagi usaha untuk menarik Alibasah, panglima pasukan Diponegoro yang disegani masih terus dilanjutkan. Melalui Pangeran Prawiradiningrat, yang menjadi bupati Madiun dan saudara Alibasah sendiri, Belanda telah berusaha untuk menaklukkannya. Sejak tanggal 23 Juli 1829 usaha ini telah dilakukan walaupun pada permulaannya gagal, karena syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah cukup berat; yaitu:
- 1. Memberikan uang jaminan sebesar £ I0.000.-
- 2. Menyetujui pembentukan sebuah pasukan di bawah Pimpinan Alibasah sendiri yang berkekuatan seribu orang dan dilengkapi dengan persenjataan dan pakai¬an seragam;
- 3. Memberikan 400 – 500 pucuk senjata api;
- 4. Pasukan Alibasah ini langsung dibawah komando pemerintah Hindia Belanda, dan bebas dari kekuasaan sultan atau pembesar bangsa Indonesia; ¬
- 5. Mereka bebas menjalankan agamanya,
- 6. Tidak ada paksaan minum Jenever atau arak;
- 7. Diizinkan pasukannya memakai surban.
Tawar menawar syarat-syarat ini dilakukan pada tanggal 17 oktober 1829 di Imogiri, antara delegasi Ali basah dengan delegasi Belanda, yang hasilnya masih memerlukan waktu untuk diputuskan oleh penguasa tertinggi Hindia Belanda di Batavia. Dalam surat yang ditulis Jenderal De Kock kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, tertanggal 20 Oktober 1829, antara lain berisi: “…saya telah menulis surat kepada Residen dan Kolonel Cochius bahwa mereka harus sedapat mungkin berusaha menyenangkan hati Alibasah, karena adalah hal yang penting sekali apabila orang seperti Alibasah dapat kita tarik ke pihak kita dan turut membela kepentingan kita ….. seperti yang hendak saya nyatakan dengan hormat, bahwa karena sebab-sebab itulah saya berpendapat bahwa adalah sangat penting apabila Alibasah sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita. Sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pada kita.” Surat Jenderal De Kock ini mendapat jawaban dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia tertanggal 25 Oktbber 1829, antara lain berbunyi: “Pemerintah pada dasarnya setuju dengan keinginan Jenderal (Jenderal De Kock) bahwa dari pihak kita harus dipergunakan segala apa yang mungkin dapat dipakai, selama hal itu dapat sesuai dengan kebesaran pemerintah dan berusaha sedapat mungkin mencegah kembalinya Alibasah ke pihak pemberontak. Melihat isi surat-surat pemerintah Bindia Belanda ini dapat disimpulkan bahwa Belanda bersedia memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh Alibasah. Oleh karena itu kepada Residen Yogyakarta diperintahkan untuk segera menyerahkan uang sebanyak £ 5.000,- dan 200 pucuk senjata untuk dipergunakan pasukan Alibasah serta pasukannya itu langsung dibawah komando Jenderal De Kock, walau secara yuridis masih berada dibawah wewenang sultan. Syarat-syarat lain¬nya seluruhnya dipenuhi. Untuk pelaksanaan penyerahan Alibasah dengan pasukannya, pada tanggal 23 Oktober 1829 Jenderal De Kock datang ke kota Yogyakarta untuk menyambutnya; dan pada tanggal 24 Oktober 1829 Alibasah dengan pasukannya memasuki kota Yogyakarta dan diterima oleh Jenderal De Kock dengan upacara militer yang meriah.
Dengan menyerahnya Pangeran Mangkubumi, Ali basah dan puluhan Pangeran dan Tumenggung serta tertangkapnya Kiai Mojo dan gugurnya ratusan tokoh-tokoh Perang Jawa, maka secara praktis Diponegoro tinggal sendirian. Pengalaman pahit dan getir yang di alami oleh Diponegoro sebagai pimpinan tertinggi perang Jawa, karena banyaknya sababat-sahabat meninggalkannya atau meninggal dunia. Dalam kondisi yang demikian, ia harus menentukan pilihan: meneruskan pertempuran sampai mati syahid di medan laga atau menyerah kepada musuh sampai mati di dalam penjara. Kedua alternatif itu sama-sama tidak menyenangkan! Setelah menyerahnya Alibasah dengan pasukannya, operasi militer Belanda terus ditingkatkan guna memberikan pukulan terakhir terhadap pasukan Diponegoro yang tinggal sedikit lagi itu. Tekanan-tekanan pasukan Belanda kepada posisi pasukan Diponegoro yang terus-menerus ditingkatkan, banyak pula tokoh-tokoh Perang Jawa yang menyerah, antara lain pada bulan Desember 1829; salah seorang komandan pasukan Diponegoro yang masih ada yaitu Jayasendirga; Tumenggung Jayaprawira dan beberapa tumenggung lainnya beserta pasukannya bertekuk lutut kepada Belanda. Adapula yang karena kondisi kesehatan, akhirnya wafat di puncak gunung Sirnabaya Banyumas seperti Pangeran Abdul Rahim (saudara Diponegoro sendiri). Memasuki tahun 1830, musibah yang menimpa pasukan Diponegoro masih terus saja bertambah. Pada tanggal 8 Januari 1830, putera Diponegoro yaitu Pangeran Dipakusuma tertangkap oleh pasukan Belanda; pada tanggal 18 Januari 1830 berikutnya Patih Diponegoro menyerah kepada Belanda.
Usaha untak menghentikan Perang Jawa dengan damai yang licik terus dilakukan. Dengan menggunakan bekas tokoh-tokoh Perang Jawa seperti Alibasah dan Patih Danureja dalam usaha perdamaian licik membawa hasil yang menggembirakan bagi Belanda. Sebab pada tanggal 16 Februari 1830 telah terjadi pertemuan pertama antara Diponegoro dengan Kolonel Cleerens, wakil pemerintah Hindia Belanda dalam rangka perdamaian di Kamal, sebelah utara Rama Jatinegara daerah Bagelen. Pertemuan perdamaian tidak dapat dilangsungkan, karena Diponegoro menuntut perundingan itu harus dilakukan oleh seorang yang mempunyai posisi yang sama dengan dia; setidak-tidaknya seperti Jenderal De Kock. Padahal Jenderal De Kock pada saat itu sedang berada di Batavia. Untuk menunggu kedatangan Jenderal De Kock, maka Diponegoro dengan pasukannya terpaksa harus menginap di Kecawang sebelah utara desa Saka. Selama tenggang waktu perundingan, gencatan senjata dilakukan oleh kedua belah pihak. Desa Kecawang masih terlalu jauh, apabila perundingan akan dilangsungkan di sana. Oleh karena itu; untuk memudahkan jalan perundingan Diponegoro dengan pasukannya harus pindah ke Menoreh yang tidak begitu jauh dari Magelang, markas besar pasukan Belanda. Pada tanggal 21 Februari 1830 rombongan Diponegoro telah tiba di Menoreh. Tetapi sampai 5 Maret 1830 Jenderal De Kock belum juga datang ke Magelang padahal bulan Ramadhan telah tiba. Berkenaan dengan bulan suci ini; Diponegoro tidak mau mengadakan perundingan dengan Belanda karena ia akan memusatkan dirinya untuk melakukan ibadah puasa selama sebulan. Kontak pertama antara Diponegoro dengan Jenderal De Kock terjadi pada tanggai 8 Maret 1830, sebagai perkenalan dan selanjutnya jadwal perundingan akan dilangsungkan sesudah bulan Ramadhan. Menjelang hari raya Idul Fithri, Diponegoro telah menerima hadiah dalam bentuk seekor kuda tunggang yang sangat baik dan uang sebesar f 10.000.- Kemudian diikuti dengan pembebasan putera dan isteri Diponegoro yang ditahan di Semarang dan membolehkan mereka berkumpul dengan Diponegoro di tempat penginapan perundingan di Magelang. Pada tanggal 25 Maret 1830, Jenderal De Kock telah memberikan perintah rahasia kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk memperketat pengawalan dan penjagaan kota Magelang dengan mengerahkan pasukan Belanda dari beberapa daerah di Jawa Tengah. Instruksinya, apabila perundingan gagal, Diponegoro dan delegasinya harus ditangkap! Pada tanggal 28 Maret 1830 perundingan akan dilangsungkan di gedung Keresidenan Kedu di Magelang. Sebelum jam 07.00 pagi Tumenggung Mangunkusuma datang kepada Residen Kedu untuk memberitahukan bahwa sebentar lagi Diponegoro dengan staf nya akan tiba. Pemberitahuan ini menyebabkan Letnan Kolonel Du Perron menyiap-siagakan pasukannya, sesuai dengan perintah Jenderal De Kock. Jam 07.30. pagi Diponegoro dengan stafnya dikawal oleh seratus orang pasukannya memasuki gedung keresidenan. Delegasi Diponegoro diterima langsung oleh Jenderal De Kock dengan staf nya. Perundingan dilakukan di tempat kerja Jenderal De Kock. Pihak Diponegoro disertai dengan tiga orang puteranya yaitu Diponegoro Anom, Raden Mas Joned, Raden Mas Roub, ditambah dengan Basah Martanegara dan Kiai Badaruddin. Sedangkan di pihak Jenderal De Kock disertai oleh Residen Valk, Letnan Kolonel Roest, Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps sebagai juru bicara. Letnan Kolonel De Kock van Leeuwen, Mayor Perie dan opsir-opsir Belanda lainnya ditugaskan untuk melayani dan mengawasi pemimpin-pemimpin pasukan Diponegoro yang berada di kamar yang lain. Sedangkan letnan Kolonel Du Peron tetap berada di luar gedung keresidenan untuk setiap saat dapat melakukan penyergapan, sebagaimana telah diperintahkan oleh Jenderal De Kock. Kolonel Cleerens yang mula-mula sekali berhasil melakukan kontak dengan Diponegoro dan berhasil merencanakan pertemuan perdamaian serta telah memberikan jaminan diplomasi penuh kepada Diponegoro dan stafnya tidak diikutsertakan bahkan tidak berada di kota Magelang tempat perundingan dilaksanakan. Dengan demikian jika terjadi pengkhianatan maka secara moral Cleerens tidak terlibat langsung, karena memang tidak hadir.
Babak pertama Jadwal perundingan, menurut Diponegoro sebagai pendahuluan untuk menjajagi materi perundingan pada babak selanjutnya; tetapi menurut Jenderal De Kock harus langsung memasuki materi Perundingan. Pembicaraan materi perundingan menjadi tegang, karena De Kock bersikeras untuk langsung membicarakan materi perundingan. Suasana tegang dan panas itu, sampai-sampai Diponegoro terlontar ucapan: “Jika tuan menghendaki persahabatan, maka seharusnya tidak perlu adanya ketegangan di dalam perundingan ini. Segalanya tentu dapat diselesaikan dengan baik. Jikalau kami tahu bahwa, tuan begitu jahat, maka pasti lebih baik kami tinggal terus saja berperang di daerah Bagelen dan apa perlunya kami datang kemari.” Ketika pihak Jenderal De Kock terus mendesak tentang tujuan penerangan yang telah dilakukan oleh Diponegoro selama lebih lima tahun ini, maka akhirnya ia memberi jawaban dengan tegas dan gamblang, yaitu antara lain: “Mendirikan negara merdeka di bawah pimpinan seorang pemimpin dan mengatur agama Islam di pulau Jawa”. Mendengar jawaban ini Jenderal De Kock terperanjat, karena ia tidak mengira bahwa Diponegoro akan mengajukan tuntutan semacam itu. Sewaktu De Kock memberi jawaban bahwa tuntutan semacam itu adalah terlalu berat dan tak mungkin dapat dipenuhi, Diponegoro tetap teguh pada tuntutannya. Tanda-tanda perundingan babak pertama akan menemui jalan buntu, dan Belanda khawatir jika pe¬rundingan ditunda sampai besok, berarti kesempatan buat Diponegoro dan pasukannya untuk mengadakan konsolidasi guna menghadapi segala kemungkinan. Sesuai dengan rencana Belanda bahwa perundingan adalah semata-mata methoda untuk menangkap Diponegoro dan stafnya, maka dengan angkuhnya Jenderal De Kock berkata: “Kalau begitu, tuan tidak boleh lagi kembali dengan bebas.” Mendengar ucapan ini, Diponegoro dengan marah menjawab : “Jika demikian, maka tuan penipu dan pengkhianat, karena kepada saya telah dijanjikan kebebasan dan boleh kembali ke tempat perjuangan saya semula, apabila perundingan ini gagal.” Jenderal De Kock berkata lagi: “Jika tuan kembali, maka peperangan akan berkobar lagi.” Diponegoro menjawab: “Apabila tuan perwira dan jantan, mengapa tuan takut berperang?” Tiba-tiba Jenderal De Kock menginstruksikan kepada Letnan Kolonel Du Perron dan pasukannya untuk menyergap Diponegoro dan stafnya serta seluruh pengawalnya dilucuti. Dalam posisi tidak siap tempur, Diponegoro dan pasukannya dengan mudah ditangkap dan dilucuti.
Dengan cepat Diponegoro dimasukkan ke dalam kendaraan residen yang telah disiapkan oleh Belanda dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan De Stuers dan Kapten Roeps berangkat menuju Ungaran. Dari sana kemudian Diponegoro dibawa ke Semarang untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro beserta stafnya dibawa ketempat pembuangannya di Menado. Tidak kurang dari 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya ikut dalam pembuangan di Menado. Pada tahun 1834 Diponegoro beserta keluarga dan stafnya dipindahkan ke kota Makasar. Dan pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 tahun, setelah menjalani masa tawanan selama duapuluh lima tahun. Perang Jawa yang dahsyat dan penuh patriotisme telah digerakkan dan dipimpin oleh tokoh-tokoh pejuang Islam, yang hampir sebagian terbesar berideologi Islam dan bertujuan berdirinya negara merdeka yang berdasarkan Islam. Fakta-fakta sejarah yang terungkap, baik latar belakang yang mewarnai para tokoh Perang Jawa, masa peperangan yang memakan waktu lima tahun lebih, yang diisi dengan menegakkan syari’at Islam di dalam kehidupan pasukan Diponegoro sampai pada saat perundingan dengan Belanda serta tujuan yang akan dicapai, semuanya adalah bukti yang kuat bahwa Diponegoro dan pasukannya telah melakukan perjuangan politik Islam untuk mendirikan negara Islam di tanah Jawa. Kegagalan yang diderita oleh Diponegoro dan pasukannya, bukan karena tujuan dan methodanya yang salah, tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, baik manpower, persenjataan, perlengkapan dan pengkianatan bangsa sendiri yang sebagian besar membantu Belanda yang kafir; disamping tipu muslihat yang licik dan keji yang dilakukan oleh penguasa kolonial Belanda. Tipu muslihat yang licik dan keji, yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermoral rendah dan jahat, ternyata telah menjadi watak kepribadian penguasa kolonial di Indonesia, baik Portugis maupun Belanda.
Sumber : Perjuangan Islam Melawan Penjajah [[14]]
Gallery Aktivitas Keluarga Pangeran Diponegoro
I. LAUNCHING BUKU KUASA RAMALAN KE I (Yogyakarta, 2010)
II. DEKLARASI KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA (Yogya, 11-12 Desember 2011)---> Klik Video :Yogya Istimewa
Dalam sebuah pertemuan antara Keluarga Pangeran Diponegoro dengan Adik kandung Sultan HB-X yaitu GBPH. Joyokusumo yang juga dihadiri oleh bapak Hasyim Djoyohadikusumo, Gusti Joyokusumo berkata :"Saya mengharapkan Keturunan Pangeran Diponegoro harusnya berada di barisan depan mendukung Keistimewaan Yogyarta". Maka atas permintaan KBPH Joyokusumo itulah kami Keturunan Pangeran Diponegoro bersama-sama Laskar Diponegoro berjumlah lebih dari 1000 orang melakukan pernyataan sikap menentang kepada Pemerintah RI dengan cara berorasi sambil long-march dari Tegalrejo (Sasana Wiratama) menuju Keraton Yogyakarta. Di Keraton, Trah Diponegoro menyampaikan Deklarasi kepada Sultan HB-X atas nama Gubernur DIY dan Sultan. Trah Pangeran Diponegoro berdatangan dari berbagai daerah seperti : Kulon Progo, Purworejo, Banyumas, Bogor, Jakarta, Ambon, Sulawesi, Padang dll.
|}
III. KUNJUNGAN KE KERATON YOGYAKARTA (Yogya, 20 Oktober 2012)
Atas undangan Adik kandung Sultan HB-X yaitu GBPH. Joyokusumo, pada Oktober 2012 kami yang berjumlah kurang lebih 20 orang melakukan kunjungan ke Keraton Yogyakarta. Agenda utama kunjungan antara lain :
- Silaturahmi Keluarga Pangeran Diponegoro dengan Pihak Keraton Yogyakarta;
- Membahas Kekancingan Keluarga (Semacam Sertifikat / Surat Pengukuhan Hak) yg dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem;
- Pembentukan Nama Organisasi Keturunan Pangeran Diponegoro;
- Masalah-masalah lain keluarga.
Dalam acara kunjungan ini Gusti Joyokusumo didampingi BRAy. Hj. Nuraida/BRAy. Joyokusumo bercerita banyak tentang kondisi Keraton, kondisi kesehatan Gusti Joyo dan sekilas tentang tatakrama Keraton. Dalam kesempatan ini juga kami semua diajak berkeliling oleh BRAy. Joyokusumo mengenai isi Keraton serta sejarahnya, juga berkunjung ke Museum Kereta Kencana Keraton. Pada jamuan makan siang, kami diperkenankan mencicipi kue hidangan pembuka kesukaan dan tradisi Sultan-sultan Yogyakarta yang bernama "Kue Rondo Mendem" semacam "Pancake" juga dihidangkan minuman "Stuff Jambu Merah" khas Keraton Yogyakarta.
IV. PENTAS PENGASINGAN SANG PANGERAN Ke 1 (Magelang, 8 Januari 2014)
V. UNDANGAN IKA UNDIP (Senayan City, 27 Januari 2014)
- VI. PENTAS PENGASINGAN SANG PANGERAN KE 2 (Bentara Budaya Jakarta, 6 Maret 2014)
perkawinan: <166> ♀ Raden Ayu Suryaningalogo II [Gp.Hb.3.2.2] [?]
perkawinan: <167> ♀ Raden Ayu Suryaningalogo [Gp.Hb.3.2.1] [?]
perkawinan: <168> ♀ Raden Ayu Dayaningsih [Ga.Hb.3.2.1] [?]
perkawinan: <169> ♀ Raden Ayu Purwaningsih [[Ga.Hb.3.2.2] [?]
perkawinan: <170> ♀ Raden Ayu Semitaningsih [Ga.Hb.3.2.3] [?]
perkawinan: <171> ♀ Raden Ayu Wuryaningsih [Ga.Hb.3.2.4] [?]
gelar: 1825?, Bendoro Pangeran Haryo Suryengalogo
perkawinan: <495!> ♀ Bendoro Raden Ajeng Ngaisah [Mangkunegara I]
gelar: 17 Agustus 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII
wafat: 28 Desember 1861, Surakarta
Pemerintahan Pakubuwana VIII Nama aslinya adalah Raden Mas Kusen, putra Pakubuwana IV yang lahir dari istri selir bernama Mas Ayu Rantansari putri Ngabehi Joyokartiko, seorang menteri Surakarta. Ia dilahirkan pada tanggal 20 April 1789.
Pakubuwana VIII naik takhta pada tanggal 17 Agustus 1858 menggantikan adiknya (lain ibu) yaitu Pakubuwana VII yang meninggal dunia sebulan sebelumnya.
Pakubuwana VIII naik takhta pada usia lanjut, yaitu 69 tahun karena Pakubuwana VII tidak memiliki putra mahkota. Ia sendiri adalah raja keturunan Mataram pertama yang tidak melakukan poligami. Pemerintahannya berjalan selama tiga tahun. Pakubuwana VIII akhirnya meninggal dunia tanggal 28 Desember 1861.
Pakubuwana VIII digantikan putra Pakubuwana VI sebagai raja Surakarta selanjutnya, yang bergelar Pakubuwana IX.perkawinan: <488!> ♀ Raden Ajeng Kapilah Raden Ayu Suryabrangta [Danurejo II] , Keraton Yogyakarta
gelar: 25 Januari 1796, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegoro II
gelar: 30 Januari 1832, Medali Militaire Willems Orde (Kelas Tiga)
gelar: 1833?, Medali Orde van de Nederlandsche Leeuw
wafat: 26 Januari 1835, Astana Mangadeg
Asal Usul Mangkunegara II Mangkunegara II berasal dari keluarga Prabuwijaya yang lahir dari Ratu Alit.Dalam diri Mangkunegara II mengalir darah Paku Buwono III dan Mangkunegara I. Tampil sebagai raja Mangkunegaran menggantikan kakeknya yang wafat tahun 1795.Tampilnya Mangkunegara II menggantikan Mangkunegara I merupakan catatan yang menarik berhubung suksesi di Istana Pangeran Sambernyawa berbeda dengan dua Kerajaan lainnya. Perbedaan ini segera tampak dalam sistem pergantian dan masa pemerintahannya.
Mangkunegara II berasal dari Dinasti pejuang yang kental sekali dengan warna kemiliteran sehingga dalam hal suksesi pergantian pimpinan Istana, selain telah dipersiapkan seorang calon juga mewarisi tradisi cita cita dari pendahulunya untuk diwujudkan dalam masa masa pemerintahan penerusnya. Tradisi dan adat Jawa yang tidak membedakan laki laki dan wanita dalam mengurus negara terbukti dengan keberadaan pasukan tempur wanita sejak perjuangan pendahulunya Pangeran Sambernyawa.Dalam masa pemerintahannya pula calon penerus sudah tampak dipersiapkan dan jalur wanita bukan persoalan yang menghambat.
Pemerintahan Mangkunegara II
Mangkunegara II adalah sebutan untuk Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara II Raja di Praja Mangkunegaran. Dalam penulisan sejarah sering hanya disebut dengan nama Mangkunegara II tetapi secara jelas tetap menunjukan sebagai yang dimaksud Raja Mangkunegaran.Semasa mudanya bernama RM.Sulomo kemudian dewasa bergelar Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Surya Mangkubumi. Mangkunegara II lahir dari pasangan Ratu Alit dan Pangeran Hario Prabuwijaya.Dari pihak ibu adalah cucu dari Paku buwono III sedang dari pihak ayahnya adalah cucu dari Mangkunegara I yang terkenal dengan gelar Pangeran Sambernyawa. Ratu Alit adalah putri Paku buwono III sedang Pangeran Hario Prabuwijaya adalah putra Mangkunegara I. Pemerintahan Mangkunegara II berlangsung dari tahun 1796 sampai 1835.perkawinan: <468!> ♀ Ratu Kencana [Pakubuwono III]
perkawinan: <173> ♀ Ratu Paku Buwono [Madura]
perkawinan: <174> ♀ Raden Ayu Retnodiluwih [Joyoningrat]
gelar: 14 Juni 1830 - 28 Juli 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII [1830–1858]
wafat: 28 Juli 1858, Surakarta
Nama aslinya ialah Raden Mas Malikis Solikin, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Sukaptinah alias Ratu Kencanawungu. Ia dilahirkan tanggal 28 Juli 1796.
Pakubuwana VII naik takhta tanggal 14 Juni 1830 menggantikan keponakannya, yaitu Pakubuwana VI yang dibuang ke Ambon oleh Belanda. Saat itu Perang Diponegoro baru saja berakhir. Masa pemerintahan Pakubuwana VII relatif damai apabila dibandingkan masa raja-raja sebelumya. Tidak ada lagi bangsawan yang memberontak besar-besaran secara fisik setelah Pangeran Diponegoro. Jika pun ada hanyalah pemberontakan kecil yang tidak sampai mengganggu stabilitas keraton.
Keadaan yang damai itu mendorong tumbuhnya kegiatan sastra secara besar-besaran di lingkungan keraton. Masa pemerintahan Pakubuwana VII dianggap sebagai puncak kejayaan sastra di Kasunanan Surakarta dengan pujangga besar Ranggawarsita sebagai pelopornya. Hampir sebagian besar karya Ranggawarsita lahir pada masa ini. Hubungan antara raja dan pujangga tersebut juga dikisahkan sangat harmonis.
Pakubuwana VII juga menetapkan undang-undang yang berlaku sampai ke pelosok negeri, bernama Anggèr-anggèr Nagari. Selain itu, pada masanya dirilis pula pranata mangsa versi Kasunanan yang dimaksudkan menjadi pedoman kerja bagi petani dan pihak-pihak terkait dengan produksi pertanian. Pranata mangsa versi Kasunanan ini banyak dianut petani di wilayah Mataraman hingga diperkenalkannya program intensifikasi pertanian di awal 1970-an.
Pemerintahannya berakhir saat kematiannya pada tanggal 28 Juli 1758. Karena tidak memiliki putra mahkota, Pakubuwana VII digantikan oleh kakaknya (lain ibu) bergelar Pakubuwana VIII yang naik takhta pada usia 69 tahun.perkawinan: <396!> ♀ Bendoro Raden Ayu Mangkuwijoyo [Hamengku Buwono III]
perkawinan:
perkawinan: <399!> ♀ Bendoro Raden Ayu Sosrodiningrat [Hamengku Buwono III]
- Granted the principality of Kalibawang in fief 28th April 1831. Exiled to Ambon in December 1831. m. (div. 1817) Bandara Radin Ayu Mangku Vijaya (m. second, Colonel Gusti Pangeran Adipati Prabhu ning Rat), daughter of H.H. Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Amangku Buwana III Senapati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama Khalifatu'llah ingkang Yumeneng Kaping, Sultan of Yogyakarta, by his wife, Ratu Kinchana/Ratu Ibu, daughter of Radin Temenggong Pangeran Sasra di-ning Rat I, Bupati of Jipang-Rajegwesi.
- Lahir dari Ibu selir (Junior Wife), turut dibuang ke Ambon dan wafat di Ambon pada tanggal 13 Maret 1824 dimakamkan di Pemakaman Raja2 Imogiri, Bantul, Yogyakarta
wafat: 1825
- Lahir dari Ibu selir (Junior Wife), turut dibuang ke Ambon dan wafat di Ambon pada tanggal 13 Maret 1824 dimakamkan di Pemakaman Raja2 Imogiri, Bantul, Yogyakarta
wafat: 1825 - 1830
Edited by : Edited by : R.E. Suhendar Diponegoro[1]
- Lahir dari Ibu Selir (Junior Wife), meninggal di Kapal Laut pada saat Perang Jawa 1825-1830.
perkawinan: <823!> ♀ Raden Ayu Sekarkedhaton [Pakubuwono V]
gelar: 16 Januari 1843, Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro III
wafat: 27 Januari 1853, Astana Mangadeg
gelar: 1831 - 1853, Kalibawang, Pangeran Kalibawang
wafat: November 1853, Kalibawang
- Colonel Radin Mas Papak/Radin Temenggong Mangkundirja (cre. 1814)/Pangeran Adipati Natapraya (cre. 1825), Prince of Kalibawang. b. 1804 (s/o Radin Ayu Jaya Kusuma). Succeeded his brother as prince of Kalibawang 1831. He d. at Kalibawang, November 1853.
- Lahir dari Ibu Selir (Junior Wife), (Bandara Pangeran Arya Mangku di-ning Rat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I. b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri)
perkawinan: <425!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.4.1] / Gusti Kanjeng Ratu Agung (Gusti Kanjeng Ratu Hageng) [Danurejo II]
perkawinan: <175> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningrum [Ga.Hb.4.1] [?]
perkawinan: <176> ♀ Bendoro Raden Ayu Murcitaningrum [Ga.Hb.4.2] [?]
perkawinan: <177> ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnadiningrum [Ga.Hb.4.3] [?]
perkawinan: <178> ♀ Bendoro Raden Ayu Turinsih [Ga.Hb.4.4] [?]
perkawinan: <179> ♀ Bendoro Raden Ayu Doyohasmoro [Ga.Hb.4.5] [?]
perkawinan: <113!> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningsih [Ga.Hb.3.21] [?]
perkawinan: <180> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ratnaningrum [Ga.Hb.4.7] [?]
perkawinan: <181> ♀ Bendoro Raden Ayu Widowati [Ga.Hb.4.8] ? (Jiwatenaya) [?]
perkawinan: <182> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningrum [Ga.Hb.4.6] [?]
perkawinan: <1139!> ♀ Raden Ayu Retno Pringgo Asmoro [Hb.3.26.2.4] / [Ga.Hb.4.14] [Hamengku Buwono III]
gelar: 10 November 1814 - 6 Desember 1822, Yogyakarta, Ngarsodalem Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IV
NMR: 12 Mei 1816
wafat: 6 Desember 1822
[sunting] Riwayat Pemerintahan
Nama aslinya adalah Raden Mas Ibnu Jarot, putra Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri tanggal 3 April 1804. Ia naik takhta menggantikan ayahnya pada usia sepuluh tahun, yaitu tahun 1814. Karena usianya masih sangat muda, Paku Alam I ditunjuk sebagai wali pemerintahannya.
Pada pemerintahan Hamengkubuwono IV, kekuasaan'' Patih Danurejo IV semakin merajalela. Ia menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-jabatan penting di keraton. Keluarga Danurejan ini terkenal tunduk pada Belanda. Mereka juga mendukung pelaksanaan sistem Sewa Tanah untuk swasta, yang hasilnya justru merugikan rakyat kecil.
Pada tanggal 20 Januari 1820 Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Pemerintahan mandiri Hamengkubuwono IV itu hanya berjalan dua tahun karena ia tiba-tiba meninggal dunia pada tanggal 6 Desember 1822 saat sedang bertamasya. Oleh karena itu, Hamengkubuwono IV pun mendapat gelar anumerta Sultan Seda ing Pesiyar.
Kematian Hamengkubuwono IV yang serba mendadak ini menimbulkan desas-desus bahwa ia tewas diracun ketika sedang bertamasya. Putra mahkota yang belum genap berusia tiga tahun diangkat sebagai Hamengkubuwono V.- Lahir dari Ibu Selir RA. Mangkudiningrat pada tahun 1805. (Bandara Pangeran Arya Mangku di-ning Rat/Kanjeng Gusti Pangeran Adipati I. b. 1778 (s/o Ratu Mas). Exiled to Penang 1812-1815, Batavis 1815-1817 and Ambon 1817-1824. Became an ascetic and assumed the name of Panji Angon Asmara. m. (first) Radin Ayu Jaya Kusuma, daughter of Pangeran Serang, by his wife, Radin Ayu Serang. m. (second) a selir or junior wife. He d. at Ambon, 13th March 1824 (bur. Imagiri).
gelar: Bupati Japan (Mojokerto) bergelar Tumenggung Sumodipuro
gelar: 2 Desember 1813 - 1847, Yogyakarta, Patih Keraton Yogyakarta bergelar Danurejo IV
perkawinan: <184> ♀ NYI MAS AYU Fatmah \ Bun Nioh [Tan] b. 1817c
wafat: 1837, Yogyakarta, dimakamkan di Bogor (Versi 'Peter Carey')
wafat: 1885, Bogor, dimakamkan di Bogor (Versi Keluarga)
RIWAYAT HIDUP
PANGERAN DJONET / RM. JUNAT / RM. JEMET
Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Raden Mas Joned baru berumur sepuluh tahun. Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya. Usianya masih terhitung anak-anak ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar puri. Terkadang sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak dimana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Orang itu tak lain adalah Sentot Prawiro Dirjo pamannya sendiri. Umur Raden Mas Joned sekitar 15 tahun ketika melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap tegar menghadapi semuanya. Raden Mas Joned tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan. Marah dan dendam, itulah yang ada di dalam benak Raden Mas Joned. Jiwa mudanya sangat terguncang dan itulah yang membuat Raden Mas Joned selalu melakukan perlawanan dimanapun dia melihat orang Belanda. Raden Mas Joned berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro tetapi ketahuan dan Raden Mas Joned menceburkan diri ke laut. Dia tidak putus asa karenanya. Raden Mas joned lalu mengejar Pangeran Diponegoro melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia. Sesampainya di Batavia, Pangeran Joned berusaha mendekati tempat penyekapan Pangeran Diponegoro, tetapi sayang, mata-mata mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah dipindahkan menggunakan kapal ke arah Timur. Dengan perbekalan seadanya disertai dengan pengikut-pengikut setianya, Raden Mas Joned berangkat ke arah Timur melewati jalan darat sambil menebarkan petaka bagi siapapun yang mencoba menghalanginya. Raden Mas Djonet, mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak menguntungkan dalam perselisihan dengan seorang perwira di Djokjakarta. (J. Hageman, 1856, "Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot 1830"). Atas kehendak keluarga, jenasah beliau disembunyikan dan dimakamkan di Bogor. Ibu Raden Mas Joned yaitu Raden Ayu Maduretno adalah kakak Sentot Prawirodirjo yang ikut bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan di Dekso, Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Pada tahun 1828 beliau wafat karena sakit dan dimakamkan di Imogiri.
PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO / RM. JUNAT / RM. JEMET
PANGERAN DJONET atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1815 1) di Yogyakarta dari Ibu kandung yang bernama R.A. Maduretno alias R.A. Ontowiryo alias R.A. Diponegoro yakni isteri kelima Pangeran Diponegoro putri ketiga Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Kanjeng Ratu Kedaton Maduretno Krama (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Pangeran Djonet memiliki adik kandung bernama Pangeran Roub/Pangeran Raab/Pangeran Raib, yang pada tahun 1840 berhasil dibuang Belanda ke Ambon dan meninggal disana. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada 18 Pebruari 1828 (walaupun saat itu Belanda berikut Kerajaan yang lain tidak mengakuinya). Pada saat itu Raden Mas Djonet Dipomenggolo masih berumur 13 tahun.
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA 6. BPH. DIPANEGARA 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Ibu)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KRK. MADURETNO KRAMA (Putri ke 22 HB-II <menikah dengan> RADEN RANGGA PRAWIRADIRDJA III 6. BRAy. MADURETNO/RA. Ontowiryo/RA. Diponegoro 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
PANGERAN DJONET PADA MASA PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO (Tahun 1825-1830)
Sejak usia 10 tahun Pangeran Djonet bersama 2 saudaranya yaitu Pangeran Roub dan Pangeran Diponegoro Anom selalu mendampingi/selalu diajak ayahnya dalam setiap perundingan penting dengan Belanda. Mengingat usianya yang relatif muda tidak banyak yang dilakukan Pangeran Djonet muda, akan tetapi selama 5 tahun Pangeran Djonet berada, melihat dan menyaksikan langsung (veni, vedi veci) sejarah yang sedang terjadi di tanah air melalui perjuangan orang tuanya yaitu Pangeran Diponegoro beserta panglima Sentot Prawiradirja dan Pangeran-pangeran juga para Kyai. Di medan perang Pangeran Djoned menyaksikan bagaimana prajuritnya terbunuh...bagaimana mendapatkan kemenangan...bagaimana mengatur siasat perang, semua ini merupakan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi pembentukan kepribadian Pangeran Djoned kemudian.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya ( Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam." De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
PANGERAN DJONET PADA SAAT PENGASINGAN AYAHNYA KE SULAWESI (Tahun 1830)
Menurut cerita salah satu keturunan ke 6 Pangeran Djonet yang tinggal di sekitar makam yaitu R. Ustad ABDUL WAFA (keturunan dari Raden Mas SAHID ANKRIH, anak ke 5 Pangeran Djonet) adalah sebagai berikut : Sewaktu beliau dibuang ke Makassar, beliau ikut namun sewaktu Kapal/Perahu di lautan beliau menceburkan diri bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. Setelah beberapa lama menetap di Batavia, lalu beliau pindah ke Bogor, berjuang bersama pasukannya yang akhirnya menetap di Kebon Kelapa Cibeureum sampai akhir hayatnya.” (sesuai yang tertera dalam Papan Wisata Ziarah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor).
SITUS MAKAM PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO
Cerita lain, versi keturunan yang tinggal di sekitar makam : “ Pangeran Djonet tinggal dan menetap pertama kali di pinggiran kota Bogor (± 4 s.d 7 km dari Istana Belanda) di kampung Jabaru (Jawa Baru), setelah mempunyai 5 orang putra dan 2 orang putri semakin banyaklah keturunan Pangeran Djonet di kampong Jabaru tersebut, akhirnya membuka kampong baru lagi dengan nama kampong Dukuh Jawa, sampai akhirnya wafat pada usia 70 tahunan dan dimakamkan di kampong Kebon Kelapa (sekarang Jalan Raden Kosasih), Cikaret, Bogor Selatan tidak jauh dari kampong tempat beliau menetap ”.
PANGERAN DJONET DI BATAVIA (Tahun 1830-1831)
Setelah lolos dari proses pengasingan ke Pulau Sulawesi sesuai cerita sebelumnya, Pangeran Djonet muda yang baru berusia 15 tahun (1815-1830) dibantu pengikutnya yang berjumlah lebih dari 1 orang untuk mencari tempat persembunyian sementara di daerah Batavia. Sebagai kelompok asing yang berkeliaran di Batavia yang notabene sebagai pusat kegiatan colonial pada masa itu tentunya baik Pangeran Djonet maupun pengikutnya yang asli Yogyakarta mencari sanak saudara, kerabat maupun tetangga yang sedaerah. Akhirnya dengan wawasan sejarah yang dimiliki sang Pangeran Muda diputuskan untuk mencari daerah Matraman (saat itu umur daerah Matraman sudah mencapai 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia).
Di Matraman, pengikut Pangeran Djonet terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama/menggunakan nama alias) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu. Diluar perkiraan sang Pangeran, mereka menerima dengan amat terbuka sambil disertai perasaan haru, bangga dan rindu akan kampong halaman akhirnya berkat bantuan dan perlindungan masyarakat Matraman pada saat itu Pangeran Djonet beserta pengikutnya menetap di Batavia (Matraman) lebih kurang selama 2 tahun.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela (di komplek pemakaman Pangeran Djonet di Bogor dimakamkan juga komandan pasukan pengawal yang berasal dari Banten). Komunikasi keberadaan Pangeran Djonet di Batavia dengan pihak Keraton Yogyakarta (lebih kurang 19 orang Pangeran/turunan Sultan yang mendukung Pangeran Diponegoro) dilakukan melalui media kurir/mata-mata/telik sandi yang masing-masing bergerak menuju titik yang ditentukan (rendesvouz), dari Keratonlah Pangeran Djonet mendapatkan bantuan logistik yang diperlukan dalam membentuk pasukan pengawal.
Tahun 1832 Pangeran Djonet genap berusia 17 tahun, usia yang cukup dewasa bagi seorang keturunan Sultan untuk segera memulai hidup berumah tangga. Maka pada tahun 1832 Pangeran Djonet mempersunting Putri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga Tan yang bernama BUN NIOH kemudian berganti nama menjadi NYI MAS AYU FATMAH (tidak ada literature yang menyebutkan dimana proses pertemuannya). Kalau mengacu kepada usia Nabi Muhammad SAW menikah, usia tersebut masih terlalu muda, akan tetapi karena kondisi saat itu sedang dalam proses bersembunyi ataupun penyamaran (incognito) ditambah lagi kebiasan Raja-raja Kasultanan Yogyakarta anak lelaki tertua menikah pada saat usia menginjak dewasa. Setelah berumah tangga Pangeran Djonet pindah ke pinggiran Kota Bogor, akan tetapi komunikasi dengan masyarakat Matraman tetap terjalin dengan sangat baik, dan sering mengahdiri acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Jami Mataram.
Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram. Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada tahun 1837, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).
PANGERAN DJONET DI BOGOR (Tahun 1832 - 1885)
Tempat Tinggal Di Bogor
Pangeran Djonet pindah dari pelariannya di Batavia ke daerah pinggiran kota Bogor sekitar tahun 1832. Bersama pengikutnya keturunan bekas tentara kerajaan Mataram di Batavia (Daerah Matraman – Jakarta Timur), Pangeran Djonet membuka perkampungan baru yang akhirnya dikenal dengan nama Kampung JABARU, kependekan dari Jawa Baru.
Sarana transportasi darat yang umum pada masa itu kebanyakan menggunakan Kuda tunggang, kereta kuda, sepeda, sedikit kereta api dan mobil. Pangeran Djonet seperti halnya bangsawan di Keraton Yogyakarta tentunya sangat terlatih menggunakan kuda tunggang, oleh karenanya di sekitar kampong Jabaru, disuatu tempat yang bernama "Pasir Kuda" (Pasir, nama lain dari Bukit) Pangeran Djonet dan para pengikutnya biasa menambatkan kuda-kudanya (kemungkinan besar, dipasir inilah dibangun Istal).
Melihat cerita di atas, dan mempelajari Silsilah yang ada serta mencermati keberadaan RM. Djonet pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro setelah saya lakukan analisis dengan seksama dengan mengacu kepada artikel dan buku-buku diperoleh berbagai macam kemungkinan sebagai berikut :
- RM. Djonet adalah putra sulung dari pasangan Pangeran Diponegoro dengan RA. Maduretno yang lahir pada tahun 1815 M. Ketika Diponegoro berusia 42 tahun, beliau dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada tanggal 18 Pebruari 1828, pada saat itu RM. Djonet berumur 13 tahun.
- Sejarah Pangeran Djonet menurut cerita kutipan dari buku karangan Peter Carey menyebutkan bahwa Pangeran Djonet dibunuh oleh Belanda dalam sebuah peperangan pada tahun 1837. Cerita tersebut dapat beralasan :
- Dalam artikel : “Jejak Sultan Agung Mataram di Masjid Jami Matraman” disebutkan bahwa Masjid Jami Mataram dibangun dan diresmikan pada tahun 1837 oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro). Pada tahun 1837 Masjid Jami tersebut tergolong bangunan mewah arsitktur bangunannya menyerupai Taj Mahal, sehingga menjadi pusat perhatian Belanda. Informasi peresmian Masjid tersebut oleh keturunan langsung Pangeran Diponegoro sampai melalui mata-mata Belanda yang pada akhirnya Belanda melakukan penyergapan (kemungkinan dikediaman Pangeran Djonet di kampung Jabaru (Jawa Baru), di daerah Selatan Bogor. Dalam penyergapan tersebut akhirnya terjadi peperangan antara tentara Belanda dengan Pangeran Djonet dan pengikutnya. Di lain pihak, pada tahun yang sama 1837 Pangeran Djonet sudah berumah tangga dan mempunyai anak 7 ( 5 laki -laki dan 2 perempuan ).
- Mungkin saja data yang diperoleh Peter Carey sumbernya berasal dari pihak Belanda atau referensi lain yang ada di Inggris, dimana baik Belanda maupun Inggris membukukan sejarah pemberontakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya lebih mengutamakan keberhasilannya semata, sehingga Pangeran Diponegoro dan keluarganya berikut pengikutnya dianggap “BAD GUY” yang sudah dan harus dikalahkan (dibunuh) sedangkan pihak Belanda maupun Inggris sebagai “GOOD GUY” yang patut mendapatkan penghargaan.
- Pangeran Djonet menetap di Batavia mulai tahun 1830, pada saat beliau berumur 15 tahun.Kalau mengacu kepada cerita versi “makam” (di Cikaret, Bogor), Pangeran Djonet termasuk dalam kelompok yang akan dibuang ke Makassar yang akhirnya dapat melarikan diri dan menetap di Batavia. Dimana pangeran Djonet tinggal di Batavia?, sampai tahun berapa tinggal di Batavia?, kapan pindah ke Bogor? Tahun berapa menikah?, Siapa isterinya? Berapa orang istrinya? Berapa orang putra-putrinya? dimana tinggalnya di Bogor? Jawabannya adalah :
- Di Batavia pangeran Djonet tinggal di perkampungan mantan prajurit Mataram (Sultan Agung Mataram menyerang VOC ke Batavia pada April 1628 - Mei 1629). Pada tahun 1837 perkampungan tersebut sudah berubah nama menjadi kampung MATRAMAN karena sudah berusia 218 tahun. Di Matraman inilah Pangeran Djonet menetap dan mendapatkan perlindungan dari keterunan tentara Mataram, sampai usia beliau mencapai 17-22 tahun.
- Pangeran Djonet pindah ke Bogor antara tahun 1832-1837, dimana pada usia tersebutlah menikah dengan puteri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga TAN yang bernama BOEN NIOH kemudin bermualaf dengan nama NYI MAS AYU FATMAH. Mengenai jumlah isterinya dapat diperkirakan sebagai berikut : apabila mengacu kepada buku Peter Carey pangeran Djonet terbunuh pada saat usia perkawinan 5 tahun (1837) dengan jumlah putra-putri 7 orang, berarti pangeran Djonet beristri minimal 2 orang, sedangkan kalau mengacu versi makam, Pangeran Djonet meninggal di usia 70 tahunan meninggalkan 2 orang isteri, 7 orang anak.
- Di Bogor Pangeran Djonet tinggal di pinggiran Kota ± 5 km dari Istana Belanda. Disana beliau dibantu para pengikutnya keturunan Mataram yang ada di Batavia membuka perkampungan baru yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung JABARU kepanjangan dari Kampung Jawa Baru. Di kampung Jabaru inilah pangeran Djonet membentuk pasukan dan beranak-pinak. Kuda-kuda pangeran Djonet dan pasukannya ditambatkan di Istal Kuda didaerah pasir (bukit) yang pada akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Pasir Kuda (kampung diatas bukit yang banyak Kuda). Dari Kampung Jabaru keturunan Pangeran Djonet meluas dan membuka perkampungan baru di sebelah Timurnya yang juga dikenal dengan nama Kampung Dukuh Jawa.
- Menurut kesaksian keturunan Pangeran Djonet generasi ke 5 Rd.Hj. SITI MARIAM (IIH) & Rd.Hj. SITI JUARIAH (UWE), pada saat ayahnya RM.H. RANA MENGGALA (generasi 4) meninggal sekitar tahun 1970an, ada prajurit utusan Kraton Yogyakarta membawa peti berukir yang berisi antara lain uang. Pada saat itu keturunan Pangeran Djonet sampai generasi ke 5 belum banyak yang mengetahui asal-usul yang mengarah kepada Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat diartikan bahwa, pihak Kraton Yogyakarta mengetahui keberadaan Pangeran Djonet di Bogor dan ada kemungkinan sebetulnya pada saat Pangeran Djonet tinggal pertama di Bogor pun sudah ada komunikasi rahasia antara telik sandi kraton Yogyakarta dengan pasukan Pangeran Djonet di Bogor (mengapa masih rahasia, mengingat di kalangan kerabat Pangeran Diponegoro di Yogyakarta pada saat itu disinyalir masih banyak yang pro-kolonial). Sejauh ini diantara keturunan 7 anak Pangeran Djonet, sampai dengan generasi kelima (lahir 1930an-1950an) silsilah keluarga yang lebih rinci tentang keturunan Pangeran Djonet masih memerlukan verifikasi dan penyempurnaan,
wallahu alam bi sawab.
SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN RM. DJONET DIPAMENGGALA
Putra-putri
No. | Nama | Tempat/Lahir |
---|---|---|
1. | RM. NGABEHI DIPAMENGGALA | Jabaru, C-1833 |
2. | RM. HARJO DIPOMENGGOLO | Jabaru, C-1834 |
3. | RM. HARJO DIPOTJOKRO / PANGERAN GRINGSING I | Jabaru, C-1835 |
4. | RM. HARJO ABDUL MANAP | Jabaru, C-1836 |
5. | RM. KH. SAHID ANGKRIH | Jabaru, C-1835 |
6. | NYI MAS RAy. UKIN | Jabaru, C-1836 |
7. | NYI MAS RAy. OKAH | Jabaru, C-1837 |
Cucu
- 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebak pasar, C-1854)
- 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO
- 2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH
- 2.3. RM.H. ABAS
- 2.4. RM.H. ABDULRACHMAN ADIMENGGOLO
- 2.5. RM.H. MUHAMMAD HASAN
- 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO / P.GRINGSING II
- 4.1. RM.H. EDOJ
- 4.2. RM.H. SAYYID YUDOMENGGOLO
- 4.3. NYI RAy.Hj. SARODJA
- 4.4. NYI RAy.Hj. AMANUNG
- 5.1. RM. ASMINI
- 5.2. RM. IDRIS
- 5.3. RM. ONDUNG
Buyut / Cicit
- 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877)
- 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878)
- 1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879)
- 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880
- 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882
- 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884
- 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji)
- 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA
- 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA
- 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH
- 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH
- 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH
- 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT (Zelfstandig Patih Buitenzorg 1916-1925)
- 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT
- 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO
- 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH
- 2.3.1. RM.H. ARDJA
- 2.3.2. RM.H. SUMINTA (MALIK)
- 2.3.3. RAy.Hj. PATIMAH <menikah dgn> DJUARSA (Ayahnya Mayjen. ISHAK DJUARSA)
- 2.3.4. RAy.Hj. FATMAH <menikah dgn> 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA Cucu RM. NGABEHI DIPOMENGGOLO
- 2.3.5. RM.H. YACUB
- 2.3.6. RAy.Hj. SITI MARIJAM (Loji)
- 2.4.1. RAy.Hj. SUKIYAMAH
- 3.1.1. RM. HARJO DIPOHADIKUSUMO / P. GRINGSING III
- 4.1.1. RM.H. SINTOMENGGOLO
- 4.2.1. RM.H. SADIRI GONDOMENGGOLO
- 4.3.1. RM.H. SUMAWIDJAJA
- 4.3.2. NYI RAy.Hj. DANANG
- 4.3.3. NYI RAy.Hj. ANOK
- 4.3.4. NYI RAy.Hj. ENGKO
- 4.3.5. NYI RAy.Hj. TOJO (Ibu Bandung)
- 5.1.1. RM.H. ASMININ
- 5.1.2. RM.H. MALI
- 5.1.3. RM.H. MINAU
- 5.1.4. RM.H. IKING
- 5.1.5. RAy.Hj. UMI
Canggah
- 1.1.1.1. R.H. RAIS
- 1.1.1.2. R.Hj. ECIN
- 1.1.1.3. R.Hj. HALIMAH
- 1.1.1.4. R.Hj. SITI KHODIJAH
- 1.1.1.5. R.Hj. SITI MUKMINAH
- 1.1.1.6. R.Hj. SITI JUARIAH (Uwa UWE, Sempur)
- 1.1.1.7. R.H. MAHBUB
- 1.1.1.8. R.Hj. SITI MAEMUNAH
- 1.1.1.9. R.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng)
- 1.1.1.10. R.IYAN RIDWAN
- 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910
- 1.1.2.2. R.H. ALI
- 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung)
- 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti)
- 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG
- 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911)
- 1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata)
- 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng)
- 1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF
- 1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati)
- 1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN
- 1.1.3.1. R. BUSTOMI
- 1.1.3.2. R. ISMAIL
- 1.1.3.3. R. MUDJITABA
- 1.1.3.4. NYI R. SUAEBAH
- 1.1.3.5. NYI R. MAEMUNAH
- 1.1.4.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.2. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.6.1. .............
- 1.1.6.2. R. SOLEH
- 1.1.6.3. R. SOFYAN ATS SAURI / YUSUF
- 1.1.6.4. R. ARIFIN
- 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.1.2. R.H. UMAR SURIODIRDJO (Ciomas)
- 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO Ciomas)
- 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO
- 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas)
- 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI (Ciomas)
- 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji)
- 2.2.1.1. R.H. KURAESIN
- 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA
- 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas)
- 2.2.6.1. R.H. PANJI
- 2.2.6.2. R.H. PANDU
- 2.2.6.3. R.H. HASAN
- 2.2.6.4. R.H. KURAESIN
- 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Ir. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional
- 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR
- 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng)
- 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi)
- 2.2.9.3. Rd.H. TATANG MUCHTAR (Ciluar)
- 2.2.9.4. NYI Rd. ICHA AISYAH (Di Belanda sejak 1935)
- 2.3.6.1. Drs.H.R. MANSYUR
- 2.3.6.2. H.R. SANUSI (Gunung Batu)
- 2.3.6.3. Drs.H.R. ENTJEP WAHAB (Jakarta)
- 3.1.1.1. R. DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO / P. GRINGSING IV (Magetan)
- 4.1.1.1. NYI Rd. HJ. S. AISYAH
- 4.1.1.2. NYI Rd. HJ. INA
- 4.1.1.3. NYI Rd. HJ. SITI
- 4.1.1.4. Rd. H. MARANA
- 4.1.1.5. NYI Rd. HJ. ARISAH
- 4.1.1.6. Rd. H. BARNAS SINTOMENGGOLO
- 4.1.1.7. NYI Rd. HJ. UTI
- 4.1.1.8. NYI Rd. HJ. UTA
- 4.1.1.9. NYI Rd. HJ. HATIMAH
- 4.1.1.10.Rd. H. SIDIQ SINTOMENGGOLO
- 4.2.1.1. Rd. H. KARTA
- 4.2.1.2. NYI Rd. HJ. JUHA
- 4.2.1.3. Rd. H. DARMA
- 4.2.1.4. Rd. H. DARNA
- 4.3.1.1. R.H. ENTUNA PARTAWIJAYA
- 4.3.2.1. R.H. PRAWIRA SOMANTRI
- 5.1.1.1. R. ABDUL LATIF
- 5.1.1.2. R. ARMANI
- 5.1.1.3. NYI Rd. JENAB
- 5.1.1.4. R. MURNAS
- 5.1.1.5. R. ABDURROHIM
- 5.1.1.6. R. ABDURROHMAN
wafat: 1894, Wanagopa, Tegal
Raden Mas Roub/Raib/Raab/Pangeran Hasan 1816
Adalah adik kandung Raden Mas Joned. Usianya sekitar sembilan tahun ketika mengikuti ayahnya dalam medan perang. Bersama kakaknya dia ikut merasakan bagaimana kehidupan dalam pengungsian. Raden Mas Roub selalu mengikuti perjalanan ayahnya dalam medan perang. Selain karena putera dari isteri permaisuri kedua, Pangeran Diponegoro menyiapkan Raden Mas Roub agar kelak sebagai seorang pemimpin agama. Sampai di sini dapat dijelaskan bahwa ada 4 (empat) putera Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Ambon. Pada buku The Power of Prophecy tulisan Peter F Carey halaman 746 dijelaskan bahwa pada akhir tahun 1848 Pangeran Diponegoro menanyakan kepada gubernur jenderal di Makassar perihal tiga anaknya yaitu Pangeran Dipokusumo, Raden Mas Raib serta Pangeran Diponingrat yang diberitakan mengalami sakit tekanan jiwa. Pangeran Diponegoro juga menanyakan anaknya yang tertua yang mengalami pembuangan di Sumenep pada tahun 1834 setelah memberontak di Kedu, dan belum pernah berkirim kabar.
Segudang Misteri dari Dukuh Wanagopa (27 Maret 2015)
Dukuh Wanagopa terletak di Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Berjarak ± 4,5 KM di barat daya pusat Kecamatan Warureja. Dukuh Wanagopa juga berada di perbatasan antara Kecamatan Warureja dan Suradadi. Letak yang strategis dengan tiga sungai yang mengalir di dalamnya, antara lain : Sungai Kunci, Sungai Pedati, dan Sungai Jimat, membuat mayoritas penduduk Dukuh Wanagopa memilih bekerja sebagai petani.
Dukuh Wanagopa memiliki salah satu peninggalan sejarah yaitu Makam Kyai Hasan atau yang dikenal warga setempat dengan nama Mbah Wana. Menurut sejarah, Kyai Hasan merupakan anak kedua dari Pangeran Diponegoro dari istri keempatnya, yaitu Raden Ayu Manduretno. Kyai Hasan memiliki nama lain Raden Mas Raib atau Pangeran Hasan. Pada saat perang Diponegoro berlangsung Kyai Hasan berumur 9 tahun, beliau sering membantu ayah dan kakak kandungnya yang bernama Mas Joned. Akhirnya mereka ditangkap oleh pihak Belanda pada tanggal 18 Maret 1830 dan diasingkan ke Ambon. Namun pada tahun 1848, Kyai Hasan pun kembali ke tanah Jawa atas seizin Van den Bosch, kemudian beliau mengembara sembari menyebarkan agama Islam di sekitar lereng Gunung Slamet, dan sampailah di sebuah Desa yang ketika itu sudah dibangun oleh Mbah Ibrohim seorang pendatang dari Desa Bumiharja pada tahun 1870. Kemudian desa itu diberi nama Wanagopa. Menurut Bapak Abdul Salam, S.Ag sejarawan wanagopa mengatakan bahwa Wanagopa berasal dari dua kata yaitu Wana dan Gopak. Wana berarti hutan dan Gopak berarti petak, jadi disimpulkan bahwa Wanagopa dibuat dengan menebang hutan secara berpetak-petak. Selain itu nama Wanagopa merupakan bentuk penghargaan Mbah Ibrohim kepada Kyai Hasan/Mbah Wana. Disisa hidupnya Kyai Hasan menghabiskan waktunya dengan mendekatkan diri pada Allah. Pada tahun 1896-an beliau wafat dan dimakamkan di Dukuh Wanagopa, Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Tetapi beberapa pihak mengatakan bahwa Kyai Hasan meninggal di Panggung Tegal. Namun kenyataannya, makam Kyai Hasan sendiri berada di Dukuh Wanagopa, Desa Kreman.perkawinan: <451!> ♀ Bendoro Raden Ayu Suryo Sastraningrat [Hamengku Buwono II]
gelar: 19 Desember 1858 - 17 Oktober 1864, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat
wafat: 17 Oktober 1864, Yogyakarta
gelar: 1830 - 1863, Bantul, Yogyakarta, Bupati Kuta Arya
perkawinan: <186> ♀ Bendoro Raden Ayu Suryodilogo [Pa.1.8.2] [Paku Alam I]
gelar: 10 Oktober 1878, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Prabu Suryodilogo
gelar: 20 Maret 1883 - 6 November 1900, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam V
wafat: 6 November 1900, Kulon Progo
KGPAA Prabu Suryodilogo memegang kewajiban yang sangat berat. Diantaranya adalah melunasi hutang almahrum kepala Kadipaten Pakualaman dan memelihara serta menegakkan ketertiban/keamanan di wilayah Pakualaman. Setelah menujukkan tanda-tanda kemajuan yang baik dalam melaksanakan tugasnya maka pada 20 Maret 1883 ia diperkenankan memakai gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam V. Paku Alam V tidak banyak memberi apresiasi di bidang kesusastraan karena ia memilih berkecimpung di bidang Ekonomi. Selain prestasi sebuah pukulan berat harus diterima dengan dibubarkannya angkatan perang Pakualaman pada tahun 1892.
Berbeda dengan pendahulunya, Paku Alam V merintis anggota keluarga Paku Alam untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah Belanda antara lain di Sekolah Dokter Jawa. Bahkan mulai 1891 ia mengirim beberapa putra dan cucunya ke Negeri Belanda (Nederland) untuk mengecap pendidikan disana. Dari pemikirannya yang tidak kolot ini muncul beberapa hasil diantaranya ada anggota keluarga Paku Alam yang menjadi anggota Volksraad dan Raad van Indie (walaupun ia tidak dapat melihat langsung hasilnya karena telah mangkat).
Paku Alam V memiliki 17 putra-putri yang dilahirkan baik dari permaisuri maupun selir. Salah seorang putranya, KPAA Kusumoyudo, adalah anggota Raad van Indie. Setelah 22 tahun memerintah, pada 6 November 1900, KGPAA Paku Alam V mangkat dan dimakamkan di Girigondo, Adikarto (sekarang-maret 2007- merupakan bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).perkawinan: <691!> ♀ Raden Ayu Adipati Danurejo [Hb.3.4.3] [Hamengku Buwono III]
wafat: 1844, Yogyakarta, Dimakamkan di Mlangi, sebelah utara Demakijo
pekerjaan: 11 Februari 1847 - 17 November 1879, Yogyakarta, Patih Dalem Kerajaan Mataram Yogyakarta bergelar Danurejo V
perkawinan: <624!> ♀ Raden Ayu Dunuk [Mangkunegara III]
gelar: 1853, KGPAA
gelar: 1895, Diangkat menjadi Garwa Padmi dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu Kencono
SILSILAH KETURUNAN (1&2) SISILAH PANCER KEDIRI (1) Sisilah uri-uri leluhur puniko kaserat/revisi dening :
1. R. Fatah Sultan Akbar I Bintoro Demak 2. R. Trenggono Sultan Akbar III Bintoro Demak 3. Sultan Mu'min (Sultan Prawoto) Demak 4. Panembahan Wirasmoro (Pangeran Sumende)Sumare ing Setono Gedong Kediri (Jl. Raya Dhoho Kediri kilen stasiun Kediri Kota) 5. R. Djalu Pangeran Demang Kediri I 6. Pangeran Demang Kediri II. Sumare ing Badal Nambangan / Ngrembang - Ngadiluwih - Kediri Peputro : 1. Kyai Ageng Abd. Djabar Tjorekan (Sumare ing Ngelam Suroboyo) 2. Kyai Ageng abd. Adim (Sumare ing Brodat/Kertosono) 3. Kyai Ageng Abd. Mursad (Sumare ing Tukun) 4. Kyai Ageng Abd. Rochim Ngliman 5. Kyai Ageng Abd. Salim / Adipati Kemten Sedo ing Pasuruan (Sumare ing Kundjonmanis)
Kyai Abd. Djabar Tjorekan dipun labuh dening Goverment walandi, wonten pelabuhan Kediri mentas ing dukuh Ngelam, dedukuh wonten ngriku kasebat Kyai Ageng Ngelam Suroboyo.Peputro : 1. Kyai Supanjeng Suroboyo 2. Kyai bagong Suroboyo
Kyai Ageng Abd. Brodat Kagungan putro ing Tapan Maduro : 1. R. Ayu Pangeran Tjokroningrat Madura 2. Kyai Tambak Agung Lemah Putro Suroboyo : Peputro : 1. Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat (ing Godong Mataram) 2. Kyai Ag. Abd. Djabar (Kamludin) ing Kediri I 3. Kyai Im Sapingi ing Kediri II 4. Kyai Moh. Sapingi / Kamaludin ing Kediri III : Kagungan putro garwo Sepuh (RA. SEDAH MERAH) : (Sumare ing Kilen Pasar Paing Kediri / Ngajengipun Pondok Pesantren Assidiqiayh Jamsaren Kediri). Peputro : 1. R Ng. Bukori / kyai Bendungan Brebeg. 2. R. Ng. Abd. Basar Penghulu Sragen. 3. R. Rekso Ngulomo Penghulu Kediri. 4. R. Rekso Prodjo Djakso Kediri. 5. R. Rekso Seputro Naib Papar. 6. R. Nganten Kustiyah (Garwo Abd. Djalal) Naib Djambean. 7. R. Soemoredjo Mantri Negoro Kediri. 8. R. Ng. Burnadi Djuru Serat Srambi Kediri (masjid alun-alun / Kodya Kediri ). Kagungan putro saking garwo Keter : 9. R. Kyai Mustaman Blitar. 10. R. Im. Sapingi Naib Papar. Kagungan putro saking garwo Enem : 11. R. Ng. Sumahun / Moh. Edris, Penghulu Kediri. 12. R. Ng. Djemblung / R. Ng. Djoko, Naib Kediri I. 13. R.Eoro Bonyok / R. Ng. Burnadi, Naib Kediri II. Kagungan putro saking garwo Klagenan : 14. R. Ismangil Ketib/Kotib Senoman Kediri 15. R. Ng. Adpar Ketib/Kotib Djojar Kediri
SISILAH PANCER KEDIRI (2) 1. R. Fatah Sulatan Akbar Bintoro Demak I 2. R. Trenggono Sultan Akbar Bintoro Demak III 3. Sultan Mu'min (sultan Prawoto) Demak 4. Panembahan Wirasmoro / Pangeran Sumense (sumare ing Setono Gedong Kediri) 5. R. Djalu Pangeran Demang Kediri I 6. Pangeran Demang Kediri II, ing Ngrembang sumare ing Badal Nambangan. 7. Kyai Ag. Abd. Adim Brodat
Silsilah Pancer 1 : Silsilah Pancer 2 : 1. Kyai Ag Kabul 1. Kyai Ag. Tambak Agung 2. Kyai Ag. Muslim 2. Kyai Ag. Kamaludiningrat ing Godong 3. Kyai Sarkum 3. Kyai Abd. Djabar Kamludin ing Kediri 4. Kyai Alwi 4. Kyai Imam Sapingi 5. Kyai Abd Rosid 5. Kyai Djojo Ngulomo 6. Kyai Abd. Djoned 6. Kyai Im Mustaram 7. Ag. Sribanun 7. Kyai Moh. Mansur 8. H. Abd. Fakih 8. H. Abd. Fakih Naib Kras
SISILAH PANCER Syech Maulono Magribi. 1. Syech Maulono Magribi 2. Kyai Ag. Tarub II 3. Sripah Asijah kagarwo >< R. Bondan Kejawan (putro Brawidjojo Darmarwulan Modjopahit) 4. Kyai Ag. Getas Pandowo (Kahuripan Purwodadi) 5. Kyai Ag. Selo, Purwodadi 6. Kyai Tani (sumare ing kilen Masdjid Nglawean Solo) 7. Kyai Ag. Penembahan 8. Panembahan Senopati Sutowidjojo Ratu Mataram I / Danang 9. Sultan Agung Tjakrakusumo(Prabu Mangkurat Agung Kertosuro, sumare ing Tegalarum) 10. R. Aj. Klenting Wungu kagarwo >< Ki. Djogosworo 11. R. Aj. Tumenggung Hodjowongso 12. R. Aj. Djosodipuro Koliwon Banyak 13. R. Aj. Tumenggung SEDAH MERAH kagarwo >< Penghulu Kediri 14. R. Aj. Djembluk (Kustijah kagarwo >< R P. Abd Djalal / Im. Subroto, Naib Ngadiluwih) 15. R. Ng. Abd Djoned Penghulu Kediri 16. R. Ng. Sribanun kagarwo >< Moh Mansur, Naib Kras 17. H. Abd. Fakih Naib Kras.
SILSILAH KETURUNAN (2) 1. R. Patah
2. R. Trenggono III
3. Sultan Muknin (Sunan Prawoto)
4. Penembahan Wirasmoro (Pangeran Sumende)
5. R. Djalu Pangeran Demang Kediri I
6. Pangeran Demang Kediri II (Sumare ing Badal Kediri)
7. Kyai Ageng Abd. Adim (Sumare ing Brodat Kertosono)
8. Kyai Tambak Agung Lemah Putro Suroboyo
9. Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat (Penghulu Godong Mataram)
10.Kyai Ageng bd. Djabar (Kamaludin), Penghulu Kediri I
11.Kyai Imam Sapingi Penghulu Kediri II
12.Kyai Moh. Supingi (Kamludin), Penghulu Kediri III >< Nyai SEDAH MERAH (Sumare ing Kediri Ngajengipun Pondok Assidiqqiah Jamsaren Kediri, kilen pasar Paing Kediri)
13.R. Aj. Kustiah >< Abd. Jalal, Naib Jambean
14.R. Hadiwidjojo (Sumare ing Ngadiluwih)
15.R. Kodrat Samadikoen (Sumare ing Bendo Pare Kediri)
16.R. Tri Priyo Nugroho
17.R. Syehha Agem Manumayasya....
Sayyidah RA. Nyai Imanadi Kebumen ( Garwa II ), ibni
Sayyidah RA. Kamaludiningrat ( Pengulu Kraton Jogjakarta ), ibni
Sayyid BPA Dipowiyono, ibni
Sayyid RM. Sundoro / Hamengku Buwana II, ibni
Sayyid RM. Sujono / Pangeran Mangkubumi / Hamengku Buwana I...
Nyi jawahir peputra ; 1.Ali Mustafa peputra ; 1. Sastra 2. H. Muhson 3. Imam Pura 4. Sarbini 5. Dalail 6. Munirah 7. Nyai Madmarja
2.SanMunawar ( Lurah Pesucen ) 3.Nyi Basar Kahfi 4.Nyi Sanmustafa 5.Ali Muntaha peputra ; 1. Muhsin 2. Muhson 3. Muhsonah 4. Munsarip 5. Munisah 6. Mutnginah
6.Mustahal 7.Abdul Anwar ( Siwedi Kutowinangun ) 8.Marjuned ( Banjarnegara ) 9.Nyi Madmurja ( Kenteng Karangsari Kutowinangun ) 10.Nyi Badariyah ( Nyi H. Nawawi ) peputra ; 1. Nyai Carik jetis 2. Nyai Ahmad 3. Nyai Badriyah 4. Haji Masyhud 5. Nyai Trafas 6. Maklum
11.Nyi Ramadipura ( Buluspesantren ) 12.Nyi Satirah 13.Badarudin peputra ; 1. Nyi Ali Tsani Kauman ( Garwa I ) peputra ; 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh
2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
2. Makmun Kauman peputra ; 1. Rokhimah Tasikmalaya peputra ;
2. Kharisoh Rantewringin peputra ; 1. Nurul Kauman 2. Retno Rantewringin 3. Beni 3. Khotmah Tasikmalaya peputra ;
4. Halimah Tasikmalaya peputra ;
5. Honimah Kebumen peputra ; 1. R. Muh. Rafi Ananda / Tuti Khusniati Al Maki 2. Aila Rezannia / Poedjo Raharjo 6. Soimah Kauman peputra ; 1. Arif Hidayat 2. Titin Rahayuningsih 3. Teguh Priyatno 4. Nur Fatmawati 5. Diyah Kurniasari
3. Nyi Maklum Kauman
H. Ahmad peputra ; 1.Ibunipun Nyi. H. Ali 2.Nyi Mangku 3.Madnur 4.Toyib
KH. Ali Awal bin Moh. Alwi kaliyan Garwa I peputra ;
1.Nyi Abdul Manan I ( Sepuh )Kemangguan Alian 2.Kyai Ismail Karanganyar Kebumen 3.Nyi Abdul manan II Kemangguan Alian 4.Nyi Zaenudin Pekeyongan 5.Nyi Hanan Plumbon peputra ; 1. Pengulu Ridwan/ Rilwan peputra ; 1. Rughoyah / Makmun Kauman 2. Rofqoniyah / Kyai Matori Jatisari peputra ; 1. KH. Sayyid R. Salim Al Mator peputra ; 1. Tobagus Muslihudin Aziz 2. Hikmatul Hasanah 3. Maksumah Kurniawati 4. Musyafa Firman Iswahyudi 5. Retno Auliyatussangadah 6. Eta Fatmawati Auliyatul Ummah
2. Songidah peputra ;
3. Sangadatun Diniyah peputra ;
4. Kyai Khumsosi Al Matori peputra ; 1. Siti Khulasoh 2. Siti Fatimah 3. Lukman Zein 4. Anis Siti Karimah 5. Siti Khomsiati 6. Anas Mufadhol
5. H. Makmuri peputra ;
6. Muslim peputra ;
3. Sanusi Prembun peputra ; 1. Sol 2. Salamah Balingasal Prembun
4. Sugeng peputra ;
5. Dulkodir peputra ;
6.Kyai Tohir Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
Kyai Kosim Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
KH. Ali Awal kaliyan Garwa II peputra ; 1.KH. Abdullah Ibrahim Kauman ( Pengulu Landrat terakhir ) peputra ; 1. Siti Khotijah / Zaenal Kauman 2. Siti hajatiyah / Mbah Jamaksari Somalangu 3. Ashariyah / Mustofa Banjarnegara 4. Umi Kulsum / Sumbono 5. Maimunah / Ali Siroj ( Purworejo ) 6. Mariyah / Sumbono 7. Hasim 8. Maryatini / Masngudin 9. Johariyah / kagarwa Sururudin, lajeng kagarwa dening Kyai Jamaksari Somalangu 10. Sri Kartini
2.Moh. Soleh peputra ; 1. Yusuf Soleh 2. Taslimah / Daqir Pekeyongan 3. Slamet Soleh 4. Musngidah / Masngud Prembun peputra ; 1. Dalail 5. Makmunah / Tahrir 6.Asyiah / Ngalimun Prembun
3.Siti Khalimah Wanasara / Abdullah sepuh peputra ; 1. Aminah Wanasara peputra ; 1. Muhtar
2. Mutiah Krakal peputra ; 1. Roh
4.H. Ali Tsani Kauman peputra ; Garwa I 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh 2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
Garwa II ( Sayyidah Isti Sangadah binti Sayyid Muh. Fadil bin Sayyid Muh. Zein Solotiang bin Sayyid Muh. Alim Bulus Purworejo ) 1.Mahmud Ali Kauman peputra ; 1. Arif Mustofa
2.Isti Chamidah peputra ; 1. M. Sudjangi 2. Sugeng Assyamsi 3. Abdul Rozak 4. Lukman Hakim 5. Abdus Somad 6. M. Mahfud 7. M. Murtadlo
5.Abdul Wahab peputra ; 1. Moh Alwi Tejasari Kawedusan peputra ; 1. Ikhsan Alwi
2. Syamsi / Isti Chamidah
Khoul KH. Imanadi dipun wontenaken saben tanggal 14 Ruwah wonten ing serambi Masjid Pesucen Wonosari.
Wasana sinigeg semanten kemawon riwayat saha silsilahipun KH. Imanadi. Mugi – mugi handadosaken pepenget saha tuladhanipun khusus dhateng pra dharahipun, dhateng pra kathah umumipun. Amin
Kebumen, 06 Februari 2009
Sayyid R. Muh. Rafi Ananda
Wasana sinigeg samanten kemawon riwayat saha silsilahipun KH. Imanadi. Mugi – mugi handadosaken pepenget saha tuladhanipun khusus dhateng pra dharahipun, dhateng pra kathah umumipun. Amin
Pustaka Perdhikan Buku alit punika kaparingan asma PUStaka perdhikan. Dipun anggit dinten Jumat Kliwon, 11 Safar 1430 H/ taun JE 1942 utawi 06 Februari 2009 dening Sayyid R. Muh. Rafi Ananda kanti ngempalaken riwayat saha silsilah saking pra turunipun Suwargi KH. Imanadi ugi kanti penyelidikan awujud sumber – sumber kawontenan ing sejarah. Riwayat kakempalaken saking panjenenganipun ; 1.KH. Sayyid R. Salim Al Mator Jatisari 2.R. Sudjangi Kauman
Buku kacetak kanti sederhana supados saged dipun waos dening pra putra wayahipun KH. Imanadi ingkang mbetahaken. Kagem Pra putra wayang ingkang dereng kaserat wonteng ing mriki kersaha nyerat piyambak – piyambak lan kahaturaken dhateng Sayyid R. Muh. Rafi Ananda wonten alamat Jalan Garuda 13 Kebumen Jawa – Tengah. Wasan buku pustaka Perdhikan punika sageda manfangati kagem kita sami. Amin. Kebumen, jumat kliwon, 06 Februari 2009
Sayyid R. Muh. Rafi Ananda Basaiban
Kebumen, Jumat Kliwon, 06 Februari 2009
Sayyid R. Muh. Rafi Ananda ,,,perceraian: <522!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono V / Gusti Raden Mas Gathot Menol [Hb.4.6] (Sinuhun Menol) [Hamengku Buwono V] b. 24 Januari 1820 d. 5 Juni 1855
perkawinan: <206> ♂ Raden Tumenggung Sosrodigdoyo ? (Bupati Kulon Progo) [?]
perkawinan: <215> ♀ Raden Ayu Partosari [?]
perkawinan: <217> ♀ Mas Ayu Padmosari [?]
perkawinan: <218> ♀ Raden Ayu Padmowati [?]
Cidahu Gunung Salak dan Makam Eyang Santri
Silsilah dan Kelahiran
Eyang Santri yang nama muda-nya Pangeran Djojokusumo adalah salah satu kerabat dekat Trah Mangkunegaran yang lahir pada tahun 1770. Ia adalah cucu kandung Pangeran Sambernyowo atau Mangkunegoro I dan anak kandung dari putera Sambernyowo yaitu : Pangeran Prabuamidjojo, di masa lalu Keraton Mangkunegaran hubungannya amat dekat dengan Trah Bangsawan-Bangsawan Madura terutama Pamekasan, karena bantuan mereka pada konflik Mataram sebelum Giyanti 1755. Pernikahan ini kerap kali dijodohkan, Pangeran Prabuamidjojo dijodohkan oleh Pangeran Sambernyowo ayahnya, yang juga Mangkunegoro I dengan Puteri Ayu Trikusumo, puteri Pangeran Cakraningrat penguasa Pamekasan, Madura. Dari pernikahan inilah lahir Pangeran Djojokusumo yang memiliki kekuatan daya pikir dan daya batin yang linuwih.Masa Remaja
Di masa remajanya ia banyak berguru dengan banyak ulama, bahkan ia sampai belajar mengaji dan mendalami ilmu agama di Pasiriyan, Jawa Timur. Semasa muda ia bersahabat dengan Pangeran Sosroningrat dan Pangeran Jungut Mandurareja yang juga merupakan kakak dari Raden Mas Sugandi yang kelak menjadi Pakubuwono V. Adanya hubungan saudara antara Pangeran Djojokusumo dengan Pangeran-Pangeran dari Kasunanan Solo membuat dia semangkin akrab dan bersama-sama belajar sastra Jawa. Raden Mas Sugandi diangkat menjadi Putera Mahkota Pakubuwono sekitar tahun 1811 dan bergelar Adipati Anom Amangku Negoro III. Di masa inilah Pakubuwono IV memberikan latihan bagi Adipati Anom untuk mempelajari seluruh aspek kehidupan masyarakat, susastra dan segala permasalahan social agar kelak menjadi raja ia siap. Adipati Anom dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja dan Pangeran Sosroningrat menyusun dasar-dasar pemerintahan, selain itu Pangeran Djojokusumo diminta bantuannya dalam nasihat-nasihat kepada Putera Mahkota.
Berkontribusi Dalam Penyusunan Serat Centhini
Pada tahun1814 Adipati Anom mencetuskan ide agar dibuat sebuah serat yang mempelajari seluk beluk masyarakat Jawa. Serat ini kemudian diperintahkan kepada satu tim yang terdiri dari : Raden Ronggosutresno yang telah berkeliling Jawa bagian Timur, Raden Ngabehi Yosodipuro II yang amat mengerti Jawa Bagian Barat serta Kyai Muhammad Ilhar yang tau masalah seluk beluk agama, disini kemudian semua fasilitas dibantu oleh Pangeran Jungut Mandurareja yang menguasai Perdikan Ngawonggo dan penguasa Klaten saat itu. Disini juga perlu dicatat tambahan-tambahan pihak yang membantu terselesaikannya serat centhini termasuk Pangeran Djojokusumo, masa serat centhini ini semasa dengan terbitnya sastra Serat Suryaraja yang berisi ramalan akan datang masanya Keraton Yogyakarta mengalahkan Keraton Surakarta dan menyatukan kerajaan Mataram ke dalam bentuknya yang semula.
Keliling Jawa
Setelah selesainya Serat Centhini, Pangeran Djojokusumo tertarik dengan cerita-cerita yang diuraikan oleh Raden Ronggosutresno dan Sostrodipuro tentang keindahan Pulau Jawa, akhirnya Pangeran Djojokusumo memutuskan untuk berkeliling Jawa. Dalam keliling Jawa itu ia menikmati keindahan Pulau Jawa yang ia catat ‘Sebuah Pulau yang teramat indah’. Ia kunjungi seluruh makam-makam keramat, ia kunjungi ulama dan ahli kebatinan dan ‘ngangsu ilmu’. Kemampuan ilmu-nya luar biasa tinggi. Pada tahun 1823 Pakubuwono V sahabatnya itu wafat dia dipanggil pulang ke Solo untuk menjadi penasihat Pakubuwono VI saat itu Pangeran Djojokusumo sedang berada di Sumedang, . Sesampainya di Solo ia merasakan akan ada perubahan besar di bumi Jawa, ia akhirnya bertapa sebentar di sebuah danau bernama Cengklik di pinggiran Kota Solo. Di danau itu ia mendapatkan wangsit bahwa ‘Jawa akan masuk ke pinggir jurangnya, tapi kelak Jawa akan bersinar cerah secerah matahari pagi’. Masa suram inilah yang membuat Pangeran Djojokusumo akhirnya sadar bahwa perang akan diiringi dengan kelaparan hebat.
Keterkaitan dengan Pangeran Diponegoro
Pangeran Djojokusumo membaca bahwa ‘sebentar lagi ada perang besar’ yang bisa menjadikan kemungkinan Raja Jawa kembali menguasai pelabuhan-pelabuhan penting di Semarang dan Tuban serta menguasai Surabaya kelak kalau Surabaya bisa ditaklukkan maka impian Sultan Agung akan tercapai dan Mataram kembali mewujud. Tapi apakah keadaan itu bisa terwujud. Pada tahun 1824 Pangeran Diponegoro menonjok Patih Danuredjo di Kepatihan karena persoalan patok jalan yang digunakan Belanda untuk membangun jalan dari Semarang-Yogya, patok jalan itu rencananya akan jadi jalan penghubung ke pusat jalan kota di Banaran, Banaran dijadikan tangsi terakhir Belanda sebelum masuk Yogyakarta. Pangeran Diponegoro menolak tanahnya dicaplok Belanda tanpa ijin ia akhirnya berkelahi dengan Pangeran Danuredjo dan konflik ini berkembang menjadi perlawanan massa.
Sehabis menonjok muka Patih Danurejo, Pangeran Diponegoro langsung menemui pamannya Pangeran Mangkubumi, pamannya berkata dengan amat hati-hati : “Emosimu akan menjadikan Jawa sebagai lautan darah” lalu Mangkubumi berkata lagi “Tapi kamu akan jadi pahlawan di hati rakyat,bila kamu memulai perang, hubungi banyak ulama, karena ulama-lah yang akan membelamu” dan Pangeran Mangkubumi merekomendasikan agar Pangeran Diponegoro menemui Kyai Abdani dan Kyai Anom ulama paling berpengaruh di Tembayat, Klaten juga menemui Kyai Modjo ulama yang berpengaruh di Modjo, Surakarta.
Pada Mei 1824, Pangeran Diponegoro mulai membangun jaringan ulama dan bangsawan, di Banyumas ia mendapat dukungan para Kenthol banyumasan dan para Bangsawan ningrat, di pesisir timur ia mendapatkan dukungan dari Pangeran Tjondronegoro II yang menguasai Tuban, Sidoardjo dan Mojokerto sementara di Solo ia disuruh bertemu dengan Pakubuwono VI. Pertemuan Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro adalah titik paling penting Perang Jawa 1825-1830, karena dari jaminan Pakubuwono VI, Pangeran Diponegoro percaya diri melawan Belanda dan Antek-anteknya di Keraton Yogya. Pertemuan ini berawal dari kunjungan diam-diam Pangeran Diponegoro kepada Kyai Modjo, yang kemudian Kyai Modjo mengantarkan Pangeran Diponegoro ke rumah Raden Mas Prawirodigdoyo, penguasa Boyolali dan merupakan bangsawan paling radikal di jamannya. Raden Mas Prawirodigdoyo langsung menjamin akan menyediakan pasukan sejumlah 6000 orang yang bisa mendukung Pangeran Diponegoro. Lalu Raden Mas Prawirodigdoyo berkata “Dukungan ini bisa aku lakukan asal ada perintah dari Sinuwun Pakubuwono VI”.
Pangeran Diponegoro akhirnya disarankan untuk bertemu langsung dengan Sinuwun Pakubuwono VI, yang memfasilitasi pertemuan ini adalah Pangeran Mangkubumi, paman Pangeran Diponegoro yang luas koneksinya. Pangeran Mangkubumi menghubungi sahabat lamanya Pangeran Djojokusumo dan meminta Sinuwun agar berkehendak menjumpai Pangeran Diponegoro.
Pangeran Mangkubumi lalu datang ke kota Solo dan berkunjung ke rumah Pangeran Djojokusumo disana hadir Pangeran Jungut Mandurareja yang juga paman Pakubuwono VI, disini Pangeran Mangkubumi menjelaskan seluruh duduk persoalan kenapa Pangeran Diponegoro bermusuhan dengan pihak Kepatihan. Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut memperhatikan dengan seksama cerita Pangeran Mangkubumi, lalu setelah selesai cerita, Pangeran Jungut berkata “Akan ada pencaplokan tanah besar-besaran oleh Belanda untuk kepentingan kekayaan mereka, sekarang masalahnya berani atau tidak orang Jawa melawan orang Hollanda itu?” kata Pangeran Jungut, Pangeran Djojokusumo hanya memejamkan matanya dan mengheningkan jiwanya, lalu tak lama ia membuka matanya dan berkata “Akan ada banjir darah di Jawa, dan ada gelombang kelaparan tapi setelah itu Jawa akan berjaya, akan menjadi seperti Majapahit. Aku mendukung dimas Pangeran Diponegoro, sebagai pemimpinku untuk melawan Belanda, tapi kita harus bermain strategis, kalau keponakan-ku Pakubuwono VI ketahuan mendukung Pangeran Diponegoro maka Solo akan dihantam habis, dibikin crah, dibuat huru hara, itu malah memperlemah barisan perlawanan, ada baiknya perjanjian dukungan dengan Pangeran Diponegoro dibuat diam-diam”. Akhirnya Pangeran Djojokusumo meminta agar Pangeran Mangkubumi menunggunya di desa Paras Boyolali, karena ia dan Pangeran Jungut akan mengajak Sinuwun Pakubuwono VI bertapa tiga hari di gunung Merbabu.
Lalu Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo bertemu dengan Pakubuwono VI meminta agar Pakubuwono VI mendukung Pangeran Diponegoro, pertemuan ini juga dilanjutkan dengan perjalanan ke gunung Merbabu untuk mengajak Pakubuwono VI bertapa dan menenangkan diri untuk mengambil keputusan, setelah bertapa Pangeran Djojokusumo mengajak Pakubuwono ke desa Paras di Boyolali untuk berjumpa dengan Pangeran Mangkubumi, disinilah kemudian terjadi kesepakatan rahasia dimana Pembesar Yogyakarta dan Pembesar Surakarta sepakat melawan Belanda. Setelah kesepakatan Paras, Boyolali. Mereka : Pakubuwono VI, Pangeran Djojokusumo dan Pangeran Jungut Mandurorejo serta serombongan pengawal menuju alas Krendowahono di sekitar Karanganyar, disini mereka berjumpa dengan Pangeran Diponegoro yang sudah ditemani Kyai Modjo dan Raden Prawirodigdoyo. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan saling tidak mengganggu antara pihak Solo dengan konflik di Yogyakarta dan apabila Solo diminta membantu Belanda dalam perang nanti, maka Solo akan memberi data-data intelijen kepada Pangeran Diponegoro serta melakukan ‘perang sandiwara’. Disini juga perlu dicatat seorang sastrawan muda bernama Ronggowarsito yang hadir dalam pertemuan di Krendowahono, kelak 20 tahun kemudian Ronggowarsito mencatat peristiwa ini sebagai bentuk rasa kebangkitan harga diri orang Jawa.
Singkatnya Perang Diponegoro meletus, ditengah Perang ketika Lasem berhasil direbut Sang Pangeran, ada pertemuan lanjutan yang membahas penghadangan pasukan di Semarang dan sabotase yang membutuhkan bantuan pihak Solo. Suatu malam Pangeran Diponegoro datang ke Keraton Surakarta, namun rencana ini bocor karena ada pengkhianat yang melaporkan kepada Belanda akan ada tamu dari Yogya tengah malam, pasukan Belanda datang mengepung Keraton dan mencari tamu itu, namun tidak ketemu, Kereta kuda Pangeran Diponegoro rupanya dipendam oleh prajurit Keraton dan Pangeran Diponegoro meloncati tembok alun-alun utara lalu berlari ke arah Pasar Kliwon dan bersembunyi di sana sampai lima hari.
Pasca Perang Diponegoro
Perang Diponegoro akhirnya selesai dengan kekalahan banyak pihak, Pakubuwono VI ditangkap karena terbongkar rahasianya oleh Residen Semarang yang menemukan banyak data dukungan Solo kepada Yogya. Pangeran Djojokusumo juga dicurigai terlibat oleh Belanda, namun Pangeran Djojokusumo akhirnya melarikan diri ke Bagelen lalu ke Cilacap, disinipun ia dikepung banyak pendukung Belanda dan dengan menyamar sebagai petani ia ke Sukabumi tepatnya ke desa Cidahu, disana ia menyamar sebagai petani cabe dan petani sawah, ia juga mengajar mengaji penduduk sana.
Di Cidahu, Pangeran Djojokusumo dipanggil eyang santri. Setelah Perang Diponegoro lama usai, di tahun 1850 datanglah beberapa orang santri utusan dari Solo yang mencari Pangeran Djojokusumo mereka meminta Pangeran pulang ke Solo, tapi Pangeran menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.
Usia Eyang Santri mencapai 159 tahun. Ia menjadi saksi berlangsungnya kekalahan Jawa dan bangkitnya rasa kebangsaan. Ia dikunjungi banyak ahli kebatinan dan para pemimpin politik. Di tahun 1880-an ia dikunjungi oleh Wahidin Sudirohusodo yang sedang berkeliling Jawa untuk menyadarkan fungsi pendidikan bagi kaum pribumi dalam menghadapi jaman modern. Pada suatu pagiWahidin naik gunung salak dan berupaya menemui Eyang Santri, setelah dirumah eyang Santri, Wahidin disuruh mandi di kolam air panas dan bermeditasi. Disana juga eyang santri mengajarkan tentang rasa kebangsaan, harga diri sebagai manusia dan kekuatan batin. Dari dasar-dasar yang ditanamkan Eyang Santri-lah maka Wahidin merasa kuat membangun rasa kebangsaan sebuah bangsa yang baru bangsa Indonesia. Selain Wahidin yang kerap datang ke rumah Eyang Santri adalah Dirk Van Hinloopen Labberton ahli teosofi Belanda yang belajar filosofi kebatinan Jawa. Di awal tahun 1900-an HOS Tjokroaminoto dengan ditemani Sosrokardono juga kerap mampir ke rumah eyang santri, bahkan pembentukan afdeeling A Sarekat Islam di Garut mereka minta doa restu kepada Eyang Santri yang menanamkan rasa kebangsaan dan harga diri manusia untuk bebas. Pangeran ahli sufi dari Yogyakarta, Pangeran Suryomentaram juga pernah datang ke Cidahu, waktu itu ia masih amat muda, begitu juga dengan ahli tirakat Ndoro Purbo dan Drs. RMP Sosrokartono, ahli kebatinan Jawa sekaligus kakak Raden Ajeng Kartini, Raden Mas Panji Sosrokartono datang berguru ke Eyang Santri.
Bung Karno sendiri diajak oleh Tjokroaminoto ke Cidahu sebelum Bung Karno masuk ke THS (sekarang ITB) Bandung, setelah masuk ke THS beberapa kali Bung Karno datang menemui Eyang Santri dan digembeleng kekuatan batin untuk melawan Belanda.
Ada beberapa cerita bahwa wajah eyang santri awet muda, ini persis dengan ilmu ciranjiwin, -hidup abadi- dalam terminologi India? Yang jelas eyang santri wafat tahun 1929 di usianya yang 159 tahun.
Semoga setelah masyarakat memusatkan perhatian di Cidahu, Sukabumi mereka juga mengingat perjuangan masa lalu para pendiri bangsa ini untuk membentuk sebuah Indonesia yang merdeka dan menjadi bangsa terhormat, seperti yang diajarkan Eyang Santri kepada Bung Karno.
(Anton DH Nugrahanto).7
5271/7 <340> ♀ Raden Ayu Rangga [Ki Ageng Brondong]pekerjaan: Suami R Notodirdjo menjabay Wedana Lamongan
pekerjaan: Mantri Besar/Gede Kabupaten Japan (= Mojokerto).
perkawinan: <222> ♀ R Ayu Roekminah [Kromodjayan]
perkawinan: <223> ♀ Vrouwelijke Ziklinie / Tdk Tercatat Nama [Pangeran Sedayu] b. 30 Mei 1952
pekerjaan: Menikah dengan Bupati Sedayu
pekerjaan: Wedana Jenggala II
pekerjaan: Wedana Rawa Pulo II
perkawinan:
perkawinan:
pekerjaan: Wedana Jenggala IV
pekerjaan: Wedana Bendungan Lengkong
pekerjaan: Asisten Wedana Gunung Kendeng
pekerjaan: R kromoadiputro menjabat Wedana Lengkong
pekerjaan: Isteri Patih Mojokerto
gelar: Nama gelar ngagem asma "TOHPATI", saking nunggak semi asma hingkang eyang TOHPATI I, lelabet dumateng Sinuhun Pakubuwana kaping X, kautus Sinuhun ngaturaken KUDA petak dumateng Ratu Kidul, ngatos 40 dinten tanpa kabar, lajeng keluarga ngawontenaken tahlil
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan:
perkawinan: <931!> ♀ Raden Nganten Tohpati binti Suronegoro binti Sontoturonggo [R Ng Sontoturonggo - I]
perkawinan: <224> ♂ Raden Adipati Arya Kromodjoyo Adinegoro III / Raden Aersadan [Kromodjayan - Kanoman]
perkawinan: <224!> ♂ Raden Adipati Arya Kromodjoyo Adinegoro III / Raden Aersadan [Kromodjayan - Kanoman]
perkawinan: <224!> ♂ Raden Adipati Arya Kromodjoyo Adinegoro III / Raden Aersadan [Kromodjayan - Kanoman]
Kawin karangwulu ketiga kalinya, Dengan suami pertama mendapatkan 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan.
Wafat dimakamlan dibelakang Masjid Kota Bangilperkawinan: <225> ♀ Raden Ayu Pandamhabibah / Raden Ayu Tumenggung Arya Notodiningrat III [Ki Ageng Brondong]
perkawinan: <948!> ♀ Raden Ayu Djenap [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <226> ♀ R Ay Siti Chotidjah [R Panji Ronokoesoemo] , <227> ♀ Mas Ayu Kaminah [Dermoyudo] , <228> ♀ Mas Ayu Daliyah [Tdk ada catatan] , <948!> ♀ Raden Ayu Djenap [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] , <229> ♀ Nyai Tas [Tdk ada catatan] , <230> ♀ Mas Ayu Sarminah [Dermoyudo]
pekerjaan: Malang, Bupati Malang Tahun 1854-1898
perkawinan:
perkawinan: <228!> ♀ Mas Ayu Daliyah [Tdk ada catatan]
perkawinan:
perkawinan: <226!> ♀ R Ay Siti Chotidjah [R Panji Ronokoesoemo]
perkawinan: <228!> ♀ Mas Ayu Daliyah [Tdk ada catatan]
perkawinan: <226!> ♀ R Ay Siti Chotidjah [R Panji Ronokoesoemo]
perkawinan: <227!> ♀ Mas Ayu Kaminah [Dermoyudo]
pekerjaan: Bupati Bangil 1854-1873. Berdasarkan besluit Gouvernement 25 Juni 1854 djadie Bupatie die negrie Bangil mengganti kedudukan Raden Raden Adipatie Ario Notoadiningrat
gelar: Kanjeng Wali Den Arya = SOERGA SOERGI Pasuruan
penguburan: Wafat dimakamkan di belakang MAsjid Kota Pasuruan.
Raden Ario Soerioadikoesoemo srenta djadie Boepatie lantas dalem boelan Augustus tahoen 1867 djadi Adipatie gantie nama sampei dapet gandjaran jaitoe Raden Adipatie Ario Soerioadiningrat, lamanja djadie Boepatie 16 tahoen meninggal die Pasoeroewan tahoen 1873 die koeboer die blakang mesdjit kotta Pasoereewan.
Katjarita Boepatie inie amat die takoetie oleh orang anak negrie sahingga sekarang orang-orang die Bangil misie meloehoerken itoe nama, dia terkenal oleh orang ketjil jaitoe Kangdjeng Wallie Den Ario.perkawinan: <231> ♂ (nama) Putera Dari Kanjeng Pangeran Arya Prawiroadiningrat [KPA Prawiroadiningrat - Bangil]
perkawinan: <232> ♂ (nama) Wedono District Djati-Pasuruan) [Tdk ada Catatan]
perkawinan: <233> ♂ Raden Tumenggung Arya Soeryoamidjoyo [Soeryoamidjoyo]
gelar: Raden Ajoe Arinah selama janda menumpang pada saudaranya R Bagus Amoen. dan dapet onderstand darie negrie
perkawinan: <365!> ♂ Raden Adipati Arya Notodiningrat II / Raden Bagus Doro [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
pekerjaan: Collecteur di Malang
perkawinan: <558!> ♂ Raden Panji Astrowinoto [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <557!> ♂ Raden Soerodirdjo [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
pekerjaan: Mantri Polisi di Malang.
perkawinan: <943!> ♀ Raden Ajeng Soekartinah / Wiek [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <943!> ♀ Raden Ajeng Soekartinah / Wiek [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] , <234> ♂ Raden Soebadi [Tdk ada catatan]
perkawinan: <235> ♂ Raden Koesoemoadinoto [Tdk ada catatan]
pekerjaan: Menjabat Patih di Malang
perkawinan: <236> ♀ Raden Ayu Aminah Prawiroadinegoro [RA Proawiroadinegoro]
perkawinan: <237> ♂ Han Siau An [HAN dinasti - China]
perkawinan: <238> ♂ Tan Tik Djoen [Tiong Hwa - China]
pekerjaan: Patih Bangil
pekerjaan: Wedana Jenggala II
perkawinan: <239> ♀ R Ngt T Soemonegoro [Kanjeng Panembahan Senopati 1582-1601]
R.A Hangreni Mangunjaya
Untuk menghindari lahirnya pemberontak-pemberontak baru keturunan Pangeran Diponegoro, pihak keraton menikahkan puteri-puteri Pangeran Diponegoro dengan pejabat-pejabat yang netral atau dengan pejabat yang pro Belanda. Untuk itu mereka dinikahkan dengan pejabat-pejabat di wilayah kekuasaan trah Danurejan yaitu di tanah kedu dan Bagelen. Trah Danurejan adalah trah yang terbukti setia kepada Belanda walaupun ada juga beberapa yang justru menjadi tulang punggung perjuangan Pangeran Diponegoro.
Radeng Ngabehi Mangunjaya suami R.A Hangreni adalah seorang wedono di wilayah Bagelen Barat yang dikuasai oleh Bupati Cokronegoro. Strategi Belanda dan kraton seolah berhasil dengan cara ini, tetapi kelak generasi-generasi penerus R.A Hangreni berjuang melawan penjajah melalui perjuangan agama setelah era perang Diponegoro berakhir.wafat: Yogyakarta, Disarekan Pasarean Kuncen Yogyakarta
Raden Suryaatmaja / Diponingrat/ Pangeran Adipati Anom/Raden Mas Sudiro Kromo/Kanjeng Pangeran Adipati Diponegoro (1807).
Dilihat dari gelar yang digunakan yaitu Pangeran Adipati Anom bisa dipastikan bahwa dia adalah anak dari ibu Raden Ayu Retnokusumo yang sebelumnya bernama Raden Ajeng Supadmi (Diperkuat dengan adanya catatan dari Peter F Carey dam The Power Of Prophecy) . Pangeran Diponegoro menikah untuk yang kedua kalinya atas perintah dari ayahnya. Perintah ini secara langsung mempunyai arti bahwa Raden Ayu Retnokusumo adalah isteri utama atau isteri permaisuri yang direstui oleh kerajaan. Kemudian Raden Ayu Retnokusumolah yang mendampingi Pangeran Diponegoro dalam menghadiri acara-acara resmi di kerajaan. Ketika mengikuti jejak ayahnya di medan perang Suryaatmaja diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati Anom. Namun karena Belanda tidak mengakui keabsahan gelar Sultan yang disandang Pangeran Diponegoro maka nama itu dirubah oleh penjajah dengan nama Diponingrat. Menjalani pembuangan ke Ambon 1840.
Dalam catatan sejarah, Pangeran Adipati Anom Diponingrat pernah menikah dengan anak perempuan Raden Tumenggung Mertawijaya atau Raden Tumenggung Danukusumo II salah seorang senopati Pangeran Diponegoro di wilayah Remo Banyumas. Telah disebutkan sebelumnya bahwa Danukusumo II adalah dari trah Danurejan yang ikut bergabung dalam barisan perjuangan Pangeran Diponegoroperkawinan: <242> ♀ Ratu Mas [?]
perkawinan: <243> ♀ Ratansari [?]
gelar: 15 September 1823 - 1830, Susuhunan of Surakarta
wafat: 2 Juni 1849, Ambon, Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Sunan Pakubuwana VI telah ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.
Asal-Usul Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V yang lahir dari istri Raden Ayu Sosrokusumo, keturunan Ki Juru Martani. Ia dilahirkan pada tanggal 26 April 1807.
Pakubuwana VI naik takhta tanggal 15 September 1823, selang sepuluh hari setelah kematian ayahnya.
Hubungan dengan Pangeran Dipanegara Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.
Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.
Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera ditanam di dalam keraton oleh Pakubuwana VI.
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Penangkapan oleh Belanda Patung Pakubuwana VI di keraton SurakartaBelanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya mati setelah disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar Luar Batang.
Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.
Misteri Kematian Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle.
Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Daftar isi |
Raden Mas Muhammad Ngarip/Raden Antawirya II / Diponegoro Anom/Diponegoro II/Kanjeng Pangeran Haryo Diponegoro II /Pangeran Abdul Majid.
Lahir pada tahun 1803. Dilihat dari tahun kelahirannya maka dapat dipastikan sebagai anak dari ibu Raden Ayu Madubrongto. Ketika perang Diponegoro dimulai dia telah berusia 22 tahun dan selalu setia menjadi pembela ayahnya. Sebagai putera tertua dan memiliki kesamaan pandangan dengan ayahnya maka dia dengan ikhlas mengangkat senjata mendampingi ayahnya. Nama bayinya adalah Raden Mas Muhammad Ngarip, dan kelak nama itu dia gunakan lagi ketika berada di wilayah sumenep dengan sedikit perubahan yaitu Raden Mas Mantri Muhammad Ngarip. Nama ini dia gunakan selama dalam pembuangan di Sumenep Madura. Dialah yang menulis buku Babad Diponegoro Suryongalam. Ketika menginjak dewasa dan ayahnya telah menggunakan nama Diponegoro, dia mendapatkan gelar nama yang sama yaitu Ontowiryo II dan selanjutnya menggunakan nama Diponegoro II atau Diponegoro Anom ketika ayahnya diangkat oleh rakyat menjadi Sultan Abdul Hamid. Nama tersebut diberikan sendiri oleh Pangeran Diponegoro sebagai tanda bahwa putera kesangannya inilah kelak yang akan melanjutkan cita-citanya. Memang dia hanya dari isteri samping, tetapi keindahan budi pekerti ibunya membuat Pangeran Diponegoro sangat menyayangi anak sulungnya ini. Melihat usianya yang sudah mencapai 22 tahun pada saat perang Diponegoro dimulai, maka dapat dipastikan bahwa pada saat itu beliau sudah memiliki isteri dan memiliki beberapa anak. Kelak keturunan beliau yang lahir dan besar di tanah Jawa inilah yang akan menjadi generasi penerusnya sebagai pengganggu ketenteraman penjajah. Sejak awal peperangan, Diponegoro Anom diserahi untuk menjaga dan melawan penjajah di wilayah Bagelen ke Barat bersama beberapa orang pilihan Pangeran Diponegoro di antaranya Tumenggung Danupoyo. Taktik perang yang digunakan sama dengan ayahnya yaitu bergerilya dan berpindah-pindah. Area perjuangan Pangeran Diponegoro Anom ini mencapai wilayah Barat Banyumas, Temanggung dan Parakan. Di medan perang Diponegoro Anom ini sering bekerja sama dengan Pamannya Sentot Prawirodirjo dan adik tirinya Raden Mas Singlon atau Raden Mas Sodewo. Setelah menjalani pembuangan di Sumenep tahun 1834 lalu dibuang ke Ambon 1853. Sebenarnya Pangeran Diponegoro berharap agar ibu dan anak-anaknya bisa bergabung dengannya di pembuangan, tetapi hal itu secara halus ditolak oleh Belanda dan sebagai gantinya Van den Bosch menijinkan anak-anaknya kembali ke Tegalrejo. Bahkan anak Pangeran Dipokusumo dan Pangeran Diponingrat diijinkan tinggal di dalam kraton. Selanjutnya Belanda melalui Kapten Roeps juga memenuhi permintaan Pangeran Diponegoro untuk membagikan pusaka warisan pada anak-anaknya yang terdiri dari keris dan tombak.
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA 6. BPH. DIPANEGARA 7. RM. MUHAMMAD NGARIP/PANGERAN ABDUL MADJID - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN PANGERAN ABDUL MADJID
Putra-putri
No. | Nama | Tempat/Lahir |
---|---|---|
1. | RM. ACHMAD DIPONEGORO | Ambon, C-18?? |
2. | RM. MUHAMMAD DIPONEORO | Ambon, C-18?? |
3. | RM. BDULLAH DIPONEGORO | Ambon, C-18?? |
4. | RM. ABDUL RACHMAN DIPONEGORO | Ambon, C-18?? |
Cucu
- ) 1.1. RAy. KHALIDJAH (Ambon, C-18??)
- ) 1.2. RM. IBRAHIM
- ) 1.3. RAy. DJAHRO
- ) 1.4. RAy. SECHA
- ) 1.5. RM. ISMAEL
- ) 1.6. RM. DAUD
- ) 1.7. RM. MUHAMMAD
- ) 1.8. RM. SULAEMANJ
- ) 2.1. RM. IDRIS
- ) 2.2. RM. MACHMUD
- ) 2.3. RM. ABDUL GHANI
- ) 2.4. RAy. DJUNA
- ) 3.1. RM. YUSUF DIPONEGORO
- ) 3.2. RM. SYAWAL DIPONEGORO
- ) 3.3. RM. SUJA DIPONEGORO
- ) 3.4. RAy. MARJAM DIPONEGORO
- ) 3.5. RM. MUHAMMAD DIPONEGORO
- ) 3.6. RM. YUNUS DIPONEGORO
- ) 3.7. RM. ACHMAD DIPONEGORO (BANDUNG)
- ) 3.8. RM. MURTASA DIPONEGORO
- ) 3.9. RAy. MURTINAH DIPONEGORO
- ) 3.10. RAy. SUPINAH DIPONEGORO
- ) 3.11. RAy. MURJANI DIPONEGORO
- ) 3.12. RAy. SUPATNI DIPONEGORO
- ) 4.1. RM. DJAFAR DIPONEGORO
Buyut / Cicit
- 1.6.1. RAy. DJAMILAH
- 1.6.2. RAy. CHADIDJAH
- 1.6.3. RAy. DJAHRAH (SURABAYA)
- 1.6.4. RAy. AISJAH (AMBON)
- 1.6.5. RAy. RACHMAH (MEDAN)
- 1.6.6. dr.RM. ACHMAD (PONTIANAK)
- 1.6.7. RAy. KAJATIN (YOGYAKARTA)
- 1.6.8. RAy. MOENAH (tidak ada keturunan)
- 1.8.1. RM. SLAMET DIPONEGORO
- 1.8.2. RM. ISMAIL (JAKARTA)
- 1.8.3. RAy. SYAMSILAH (PPRAJA AMBON
- 1.8.4. RM. IBRAHIM (KTR GUB AMBON)
- 2.1.1. RM. ABD HAMID
- 2.1.2. RM. ABD RACHMAN (AMBON)
- 2.1.3. RM. ABD GAFUR (TASIKMAKAYA)
- 2.1.4. RM. ISMAIL
- 2.1.5. RAy. KALSUM
- 2.1.6. RAy. MUDJANI (AMBON)
- 2.1.7. RM. ABDULLAH (POLISI MAGELANG)
- 2.1.8. RM. ACHMAD (JAW PELAJARAN TJ PRIOK)
- 2.1.9. RM. ABD GHANI (AMBON)
- 2.2.1. RM. ABD RADJAK (MAKASSAR)
- 2.2.2. RM. ABD GAFUR (NISM TJ PRIOK)
- 2.2.3. RAy. RAMLAH (AMBON)
- 2.3.1. RM. ABD MUTALIB (AMBON)
- 2.3.2. RM. ABD MANAP (AMBON)
- 3.1.1. RM. NURSEWAN
- 3.1.2. RAy. HARTATI
- 3.2.1. RAy. SAMSIRIN
- 3.2.2. RM. SAID
- 3.2.3. RM. ABD RACHMAN
- 3.2.4. RM. ABDULLAH DIPONEGORO
- 3.2.5. RAy. FATMA (SURABAYA)
- 3.3.1. RAy/ NURANI (AMBON)
- 3.3.2. RM. SAMAUN
- 3.3.3. RM. SAID (TJ PRIOK)
- 3.3.4. RAy. DINAR
- 3.3.5. RM. ABDULLAH
- 3.3.6. RAy. DJASIAN (TJ PRIOK)
- 3.7.1. RM. ISKANDAR DJOHAN DIPONEGORO
- 3.7.2. RM. ACHMAD DJOHAN DIPONEGORO
- 3.7.3. RM. INDRA DJOHAN DIPONEGORO
- 3.8.1. RAy. SUPATMI DIPONEGORO (AMBON)
- 3.8.2. RM. MUHAMMAD DIPONEGORO
- 3.8.3. RAy. PAWON (BANDUNG)
- 3.8.4. RAy. DJAHRO (AMBON)
- 3.8.5. RAy. NENG
- 3.8.6. RAy. SAMSIRIN (AMBON)
- 4.1.1. RM. MUHAMMAD
- 4.1.2. RAy. SAKIAH
- 4.1.3. RAy. TIMUR (BANDUNG)
Canggah
- 1.6.2.1. RAy. NURLELA AMAR DIPONEGORO
- 1.6.2.2. RM. SALIM AMAR DIPONEGORO
- 1.6.2.3. RM. AHMAD AMAR DIPONEGORO
- 1.6.3.1. RM. ACHMAD INDRACAHYA KAMARULLAH
- 1.6.3.2. RM. OEMAR INDRACAHYA KAMARULLAH
- 1.6.3.3. RM. ABDULLAH INDRACAHYA KAMARULLAH
- 1.6.3.4. RAy. MIEN SUROYO
- 1.6.3.5. RAy. POPPY SUROYO
- 1.6.5.1. RM. OEMAR KAMARUDIN
- 1.6.5.2. RM. HAMID KAMARUDIN
- 1.6.5.3. RM. DEETJE KAMARUDIN
- 1.6.5.4. RM. DICKY KAMARUDIN
- 1.6.7.1. RM. MAYOR GAUTAMA SAHIR
- 1.6.7.2. RM. dr. ERLANGGA SAHIR
- 1.6.7.3. RAy. Dra. CICI SAHIR
- 1.6.7.4. RM. Kol dr. ABIMANYU SAHIR
- 1.6.7.5. RM. Kol AMILUHUR SAHIR
- 1.6.7.6. RM. dr ONTOWIRYO SAHIR
- 1.8.1.1. RM. PUDJOJONO (AURI MEDAN)
- 1.8.1.2. RAy. MUNAH (JAKARTA)
- 1.8.1.3. RAy. MARIATI
- 1.8.1.4. RM. DIPOKUSUMO (BANDUNG)
- 1.8.1.5. RM. SURASNO (BANDUNG)
- 1.8.1.6. RAy. RATNAWATI (SEMARANG)
- 1.8.1.7. RM. SUDJONO I
- 1.8.1.8. RM. SUDJONO II (SEMARANG)
- 1.8.1.9. RM. SETIABUDI (SEMARANG)
- 1.8.1.10. RA. BUDIATI (SEMARANG)
- 1.8.2.1. RAy. SAMSILAH (JAKARTA)
- 1.8.2.2. RAy. SUPATNI (JAKARTA)
- 1.8.2.3. RAy. KEATIN (JAKARTA)
- 1.8.2.4. RM. SULAEMAN I
- 1.8.2.5. RM. SUKARNO
- 1.8.2.6. RAy. SUHARTI
- 1.8.2.7. RM. SULAEMAN II (JAKARTA)
- 1.8.2.8. RM. MOH ISMAIL (JAKARTA)
- 1.8.2.9. RM. SUDIRMAN (JAKARTA
- 1.8.2.10. RM. SUKIRMAN (JAKARTA)
- 2.1.1.1. RAy. DJENAB (TERNATE)
- 2.1.2.1. RM. MUHAMMAD
- 2.1.2.2. RAy. KALSUM (MAKASAR)
- 2.1.3.1. RAy. HAMILIH (TASIKMALAYA)
- 2.1.8.1. RAy. MURN (TJ PRIOK)
- 2.1.8.2. RAy HAR 1
- 2.1.8.3. RAy MUL
- 2.1.8.4. RAy HAR 2
- 2.1.8.5. RAy. DINAR (TJ PRIOK)
- 2.1.8.6. RM. ABD MADJID
- 2.2.1.1. ...............
- 2.2.1.2. ...............
- 2.2.1.3. ...............
- 2.3.1.1. RM. AMIN (AMBON)
- 2.3.1.2. RAy. MIRJAM (AMBON)
- 2.3.2.1. RM. ABD GANI (AMBON)
- 3.1.1.1. RM. YUSUF (TNI JAKARTA
- 3.1.1.2. RAy. MIRJAN (JAKARTA)
- 3.1.1.3. .........................
- 3.1.1.4. .........................
- 3.2.4.1. RM. SENTOT DIPONEGORO
- 3.2.4.2. RAy. MARYAM DIPONEGORO
- 3.2.4.3. RM. SUTOMO DIPONEGORO
- 3.2.4.4. RAy. MARYATI DIPONEGORO
- 3.2.4.5. RAy. SUKATI DIPONEGORO
- 3.2.4.6. RM. SANTOSO DIPONEGORO
- 3.2.4.7. RM. ANTAWIRYA DIPONEGORO
- 3.2.4.8. RM. SUSILO DIPONEGORO
- 3.2.4.9. RM. GATOTO DIPONEGORO (JOHAN)
- 3.2.4.10.RM. INDRA DIPONEGORO
- 3.2.4.11.RAy. RATNANINGSIH DIPONEGORO
- 3.2.4.12.RM. SUDIRMAN DIPONEGORO (DEN)
- 3.3.2.1. RM. ACHMAD
- 3.3.2.2. RM. ....................
- 3.3.3.1. RAy. KUSIAH (AMBON)
- 3.3.3.2. RAy. KURSIN (AMBON)
- 3.3.3.3. RM. SUDJA (AMBON)
- 3.7.1.1. RAy. MIRANDA DIPONEGORO
- 3.7.1.2. ..............................
- 3.7.2.1. RM. ALEXANDER DIPONEGORO
- 3.7.2.2. RM. NURDJOHAN DIPONEGORO
- 3.7.2.3. RAy. MAGDALIN DIPONEGORO
- 3.7.2.4. RAy. FARIDA A DIPONEGORO
- 3.7.2.5. RAy. ARISWAPI DIPONEGORO
- 3.7.2.6. RAy. DJULISTANI DIPONEGORO
- 3.7.2.7. RAy. ANNEKE DIPONEGORO
- 3.7.2.8. RM. DANUR DIPONEGORO (KEMLU TOKYO)
- 4.1.1.1. RM. MUHAMMAD DIPONEGORO
- 4.1.1.2. RAy. SAKILAH DIPONEGORO
- 4.1.1.3. RAy. TIMUR DIPONEGORO (BANDUNG)
R.M Dipoatmaja /R.M Dipokusumo /Pangeran Abdul Aziz (1805)
Adalah putera ke dua Pangeran Diponegoro yang lahir dari ibu Retno Madubrongto. Dia sudah cukup dewasa ketika perang dimulai, sehingga tidak menutup kemungkinan, dia meninggalkan anak dan isteri ketika menjalani pembuangan di Ambon. Semasa perang, RM. Dipoatmojo banyak bergerak di wilayah Pacitan dan Madiun. Peperangan dipimpin oleh Bupati Mas Tumenggung Joyokariyo, Mas Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris, akan tetapi akhir Agustus 1825 daerah Pacitan berhasil dikuasai Belanda. Bupati Joyokariyo di pecat, sedang Tumenggung Jimat dan Ahmad Aris ditangkap yang nasibnya tidak diketahui. Sebagai bupati baru, diangkatlah oleh Belanda Mas Tumenggung Somodiwiryo, akan tetapi tidak lama bertahta sebab 9 Oktober 1825 diserbu oleh pasukan Madiun yang dipimpin oleh Raden Mas Dipoatmojo dan berhasil membunuh bupati baru tersebut. Namun akhirnya awal Desember 1825 seluruh pasukan Madiun di Pacitan berhasil dipecah belah oleh Belanda, hingga Pacitan sepenuhnya di kuasai Belanda.
Pada akhir perang Diponegoro, Raden Mas Dipoatmojo berada di Surakarta bersama keluarga kakek buyutnya dari garis ibu setelah pada tanggal 8 Januari 1830 tertangkap oleh pasukan Belanda lalu dibuang ke Ambon 1840.pekerjaan: Pasuruan, Bupati Pasuruan Th.1833-1887 R Bagus Amoen setelah dewasa, dan saat Ayahnda masih hidup Raden Bagus Amoen itoe telah mendapat besluitnja Kandjeng Goivernement 14 Juni 1832 No. 21 die tetepken Jumeneng memakai gelar nama : Raden Tumenggung Ario Notokoesoe
perkawinan: <244> ♀ Raden Ayu Boni [Sultan Pakoenataningrat]
Fatzal VII.
Raden Bagoes Amoen Raden Toemenggoeng Ario Notokoesoemo die fatzal IV, sub a. die tetepken menoeroet besluit Gouvernement 18 Maart 1833 No.9. menggantie djadie Boepatie die Pasoeroewan dan installatienja pada harie Senen tangqal 29 April 1833 die rajaken die paseban aloon-aloon Pasoeroewan, itoe waktoe dia poenja oemoer 17 tahoen. Njang djadie Resident die Pasoeroewan toewan van Nes, dan Gouvernement Generaal Graaf van den Bosch. Dia gantie nama Raden Toemenggoeng Ario Nitieadiningrat. Lantas tanggal 25 Juli 1839 atawa 14 Djemadilawal 1757 dia kawin (lantaran darie Kangdjeng Pangeran Ario Prawiroadiningrat Boepatie Bezoekie fatzal Vi sub. c dab e) dapet pada poetrienja Sultan Sumenep Pakoenataningrat jang bernama Radenajoe “Bonie” - Keterangan adanja Raden Toemenggoeng Ario Nitieadiningral IV jaitoe: (Dengen besluit Gouvernement tanggal 16 September 1846 No. 25 die djadiken Adipatie. - Dengan besiuit Gouvernement tanggal 14 Juni 1866 No.13 dapet gandjaran songsong koening. - Dengan besluit Gouvernement tanggal 3 Jarnuari 1876 No.2 dapet gandjaran Medaille Mas. - Die dalam taoen 1877 die djadiken Ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw. (tanggal nommer besluit tida die seboet, sebab hiiang.) - Itoe wektoe ada kramean besar bolihnja trimaken itoe bientang ada die “terop agoeng" aloon-aloon dan jang pasang itoe bientang jaitoe toewan van Gorkom Hoofd Inspecteur Cultures, kebetoelan itoe waktoe Inspectie die Pasoeroewan. Residentnja itoe wektoe toewan Mr 0 ' van Nispen. - Pada tanggal 18 Maart 1883. (djoega besluit hilang)' die angkat nama Pangeran beserta dapet gandjaran songsong bjoer mas, itoe waktoe djadie Boepatie 50 taoen. Djoega ada kramean besar sekalie die Pasoeroewan. jang djadie Resident toewan J.J.Rambaldo Gouverneur Generaal's Jacobs waktoe installatie ada berhadelir Ambtenaar-ambienaar Ollanda dan prijaje Djawa sampei wedono saantero Residentie Pasoeroewan dan Ambtennar Djawa Residence Probolinggo. Lantas harie Rebo wagee.tanggal 20 Juli dalem taoen 1887, Kangdjeng Pangeran Ario Nitieadiningrat meningga! die koeboer djoega die blakang mesdjit Kota Pasoeroewan. Mendjadie lamanja dia djadie Boepatie 54 tahoen, sebegitoe lamanja negrie Pasoeroewan slamet dan amat redjo terseboet die tjarita moeka “Pasar -Uang," Tapie koetika Kangdjeng Pangeran Ario Nitiadininegrat misie baroe-baroe djadie Boepatie dalem boelan Augustus 1833. ada djoega reroesoehan jaitoe orang ketji! mogok tida soeka tanem teboe negrie ada beriboe orang jang sAma pergie kotta jang djadie kepalanja Raden Pandjie Tedjokoesoemo, die hoekoem boewang ka Rembang dan jang lain ada nama Pak Goentoer, Pak Ngadisah dan lagie 21 orang-orang kepala die boewang ka Krawang. Inie die dapet die boekoe die namakan “Landelijk stelsel" karangan toewan Resident S. van Deventer, J.S.Z. die deel II, katja 582 die Pasoeroevvan dan ada terseboet namanja ini Boepatie. (1) Semeninggalnja Kangdjeng Pangeran Ario Nitieadiningrat die negrie Pasoeroewan lantas die gantie Boepatie lain toeroenan, jaitoe Boepatie darie Banjoewangie nama Raden Mas Adipatie Ario Soegondo, poetro Mangkoenegoro ka ampat die Soerakarta. (2) Mendjadie darie Nitieadiningrat ka satoe sampei Nitieadiningrat jang ka ampat itoe lamanja ada 135 tahoen. (1.) Die boekoe Landlelijk stelsel itoe katja 666, inie Boepatie di seboet Boepatie jang tjakep
sekalie.
(2.) Lamanja djadie Beopatie die sitoe 14 tahoen, lantas die gantie anaknja nama Darsosoegondo lamanja 13 tahoen.
Fatzal VIII.
Kawinan Kangdjeng Pangeran Ario Nitiadiningrat, dengan Radenajoe Bonie itoe tadie adaiah melahirken poetra anem sama lakie katrangan sepertie die bawah inie: a. Harie Ahad legie, woekoe koroweloet tanggai 4 boelan April 1841 djam setengah satoe tengah harie die lahirken nama Raden Bagoes Nglemadoedin njang die blakang pakei nama Raden Ario Notokoesoemo pangkat jang blakang sendirie jaitoe djadie Patih die Bangil lantas pensioen, meningga! dalem taoen 1900 die koeboer die blakang . mesdjit kota Pasoeroewan ada loewar gedong seblah barat. b. Harie Djemahad kliwon woekoe Medangkoengan tanggal 24 Maart 1843 djam setengah sembiian pagie die lahirken nama Raden Bagoes Sangiddoercharadjie jang die blakang pakei nama Raden Ario Tirtokoesoemo, pangkat jang blakang sendirie jaitoe djadie Patih die Pasoeroewan sahingga dia wafat taoen 1900 die koeboer die koeboeran blakang mesdjit Pasoeroewan di dalem c. Harie Rebo legie .woekoe Prangbaka! tanggai 8 Januari djam setengah 4 pagie die lahirken nama Raden Bagoes Mohamad Kamaludin njang die biakang pakei nama Raden Ario Soerionegoro, pangkat jang blakang sendirie jaitoe djadie Boepatie die negerie Probolinggo, brentie die dalem taoen 1888 dan meninggal pada harie malem Senen wagee tanggal 16 Maart 1914 djam 3 malem die koeboer die koeboeran Mantjielan (Pasoeroe¬wan) jang seblah kiedoel sendirie. d. Harie Septoe langgal 25 Juli 1846 djam 1/2 3 soree woekoe langkir die lahirken nama Raden Bagoes Mohamad Nasiroedin jang die blakang pakei nama Raden Ario Sosrowinoto pangkat jang blakang sendirie jaitoe djadie Wedono Kebontjandie Pasoe¬roewan berentie dalem tahoen 1884 sekarang misie hiedoep, tingga!; beroemah die Pasoeroewan. e. Harie Senen tanggal 17 April 1848 djam satoe tengah harie die lahirken Raden Bagoes Liaoedin meninggal misie moeda die koeboer die biakang mesdjit Pasoeroewan die dalem gedung. _ f. Harie Kemis pon, woekoenja koeningan tanggal 20 Desember 1849 djam setengah sampai deket pagie die lahirken Raden Bagoes Aboebakar-tadjoeddin jang die blakang pakei nama Raden Ario Soerioamidjoio pangkat jang paling blakang jaitoe djadie Ondercollecteur die Pasoernewan, berhentie dalam taoen 1384 dan meningga! die Pasoeroewan koetieka taoen 1902 die koeboer die biakang mesdjt kotta Pasoeroewan koempoel soedaranja fatza! VIII. a.
Poetro-poetro inie masing-masing pegang besluit darie Kangdjeng Gouvernement bolih, pakei gelaran Ario satoeroenannjaperkawinan: <245> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sultan [Gp.Hb.6.2] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng (Roromunting) [Prawirorejoso]
perkawinan: <623!> ♀ Kanjeng Mas Hemawati [Hamengku Buwono]
perkawinan: <246> ♀ Bendoro Raden Ayu Panukmowati [Ga.Hb.5.2] [?]
perkawinan: <247> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewaningsih [Ga.Hb.5.1] [?]
perkawinan: <248> ♀ Bendoro Raden Ayu Retno Sriwulan [Ga.Hb.5.3] [?]
gelar: 19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana V Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping V
gelar: 17 Januari 1828 - 5 Juni 1855, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana V Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping V
perkawinan: <428!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.2.52.2] / Bendoro Raden Ajeng Suradinah [Gp.Hb.5.1] [Hamengku Buwono II / Hamengku Buwono III]
gelar: 1839, Yogyakarta, Letnan Kolonel
gelar: 1847, Yogyakarta, Kolonel
perceraian: <428!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Hb.2.52.2] / Bendoro Raden Ajeng Suradinah [Gp.Hb.5.1] [Hamengku Buwono II / Hamengku Buwono III]
perkawinan: <585!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton [Hb.3.2.22] / Bendoro Raden Ayu Andaliya [Gp.Hb.5.2] [Hamengku Buwono III] b. 1834 d. 25 Mei 1919, Yogyakarta
wafat: 5 Juni 1855, Yogyakarta
Riwayat pemerintahan Nama asli Sri Sultan Hamengkubuwana V adalah Raden Mas Mustoyo, putra Hamengkubuwana IV yang lahir pada tanggal 20 Agustus 1821. Sewaktu dewasa ia bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia juga pernah mendapat pangkat Letnan Kolonel tahun 1839 dan Kolonel tahun 1847 dari pemerintah Hindia Belanda.Melihat tahun pemerintahannya dimulai tahun 1823 sedang lahirnya adalah tahun 1821 maka Sultan Hamengku Buwono V waktu permulaan bertahta berumur 2 (dua) tahun.
Hamengkubuwana V sendiri mendekatkan hubungan Keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Hindia-Belanda yang berada di bawah Kerajaan Belanda, untuk melakukan taktik perang pasif, dimana ia menginginkan perlawanan tanpa pertumpahan darah. Sri Sultan Hamengkubuwana V mengharapkan dengan dekatnya pihak keraton Yogyakarta dengan pemerintahan Belanda akan ada kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak keraton dan Belanda, sehingga kesejahteraan dan keamanan rakyat Yogyakarta dapat terpelihara.
Kebijakan Hamengkubuwana V tersebut ditanggapi dengan tentangan oleh beberapa kanjeng abdi dalem dan adik Sultan HB V sendiri, yaitu Raden Mas Ariojoyo (nantinya Hamengkubuwana VI). Mereka menganggap tindakan Sultan HB V adalah tindakan yang mempermalukan Keraton Yogyakarta sebagai pengecut, sehingga dukungan terhadap Sultan Hamengkubuwana V pun berkurang dan banyak yang memihak adik sultan untuk menggantikan Sultan dengan Raden mas Ariojoyo.
Keadaan semakin menguntungkan Raden Mas Ariojoyo setelah ia berhasil mempersunting putri Kesultanan Brunai dan menjalin ikatan persaudaraan dengan Kesultanan Brunai. Kekuasaan Sultan Hamengkubuwana V semakin terpojok setelah timbul konflik di dalam tubuh keraton yang melibatkan istri ke-5 Sultan sendiri, Kanjeng Mas Hemawati. Sri Sultan Hamengkubuwana V hanya mendapatkan dukungan dari rakyat yang merasakan pemerintahan yang aman dan tenteram selama masa pemerintahannya.
Sri Sultan Hamengkubuwana V wafat pada tahun 1855 dalam sebuah peristiwa yang hanya sedikit diketahui orang, peristiwa itu dikenal dengan wereng saketi tresno ("wafat oleh yang dicinta"), Sri Sultan meninggal setelah ditikam oleh istri ke-5-nya, yaitu Kanjeng Mas Hemawati, yang sampai sekarang tidak diketahui apa penyebab istrinya berani membunuh Sri Sultan suaminya.[2]
Ketika insiden pembunuhan itu terjadi, permaisuri Sultan HB V yakni Kanjeng Ratu Sekar Kedaton, sedang hamil tua. 13 hari pasca sultan tewas, lahirlah anak yang dikandungnya itu dan seharusnya menjadi penerus tahta Yogyakarta. Putra mahkota Sultan HB V tersebut diberi nama Raden Mas Kanjeng Gusti Timur Muhammad.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hamengkubuwana_V
Peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono V Salah satu mahakarya yang lahir di era beliau adalah Serat Makutha Raja. Di dalamnya memuat tentang prinsip-prinsip dasar menjadi raja yang baik. Dari karya ini dapat dilihat visi ke depan Sultan Hamengku Buwono V yang sangat memihak kepada rakyat.
Serat Makutho Raja ini pula yang nantinya menjadi pedoman bagi raja-raja selanjutnya, dan juga menjadi rujukan bagi pemimpin-pemimpin di luar keraton. Serat Makutho Raja ini kurang lebih mengandung nasehat-nasehat dari Kitab Tajussalatin.
Kitab Tajussalatin diterjemahkan di era Sri Sultan Hamengku Buwono V. Kemudian lahir pula karya lain seperti Suluk Sujinah, Serat Syeh Tekawardi dan Serat Syeh Hidayatullah.
Sri Sultan Hamengku Buwono V juga menunjukkan perhatiannya yang besar terhadap kegiatan-kegiatan seni, terutama seni tari. Beliau memimpin sendiri komunitas tari di istana. Bahkan, beberapa sumber juga mengatakan ia turut menjadi penari.
Disamping tarian, Sri Sultan Hamengku Buwono V memprakarsai Gendhing Gati yang memadukan alat musik diatonis seperti terompet, trombon, suling dan jenis drum atau tambur dengan karawitan Jawa. Gendhing Gati ini lazimnya digunakan dalam gerak Kapang-Kapang pada tari Bedaya atau Serimpi, yaitu komposisi ketika masuk atau keluar dari ruang tari.
Pada era pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono V juga terdapat keunikan-keunikan lain dalam pelembagaan tari. Beliau membentuk kelompok penari Bedaya yang biasanya ditarikan oleh para penari wanita, digantikan oleh sekelompok penari laki-laki yang disebut kelompok Bedaya Kakung.
Karya seni tari lain yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono V adalah Tari Serimpi Renggawati yang ditarikan oleh lima orang penari, yang salah satunya berperan sebagai Dewi Renggawati. Jalan cerita tari ini menggambarkan kisah Prabu Anglingdarma.
Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono V juga mengembangkan seni wayang orang. Pada masanya tak kurang dari lima judul lakon yang sering dipertunjukkan yakni Pragulamurti, Petruk Dadi Ratu, Angkawijaya Krama, Jaya Semedi dan Pregiwa-Pregiwati.
Media:https://www.kratonjogja.id/raja-raja/6/sri-sultan-hamengku-buwono-vperkawinan: <249> ♀ Putri Kerajaan Brunei [?]
perkawinan: <250> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnodiningrum [Ga.Hb.6.7] [?]
perkawinan: <251> ♀ Bendoro Raden Ayu Murtiningrum [Ga.Hb.6.6] [?]
perkawinan: <252> ♀ Bendoro Raden Ayu Pujoretno [Ga.Hb.6.2] [?]
perkawinan: <253> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewiningrum [Ga.Hb.6.8] [?]
perkawinan: <254> ♀ Bendoro Raden Ayu Puspitoningrum [Ga.Hb.6.5] [?]
perkawinan: <255> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnoningdiah [Ga.Hb.6.3] [?]
perkawinan: <256> ♀ Bendoro Raden Ayu Sasmitaningrum [Ga.Hb.6.4] [?]
perkawinan: <257> ♀ Bendoro Raden Ayu Tedjaningsih [Ga.Hb.6.1] [?]
perkawinan: <245!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sultan [Gp.Hb.6.2] / Gusti Kanjeng Ratu Hageng (Roromunting) [Prawirorejoso]
perkawinan: <584!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencono [Gp.Hb.6.1] ? (Gusti Kanjeng Ratu Hamengku Buwono, Pakubuwono VIII) [Pakubuwono VIII] , Yogyakarta
gelar: 5 Juli 1855 - 20 Juli 1877, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana VI Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping VI
perkawinan: <1076!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Angabehi [Hb.5.1] [Gp.Hb.6.3] (Bendoro Raden Ayu Gondokusumo) [Hamengku Buwono V] , Yogyakarta
perceraian: <1076!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Angabehi [Hb.5.1] [Gp.Hb.6.3] (Bendoro Raden Ayu Gondokusumo) [Hamengku Buwono V]
wafat: 20 Juli 1877, Yogyakarta
Riwayat Pemerintahan Nama asli Sultan Hamengkubuwana VI adalah Raden Mas Mustojo, putra Hamengkubuwana IV yang lahir pada tahun 1821.
Hamengkubuwana VI naik takhta menggantikan kakaknya, yaitu Hamengkubuwana V pada tahun 1855, setelah Hamengkubuwana V meninggal secara misterius. Pada masa pemerintahannya terjadi gempa bumi yang besar yang meruntuhkan sebagian besar Keraton Yogyakarta, Taman Sari, Tugu Golong Gilig, Masjid Gede (masjid keraton), Loji Kecil (sekarang Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta) serta beberapa bangunan lainnya di Kesultanan Yogyakarta.
Pada masa Hamengkubuwana V, Raden Mas Mustojo adalah seorang penentang keras kebijakan politik perang pasif kakaknya yang menjalankan hubungan dekat dengan pemerintahan Hindia-Belanda yang ada di bawah Kerajaan Belanda. Namun setelah kakaknya meninggal dan dia dinobatkan menjadi Hamengkubuwana VI, semasa pemerintahannya dia justru melanjutkan kebijakan dari kakaknya yang sebelumnya dia tentang keras.
Semasa pemerintahan Hamengkubuwana VI kemudian mulai timbul pemberontakan-pemberontakan yang tidak mengakui masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VI, namun pemberontakan-pemberontakan tersebut dapat diredam dan dibersihkan. Hal ini berkat kepemimpinan dan ketangguhan Danuredjo V, patih Keraton Yogyakarta saat itu. Hubungan dengan berbagai kerajaan pun terjalin kuat pada masa pemerintahan HB VI, apalagi setelah dia menikah dengan putri Kesultanan Brunai.
Walaupun sempat menimbulkan beberapa sengketa dengan kerajaan-kerajaan lain, tercatat bahwa Sultan HB VI dapat mengatasinya dengan arif bijaksana. Tapi lambat laun hubungan dengan pemerintahan Hindia-Belanda agak mulai menuai konflik tertama karena keraton Yogyakarta kala itu banyak menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh pemerintah Hindia-Belanda dan Kerajaan Belanda.
Pemerintahan Hamengkubuwana VI berakhir ketika ia meninggal dunia pada tanggal 20 Juli 1877. Ia digantikan putranya sebagai sultan selanjutnya bergelar Hamengkubuwana VII.wafat: 1902
== ASAL-USUL ==
RADEN NGABEHI DIPOMENGGOLO alias KH. SAFAWI, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1833 putra ke 1 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai 1 orang anak : 1. RM. KH. USMAN BAKHSAN Dipomenggolo
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak) #0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipamenggala #3. RM. Ngabehi Dipamenggala
KETURUNAN
#1. RM. NGABEHI DIPAMENGGALA (C-1833) 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebakpasar, C-1854)><Nyi Rd Kuraesin (Cucu RA. Mangkuwidjaja, Bupati Bogor tahun 1865-1870) 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877) 1.1.1.1. RA.DJUHRO 1.1.1.2. RA.DJUHRIAH 1.1.1.3. RM.H. RAIS 1.1.1.4. RA.Hj. ECIN 1.1.1.5. RA.Hj. HALIMAH 1.1.1.6. RM. ACEP USMAN 1.1.1.7. RA. DJUBAEDAH 1.1.1.8. RM. HASBULLOH 1.1.1.9. RA.Hj. SITI KHODIJAH 1.1.1.10. RA.Hj. SITI MUKMINAH 1.1.1.11. RM.H. MAHBUB 1.1.1.12. RA.Hj. NENENG MAEMUNAH 1.1.1.13. RA.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng) 1.1.1.14. RM.IYAN RIDWAN 1.1.1.15. RM. IBRAHIM 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878) 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910 1.1.2.1.1. R. ENDUS 1.1.2.1.2. R. SALMAH (Encal) 1.1.2.1.2.1. R. HARUN AL-RASYID 1.1.2.1.3. R. SUHANDA (Kang AA) 1.1.2.1.4. R. ARSYAD (Kang OO) 1.1.2.1.5. R. SUKARNA (Kang UU) 1.1.2.1.5.1. R. ENEN 1.1.2.1.5.2. R. DIDING 1.1.2.1.5.3. R. ENTIN 1.1.2.1.6. R. SUKARNI (Kang Ani) 1.1.2.1.6.1. R. SUKANTA 1.1.2.1.7. R. MUTHOLIB (Toto) 1.1.2.1.7.1. R. DEDI NURTHOLIB (Nunuy) 1.1.2.1.7.1. R. IIS 1.1.2.1.7.1. R. DEDE 1.1.2.2. R.H. ALI 1.1.2.2.1. R.H. JUMENA 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung) 1.1.2.3.1. R. SASTRA (Caca) 1.1.2.3.2. R. ENOH 1.1.2.3.3. R.H DIDIH 1.1.2.3.4. R. CICIH 1.1.2.3.5. R. SUPARTI 1.1.2.3.5.1. Kang Eddy 1.1.2.3.5.2. R.Pepen Supendi 1.1.2.3.5.3. R.Neni 1.1.2.3.5.4. R.Yeti 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti) 1.1.2.4.1. R. DJAKA 1.1.2.4.1.1. R. Abdul Kadir (Oding) 1.1.2.4.2. R. ANONG KRAMAATMAJA <menikah dengan> MA. SALMUN RAKYADIKARIA (Pujangga Sunda, asal Banten) 1.1.2.4.2.1. R. Jatayu Wiyati Salmun (Uyu) 1.1.2.5.2.1.1. R. Riefa Sayyidina 1.1.2.5.2.1.2. R. Yutimma Dewiaty 1.1.2.4.2.2. R. Yeti 1.1.2.4.2.3. R. Parti 1.1.2.4.2.4. R. Iwan 1.1.2.4.2.5. R. Aas 1.1.2.4.2.6. R. Neni 1.1.2.4.2.7. R. Hedi 1.1.2.4.2.8. R. Ented 1.1.2.4.3. R.Hj. HALIMAH (Emah) 1.1.2.4.4. R.Hj. EMPIN (Rapi'ah) 1.1.2.4.5. R.H. DJAJUSMAN (Jayus) 1.1.2.4.6. R. SOLEH 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG 1.1.2.5.1. R. NANI (Eneng) 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911) 1.1.2.6.1. R. JATNIKA JAYAKUSUMAH (Enjat) 1.1.2.6.1.1. R. EDI WAHYUDI 1.1.2.6.1.1.1. R. YUDHA 1.1.2.6.1.1.2. R. ENENG 1.1.2.6.1.1.3. R. TATI 1.1.2.6.1.1.4. Rb. MOCH HAPI 1.1.2.6.2. R. LUKMAN JAYAKUSUMAH (Maman) 1.1.2.6.3. R. NYIMAS TUTI TRISNAWATI JAYAKUSUMAH (Enis) 1.1.2.6.3.1. R. PEPEN RUSPENDI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.1. Rb. YANA RUBIYANA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.2. Rb. AGUSTANJAYA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.3. Rr. NURWINA SEPTI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.4. Rr. RIZKI MELINA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2. R. ENDANG SUHENDAR DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.1. Rr. INESIA VIOLINA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.2. Rb. M. HARPA RAMADHAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.3. Rb. M. GITAR RAMADHAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.3. R. SUPRIATINI DIPONEGORO (Tintin) 1.1.2.6.3.3.1. R. EKA SANDRA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.3.2. R. AIDA NANDARA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4. R. LILIH SURYYA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.1. Rb. RANDY ADITYANA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.2. Rr. ALIN NURGIANTY DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.3. Rr. DITA TRIJAYANTI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.4. Rb. IVAN WIRANATA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5. R. MARYATI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.1. Rb. NIKI ADRIAN PURNAMA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.2. Rr. RANTI DWILESTARI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.3. Rb. JODI TRIADI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.4. Rr. GITA SEPTIA PERMATA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.5. Rr. VERDA FAUZIYAH RACHMAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.6. R. DENI SUPRAMANA DIPONEGORO(Wafat 2012) 1.1.2.6.4. R.H. SURYA KUSUMAH (Cecep) 1.1.2.6.4.1. R. Hedi Hadiwinata 1.1.2.6.4.1.1. Rr. Anisa Nurditasari 1.1.2.6.4.1.2. Rb. Muhammad Arditya Hadiwinata 1.1.2.6.4.2. R. Henny Handayani 1.1.2.6.4.1.1. Rr. Afifah Rachmalia 1.1.2.6.4.1.2. Rr. Nabila RAchmani 1.1.2.6.4.1.3. Rb. M. Rizki Asidiq 1.1.2.6.4.3. R. Adi Karyadi 1.1.2.6.4.1.1. Rb. Moh. Raghit Putra Karyadi 1.1.2.6.4.1.2. Rb. Moh. Rehan Putra Karyadi 1.1.2.6.5. R. HARJA SUTISNA JAYAKUSUMAH (Entis) 1.1.2.6.5.1. R. Toto 1.1.2.6.5.1.1. Putra Toto ke 1 1.1.2.6.5.1.2. Putra Toto ke 2 1.1.2.6.5.2. R. Yayat 1.1.2.6.5.2.1. Putra Yayat ke 1 1.1.2.6.5.2.2. Putra Yayat ke 2 1.1.2.6.5.3. R. Tina Herlina (Nina) 1.1.2.6.5.3.1. Putra Nina ke 1 1.1.2.6.5.3.2. Putra Nina ke 2 1.1.2.6.5.4. R. Kurnia 1.1.2.6.5.4.1. Putra Kurnia ke 1 1.1.2.6.5.4.2. Putra kurnia ke 2 1.1.2.6.5.5. R. Hira 1.1.2.6.6. R. MUSLIHAT JAYAKUSUMAH (Emung) 1.1.2.6.6.1. R. Bambang Meirano 1.1.2.6.6.1.1. Rb. M. Arul 1.1.2.6.6.1.2. Rr. Luthfiah (Lulut) 1.1.2.6.6.2. R. Irwan Junarsa 1.1.2.6.6.3. R. Nur Endah Noviani (Nuri) 1.1.2.6.6.3.1. Rb. Sihabuddin 1.1.2.6.6.3.2. Rb. Fachri 1.1.2.6.7. R. MULYADI JAYAKUSUMAH (Yadi) 1.1.2.6.7.1. R. Dian Mardiana 1.1.2.6.7.1.1. Rr. Sifa 1.1.2.6.7.1.2. Rb. Defa 1.1.2.6.7.2. R. Fitria Yulianti 1.1.2.6.7.2.1. Rr. Dea 1.1.2.6.7.2.2. Rb. Yofa 1.1.2.6.7.2.3. Rr. Deean Coco 1.1.2.6.7.3. R. Mulya Saputra 1.1.2.6.7.3.1. Rb. Axel Alvito Meola 1.1.2.6.8. R. DODY SUYATNA JAYAKUSUMAH (Dodot/Dody) 1.1.2.6.8.1. R. Irene Anggraeni 1.1.2.6.8.1.1. Rb. Daffa Adillah 1.1.2.6.8.1.2. Rr. Syahla Dheandra Zahran 1.1.2.6.8.1.3. Rr. Alma Hiraku Pramuditha 1.1.2.6.8.2. R. Rangga Permana Kusumah (Angga) 1.1.2.6.8.2.1. Putra Angga Ke 1 1.1.2.6.9. R. RIDWAN JAYAKUSUMAH (Wawang) 1.1.2.6.9.1. R. Bahraini Riza 1.1.2.6.9.1.1. Rr. Bahraini Putri 1.1.2.6.9.1.2. Rb. Bahraini putra 1.1.2.6.9.2. R. Budhi Nusantara 1.1.2.6.9.2.1. Rb. Budhi Putra 1.1.2.6.9.2.2. Budhi Putra ke 2 1.1.2.6.9.3. R. Bella Kusnandar 1.1.2.6.9.3.1. Rb. Nizar Maulana 1.1.2.6.9.3.2. Rb. Aqeela 1.1.2.6.9.3.3. Rr. Bella Putri 1.1.2.6.9.4. R. Rina Kusmawati 1.1.2.6.9.4.1. Putra ke 1 Rina 1.1.2.6.9.4.2. Putra ke 2 Rina 1.1.2.6.10. R. RAFIUDIN JAYAKUSUMAH (Dingding, tidak berputra) 1.1.2.6.11. R. SUDRAJAT JAYAKUSUMAH (Jajat) 1.1.2.6.11.1. Rr. Rina Oktaviani 1.1.2.6.11.2. Rr. Debi Aprianti 1.1.2.6.11.3. Rb. Heri (tidak berputra) 1.1.2.6.11.4. R. Hari Sephandri (AO) 1.1.2.6.11.3.1. Putra Ari ke 1
1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata) 1.1.2.7.1. R.Hj. NUNUNG NURJUARIAH 1.1.2.7.2. R.Hj. NINIH NURJANAH 1.1.2.7.3. R. YAYAH 1.1.2.7.4. R. ENDANG 1.1.2.7.5. R. ODIN 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng) 1.1.2.8.1. R.Hj. KURNIATI (Iis) <menikah dengan> DR.Ir.H. FACHRUDDIN (Rektor UNHAS) 1.1.2.8.2. R. KASWATI (Kotih) 1.1.2.8.2.1. Drs. R. Deddi Fardillah 1.1.2.8.2.2. R. Finny Redjeki, SE, MM 1.1.2.8.2.3. R. Arif Budiman
1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF 1.1.2.9.1. R. MEMET SAPUTRA (Ahmad) 1.1.2.9.2. R. YEYET RUSMIATI
1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati) 1.1.2.10.1. R. HEDI SUMARDI 1.1.2.10.2. R. EMBED SUHARLI 1.1.2.10.3. R. SOPIAH (Iyong)
1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN 1.1.2.11.1. R. HAYATI (Titi)
1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879) 1.1.3.1. R. Bustomi 1.1.3.2. R. Ismail 1.1.3.3. R. Mudjitaba 1.1.3.4. Nyi R. Suaebah 1.1.3.5. Nyi R. Maemunah 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880 1.1.4.1. RH. Drs. Ilyas Dajir (Ciawi-Seuseupan) 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884 1.1.6.1. ......................... 1.1.6.2. R. Sholeh 1.1.6.3. R. Sofyan Ats Sauri 1.1.6.3.1. R. Ahmad Qohar 1.1.6.4. R. Arifin== PEKERJAAN ==
ASAL-USUL
RADEN MAS HARJO DIPOMENGGOLO alias AYAH KULON, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1834 putra ke 2 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai orang anak : 1. RM. H. Brodjomenggolo 2. RAy. Hj. Gondomirah 3. RM. H. Abbas 4. RM. H. Abdurrahman Adi Menggolo 5. RM. H. Muhamad Hasan
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak) #0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Harjo Dipomenggolo
KETURUNAN
#2. RM. HARJO DIPOMENGGOLO (C-1834) 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas) 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.1.1.1. R.H. Djunaeni 2.1.1.1.2. R.H. Masca Suroatmojo 2.1.1.1.2.1. R. Suratmi 2.1.1.1.2.2. R. Sukendar 2.1.1.1.2.3. R. Sulaeman 2.1.1.1.2.4. R. Suhardi 2.1.1.1.2.5. R. Sudarjat 2.1.1.1.2.6. R. Suheni 2.1.1.1.2.7. R. Supiati 2.1.1.1.2.8. R. Surachman 2.1.1.2. R.H. UNENG SURIODIRDJO (Ciomas) 2.1.1.2.1. R.H. Dadang Pandji 2.1.1.2.1.1. R. Sudjatna 2.1.1.2.1.1.1. R. Enda Juanda 2.1.1.2.1.1.1.1. R. Najla Ramadhani 2.1.1.2.1.1.2. R. Irma Resmiati 2.1.1.2.1.1.3. R. Dudi Kurnia 2.1.1.2.1.1.4. R. Adi Purnama 2.1.1.2.1.2. R. Juwariyah 2.1.1.2.1.2.1. R. Denny Rusian Achmed 2.1.1.2.1.2.1.1. R. Firdha Sapta Erlina 2.1.1.2.1.2.1.2. R. Sukma Harining Cakraningrat 2.1.1.2.1.2.2. R. Ebbet Surya Subakti 2.1.1.2.1.2.2.1. R. Dewi Suryani Oktaviana 2.1.1.2.1.2.2.2. R. Endang Dewa Supana 2.1.1.2.1.2.2.3. R. Siti Zahra Subakti 2.1.1.2.1.2.3. R. Triana Jaka Lesmana 2.1.1.2.1.2.3.1. R. Syechnoor Faris Lesmana 2.1.1.2.1.2.3.2. R. Rivanny Bunga Lesmana 2.1.1.2.1.2.4. R. Tita Novita Skartika 2.1.1.2.1.2.4.1. R. Rizky Pradana 2.1.1.2.1.2.4.2. R. Reza Purnama 2.1.1.2.1.2.4.3. R. Rasyid Fadillah 2.1.1.2.1.2.5. R. Rikky Nandang Permana 2.1.1.2.1.2.5.1. R. Aidah Faizah Permana 2.1.1.2.1.2.5.2. R. Aisyah Raihanah Permana 2.1.1.2.1.2.5.3. R. Raihan Permana 2.1.1.2.1.2.6. R. Muchammad Ichwan Karunia 2.1.1.2.1.2.6.1. R. Zidane Nayadikara Karunia 2.1.1.2.1.2.6.2. R. Keysha Jasmine Karunia 2.1.1.2.1.3. R. Muhammad Hidayat 2.1.1.2.1.3.1. R. Fitri Yanti 2.1.1.2.1.3.1.1. R. Tommy Faisal 2.1.1.2.1.3.2. R. Fatmawati 2.1.1.2.1.3.2.1. R. Audry Velma Calysta 2.1.1.2.1.3.2.2. R. Zyhan Kameylia Calysta 2.1.1.2.1.3.3. R. Anah Yuliastanti 2.1.1.2.1.3.3.1. R. Lolita Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.2. R. Angreini Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.3. R. Andini Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.4. R. Kanaya Wibiyono 2.1.1.2.1.3.4. R. Sari Komalasari 2.1.1.2.1.3.5. R. Ratna Dewi 2.1.1.2.1.3.6. R. Meti Rahmawati 2.1.1.2.1.3.7. R. Meta Melisa 2.1.1.2.1.4. R. Euis Sukaesih 2.1.1.2.1.4.1. R. Endang Kosasih 2.1.1.2.1.4.1.1. RR. Vernna Nurjannah 2.1.1.2.1.4.1.2. RR. Verlasya Khayira 2.1.1.2.1.4.2. R. Dede Komariah 2.1.1.2.1.4.3. R. Agus Supriatna 2.1.1.2.1.5. R. Siti Juleha 2.1.1.2.1.5.1. R. Muhammad Effendi (alm) 2.1.1.2.1.5.2. R. Dewi Puspa Sari (alm) 2.1.1.2.1.5.3. R. Abdul Azis 2.1.1.2.1.5.3.1. R. Muhammad Rassya Pratama 2.1.1.2.1.5.3.2. R. Muhammad Faza Adzima 2.1.1.2.1.5.4. R. Suprihatini (alm) 2.1.1.2.1.5.5. R. Rahmah Rahayu 2.1.1.2.1.5.4.1. R. Muhammad Azzam Fahrezi 2.1.1.2.1.5.6. R. Arif Bahtiar 2.1.1.2.1.6. R. Muhammad Taufik 2.1.1.2.1.6.1. R. Dinda Nur Ayu Lestari 2.1.1.2.1.6.1.1. RR. Nayla Syakila 2.1.1.2.1.6.2. R. Adietya Dwi Cahyadi 2.1.1.2.1.6.2.1. RR. Audrey Izzatunnisa Cahyani 2.1.1.2.1.7. R. Neneng Sukemi 2.1.1.2.1.7.1. R. Endang Fadillah 2.1.1.2.1.7.2. R. Lina Aprilia 2.1.1.2.1.8. R. Muhammad Lukman 2.1.1.2.1.8.1. R. Leni Kurnia Sari 2.1.1.2.1.9. R. Indah Ratnawati 2.1.1.2.1.10.R. Dedeh Juwita 2.1.1.2.1.11.R. Nur Aini Oktavia 2.1.1.2.1.12.R. Dedi Priatna 2.1.1.2.1.12.1.R. Muhammad Axelle 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO (Ciomas) 2.1.1.3.1. R. H. Ading 2.1.1.3.2. R. Djohariah 2.1.1.3.3. R. H. Djajasukarta 2.1.1.3.4. R. Djumirah 2.1.1.3.5. R. Djula 2.1.1.3.6. R. Nurbaja 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO 2.1.1.4.1. R. Eem Suhaimi <menikah dgn 2.1.1.2.1.1. R. Sudjatna 2.1.1.4.2. R. Endjuh 2.1.1.4.3. R. H. MUH Sanusi 2.1.1.4.4. R. H. Sukardi 2.1.1.4.5. R. Enah 2.1.1.4.6. R. Endah 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.1.1. R. Djamhari Djunaedi Mantarena 2.1.2.1.1.1 R. Endjoh Danumihardja 2.1.2.1.1.1.1. R. Lukman Danumihardja 2.1.2.1.1.1.1.1. R. Mohamad Aliyudin Danumihardja (Yudhi) 2.1.2.1.1.2 R. Ahmad Sanusi 2.1.2.1.1.3 R. Ningrum 2.1.2.1.1.4 R. Rukminah 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas) 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.3.1. R. Narijah 2.1.2.3.2. R. Hawirodja 2.1.2.3.3. R. Ningrat 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI ADINATA (Ciomas) 2.1.3.1.1. R. Muhammad ALI 2.1.3.1.2. R. Muhammad Soleh 2.1.3.1.3. R. Muhammad Sidik 2.1.3.1.4. R. Muhammad As'ari 2.1.3.1.4.1. R.Anwar Basari 2.1.3.1.4.1.1. R. Hamdhani Zul Faqor 2.1.3.1.5. R. Romlah 2.1.3.1.6. R. Djuhro 2.1.3.1.7. R. Aisyah 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.3.2.1. R. Muchtar 2.1.3.2.2. R. Syafaat 2.1.3.2.3. R. Munajat 2.1.3.2.4. R. Hasanah 2.1.3.2.5. R. Abdullah 2.1.3.2.6. R. Habibah 2.1.3.2.7. R. Jajaria 2.1.3.2.8. R. Jenab 2.1.3.2.9. R. Sidah 2.1.3.2.10.R. Sarah 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji) 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji) 2.1.4.1.1. NYI Rd.UHA (loji) 2.1.4.1.2. NYI Rd.Anung 2.1.4.1.3. NYI Rd.Atjih
2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH <menikah dgn> Rd. SURYADIMENGGALA (KRT. Buitenzorg, Trah Sumedang) 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA 2.2.1.1. R.H. KURAESIN 2.2.1.1.1. R. Mama Jaya 2.2.1.1.2. R. Muhammad Tohir 2.2.1.1.3. NYI R. Ratnasari 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA 2.2.1.2.1. R. Wiradikusumah 2.2.1.2.2. R. Moh. Toha 2.2.1.2.2.1. NYI R. Soleha 2.2.1.2.2.2. R. Musa 2.2.1.2.3. R. Achmad 2.2.1.2.3.1. NYI R. Sukarsih 2.2.1.2.3.2. R. Gunawan 2.2.1.2.3.3. R. Harun 2.2.1.2.3.4. NYI R. Supiah 2.2.1.2.3.5. NYI R. Siti Entit 2.2.1.2.3.6. R. Jamil 2.2.1.2.3.7. NYI R. Sumini 2.2.1.2.4. R. Muh Agus 2.2.1.2.4.1. NYI R. Juhro 2.2.1.2.5. R. Hasan 2.2.1.2.5.1. R. Amirsyah 2.2.1.2.5.2. NYI R. Harsinah 2.2.1.2.5.3. NYI R. Jumiati 2.2.1.2.5.4. R. Jaenalludin 2.2.1.2.6. NYI R. Julaeha 2.2.1.2.7. NYI R. Salmah 2.2.1.2.8. NYI R. Mari 2.2.1.2.9. NYI R. Juhro 2.2.1.2.10.NYI R. Hadijah 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas) 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT 2.2.6.1. R.H. PANJI 2.2.6.2. R.H. PANDU 2.2.6.3. R.H. HASAN 2.2.6.4. R.H. KURAESIN 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Dr. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional 2.2.7.1.1. R. Mayjen (pur) Roeshan Roesli 2.2.7.1.1.1. R. dr Ratwini Roesli, SpTHT 2.2.7.1.1.2. R. dr Utami Roesli, SpA, Ibclc, Fabm 2.2.7.1.1.3. R. Prof. Dr. dr Rully MA Roesli, SpPD.KGH 2.2.7.1.1.4. R. Prof. Dr. Harry Roesli \ Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng) 2.2.9.1.1. Nyi Rd. Halimah 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi) 2.2.9.2.1. Rd.H.A.B. Yogapranatha (Alm) 2.2.9.2.2. Rd. Syafei (Alm) 2.2.9.2.3. Nyi Rd. Tuti Guritna 2.2.9.2.3.1. Rd. H. Adang Yusuf Martadiredja <menikah dgn> 2.2.9.3.1.1. Nyi Rd. Mundiyah 2.2.9.2.3.1.1. Rd. Damon Yusuf Martadiredja 2.2.9.2.3.1.1.1. Rd. M.Yasin Vahreza Yusuf Martadiredja (Reza Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.2. Rd. M.Yasin Vahrezi Yusuf Martadiredja (Rezi Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.3. Rd. Nur Illahi Vahriva Mudaim (Riva Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.4. Rd. Nur Husna Dewinda Fatmah (Winda Fatmah Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.5. Rd. Nazwa Mustika Negara (Ica Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.2. Rd. Gunawan Yusuf Martadiredja 2.2.9.2.3.1.2.1. Rd. Rahmania Purwagunifa 2.2.9.2.3.1.2.2. Rd. Fathan Adi Gunawan 2.2.9.2.3.1.3. Rd. Ade Nine Siti Mariam ( Wafat Saat Bayi ) 2.2.9.2.3.1.4. Rd. Nanang Firman Safari Yusuf Martadiredja SP,M.Si 2.2.9.2.3.1.4.1. Rd. Nanang Junior 2.2.9.2.3.2. Rd. Syarif Kusnadi Jamal Martadiredja 2.2.9.2.3.2.1. Rd. Tetet Dian Indria Rahayu (wafat th 2002) 2.2.9.2.3.2.1. Rd. Syamil Hilminiandra Budiman 2.2.9. .3.2.2. Rd. Rully Ramdhani Kusumah 2.2.9.2.3.2.2.1. Rd. Sekar Rahayu Kusumah 2.2.9.2.3.2.3. Rd. Kusnadi Wisnu Yogasuwara (Wisnu) 2.2.9.2.3.3. Nyi.Rd. Yuliani Wahyu Martadiredja 2.2.9.2.3.3.1. Rd. Julkifli Rustita ( Wafat th 2012) 2.2.9.2.3.4. Nyi Rd. Mimi Wahyu Martadiredja (Wafat Bayi) 2.2.9.2.4. Rd. Hanafi (Alm) 2.2.9.2.5. Rd. Ali M. Ali Widyapranatha 2.2.9.2.6. Nyi Rd. Neneng Kulsum 2.2.9.2.7. Nyi Rd. Hj. Iyoh Roswati 2.2.9.2.8. Rd. U. Effendi Madyaprana 2.2.9.2.9. Nyi Rd. Dewi Sarah 2.2.9.2.9.1. Rd. Teddy Sao Wirakusumah 2.2.9.2.9.1.1. Rd. Devita Rizqi Yulianty 2.2.9.2.9.1.2. Rd. Dwi Dorozatun Samaniaty Ramadhona, S.I.Kom 2.2.9.2.10.Rd. H. Usman Satiaprana (Alm) 2.2.9.2.11.Rd. Enen Sutresna Yogaprana 2.2.9.2.11.1. Rd. Narayana Yoga Pertama 2.2.9.2.11.1.1. NR. Laras (Almh) 2.2.9.2.11.1.2. NR. NR. Ermalia Nuryanti 2.2.9.2.11.1.3. Rd. Moch, Riyan Chandra (Alm) 2.2.9.2.11.1.4. NR. Elma Nathania Yalanda 2.2.9.2.11.2. Rd. Yadi Indra Mulyadi Yogaprana 2.2.9.2.11.2.1. Rd. Zulqiar Ramdan 2.2.9.2.11.3. NR. Rengganis Kurniawati Yogaprana 2.2.9.2.11.3.1. NR. Fadhilah Istiqomah Yogandena 2.2.9.2.11.3.2. Rd. Firza Finaldien Yogandena (Alm) 2.2.9.2.11.3.3. Rd. Farly Nugraha Yogandena 2.2.9.2.11.4. NR. Popi Yuliawati Yogaprana 2.2.9.2.11.5. Rd. Tedi Wibisana Yogaprana 2.2.9.2.11.6. Rd. Ruhyat Apandi Yogaprana 2.2.9.2.11.6.1. NR. Keyla Azka Kireina 2.2.9.2.11.6.2. Rd. Fadlan Danish Ryogaprana 2.2.9.2.11.7. Rd. Rimau Gumelar Yogaprana 2.2.9.2.11.7.1. Rd. Aldebaran Nabhan Pradipta 2.2.9.2.11.8. Rd. Banyu Dewanata Yogaprana 2.2.9.2.11.9. Rd. Surya Tirta Bayu Yogaprana 2.2.9.2.11.10.Rd. Purnama Alam Yogaprana 2.2.9.3. Rd. Tatang Muhtar (Ciluar) 2.2.9.3.1. Nyi Rd. Siti Aminah 2.2.9.3.1.1. Nyi Rd. Mundiyah 2.2.9.3.1.2. R Hidayat 2.2.9.3.1.3. R Ruhiyat 2.2.9.3.1.3.1. R. Dadang Darmayadi 2.2.9.3.1.3.1.1. Nyi Rr. Sriastuty Handayani Kyla Khu'mairah 2.2.9.3.1.3.2.2. Nyi Rr. Rezky Pertiwi 2.2.9.3.1.3.2. Nyi Rd. Sriyat 2.2.9.3.1.3.2.1. Nyi Rr. Ika 2.2.9.3.1.3.2.2. R. Aldi 2.2.9.3.1.3.2.3. Nyi Rr. Fia 2.2.9.3.1.3.2.4. Nyi Rr. Linda 2.2.9.3.1.3.3. Nyi Rd. Rodiah 2.2.9.3.1.3.3.1. R. Yudi 2.2.9.3.1.3.3.2. Nyi Rr. Ririn 2.2.9.3.1.3.3.3. R. LILI 2.2.9.3.1.3.4. R. Darmawan 2.2.9.3.1.3.4.1. R. Ekal 2.2.9.3.1.3.4.2. R. Zirul 2.2.9.3.2. Nyi Rd. Umriyah 2.2.9.3.2.4. R. Iskandar 2.2.9.3.2.4.1. R. Asep 2.2.9.3.2.4.2. Nyi Rr. Rosi 2.2.9.3.2.4.3. R. Irfan 2.2.9.3.2.5. Nyi R. ETI 2.2.9.3.2.5.1. R. Rizki 2.2.9.3.2.5.2. R. Agung 2.2.9.3.2.6. Nyi Rd. ENI Rohaeni 2.2.9.3.2.6.1. Nyi Rr. Gita 2.2.9.3.2.6.2. Nyi Rr. Gina 2.2.9.3.2.6.3. Nyi Rr. Garnia 2.2.9.3.2.6.4. Nyi Rr. Gian 2.2.9.3.2.7. R Saleh Sudrajat 2.2.9.3.2.7.1. R. Fredi 2.2.9.3.2.7.2. ................ 2.2.9.3.2.7.3. Nyi Rr. Annisa 2.2.9.3.2.8. R. ADE 2.2.9.3.2.8.1. R. Agung 2.2.9.3.2.8.2. R. DEDE 2.2.9.3.2.8.3. Rr. Eneng
2.3. RM. H. Abas (Penghulu Ciomas) <menikah dgn> [[Person:628329|Putri Pertama H. Daeng Jarbi (putra Raja Gowa ke 32)) 2.3.1. RM. H. Ardja 2.3.2. RM. H. Suminta (Malik) 2.3.3. RAy. Patimah Ibunya Mayjen Ishaq Djuarsa 2.3.4. RAy. Fatmah <menikah dgn> 1.1.1. RM. H. Moch. Rana Menggala 2.3.5. RM. Yacub 2.3.6. RAy. Siti Mariyam (loji) 2.3.6.1. Drs. H. R. Mansyur (Mama) 2.3.6.1.1. HR. Syarif Arifin 2.3.6.1.2. R. Surachman 2.3.6.1.3. R. Suherman S 2.3.6.1.3.1. R. ADITYA TIRTA WIGUNA 2.3.6.1.3.2. R. INDAH PRANASARI HERNANINGTIAS 2.3.6.1.4. R. Suratmi 2.3.6.1.4.1. R. AGUNG RAHMADI 2.3.6.1.4.2. R. MAHENDRA 2.3.6.1.4.3. R. KRESNA HADIWIJAYA 2.3.6.1.4.4. R. RETNO A. WULANDARI 2.3.6.1.5. R. Suparman 2.3.6.1.5.1. R. AYU 2.3.6.1.5.2. R. PUSPA 2.3.6.1.5.3. R. ARIEF 2.3.6.1.6. R. Sudirman 2.3.6.1.6.1. R. RACHMAT C. WINATA 2.3.6.1.6.2. R. DODDY A. KUSUMAH 2.3.6.1.6.3. R. DICKY SAPUTRA 2.3.6.1.6.4. R. FANNY SARASWATI 2.3.6.1.7. R. Suhartini 2.3.6.1.7.1. R. ASTRI FITRIA ASTUTI S. 2.3.6.1.7.2. R. MARAHDOMU S. 2.3.6.1.7.3. R. MARAHDIKA S. 2.3.6.1.7.4. R. PUTRI SARASWATI 2.3.6.1.7.5. R. YUSUF IBRAHIM 2.3.6.2. H. R. Sanusi (Momo) 2.3.6.2.1. R. Juwita 2.3.6.2.2. R. Rosita 2.3.6.2.3. ............... 2.3.6.3. Drs. HR. Entjep Wahab 2.3.6.3.1. .................
2.4. RM. H. Abdulrachman ADI Menggolo (Camat Ciomas) 2.4.1. R.Ay. Sukiamah
2.5. RM. H. Muhammad Hasan== PEKERJAAN ==
ASAL-USUL
RADEN MAS HARJO DIPOTJOKRO MENGGOLO alias PANGERAN GRINGSING I, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1835 putra ke 3 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai orang anak : 1. RM. Harjo Dipotjokro Hadimenggolo
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
#0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Harjo Dipotjokro Menggolo
KETURUNAN
#3. RM. HARJO DIPOMENGGOLO (PANGERAN GRINGSING I) 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO (PANGERAN GRINGSING II) 3.1.1. RM.HARJODIPO HADIKUSUMA (PANGERAN GRINGSING III)
3.1.1.1. R.DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO (Eyang Hertog) 3.1.1.1.1. R.Ngt. SRI DEWI Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1. R.Wisnu Wibowo Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1.1. R.Ngt. Kartika Ishianan Wisnu Wardhani Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1.2. Rb.Nafi Wianditra Hafri Nugraha Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.2. R.Krisna Putra Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.1. Rb.Satrio Bagus Eka Putra Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.2. Rb.Bimo Bagaskoro Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.3. Rr.Aisya Rahmania Putri Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.3. R.Ngt. Dewi Pancawati Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.1. Rb.Hade Pratama Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.2. Rr.Alya Nismara Cayadewi Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.3. Rb.Muhammad Ayman Arshq Ramadhan Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.2. R.Heno Erlangga Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.1. R.Wibowo Kusumo Winoto Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.2. R.Ngt. Retno Wulandari Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.3. R.Ngt. Kustini Kusumo Wardhani Diponegoro, S.Sn (Karanganyar) 3.1.1.1.2.4. R.Putra Wisnu Wardhana Diponegoro (Karanganyar) 3.1.1.1.2.5. R.Bayu Giri Prakosa Diponegoro, SE. MSi (Karanganyar)
3.1.1.1.3. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.1. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.2. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.3. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.4. R. Ngt. Gusti Laksmi Mahadewi Sri Diponegoro 3.1.1.1.5. R. Ngt. Gusti Maya Brahma Diponegoro 3.1.1.1.6. R. Nalendro Wibowo Diponegoro 3.1.1.1.7. R. Ngt. Dwi Wahyuni Kusuma Wardhani Diponegoro 3.1.1.1.7.1. Rb. Supratama Dwipa Diponegoro 3.1.1.1.7.2. Rb. Gusti Atmojo Suryo Menggolo Diponegoro 3.1.1.1.7.3. Rr. Ambar Rukmini Diponegoro
3.1.1.1.8. R. Putra Kusuma Wardhana Diponegoro 3.1.1.1.9. R. Kesuma Hendra Putra Diponegoro3.1.1.1.10.R. Ngt. Putri Laksmini Murni Diponegoro
perkawinan: <522!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono V / Gusti Raden Mas Gathot Menol [Hb.4.6] (Sinuhun Menol) [Hamengku Buwono V] b. 24 Januari 1820 d. 5 Juni 1855, Yogyakarta
wafat: 25 Mei 1919, Mahakeret, Manado
wafat: 1849
ASAL-USUL
RADEN MAS SAHID ANKRIH lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1835 putra ke 4 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATIMAH (asli Bogor) dikaruniai 3 orang anak : 1. RM. ASMINI 2. RM. IDRIS 3. RM. ONDUNG
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
#0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Sahid Ankrih
KETURUNAN
#4. RM. SAHID ANKRIH 4.1. RM. ASMINI 4.1.1. RM. ASMININ 4.1.1.1. R. Abdul Latif 4.1.1.1.1. R. Komarudin 4.1.1.1.1.1. R. Muhammad 4.1.1.1.1.2. R. Aah Mafahir 4.1.1.1.1.3. R.Ust. Abdul Wafa 4.1.1.1.1.4. R. Ahmad Hujatullah 4.1.1.1.1.5. R. Euis Nurhayati 4.1.1.1.1.6. R. Bunyamin 4.1.1.1.1.7. R. Nikmatullah 4.1.1.2. R. Armani 4.1.1.2.1. R. AL. KH. Darma 4.1.1.2.1.1. R. KH. Maksum 4.1.1.3. R. Jenab 4.1.1.4. R. Murnas 4.1.1.5. R. Abdurrohim 4.1.2.6. R. Abdurrohman 4.1.2. R. Mali 4.1.3. RM. MINAU 4.1.4. RM. IKING 4.1.5. NYIMAS RAy. UMMI
4.2. RM. IDRIS4.3. RM. ONDUNG
perkawinan: <979!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ayu [Hb.6.10] [Gp.Pa.4.1] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <259> ♀ Raden Ayu Pujaningrum [Ga.Pa.4.1] [?]
perkawinan: <260> ♀ Raden Ayu Pujoretno [Ga.Pa.4.2] [?]
perkawinan: <261> ♀ Raden Ayu Rengganingsih [Ga.Pa.4.3] [?]
gelar: 1 Desember 1864 - 24 Desember 1878, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat bergelar Prabu Paku Alam IV
wafat: 24 Desember 1878, Yogyakarta
Pada 1 Desember 1864 RM Nataningrat ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Surya Sasraningrat menggantikan almahrum pamannya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemunduran Kadipaten Pakualaman. Banyak dari kebijakan Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menimbulkan ketidakpuasan. Selain itu ia tidak begitu mahir dalam hal kesusastraan dan kebudayaan. Di keluarga besar Paku Alam pun terjadi beberapa perubahan yang cenderung kurang baik akibat sering bergaul dengan orang-orang Belanda. Kemewahan dan foya-foya menjadi penyebab kehancuran beberapa anggota keluarga Paku Alam.
Namun disamping itu, dengan perjanjian politik 1870, Kadipaten Pakualaman diperkenankan memiliki setengah batalyon infantri dan satu kompi kavaleri. Legiun ini lebih besar dari angkatan perang yang diperbolehkan pada masa para pendahulunya. Perlu ditambahkan pula, KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] mengirim seorang pegawai laki-lakinya untuk menuntut ilmu di Kweekschool Surakarta dan seorang pegawai perempuannya untuk menuntut ilmu kebidanan di Jakarta. Agaknya inilah yang akan mendorong para Paku Alam selanjutnya untuk menyekolahkan anggota keluarga besar Paku Alam ke sekolah Belanda.
KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] menikah pertama kali dengan Putri Bupati Banyumas yang kemudian diceraikan karena sakit. Perkawinan yang kedua dengan GK Ratu Ayu putri Hamengkubuwono VI. Namun lagi-lagi seperti perkawinan yang pertama ia tidak memperoleh anak. GK Ratu Ayu selanjutnya juga diceraikan. Perlu dicatat GK Ratu Ayu kemudian menikah dengan Bupati Demak dan melahirkan Bupati Jepara, ayah RA Kartini. KGPA Surya Sasraningrat [Paku Alam IV] hanya memiliki 2 putra-putri yang berasal dari selir. Pada 24 September 1878 ia mangkat dan dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta.perkawinan: <821!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Timur [Paku Alam III]
gelar: 11 April 1901 - 9 Juni 1902, Yogyakarta, Gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VI
wafat: 9 Juni 1902, Kulon Progo
perkawinan: <1042!> ♀ Ratu Mandayaretna [Pakubuwono III]
perkawinan: <856!> ♀ B. R. A. Soemarti [Mangkunegara IV]
perkawinan: <262> ♀ R. A. Pandamroekmi [Pandamroekmi]
perkawinan: <263> ♀ R. A. Tranggonoroekmi [Tranggonoroekmi]
perkawinan: <1371!> ♀ B. R. A. Retno Poernomo [Rejodipuro]
gelar: 30 Maret 1893 - 1 Februari 1939, Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X
perkawinan: <622!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hemas [Hb.7.61] [Hamengku Buwono VII] d. 28 Mei 1944, Yogyakarta
wafat: 1 Februari 1939, Surakarta
Kisah Kelahiran Nama aslinya adalah Raden Mas Malikul Kusno, putra Pakubuwana IX yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Kustiyah, pada tanggal 29 November 1866. Konon, kisah kelahirannya menjadi cermin ketidakharmonisan hubungan antara ayahnya dengan pujangga Ranggawarsita. Dikisahkan, pada saat Ayu Kustiyah baru mengandung, Pakubuwana IX bertanya apakah anaknya kelak lahir laki-laki atau perempuan. Ranggawarsita menjawab kelak akan lahir hayu. Pakubuwana IX kecewa mengira anaknya akan lahir cantik alias perempuan. Padahal ia berharap mendapat bisa putra mahkota dari Ayu Kustiyah.
Selama berbulan-bulan Pakubuwana IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ayu Kustiyah melahirkan Malikul Kusno. Pakubuwana IX dengan bangga menuduh ramalan Ranggawarsita meleset.
Ranggawarsita menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau "cantik", tetapi singkatan dari rahayu, yang berarti "selamat". Mendengar jawaban Ranggawarsita ini, Pakubuwana IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan ia terpaksa menjalani puasa berat.
Ketidakharmonisan hubungan Pakubuwana IX dengan Ranggawarsita sebenarnya dipicu oleh fitnah pihak Belanda yang sengaja mengadu domba keturunan Pakubuwana VI dengan keluarga Yasadipuran.
Masa Pemerintahan
Kereta khusus untuk mengangkut jenazah Pakubuwana X ke Yogyakarta menuju pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri.Malikul Kusno naik takhta sebagai Pakubuwana X pada tanggal 30 Maret 1893 menggantikan ayahnya yang meninggal dua minggu sebelumnya. Masa pemerintahannya ditandai dengan kemegahan tradisi dan suasana politik kerajaan yang cenderung stabil, di samping itu juga merupakan penanda babak baru bagi Kasunanan Surakarta dari kerajaan tradisional menuju era modern.Pakubuwono X menikah dengan Ratu Hemas (putri Raja Hamengkubuwono VII) dan dikaruniai seorang putri yang bernama GKR Pembajoen
Meskipun berada dalam tekanan politik pemerintah kolonial Hindia Belanda, namun melalui simbol budayanya Pakubuwana X tetap mampu mempertahankan wibawa kerajaan. Pakubuwana X sendiri juga mendukung organisasi Sarekat Islam cabang Solo, yang saat itu merupakan salah satu organisasi pergerakan nasional Indonesia.
Pakubuwana X meninggal dunia pada tanggal 1 Februari 1939. Ia disebut sebagai [[Sunan Panutup]] atau raja besar Surakarta yang terakhir oleh rakyatnya. Pemerintahannya kemudian digantikan oleh putranya yang bergelar Pakubuwana XI.perkawinan: <264> ♀ Raden Ayu Kumoroningrum [Gp.Hb.7.17.2] ? (Raden Ayu Mangkukusumo Enem) [?] b. 1883
perkawinan: <265> ♀ Raden Ayu Mangkukusumo [Hb.5.8.5] [Gp.Hb.7.17.1] [Hb.6.11.22] (Raden Ajeng Kusdilah / Raden Ayu Mangkukusumo Sepuh) [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <266> ♀ Raden Ayu Doyoprono [Ga.Hb.7.17.1] [?]
perkawinan: <267> ♀ Raden Ayu Doyoasmoro [Ga.Hb.7.17.2] [?]
perkawinan: <268> ♀ Raden Ayu Doyohadiningsih [Ga.Hb.7.17.3] [?]
perkawinan: <269> ♀ Raden Ayu Doyohadiningdyah [Ga.Hb.7.17.4] [?]
perkawinan: <270> ♀ Raden Ayu Doyopuspito [Ga.Hb.7.17.5] [?]
perkawinan: <271> ♀ Raden Ayu Doyosumarno [Ga.Hb.7.17.6] [?]
perkawinan: <272> ♀ Raden Ayu Doyorukmi [Ga.Hb.7.17.7] [?]
perkawinan: <273> ♀ Raden Ayu Doyosuprobo [Ga.Hb.7.17.8] [?]
penguburan: Astana Girilayu, Karanganyar
Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dalam lawatan yang dilakukan pada tahun 1862 tersebut, Mangkunegara IV disertai oleh KPH. Suryodiningrat (Putera MN.III), adik iparnya KPH. Gondosuputra. Dalam perjalanannya, Mngkunegara IV beserta rombongan dijamu makan malam oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di istana Bogor. Pada waktu itu Mangkunegara IV tertarik keindahan lampu lilin di istana Bogor, bertanya pada Gubernur Jenderal, apakah bisa membeli lampu-lampu tersebut untuk dipasang di istana Mangkunegaran. Gubernur Jenderal menjawab bahwa, kebetulan menurut rencana lampu-lampu lilin tersebut akan diganti dengan lampu gas. Mangkunegara IV menyanggupi untuk membayar 100.000 Gulden, sesuai dengan harga yang diminta oleh pemerintah Hindia Belanda.
Gubernur Jenderal menyatakan keheranannya tentang kesanggupan Mangkunegara IV membeli lampu-lampu tersebut. Selain dapat membayar harganya yang tinggi, juga dia tidak dapat membayangkan betapa besarnya istana Mangkunegaran, karena bisa muat lampu yang begitu banyak. Ia menyatakan keinginannya untuk dapat berkunjung ke istana Mangkunegaran. Keinginan Gubernur Jenderal terlaksana pada tahun 1863, pada waktu dia diundang oleh Mangkunegaran IV dalam acara peletakan batu pertama pembangunan stasiun kereta api Solo Balapan.
Pada tahun 1863, KPH. Gondosuputro dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor dan dua tahun kemudian ia diangkat dalam jabatan “yang menjalanakan tugas sebagai Komandan Legiun Mangkunegaran”. Seperti yang diketahui, komandan Legiun adalah Mangkunegara IV sendiri, dengan pangkat Kolonel. Semenjak KPH. Gondosaputra mengabdi pada Legiun Mangkunegaran, berbagai usaha untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme Legiun senantiasa dilakukan. Pada masa jabatan sebagai pejabat pelaksana komandan, ia melakukan penterjemahan buku-buku militer dari bahasa Belanda ke bahasa Melayu. Hal ini dimaksudkan agar para prajurit dapat menyerap taktik-taktik dan disiplin kemiliteran dengan baik. Sedangkan untuk latihan fisik para prajuritnya. Legiun Mangkunegaran mendapat bantuan pelatih tentara Belanda yang berada di Solo.
Semasa ia memangku jabatan tersebut, di Aceh terjadi perang antara rakyat Aceh melawan pemerintah Hindia Belanda. Lagi-lagi pemerintah Hindia Belanda meminta bantuan ke Mangkunegaran, agar mengirim pasukannya ke Aceh. Atas perintah Mangkunegara IV sebagai komandan Legiun, maka Mayor KPH. Gondosuputra menyiapkan pasukan yang terdiri dari dua kompi dengan jumlah personil 180 orang. Sebelum berangkat ke medan pertempuran, pasukan ini dilatih secara intensif di tangsi Tanah Putih daerah Semarang dan dibawah pengawasan langsung pelaksana harian Komandan Legiun, Mayor KPH. Gondosuputro. Dari hasil latihan tersebut, ia memutuskan bahwa hanya 150 personil yang memenuhi persyaratan untuk diberangkatkan.
Dengan dipimpin oleh adiknya, Kapten KPH. Gondosisworo, pasukan tersebut berangkat ke Aceh dengan kapal dari pelabuhan Semarang pada tanggal 21 November 1873. Selain Legiun Mangkunegaran, pada waktu bersamaan juga diberangkatkan pasukan dari Pakualaman Yogyakarta dan pasukan dari Madura. Pada perang di Aceh ini, Legiun Mangkunegaran dapat membalikkan keunggulan pasukan Belanda atas Pasukan Kesultanan Aceh. Atas jasa jasa Legiun Mangkunegaran yang dipimpinnya selama Perang Aceh, Raja Belanda menganugerahkan Ridder Kruis (Salib Penunggang) atau Salib Bangsawan Militaire Willems Orde (MWO) Kelas IV. Pada tahun 1873, Mayor KPH. Gondosaputra dinaikkan pangkatnya sebagai Letnan Kolonel dengan jabatan tetap sebagai pejabat pelaksana harian komandan Legiun Mangkunegaran.
Mutu profesionalisme Legiun Mangkunegaran pada masa tersebut dikagumi diseluruh tanah jajahan Belanda. Kepangkatan para perwiranya disejajajrkan dengan Leger atau tentara Kerajaan Belanda, hingga seragamnyapun disamakan. Perbedaannya hanya terletak pada sulaman dileher yang berinisial MN. Modernisasi dilakukan di semua bidang, mulai dari persenjataan sampai dengan pembangunan markas Artileri-Kavalari pada tahun 1874. Gedung markas tersebut hingga saat ini masih kokoh berdiri diujung timur Pamedan Mangkunegaran.
Konsentrasi Legiun Mangkunegaran pada waktu itu terutama di dua tempat, yaitu di kota Surakarta dan daerah Matesih, Karang Pandan. Tugas anggota Legiun di daerah Matesih, Karang Pandan antara lain, melaksanakan penjagaan di pesanggrahan dan makam Mengadeg. Daerah tersebut bagi KPH. Gondosuputra bukan merupakan daerah yang asing. Dia sejak lama mendapat tugas dari ayahnya untuk mengelola pesanggrahan tersebut. Bahkan sebulan sebelum dia wafat, masih sempat berkunjung ke Karang Pandan dengan didampingi para putranya termasuk KPH. Gondosuputra. Pada tahun 1881 ayahnya wafat pada tanggal 2 September jam 07.00 pagi, kemudian pada hari yang sama pada jam 12.00 siang, KPH. Gondosaputra menyusul ayahnya. Keduanya dimakamkan di Girilayu.lahir: 1932, Banjarnegara
Memiliki 7 anak.
Domisili saat ini di jakarta.bermukim: Saat ini berdomisili di Bintaro Jaya Sektor 9, Puri Bintaro 15 No 6, Sawah Baru, Tangerang Selatan. Memiliki 2 Anak
perkawinan:
perkawinan:
wafat: 28 Mei 1944
lahir: 28 Agustus 1949, Purwokerto
perkawinan: <275> ♀ Bendoro Raden Ayu Pandamsari [Pandamsari]
perkawinan: <276> ♀ Bendoro Raden Ayu Marduwati [Marduwati]
perkawinan: <277> ♀ B. R. A. Poernamaningroem [Poernamaningroem] , <278> ♀ Bendoro Raden Ayu Purnamaningrum [Purnamaningrum]
Sebagai pecahan kerajaan Islam Mataram, Keraton Yogyakarta mempunyai abdi dalem (pegawai) yang khusus mengurusi soal keagamaan. Pegawai khusus keagamaan ini disebut pegawai kepenguluan. Oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, para pegawai kepenguluan diberi tempat khusus, yakni dekat Masjid Agung Kesultanan.
Kepenguluan berfungsi sebagai lembaga yang mengurusi keagamaan sekaligus berfungsi semacam Dewan Daerah. Kepenguluan dipimpin oleh seorang dengan jabatan penghulu. Semua petugas di bawah pimpinan penghulu ini sering disebut sebagai abdi dalem putihan, yakni orang-orang yang ahli dalam agama. Khusus masalah kemasjidan, tetap dibawah koordinasi penghulu dengan dibantu oleh ketib (khatib) yang terdiri dari sembilan. Semua khatib berfungsi sederajat, sebagai imam shalat dan pengajar agama kecuali khatib anom, jabatan wakil penghulu yang berfungsi menggantikan jabatan penghulu suatu saat bila penghulu wafat.
Oleh pihak Kraton, para abdi dalem Kepenguluan ini diberi tanah `gaduhan'. Semacam tanah tinggal dinas yang berlokasi di dekat Masjid Agung. Oleh Kraton, tanah perkampungan para abdi dalem putihan dan para pegawai keagamaan didekat masjid inilah yang kemudian dijuluki dengan sebutan pakauman, diambil dari kata Qoimuddin (orang yang menjalankan agama). Belakangan, nama pakauman lebih dikenal dengan sebutan Kauman.
Para khatib itu kemudian mendirikan pusat kegiatan pendidikan keagamaan bernama langgar (mushola). Setiap khatib memiliki satu langgar. Langgar para khatib inilah yang menyelenggarakan berbagai bentuk keagamaan seperti pengajian.perkawinan: <424!> ♂ Raden Tumenggung Mertonegoro / Jayapermadi [Danurejo II]
R.A Impun/R.A. Basah Mertonegoro
Raden Ayu Impun adalah puteri Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Retnodewati. Ketika perang Diponegoro mulai pecah, Raden Ayu Impun dinikahkan dengan kakak Sentot Prawiro Dirjo yang bernama Raden Abdul Kamil Alibasyah yang juga merupakan pejuang Pangeran Diponegoro yang bertugas bergerilya di wilayah Barat Sungai Progo. Raden Abdul Kamil Alibasyah kemudian diberikan gelar Notodirjo dan diberikan kedudukan setingkat tumenggung dan biasa dipanggil raden Basah.
Setelah Raden Abdul Kamil tewas dalam peperangan, kemudian dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro atau Jayapermadi anak laki-laki tertua Patih Danurejo II sehingga terkenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro.perkawinan: <459!> ♂ Raden Mas Joyokusumo [Hb.2.30.1] [Hamengku Buwono II] d. 30 September 1829
R.A. Joyokusumo
Nama sebenarnya tidak diketahui dan tidak pernah tersurat dalam Babad Diponegoro. R.M.Joyokusumo adalah anak Raden Ngabehi Joyokusumo, paman Pangeran Diponegoro. Raden Ngabehi Joyokusumo adalah salah satu pengatur strategi perang. Baik Raden Ngabehi Joyokusumo maupun Raden Mas Joyokusumo tewas di tangan Belanda pada pertempuran di tepi sungai Bogowonto di dusun Sengir.
Atas permintaan Pangeran Diponegoro melalui surat yang ditulis bulan Mei 1830 di Batavia, R.A Joyokusumo dinikahkan dengan Basah Gondokusumo, adik Basah Mertonegoro. Surat tersebut ditujukan kepada Diponegoro Anom. Dalam surat tersebut Pangeran Diponegoro menyarankan apabila ada masalah agar mengadu pada Kapten Johan Jacob Roeps. Dalam surat tersebut Pangeran Diponegoro menuliskan bahwa dia menaruh kepercayaan besar pada kapten Roeps berkaitan dengan nasib anak-anaknya.
R.A Munteng/R.A Gusti/RA. Siti Fadilah/Nyai Musa
Dalam sebuah penyergapan Belanda di Kreteg daerah Kedu Utara Ibu Pangeran Diponegoro tertangkap bersama RA. Gusti. Mereka terpisah dari rombongan ketika perang di Bagelen. Kedunya lalu diserahkan ke Kasultanan Yogyakarta dan menjalani kehidupan di kraton. Dalam perjalanan terpisah dari rombongan itu mereka mendapat bantuan dari Kyai Setrodrono ayah Kyai Musa seorang ulama di wilayah Merden yang masih keturunan dari keluarga besar Danurejan.perkawinan: <281> ♂ Kanjeng Pangeran Haryo Adipati Danurejo VIII / [Hb.6.18.3] (Raden Mas Subari) [Hamengku Buwono VI] b. 3 September 1882, Yogyakarta
perkawinan: <283> ♀ Raden Ayu Renggowati [Ga.Hb.7.27.2] [?]
perkawinan: <284> ♀ Raden Roro Suminten [Ga.Hb.7.27.3] [?]
perkawinan: <285> ♀ Raden Ayu Setyowati [Ga.Hb.7.27.4] [?]
perkawinan: <286> ♀ Raden Roro Srenggorowati [Ga.Hb.7.27.5] [?]
perkawinan: <287> ♀ Raden Roro Secowati [Ga.Hb.7.27.6] [?]
perkawinan: <291> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Prawirodirjo [?]
perkawinan: <298> ♀ Raden Ayu Layung Asmoro [Ga.Hb.7.31.1] [?]
perkawinan: <299> ♀ Raden Ayu Layung Puspito [Ga.Hb.7.31.2] [?]
perkawinan: <300> ♀ Raden Ayu Layung Sekar [Ga.Hb.7.31.3] [?]
8
9001/8 <531+223> ♂ R Sudikno [Pangeran Sedayu]pekerjaan: Asisten collecteur Ngimbang
pekerjaan: Asisten Wedana Sumanding - Bojonegoro; Terakhir bertempat tinggal di Gedongsari - Mojokerto
perkawinan: <310> ♀ R Ajeng Kutrik [RTA Suryoningrat]
perkawinan: <311> ♀ Nama tdk Tercatat (asal Prambon Sidoarjo) [Tdk ada Catatan] b. 29 Agustus 1978
perkawinan:
pekerjaan: Menikah dengan Bupati Sedayu
gelar: Kawiwitan gelar Tohpati hingkang kaparingaken Kanjeng Sinuhun Pakubuwana X dumateng panjenenganipun Tohpati I Sareng Trah/keturunan mijil wanita [ Raden Nganten ] Kawastanan NUNGGAK SEMI ASMA "TOHPATI", saking hingkang eyang TOHPATI I, lelabet dumateng Si
perkawinan: <312> ♂ Raden Tohpati bin Wiryowardono [R Ronggo Prawirodikromo]
- 1) Buku silsilah keluarga Besar TOHPATI-Surakarta, dari keturunan R NG Sontoturongo, pancer: BPH Suronegoro (putra mantu PB II, Surakarta), diselesaikan pada awal tahun 2011;
Genelogycal diunggah dalam Website:http://id.rodovid.org/wk xxxxx yang dikerjakan oleh Haji R.Widodo AS, di Surabaya, bersama hard copy. Sehubungan pengunggah adalah masih keturunan Trah :
- dari Eyang Kakung garis Ibu, adalah sbb: HR Widodo AS(pengunggah), bin R Ayu Roesmini, binti R.B.Roestamadji_R Ay Koesmini_, bin R Mashoedan/R.A.A.Kromodjoyo Adinegoro IV(Bupati Mojokerto), bin R Aersadan/R.A.A.Kromodjoyo Adinegoro III, (Bupati Mojokerto), bin R.Ismail/Mas Bei Kromowidjoyo, bin Kyai Onggodjoyo, bin Mas Pekik/Kyai Tumenggung Dermoyudo IV - Bupati Surabaya
- Dari Eyang Putri Garis Ibu, adalh sbb: HR Widodo AS(pengunggah), bin R Ayu Roesmini. binti R Ay Koesmini_R.B.Roestamadji, bin R.Ng.Djajasoebrata bin R Tumenggung Djayadiredja, bin R Bei Kertadiredja, bin R Adipati Brotodiningrat, Bupati Purwokerto 1816-1830.
- dari Eyang Kakung garis ayah, adalah sbb: HR Widodo AS, bin R Ach.Soesandi, bin R Ach Notoadiputro, bin R Panji Djoyoprayitno, bin RM Bei Prawirodirdjo, bin RM Tumenggung Djoyodirono III, bin RM Adipati Djoyodirono II, Kyai Tumenggung Djoyodirono I(Bupati Kanoman Surabaya), bin Kyai Tumenggung Onggodjoyo I(Bupati Pasuruan 1679-1686), bin Ki Ageng Brondong/ Pangeran Lanang Dangiran.
- dari Eyang putri garis ayah, adalah sbb: HR Widodo AS, bin R Ach Soesandi, bin R Ayu Artinah, binti R Hardjoadiwinoto, bin R Ngabei Kertoyudo II, bin R.Panji Djayengrono/RTP Tjokronegoro I, bin Kyai Tumenggung Djimat Tjondronegoro (Bupati Kasepuhan Surabaya 1752-1783), bin Kyai Tumenggung Onggodjoyo I(Bupati Pasuruan 1679-1686), bin Ki Ageng Brondong/ Pangeran Lanang Dangiran.
Pengunggah Silsilah juga membuat Silsilah dari pancer keluarga kedua orang tua (Ayah/Ibu) serta keluarga kedua Eyang_Buyut, diantaranya adalah:
- Trah Kyai Ageng Brondong / Pangeran Lanang Dangiran _ Surabaya
- Trah Kyai Dermoyudo_Surabaya s/d Trah Kromodjayan Kasepuhan-Kanoman (Surabaya_Mojokerto)
- Trah Kyai Nitiadiningrat_Pasuruan s/d Trah Notodiningrat III_Malang
- Trah Brotodiningratan Banyumas
- Trah Kyai Tumenggung Poesponegoro Gresik
- Trah R Adipati Panji Arya Suryowinoto_Gresik
- Trah Kyai Abdullah - Sumenep Madura;
Serta Silsilah dati pancer isteri pengunggah Silsilah [[Hj Sri Lestari Handayani]] dari pancer keluarga kedua orang tua, dalah sbb
- Trah Sultan Trenggana_Demak Bintoro;
- Trah Bandoro Pangeran Harya Soeronegoro (menantu Susuhunan PB II Surakarta)
- Trah nDoro HOOP_Pekalongan.
Saya sangat menyetujui dari yang ditulis oleh leluhur R.Sastrodihardjo dalam Penutup Sarasilah Diposoepanan, mengenai:
PENGET: "Serat sarasilah poeniko kasimpen ingkang ngatos-atos, kengingo kangge tjepenganipoen poetro wajah panjenengan ing tembe wingking. Kedjawi saking poeniko, menawi wonten lepatipoen, kirang-langkoengngipoen, toewin wonten ewah-ewahanipoen, kadosto ewahing poetro, moegi karsohon ngewahi pijambak." ( Silsilah ini untuk disimpan dengan hati-hati, agar dapat dipergunakan sebagai pegangan anak cucu semua dibelakang hari. Selain dari hal tersebut, apabila ada kesalahan, kurang lebihnya serta ada perubahan, seperti misalnya tambahnya putra. Sudi apakiranya untuk menambahkan.")
Dalam menjalankan amanat PENGET tersebut, perlu pengunggah tegaskan bahwa setiap SILSILAH YANG DIBUAT OLEH SIAPAPUN, --> SATU TUJUAN ADALAH UNTUK MEMBANGUN KEMBALI KEAKRABAN/SILATUROCHMI KELUARGA SEMATA, GUNA MENCAPAI IKATAN KELUARGA YANG KUAT_ SEHAT_SEJAHTERA, --> TERLEPAS DARI HAL-HAL NEGATIF (Kasta, Agama, Kepentingan pribadi, Memanipulasi data keluarga dan Diskriminasi); THE GENEALOGICAL / SILSILAH ADALAH MERUPAKAN INFORMASI DATA YANG TERBATAS DALAM HAL TERKAITAN HUBUNGAN KELUARGA SEDARAH, YANG TELAH DIPAPARKAN DI WEBSITE RODOVID. --> BILAMA MANA DIKEHENDAKI YBS TDK DITULIS ASAL KETURUNAN DSB. DIDALAM SUATU SILSILAH / ATAU MENGHENDAKI MENIADAKAN DIRINYA DARI SILSILAH MAKA KEHENDAK SEPIHAK TSB. TERLEPAS DARI TANGGUNGJAWAB PENGUNGGAH; DAN INI HANYA BERLAKU BAGI YBS DENGAN KELUARGA DIRINYA SENDIRI, TIDAK BERLAKU KEPADA SAUDARA SAUDARA SEKANDUNG.
Mengingat kemajuan Jaman dan Kaidah Agama, maka keberadaan Silsilah dapat dipakai sebagai pedoman untuk beberapa hal yang perlu dihindari dalam hidup berkeluarga,dijelaskan dalam Kitab suci Al Qur'an, Surat An Nisaa
- ayat 1 : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
- ayat 23 Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
- ayat 24 dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
- Sedangkan pratijau dari Ilmu pengetahuan yang dijelaskan dalam: Dasar-dasar Genetika Biokemis Manusia ( Prof Dr,M.Ismadi –Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta ( akibat in-sex ); serta Hukum dan Budaya.
- Catatan :
Jenjang susunan pada Silsilah Keluarga atau Genealogy Diagram dibuat / dimulai dari atas yaitu yang tertua kebawah s/d. keturunan termuda, ini menganut pakem budaya Jawa Kasunanan Surakarta Hadiningrat khususnya dan pada umumnya, atau dikenal dengan nama Trah = Keturunan. Penulisan silsilah dibuat rentang jenjang setiap /sampai ke 10(sepuluh) level / graad). Dibuat berdasarkan petujuk membuat silsilah dalam buku "Serat Piagem Sentana “ (gebookteakte) ngrewat sala-silahing ing Kasunanan Surakarta Adiningrat (Paku Buwana)", yaitu dimulai dari:
- Pancer …………… = Trah adalah nama nenek moyang/leluhur yang dijadikan pedoman cikal bakal yang menurunkan
- Level/urutan 1 = Anak / putera
- Level/urutan 2 = Cucu
- Level/urutan 3 = Buyut
- Level/urutan 4 = Canggah
- Level/urutan 5 = Wareng
- Level/urutan 6 = Udeg-udeg
- Level/urutan 7 = Gantung Siwur
- Level/urutan 8 = Gropak senthe
- Level/urutan 9 = Debog bosok
- Level/urutan 10 = Galih Asem.
Urutan penulisan dimulai dari Pancer, misal yang dianut pancer laki-laki (patrinial), yang kemudian sampai rentang keturunan kesepuluh (Galih Asem), dan yang kemudian akan menjadi “Pancer” Trah/Keturunan berikutnya. Dengan adanya fasilitas dari genealogical chart di website http://id.rodovid.org/wk/...., maka 10(sepuluh) level / graad oleh penulis diterapkan. Sedangkan dalam hardcopy penyusun gunakan dalam bentuk simbul-simbul yang nampak pada pembagian kelompok level (dapat dilihat samping kiri & di kiri bawah lembar silsilah). Dapatlah kami sampaikan bahwa silsilah ini (Family Tree) pancer Laki-laki terbentuk dan akan berakhir jika keturunan berstatus perempuan. Artinya dari keturunan seorang Ibu yang semula dari marga A, anak keturunannya akan ikut pada suaminya misal marga B. Hal ini tidak mengubah makna apapun, ini hanyalah ilustrasi susunan keluarga walaupun menganut garis perempuan (matrinial) kesemuanya dibuat menganut petunjuk cara menulis silsilah yang benar.
Hormat Pengunggah,
HR Widodo AS,perkawinan:
perkawinan: <313> ♂ Raden Ngabei Undakan Wirodigdo [R Ng Sontoturonggo - I]
gelar: Komandan Pasukan Kavaleri Kasunanan Surakarta = Kaliwon Panegar Gamel Kasunanan Surakarta
perkawinan: <314> ♂ Raden Ngabei Djoyowinoto / Raden Aeroeto [Kromodjayan - Kanoman]
Menikah dengan suami kedua : Raden Panji Ismaoen Tjondrowinoto, Bupati Sidoarjo.
Wafat dimakamkan di makam Pekuncen Mojokertopekerjaan: Jombang, Menjabat Patih Jombang
perkawinan: <315> ♀ Raden Ayu Umisalamah [Kromodjayan - Kanoman]
perkawinan: <316> ♀ Nama tidak tercatat (garwo ampeyan (No:2)) [.]
perkawinan: <317> ♀ nama tidak tercatat (garwo ampeyan (No:3)) [..]
perkawinan: <318> ♀ Mas Ayu Fatimah (Garwo ampeyan(No:4)) [Surabaya]
perkawinan: <319> ♀ Mas Ayu nama tidak tercatat (Garwo No:1) [nama tidak tercatat]
perkawinan: <925!> ♀ Raden Ayu Louisah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
pekerjaan: Sidoarjo, Menjabat Patih
perkawinan: <320> ♀ Raden Ayu Soemarmi [Hendrokusumo - dinasti HAN]
perkawinan: <321> ♀ Raden Ayu Nama tidak tercatat [Kusumoadiputro]
perkawinan: <322> ♀ Raden Ayu Siti (Istri No:3) [Surabaya]
pekerjaan: Jombang, Menjabat Asisten Wedana Perak
perkawinan: <926!> ♀ Raden Ayu Maslinah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <323> ♀ Mas Ayu / Garwo Ampeyan . (Nama Tidak Tercatat) [Tdk ada Catatan]
perkawinan: <926!> ♀ Raden Ayu Maslinah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] , <323!> ♀ Mas Ayu / Garwo Ampeyan . (Nama Tidak Tercatat) [Tdk ada Catatan]
pekerjaan: di Pasuruan, Menjabat Bupati Bangil. Alumni Pendidikan Hoofenschool Probolinggo
perkawinan: <924!> ♀ Raden Ayu Karlinah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <324> ♂ Raden Tumenggung Soendjotoningrat [Womdokusuman Nangkaan - Bondowoso]
perkawinan: <325> ♂ Raden Bei Taranggono Kromoadiredjo [Kromodiredjo]
pekerjaan: Surabaya, Menjabat onder collecteur Surabaya
perkawinan: <326> ♀ Raden Ayu nama tidak tercatat (puteri Raden Ngabei Kromoadiwinoto ( R Mahmoet )) [Kromodjayan - Kanoman]
wafat: Mojokerto, Wafat dalam usia balita
perkawinan: <953!> ♂ Raden Prawoto / Raden Tumenggung Arya Notodiningrat V [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
wafat: Wafat dimakamkan di Pesarean Sentono Asri Kromodjayan di desa Terusan, Kab Mojokerto
perkawinan: <918!> ♂ Raden Tumenggung Kromodjoyodiningrat (Raden Prawoto) [Kromodjayan - Kanoman]
Saudara sekandung: No:2. Raden Ayu Christinah; No:3. Raden Tumenggung Notodiningrat (Prawoto)
Raden Ayu Karlinah wafat dimakamkan di Bangilperkawinan: <915!> ♂ Raden Ngabei Kromoadiwinoto (Raden Katjanadi) [Kromodjayan - Kanoman]
perkawinan: <917!> ♂ Raden Ngabei Kromodjoyodirono / Raden Ibnoe Chadjar [Kromodjayan - Kanoman]
perkawinan: <917!> ♂ Raden Ngabei Kromodjoyodirono / Raden Ibnoe Chadjar [Kromodjayan - Kanoman] , <323!> ♀ Mas Ayu / Garwo Ampeyan . (Nama Tidak Tercatat) [Tdk ada Catatan]
pekerjaan: Bojonegoro, Kepala Kantor Agraria (BPN), pindah Madiun.
perkawinan: <327> ♀ Raden Ayu Kusumo Wardani Suwari [Kromodjayan - Kanoman] b. 29 Desember 1929 d. 4 Maret 1957
perkawinan: <912!> ♂ RAA Kromodjoyo Adinegoro IV / Raden Mashudan [Kromodjayan - Kanoman] d. 15 Maret 1934
Bupati Malang III R Ay Katarinah wafat Sabtu Wage 22 Oktober 1937
dimakamkan di Sentonoasri Kromodjayan Mojokertoperkawinan: <544!> ♂ Raden Ngabei Tohpati - III [R Ng Tohpati]
perkawinan: <937!> ♂ Raden Bagus Mohamad Kamaloedin / Raden Tumenggung Arya Soerioningrat [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] b. 8 Januari 1845 d. 16 Maret 1914
perkawinan: <328> ♂ Raden Adipati Panji Arya Tjokronegoro IV / R Bagus Abdulkadir Djaelani [Ki Ageng Brondong]
perkawinan: <564!> ♂ Raden Panji Soeryopoetro [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <564!> ♂ Raden Panji Soeryopoetro [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] , <234!> ♂ Raden Soebadi [Tdk ada catatan]
wafat: Wafat usia muda, dimakamkan di Pesarean Gribig Malang.
perkawinan: <329> ♂ Raden Haryo Widjoyo / Raden Sigit [Sentot Alibasha Prawirodirdjo]
pekerjaan: Bupati Bondowoso
perkawinan: <923!> ♀ Raden Ayu Soemarni / Genoek [Kromodjayan - Kanoman]
perkawinan: <330> ♀ Raden Ayu Soemarliyah [RAP Tjondronegoro]
pekerjaan: Mantri Gudang Kopi di Jenggala
pekerjaan: Assisten Wedana,Di Kasembon Blitar. Ditangkap Jepang Karena mendirikan Perguruan di MAGUWAN-Malang; Dan dibuang ke Ambrawa – Jateng.
penguburan: Astana Gunungsari, Kartasura, Sukoharjo
perkawinan: <332> ♀ Raden Roro Ngaliyah [Mahesokatang]
perkawinan: <333> ♀ Raden Ayu Sosrokusumo [Sosrokusumo]
perkawinan: <334> ♀ Raden Ayu Sumoasmoro [Sumoasmoro]
perkawinan: <335> ♀ Raden Ayu Gondoasmoro [Nitipuro]
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
perkawinan: <421!> ♀ Raden Ayu Kustiyah [Amangkurat IV]
perkawinan: <336> ♀ Raden Ayu Pujokusumo [Pujokusumo]
gelar: 30 Desember 1861 - 16 Maret 1893, Surakarta, Susuhunan Surakarta IX bergelar Pakubuwono IX
wafat: 16 Maret 1893, Surakarta
Kisah Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Duksino, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan ketika ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830.
Pakubuwana IX naik takhta menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861. Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ronggowarsito dalam karya-karya sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida.
[[Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ronggowarsito]] sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ronggowarsito yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda.
Ronggowarsito sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Saat itu karier Ronggowarsito sendiri sudah memasuki senja. Ia mengungkapkan kegelisahan hatinya melalui Serat Kalatida, karyanya yang sangat populer.
Dalam Serat Kalatida, Ronggowarsito memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman Edan.
Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Pakubuwana X.perkawinan: <989!> ♂ Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkubumi [Hb.6.11] (Gusti Pangeran Haryo Hadikusumo) [Hamengku Buwono VI] b. 30 November 1848 d. 26 Maret 1917
perkawinan: <895!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII / Gusti Raden Mas Murtejo [Hb.6.1] (Sinuhun Behi) [Hamengku Buwono VI] b. 4 Februari 1839 d. 30 Desember 1921, Yogyakarta
perceraian: <895!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII / Gusti Raden Mas Murtejo [Hb.6.1] (Sinuhun Behi) [Hamengku Buwono VI] b. 4 Februari 1839 d. 30 Desember 1921
perkawinan: <337> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Mas ? ([Gp.Hb.7.2], Joyodipuro) [?] d. 1892
perkawinan: <338> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnojuwito ? (Ga.Hb.7.6) [?]
perkawinan: <423!> ♀ 2. Gusti Kanjeng Ratu Kencono II [Gp.Hb.7.3] (Bendoro Raden Ayu Ratna Sri Wulan) [Hamengku Buwono II]
perkawinan: <339> ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnaningsih ? (Ga.Hb.7.1) [?]
perkawinan: <340> ♀ Bendoro Raden Ayu Ratnaningdia ? ([Ga.Hb.7.2]) [?]
perkawinan: <341> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnohadi ? (Ga.Hb.7.3) [?]
perkawinan: <342> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnodewati [Ga.Hb.7.5] [?]
perkawinan: <343> ♀ Bendoro Raden Ayu Rukmidiningdia [Ga.Hb.8.4] [Hb.6.9.3.1] (Bendoro Raden Ayu Rukhihadiningdyah) [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <344> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnosangdiah ? ([Ga.Hb.7.4]) [?]
perkawinan: <345> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnomurcito [Ga.Hb.7.8] [?]
perkawinan: <346> ♀ Bendoro Raden Ayu Pujoretno [Ga.Hb.7.9] [?]
perkawinan: <347> ♀ Kanjeng Bendoro Raden Ayu Retnopurnomo [Ga.Hb.7.10] [?]
perkawinan: <348> ♀ Bendoro Mas Ayu Retnojumanten [Ga.Hb.7.11] [?]
perkawinan: <349> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnodewati [Ga.Hb.7.5] [?]
perkawinan: <350> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnomurcito [Ga.Hb.7.8] [?]
perkawinan: <351> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo [Ga.Hb.7.13] [Danurejo] d. 30 Desember 1931
perkawinan: <352> ♀ Bendoro Raden Ayu Dewo Retno [Ga.Hb.7.7] [?]
perkawinan: <353> ♀ Raden Ajeng Centhung [Pl.Hb.7.1] [?]
perkawinan: <354> ♀ Raden Roro Sumodirejo [Pl.Hb.7.2] [?]
perkawinan: <355> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnoliringhasmoro [Ga.Hb.7.16] [?]
perkawinan: <356> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnosetyohasmoro [Ga.Hb.7.15] [?]
perkawinan: <357> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnorenggohasmoro [Ga.Hb.7.14] [?]
perkawinan: <358> ♀ Bendoro Raden Ayu Retnowinardi [Ga.Hb.7.12] [?]
perkawinan: <993!> ♀ Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkubumi [Hb.5.8] / Bendoro Raden Ayu Sukinah [Gp.Hb.7.11.1] [Hamengku Buwono V] b. 1836, Yogyakarta
perceraian: <993!> ♀ Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkubumi [Hb.5.8] / Bendoro Raden Ayu Sukinah [Gp.Hb.7.11.1] [Hamengku Buwono V] b. 1836
perkawinan: <422!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Kencana [Gp.Hb.7.1] (Bendara Raden Ayu Retno Sriwulan) [Sentot Alibasa] , Yogyakarta
gelar: 13 Agustus 1877 - 29 Januari 1920, Yogyakarta, Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senopati ing Alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid'din Panatagama Khalifatu'llah Ingkang Jumeneng Kaping VII
perceraian: <359> ♀ Bendoro Raden Ayu Tejaningrum [?] , Yogyakarta
wafat: 30 Desember 1921, Yogyakarta
Sri Sultan Hamengkubuwana VII (Bahasa Jawa:Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir: 1839 – wafat: 1931 adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877 – 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.(Bahasa Jawa:Sri Sultan Hamengkubuwono VII, lahir: 1839 – wafat: 1931 adalah raja Kesultanan Yogyakarta yang memerintah pada tahun 1877 – 1920. Ia dikenal juga dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih.
Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Murtejo, putra Hamengkubuwono VI yang lahir pada tanggal 4 Februari 1839. Ia naik takhta menggantikan ayahnya sejak tahun 1877.
Pada masa pemerintahan Hamengkubuwono VII, banyak didirikan pabrik gula di Yogyakarta, yang seluruhnya berjumlah 17 buah. Setiap pendirian pabrik memberikan peluang kepadanya untuk menerima dana sebesar Rp 200.000,00. Hal ini mengakibatkan Sultan sangat kaya sehingga sering dijuluki Sultan Sugih[rujukan?].
Masa pemerintahannya juga merupakan masa transisi menuju modernisasi di Yogyakarta. Banyak sekolah modern didirikan. Ia bahkan mengirim putra-putranya belajar hingga ke negeri Belanda.
Pada tanggal 29 Januari 1920 Hamengkubuwono VII yang saat itu berusia 81 tahun memutuskan untuk turun takhta dan mengangkat putra mahkota sebagai penggantinya. Konon peristiwa ini masih dipertanyakan keabsahannya karena putera mahkota(GRM. Akhadiyat, putra HB VII nomor 14) yang seharusnya menggantikan tiba-tiba meninggal dunia dan sampai saat ini belum jelas penyebab kematiannya.
Dugaan yang muncul ialah adanya keterlibatan pihak Belanda yang tidak setuju dengan putera Mahkota pengganti Hamengkubuwono VII yang terkenal selalu menentang aturan-aturan yang dibuat pemerintah Batavia.
Biasanya dalam pergantian takhta raja kepada putera mahkota ialah menunggu sampai sang raja yang berkuasa meninggal dunia. Namun kali ini berbeda karena pengangkatan Hamengkubuwono VIII dilakukan pada saat Hamengkubuwono VII masih hidup.<--, bahkan menurut cerita masa lalu sang ayah diasingkan oleh anaknya pengganti putera mahkota yang wafat ke Pesanggrahan Ngambarrukma di luar keraton Yogyakarta.-->
Hamengkubuwono VII dengan besar hati mengikuti kemauan sang anak (yang di dalam istilah Jawa disebut mikul dhuwur mendhem jero) yang secara politis telah menguasai kondisi di dalam pemerintahan kerajaan. Setelah turun takhta, Hamengkubuwono VII pernah mengatakan "Tidak pernah ada raja yang meninggal di keraton setelah saya" yang artinya masih dipertanyakan. Sampai saat ini ada dua raja setelah dirinya yang meninggal di luar keraton, yaitu Hamengkubuwono VIII meninggal dunia di tengah perjalanan ke luar kota dan Hamengkubuwono IX meninggal di Amerika Serikat. Bagi masyarakat Jawa adalah suatu kebanggaan jika seseorang meninggal di rumahnya sendiri. Hamengkubuwono VII meninggal di Pesanggrahan Ngambarrukma pada tanggal 30 Desember 1931 dan dimakamkan di Imogiri. Silsilah Anak tertua dari Sultan Hamengkubuwana VI dan istri pertamanya RAy Sepuh/GKR Sultan/GKR Agung dan diangkat anak oleh Ratu Kencana. Memiliki delapan belas istri: 1.BRA Sukina/BRA Mangku Bumi (b. 1836), putri termuda Sultan Hamengkubuwana V dengan istri keduanya BRAy Dewaningsih. 2.GKR Mas, putri dari KRT Jayadipura atau dari Pangeran Suryadiningrat. 3.GKR Kencana/GKR Wandhani, putri dari Raden 'Ali Basa 'Abdu'l-Mustafa Senthot Prawiradirja. 4.GKR Kencana II/BRAy Ratna Sri Wulan, putri dari BPH Adi Negara. 5.BRAy Ratnaningsi. 6.BRAy Ratnaningdia. 7.BRAy Ratna Adi. 8.BRAy Ratnasangdia. 9.BRAy Ratnajiwata. 10.BRAy Puryaningdia. 11.BRAy Devaratna. 12.BRAy Puspitaningdiya. 13.BRAy Srengkara Adinindia. 14.BRAy Rukmidiningdia. 15.BRAy Ratna Adiningrum. 16.BRAy Ratna Puspita. 17.BRAy Tejaningrum. 18.BRAy Ratna Mandaya, putri dari Patih Dhanuraja VI.
Versi lain mengatakan bahwa Hamengkubuwono VII meminta pensiun kepada Belanda untuk madeg pandito (menjadi pertapa) di Pesanggrahan Ngambarrukma (sekarang Ambarrukma). Sampai saat ini bekas pesanggrahan itu masih ada dan di sebelah timurnya dulu pernah berdiri Hotel Ambarrukma yang sekarang sudah tidak ada lagi.pekerjaan: Patih di Bangil, pensiun th 1900
penguburan: Pasuruan, Makam belakang masjid Kota Pasuran, letaknya di luar gedong sebelah barat.
perkawinan: <360> ♀ Raden Ayu Saedah [Kg Pang.Prawiroadiningrat 1 - Besuki]
pekerjaan: Bupati Probolinggo 1879-1889; Pensiuan 1888
perkawinan: <935!> ♀ Raden Ayu Satiah [R.Tumenggung Soeryoamidjoyo]
perkawinan: <361> ♀ Tio Kiong Nio ( Aminah ) [Tio Gwan Djoe]
wafat: 16 Maret 1914, Pasuruan hari Ahad / malem Senin Wage jam 03.00, Dimakamkan di Mancilan Pasuruan. Letak disebelah selatan sendiri
pekerjaan: Pasuruan, Wedana Keboncandi-Pasuruan; pensiun 1884
perkawinan: <362> ♀ ( Garwo Selir ; Nama tdk Tercatat ) [Tdk ada Catatan]
perkawinan: <363> ♀ Raden Ayu Haisah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
perkawinan: <572!> ♀ Raden Ayu Pademinah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
wafat: Pasuruan, Wafat dalam usia muda. DImakamkan di belakang Masjid Pasuruan didalam gedong.
perkawinan: <993!> ♀ Bendoro Raden Ayu Adipati Mangkubumi [Hb.5.8] / Bendoro Raden Ayu Sukinah [Gp.Hb.7.11.1] [Hamengku Buwono V] b. 1836
perkawinan: <364> ♀ Raden Ayu Adipati Mangkubumi Muda [Gp.Hb.6.11.2] [?]
perkawinan: <365> ♀ Raden Ayu Pujomurti I [Ga.Hb.6.11.1] [?]
perkawinan: <366> ♀ Raden Ayu Tejomurti I [Ga.Hb.6.11.2] [?]
perkawinan: <367> ♀ Raden Ayu Tejomurti II [Ga.Hb.6.11.3] [?]
perkawinan: <368> ♀ Raden Ayu Manjonomurti I [Ga.Hb.6.11.4] [?]
perkawinan: <369> ♀ Raden Ayu Doyomurti I [Ga.Hb.6.11.5] [?]
perkawinan: <370> ♀ Raden Ayu Panukmomurti [Ga.Hb.6.11.10] [?]
perkawinan: <371> ♀ Raden Ayu Manjonomurti II [Ga.Hb.6.11.9] [?]
perkawinan: <372> ♀ Raden Ayu Doyomurti II [Ga.Hb.6.11.8] [?]
perkawinan: <373> ♀ Raden Ayu Hadimurti [Ga.Hb.6.11.7] [?]
perkawinan: <374> ♀ Raden Ayu Pujomurti II [Ga.Hb.6.11.6] [?]
wafat: 26 Maret 1917
lahir: 1902, Pasuruan, Makam di belakang Masjid kota Pasuruan
pekerjaan: * Ondercollecteur Pasuruan NB: RB ABU BAKAR diasingkan ke Padang-Sumatera oleh Belanda. Keadaan ini telah diramal oleh “Embah IMAM SOEDJONO” dari Gunung Kawi adalah Guru dari R Ay. BONI atau Ibu RB ABU BAKAR . Dalam pengasingannya didampingi oleh R
wafat: 5 Juli 1908
mengenai Kalkulasi usia perkawinan dan status perkawinan :
- Perbedaan usia antara RTA. Suradimenggala dengan RAy. Gondomirah sebanyak (1852-1819) = 33 tahun, ini dapat diartikan bahwa RAy. Gondomirah adalah isteri ke 2 / ke 3.
- Pernikahan berlangsung pada saat usia RAy Gondomirah mencapai 26 tahun atau pada tahun 1878, dimana RTA. Suradimenggala sudah berusia (1878-1819) = 59 tahun.
pekerjaan: ?, 1893-1903 Penghoeloe Tjiomas
Gerakan Perlawanan Sosial di Tanah Partikelir Ciomas Bogor Tahun 1886
Gerakan perlawanan sosial dikenal juga dengan istilah “gerakan melawan pemerasan”, “gerakan melawan keadaan”, atau “gerakan melawan peraturan yang tidak adil”. Dalam istilah kolonial, peristiwa perlawanan semacam itu dikategorikan sebagai “ganguan ketentraman”, “huru-hara”, “kerusuhan”, atau “gerakan rohani”. Suatu ciri umum, bahwa hampir semua gerakan perlawanan sosial peristiwanya terjadi di tanah Partikelir (particultire landerijen). Sebab – sebab timbulnya gerakan tersebut, dipengaruhi oleh terbentuknya tanah partikelir dan situasi – situasi yang mempengaruhinya, antara lain:
Tanah partikelir muncul sejak awal jaman VOC sampai perempatan pertama abad ke-19, sebagai akibat adanya praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh orang – orang Belanda. Tanah – tanah tersebut berlokasi disekitar Batavia, dan sebagaian besar berada di daerah pedalaman antara Batavia dan Bogor, daerah Banten, Karawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Pada awal kekuasaan VOC tanah tadi dihadiahkan kepada penanggung jawab kententraman dan keamanan di sekitar daerah Batavia, sedangkan sebagian kecil ada yang diberikan kepada kepala – kepala pribumi. Khusus untuk tanah partikelir di daerah Bogor, status kepemilikannya berada ditangan pribadi para Gubernur Jendral yang berlangsung secara berturut – turut. Bagi orang yang menerima tanah tersebut secara leluasa mereka bertindak sebagai tuan tanah dan segera menguasai penggarap anah dengan dikenakan beban berupa pajak tanah (cuke) yang tinggi, serta penyerahan wajib kerja yang berat. Tindakan pemerasan tuan tanah di wilayah pemilikan tanahnya itu membangkitkan gerakan perlawanan sosial yang penampilannya lebih cenderung bermotifkan perasaan dendam yang bersifat milenaristis atau mesianistis. Untuk menghilangkan kegelisahan para petani di daerah tersebut pada masa pemerintahan Deandeles dan Raffles pernah dikeluarkan larangan kepada tuan – tuan tanah untuk memperoleh sepersepuluh dari hasil tanah atau menentukan penyerahan tenaga kerja yang berat. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tahun 1836, dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai hak untuk melindungi para petani dan mengatur suatu peradilan di tanah partikelir. Tetapi dalam menghadapi kecurangan tuan – tuan tanah, termasuk para pembantunya, pihak pemerintah sangat sulit mengawasinya, sehingga kegelisahan dikalangan petani semakin cenderung untuk mencetuskan gagasan dengan jalan melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk perlawanan yang berkesinambungan. Kasus perlawanan petani di tanah partikelir pada periode abad ke-19, banyak terjadi dan seolah – olah merupakan hal yang lumrah.
Menurut letak geografisnya, tanah partikelir Ciomas berada di lereng sebelah utara Gunung Salak. Tanah tersebut menjadi milik tuan tanah setelah dijual oleh Gubernur Jendral Deandels, dengan meliputi areal tanah seluas 9.00 bau (1 bau = 0,8 hektar). Tanah seluas itu dihuni oleh penduduk ± 15.000 jiwa. Seperti di tanah partikelir lainnya di daerah Ciomas pun para petani dihadapkan pada kondisi – kondisi sosial-ekonomi yang tidak menguntungkan, karena tenaganya dieksploitasi oleh tuan tanah, para pengawas, dan petugas tuan tanah lainnya yang menuntut pelayanan kerja yang berat, serta pemenuhan pajak (cuke) yang tinggi. Sebelum meletusnya gerakan petani tersebut, keadaan politik dan ekonomi yang berlaku di daerah Ciomas sendiri, antara lain :
1) Para pemungut pajak sering melakukan praktik, bahwa untuk menuai panen para petani diharuskan menunggu waktu yang ditentukan oleh tuan tanah. Untuk mengawasi panen, tuan tanah menunjuk petugas – petugas dan penjaga yang ditempatkan di sawah – sawah. Oleh karena petugas – petugas dan penjaga tersebut tidak diawasi secara langsung oleh tuan tanah, mereka cenderung untuk menggunakan kedudukannya dengan praktik yang curang terhadap petani. Berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di tanah partikelir lainnya, bahwa pada saat panen tiba, penuaian hanya dilakukan oleh petani di daerah itu. Hal ini akan membawa akibat, bahwa sebagian dari hasil panen dapat diserap ke tempat lain, dan dengan sendirinya mengurangi pendapatan petani di Ciomas.
2) Kekurangan pendapatan petani di Ciomas, ditambah lagi dengan kewajiban untuk mengangkut hasil panen milik tuan tanah dari sawah – sawah ke lumbung – lumbung (gudang – gudang padi), yang jaraknya antara 10 sampai 12 paal (= 15 sampai 18 km).
3) Di kebun – kebun dan pabrik – pabrik kopi Ciomas, berlau juga sistem perbudakan yang lebih berat, sehingga berlaku juga kerja paksa, dan kepada buruh yang tidak hadir atau datang terlambat dikenakan peraturan yang keras.
4) Kepada para petani dikenakan juga kewajiban untuk menyerahkan jenis barang tertentu, antara lain penyerahan dua butir kelapa untuk setiap pohon, penyerahan sebatang bambu untuk setiap petak sawah, penyerahan seluruh hasil pohon enau dan kopi yang diwajibkan ditanam di kebun petani yang jumlahnya mencapai 250 batang.
5) Petani dilarang mengekspor padi, kerbau, dan hasil bumi lainnya.
6) Jika petani tidak dapat membayar huangnya, maka akan dikenakan penyitaan atas tanah, rumah, dan kerbaunya.
7) Perluasan kekuasan tuan tanah terhadap petani sampai juga pada pengawasan mengenai penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan pohon – pohon.
8) Kaum wanita dan anak – anak pun diharuskan bekerja selama sembilan hari untuk setiap bulannya.
Adanya dominasi politik, ekonomi, dan sosial yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap kaum petani, telah membawa iklim yang lebih buruk dan pada akhirnya sampai mencapai konflik yang tajam. Salah satu akibat dari pelaksanaan eksploitasi tenaga kerja yang berat dan pemungutan cuke yang tinggi menjelang pecahnya perlawanan petani ialah terjadinya migrasi penduduk dari daerah itu. Bagi mereka yang tidak tahan lagi dengan praktik pemerasan tuan tanah dan merasa terancam akan kehancuran ekonominya segeralah angkat kaki meninggalkan tanah partikelir di Ciomas. Perasaan tidak puas petani untuk bekerja di tanah partikelir lebih nampak nyata ketika menolak kerja paksa di perkebunan kopi, dan mulailah mencetuskan perlawanan secara terbuka yang ditandai dengan tindakan kekerasan.
Perlawanan secara langsung diawali dengan melancarkan pemberontakan tanggal 22 Februari 1886, ketika mereka membunuh Camat Ciomas, Haji Abdurrachim (RM. H. ABDURRACHMAN ADI MENGGOLO), dan masih pada bulan Februari itu juga Arpan bersama kawan – kawannya mengundurkan diri ke Pasir Paok, dan di sana mereka menolak untuk menyerah kepada tentara pemerintah kolonial.
Sebulan sebelum terjadinya kedua peristiwa tadi, Mohammad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung Salak. Sekalipun ia lahir di Ciomas, namun dalam perjuangan hidupnya ia selalu berpindah – pindah tempat, seperti ke Sukabumi dan Ciampea. Ia termasuk salah seorang yang sangat membenci tuan tanah dan kaki tangannya. Karena sikapnya itu, maka semakin banyaklah petani pelarian dari tanah partikelir untuk menggabungkan diri. Setelah diadakan pertemuan besar di pondok kecilnya, Idris bersama pengikutnya bersepakat untuk melancarkan penyerangan ke Ciomas. Dan tepat pada hari Rabu malam, tanggal 19 Mei 1886 sesuai dengan rencana semula Idris bersama pengikutnya berhasil menduduki daerah Ciomas bagian selatan. Selama menduduki daerah tersebut mereka tidak melakukan perampokan terhadap gudang – gudang di Sukamantri, Gadong, dan Warungloa. Bahkan sebaliknya mereka menyatakan, bahwa serangan yang dilancarkannya itu tidak dimaksudkan untuk merampok kekayaan, tetapi serangan tersebut hanya ditujukan khusus bagi pribadi tuan tanah. Tanggal 20 Mei 1886 para pemberontak menyelenggarakan upacara sedekah bumi di Gadong, yang dihadiri juga oleh semua pegawai tuan tanah. Upacara tersebut sebenarnya merupakan perayaan tahunan yang dimeriahkan dengan permainan musik, tari – tarian, dan atraksi – atraksi lainnya. Sebagai penutup dari perayaan itu, seolah – olah seperti diberikan aba – aba, bahwa kaum pemberontak setelah melihat pegawai – pegawai tuan tanah yang sesungguhnya bertindak sebagai penindas dan memeras mereka, beberapa diantara pengikut Mohamad Idris segera melampiaskan kemarahannya menyerang agen – agen tuan tanah secra membabi buta. Perayaan sedekah bumi itu berakhir dengan pembunuhan besar – besaran yang ditujukan kepada pegawai – pegawai tuan tanah. Dari peristiwa pembunuhan tersebut, diketahui bahwa sejumlah 40 orang mati dibunuh, dan 70 orang lainnya luka – luka. Tuan tanah beserta keluarganya selamat, karena secara kebetulan mereka tidak hadir dalam upacara itu.
Dari panggung peristiwa perlawanan petani Ciomas itu, jelaslah bahwa yang menjadi sasaran utama dan sebgai musuhnya adalah tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial baik asing maupun pribumi, para pedagang, dan lintah darat.
Gerakan perlawanan petani Ciomas memperlihatkan adanya spontanitas baik waktu timbul maupun selama masa berkembangnya, yang ditunjang juga dengan iklim atau situasi politik yang benar – benar telah diperhitungkan akan timbulnya gerakan perlawanan. Peristiwa perlawanan petani Ciomas merupakan suatu corak atau model perjuangan yang berlatar belakang perbedaan kepentingan dan tujuan anara tuan tanah, pemerintah, dan pegawai – pegawai lainnya dengan kaum petani di lain pihak. Pertentangan kepentingan dan tujuan itu, pada akhirnya dapat dilakukan dalam bentuk perlawanan secara keras dari pihak petani sebagai protes akibat tekanan – tekanan yang berat.perkawinan: <1038!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Sasi [Hb.6.15] [Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <376> ♀ Raden Ayu Panukmowati [?]
perkawinan: <377> ♀ Unggu Sihaka [Sihaka]
perkawinan: <378> ♀ Bendoro Raden Ajeng Kusjinah [Hb.7.2] / Raden Ayu Kanjeng Gusti [Hamengku Buwono VII]
wafat: 12 Januari 1901, Manado
Karena Gusti Muhammad masih bayi, dan untuk mengisi kekosongan tahta kesultanan maka diangkatlah Pangeran Mangkubumi (adik dari Sultan Hamengku Buwono V) menjadi Sultan Hamengku Buwono ke VI, dengan persyaratan bahwa apabila setelah dewasa Gusti Muhammad akan diangkat menjadi Sultan berikutnya. Namun ternyata Sultan lebih memilih menunjuk putranya menjadi pengganti (putra mahkota) yang nantinya akan menjadi Sultan Hamengku Buwono VII.
Hal tersebut menimbulkan kekecewaan pada keluarga Hamengku Buwono V, terutama GKR Sekar Kedaton dan GPH Suryengalogo yang kemudian memulai perlawanan kepada Sultan Hamengku Buwono VII. Kemudian GKR Sekar Kedaton dan GPH Suryengalogo diputuskan bersalah telah memberontak dan “DIPINDAHKAN DARI YOGYAKARTA KE MANADO SELEBES” dengan Surat Keputusan dari Kesultanan Yogyakarta Hamengku Buwono VII yang disampaikan melalui Dipati Danureja dan Residen Befembag berbunyi sebagai berikut: “Surat Peringatanku aku Kanjeng Narendra, yang menguasai negeri Kerajaan Ngayogya, sabdaku ini : Tuan Kanjeng Prameswari dan Kangmas Pangeran Suryengalogo berdua, aku pindahkan dari negeri Ngayogya ke negeri Menado, sebab uwa, kangmas berani membangkang (mbalelo) pada Raja. Pergi dari kota tanpa pamit, serta berbuat perang sabil; membunuh perajurit Usar, abdi Kanjeng Gupermen Belanda. Karena itu Kangmas serta Uwa Jeng Prameswari kesalahan membangkang pemerintahan Raja. Tanggal 11 April 1883.”
Dengan berdasarkan Surat Keputusan dari Kesultanan tersebut diatas GKR Sekar Kedaton dan GPH Suryengalogo beserta istri pertama berikut anaknya, dan juga semua pengikutnya, berangkat dengan diantar oleh Residen untuk naik kapal laut dari Semarang menuju Manado. Di Manado bertemu dengan saudara-saudaranya yang telah lebih dahulu dipindahkan dari Yogyakarta ke Manado, yaitu Bendoro Pangeran Haryo Hadiwijoyo (putra Sultan Hamengku Buwono VI dan saudara dari Sultan Hamengku Buwono VII) beserta istri dan anaknya, menjemput rombongan dari Jogyakarta di kapal dan mempersilahkan agar Prameswari dan GPH Suryengalogo menempati rumah mereka di kampung Pondol.
GPH Suryengalogo, 4 tahun kemudian memanggil istri keduanya yaitu Raden Ayu Dayaningsih yang ada di Yogyakarta untuk tinggal di Manado, dan setahun kemudian mempunyai 1 anak laki-laki yang elok rupanya. Tetapi Raden Ayu Dayaningsih cepat meninggalkan segala-galanya. GPH Suryengalogo akhirnya wafat di Manado pada tanggal 12 Januari 1901. Setelah beliau meninggal dunia, GKR Sekar Kedaton dibelikan rumah oleh Sultan Hamengku Buwono VII untuk ditempati oleh beliau bersama anak dan cucunya. Kanjeng Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Hadiwijoyo sudah dianggap sebagai anaknya sendiri oleh GKR Sekar Kedaton, apalagi setelah GPH Suryengalogo meninggal dunia.
BPH Hadiwijoyo pun akhirnya meninggal dunia pada tahun 1916, dan dimakamkan di Manado, tetapi kemudian oleh para keturunannya makamnya dipindahkan ke Hastorenggo Kotagede Yogyakarta.perkawinan: <379> ♀ Raden Roro Mardewi [Wongsosoetirto]
perkawinan: <380> ♀ B. R. A. Setyowati [Setyowati]
perkawinan: <381> ♀ Mas Ayu Retnoningrum [Retnoningrum]
perkawinan: <382> ♀ Mas Ayu Sitaningrum [Sitaningrum]
perkawinan: <383> ♀ Mas Ayu Kamijem [Kamijem]
perkawinan: <384> ♀ B. R. A. Tedjowati [Tedjowati]
pekerjaan: 11 Januari 1916 - 1944, Surakarta, Sunan Surakarta bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VII
perkawinan: <803!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Timur [Hb.7.65] (Bendoro Raden Ajeng Mursudarya) [Hamengku Buwono VII] , Surakarta
wafat: 19 Juli 1944
Mangkunegara VII adalah seorang penguasa yang dianggap berpandangan modern pada jamannya. Ia berhasil meningkatkan kesejahteraan di wilayah Praja Mangkunegaran melalui usaha perkebunan (onderneming), terutama komoditas gula. Mangkunegara VII juga seorang pencinta seni dan budaya Jawa, dan terutama mendukung berkembangnya musik dan drama tradisional.
Mangkunegara VII terlahir dengan nama Raden Mas Soerjo Soeparto. Ia adalah anak ketujuh atau anak lelaki ketiga dari 28 bersaudara anak-anak dari Mangkunegara V.
Anak putri tertua Mangkunegara VII, yaitu BRAy. Partini, menikah dengan P.A. Husein Djajadiningrat, seorang sejarawan dan ningrat dari Serang, Banten.
Mangkunegara VII, dikenal pada zamannya sebagai bangsawan modern yang berkontribusi banyak terhadap kelangsungan kebudayaan Jawa dan gerakan kebangkitan nasional. Ia sempat mengenyam pendidikan di Universitas Leiden di Belanda selama tiga tahun, sebelum pulang ke Indonesia untuk menggantikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri tahun 1916.
Semangat Mangkunegara VII untuk mencari ilmu pengetahuan sudah tampak sejak muda, ketika pamannya Mangkunegara VI melarangnya untuk masuk HBS, ia memilih untuk berkelana dan menjalani hidup di luar keraton; menjadi penerjemah bahasa Belanda-Jawa dan mantri di tingkat kabupaten. Sedangkan kecintaannya terhadap budaya Jawa ditunjukkan melalui peranannya yang aktif dalam mendirikan lembaga studi Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi-Budaya) dan lembaga kebudayaan Jawa Java-Instituut, tidak luput juga karya ilmiahnya tentang simbolisme wayang Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daarin voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920).
Ia juga turut menjadi tokoh di dalam organisasi pergerakan nasional Boedi Oetomo dan penasihat di organisasi pelajar Jong Java. Pada tahun 1933, ia memprakarsai didirikannya radio pribumi pertama di Indonesia yaitu SRV (Solosche Radio Vereniging) yang memancarkan program-program dalam bahasa Jawa.
Selain itu ia juga seorang perwira KNIL dengan jabatan Kolonel pada masa hidupnya, dengan jabatan ini ia juga merangkap sebagai komandan Legiun Mangkunegaran, sebuah tentara kecil yang terdiri dari prajurit Mangkunegaran.perkawinan: <385> ♀ Raden Ayu Adiresmi [Ga.Hb.6.20.1] [?]
perkawinan: <386> ♀ Mas Ajeng Adiwati [Ga.Hb.6.20.2] [?]
perkawinan: <387> ♀ Raden Ayu Adiningdyah [Ga.Hb.6.20.3] [?]
perkawinan: <388> ♀ Raden Ayu Adiningsih [Ga.Hb.6.20.4] [?]
perkawinan: <389> ♀ Bendoro Raden Ayu Puger Sepuh [Gp.Hb.6.20.1] ? (Bendoro Raden Ayu Puger I) [?]
perkawinan: <390> ♀ Bendoro Raden Ayu Atasasih Puger Anom [Gp.Hb.6.20.2] ? (Bendoro Raden Ayu Puger II) [?]
perkawinan: <391> ♀ Raden Ayu Adipuspito [Ga.Hb.6.20.6] [?]
perkawinan: <392> ♀ Raden Ayu Kusumaningrum [Ga.Hb.6.20.5] [?]
wafat: 28 Oktober 1929, Yogyakarta
NMR: 1859, Yogyakarta
perceraian: <523!> ♂ Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VI / Gusti Raden Mas Mustojo [Hb.4.12] (Sinuhun Mangkubumi) [Hamengku Buwono VI] b. 10 Agustus 1821 d. 20 Juli 1877
perkawinan: <393> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Gondokusumo [?]
pendidikan: 1874, Masuk sekolah Jawa dan lulu Ujian Pendadaran Calon Priyayi Alit
perkawinan: <394> ♀ Burni Sudarmilah [Cokronagoro I]
pekerjaan: 1878, Ampel, Menjadi carik (juru tulis) di Kabupaten Ampel dengan nama Wiroatmojo
pekerjaan: 1879, Ampel, Diangkat menjadi ‘griffier’ (mantri) pada ‘Pradoto’ Kabupaten Ampel dan beliau berganti nama menjadi Raden Ronggo Joyosugito kemudian menjadi Panewu Distrik Kota Surakarta
perkawinan: <395> ♀ Atmodiwati / Rubini [Wongsonegoro]
pekerjaan: 1896, Boyolali, Menjadi Kliwon Polisi Boyolali dengan nama Raden Ngabehi Kartowadono
perkawinan: <396> ♀ Citrowati / Siti Kalsum [Tejokusumo]
pekerjaan: 1916, Sukoharjo, Menjadi Kliwon Polisi Kepala di Kabupaten Sukoharjo
wafat: 23 Desember 1929, Surakarta, Solo, Dimakamkan di pemakaman Gedong Obat Kartosuro
perkawinan: <397> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Ayu [Hb.7.36] [Hamengku Buwono VII]
perkawinan: <398> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Yudonegoro II [Hb.7.19] (Bendoro Raden Ayu Cokdrodiningrat) [Hamengku Buwono VII]
pekerjaan: 1 Maret 1912 - Oktober 1933, Patih Kesultanan Yogyakarta
wafat: 1933
perkawinan: <399> ♀ Djauharin Insjiah [Abdussakur] d. 1951
wafat: 15 Oktober 1959, Cimahi
perkawinan: <400> ♀ B. R. A. Catharina Bertha [Catharina Bertha]
perkawinan: <401> ♀ B. R. A. Soerjokoesoemo [Wreksodiningrat]
wafat: 22 September 1934, Klaten
penguburan: 23 September 1934, Astana Girilayu, Karanganyar
wafat: 1882, Surakarta
gelar: 16 Oktober 1906, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo
gelar: 16 Oktober 1906 - 16 Februari 1937, Yogyakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII
perkawinan: <1035!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Retno Puwoso [Pakubuwono X] , Yogyakarta
wafat: 16 Februari 1937, Kulon Progo
penguburan: 18 Februari 1937, Kulon Progo
Setelah bertahta Prabu Suryodilogo, bekerjasama dengan Pemerintah Hindia Belanda, mengadakan beberapa pembaruan dibidang sosial dan agraria. Kemudian ia juga mereformasi bidang pemerintahan dengan mulai menerbitkan rijksblad (semacam lembaran Negara) untuk daerah Pakualaman. Pengertian yang konservatif secara berangsur digantikan dengan pikiran yang modern dan berpandangan luas. Pada 10 Oktober 1921 pengganti Paku Alam VI menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII dan oleh Pemerintah Hindia Belanda diberi pangkat Kolonel tituler. Pembaruan tidak berhenti pada tahun itu tetapi terus berlanjut, terutama dalam penyempurnaan pengelolaan anggaran keuangan. Pemerintah desa pun tidak luput dari pembenahan dan reorganisasi. Status kewarganegaraan penduduk dipertegas dengan membedakan antara warga Negara (kawulo kerajaan/kadipaten) dan bukan warga Negara (kawulo gubermen).
Disamping pemerintahan perhatian Paku Alam VII juga tertuju pada kesenian. Pagelaran wayang orang berkembang dengan baik. Dalam kesempatan menerima tamu-tamu dari luar negeri ia acapkali menjamu mereka dengan wayang orang dan beksan (tari-tarian klasik). Dalam bidang pendidikan ia mengijinkan sekolah-sekolah berdiri di daerah Adikarto (bagian selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang) serta mengadakan sebuah lembaga beasisiwa untuk menjamin kelanjutan studi bagi mampu melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi.
Pada 5 Januari 1909 Paku Alam VII menikah dengan GBRA Retno Puwoso, Putri dari Pakubuwono X, Sunan Surakarta. Seluruh putra-putrinya ada 7 orang. Ketika putra mahkota berkunjung ke Nederland untuk menghadiri pesta perkawinan Putri Mahkota Belanda Juliana dan Pangeran Bernard, Paku Alam mangkat. Ia meninggal pada 16 Februari 1937 dan dimakamkan pada 18 Februari tahun yang sama di Girigondo Adikarto (sekarang bagian selatan Kabupaten Kulon Progo).perkawinan: <403> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Hangger II [Hb.7.33] [Hamengku Buwono VII] , <404> ♀ R. A. Setiopoespito [Setiopoespito] b. 1894? d. 16 Mei 1985
wafat: 16 Januari 1956
penguburan: Imogiri, Bantul
perkawinan: <405> ♀ Raden Ayu Kuspariyah / Gusti Kanjeng Ratu Pakoe Boewono [Pakubuwono]
perkawinan: <406> ♀ G. K. R. Kentjono [Sosrodiningrat]
perkawinan: <407> ♀ R. A. Dojoresmi [Dojoresmi]
perkawinan: <408> ♀ R. A. Dojoningsih [Dojoningsih]
perkawinan: <409> ♀ R. A. Dojosoemo [Dojosoemo]
perkawinan: <410> ♀ R. A. Dojoasmoro [Dojoasmoro]
perkawinan: <411> ♀ R. A. Dojoningrat [Dojoningrat]
gelar: 26 April 1939 - 1945, Surakarta, Raja Kasunanan Surakarta Ke-10 [1939-1945]
wafat: 1945, Surakarta
Riwayat Pemerintahan Nama aslinya adalah Raden Mas Antasena, putra Pakubuwana X yang lahir dari permaisuri Ratu Mandayaretna, pada tanggal 1 Februari 1886. Ia naik takhta sebagai Pakubuwana XI pada tanggal 26 April 1939.
Pemerintahan Pakubuwana XI terjadi pada masa sulit, yaitu bertepatan dengan meletusnya Perang Dunia Kedua. Ia juga mengalami pergantian pemerintah penjajahan dari tangan Belanda kepada Jepang sejak tahun 1942. Pihak Jepang menyebut Surakarta dengan nama Solo Koo.Ia digantikan Pakubuwana XIIperkawinan: <412> ♀ Johanna Adriana Catharina Wilhelmina Meijer [Meijer] b. 15 September 1897
wafat: 25 November 1951, Surakarta
perkawinan: <1302!> ♀ R. A. Soetartinah [Paku Alam III] b. 14 September 1890
wafat: 26 April 1959, Yogyakarta
perkawinan: <891!> ♂ Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) [Paku Alam III] b. 2 Mei 1889 d. 26 April 1959
perkawinan: <1315!> ♀ Raden Ajeng Siti Pailah [Paku Alam III] b. 17 Juli 1902
perkawinan: <414> ♂ Raden Mas Jacobus Soejadi Darmosapoetro [Darmosapoetro]
wafat: 18 September 1975, Semarang
penguburan: Kompleks Gua Maria Kerep, Ambarawa, Semarang
Th. 1906 dengan rekomendasi Romo van Lith dan disetujui ibunda B.R.A. Sasraningrat masuklah Ibu Maria Soelastri ke Europeese Meisjesschool dari Ordo Suster Fransiskanes Kidul Loji Mataram, Yogyakarta.
Dari sejarah keluarga Maria Soelastri ini, dan dari lingkungan dan komunitas keluarga yang banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh pendidikan pada masa itu, tentu menjadi mudahlah bagi kita untuk dapat memahami sifat dan sikap nasionalisme Maria Soelastri yang kental, amat peduli pada rakyat kecil dan berpikiran maju. Perasaannya yang halus dan mudah tersentuh pada penderitaan kaum lemah begitu kuat, yang kemudian mendorong untuk melakukan suatu tindakan nyata bagi orang-orang di sekitarnya. Secara khusus perhatiannya tercurah pada buruh perempuan di pabrik cerutu Negresco dan pabrik gula di Yogyakarta dan usaha untuk mencarikan jalan keluar bagi kesejahteraan dan masa depan mereka. Dari kaum buruh inilah usaha peningkatan derajat dan martabat wanita pada umumnya dan wanita katolik pada khususnya dimulai.
Saat awal didirikannya Poesara Wanita Katholiek – kelak menjadi Wanita Katolik RI – bersama teman-temannya pada tanggal 26 Juni 1924, yang terpilih sebagai ketua pertamanya adalah adik Maria Soelastri, yaitu R.A. Catharina Soekirin Sasraningrat karena R.A. Maria Soelastri bertempat tinggal di Magelang. Terlihat betapa Maria Soelastri ini amat ‘sepi ing pamrih’ (tak punya pamrih atau ambisi pribadi), namun sepak terjangnya dalam membela kaum buruh dan kegigihannya itu membuatnya mendapat julukan ‘singa betina’ yang amat disegani.
Th. 1914 Ibu R.Ay. Maria Soelastri Sasraningrat dipersunting oleh Dokter Hewan R.M. Jacobus Soejadi Darmosapoetro, yang meskipun seorang pegawai negeri dalam pemerintahan tetapi berideologi politik melawan Politik Kapitalis Kolonial.
Ketika Wanita Katolik RI merayakan ulangtahunnya yang ke-50 di tahun 1974, Maria Soelastri menuliskan sebagian dari pengalaman perjuangannya, dengan antara lain menulis :
Sebagai langkah perjuangan yang pertama Ibu (Maria Soelastri – red) menemui pengusaha-pengusaha Belanda dari Pabrik Cerutu dan Pabrik Gula di Yogyakarta yang kedua-duanya juga beragama katolik. Buruh kedua pabrik ini sebagian besar terdiri dari buruh wanita. Pertemuan berlangsung dalam suasana damai. Pembicaraan diadakan dari hati ke hati dengan berpedoman pada Ensiklik-ensiklik Gereja Katolik, antara lain Rerum Novarum dari Bapak Leo ke XIII di Roma dan Quadragesimo Anno dari Paus Pius XI. Sebagai hasil pembicaraan, dengan segera dibentuklah peraturan-peraturan di kedua belah pabrik tersebut untuk perbaikan nasib para buruhnya pada umumnya dan buruh wanita pada khususnya. Langkah berikutnya dari Organisasi Wanita Katolik meliputi kerja sama dengan Usahawan-usahawan Katolik Belanda untuk mengadakan segala macam perbaikan nasib para buruh. … (Maria Soejadi Darmosaputro Sasraningrat, 24-6-1974) – oleh Iswanti, Kodrat yang Bergerak
Kini buah pikiran dan gagasan ibu R.A. Maria Soelastri Soejadi Sasraningrat telah semakin dikembangkan dan diwujud-nyatakan secara meluas. Dari gagasan yang muncul dari seorang perempuan ningrat yang peduli pada kaumnya, dari sebuah tempat ikrar di Kidul Loji, Yogyakarta, kini telah meluas ke seluruh nusantara. Dan gagasan itu semakin dikembangkan oleh srikandi-srikandi masa kini yang mengambil tongkat estafet dari para pendahulunya, namun sampai sekarang gagasan inti tetap tak lekang oleh waktu, tertuang dalam visi misi organisasi Wanita Katolik RI : demi tercapainya kesejahteraan bersama serta tegaknya harkat dan martabat manusia, dengan dilandasi nilai-nilai Injil dan Ajaran Sosial Gereja.
R.A. Maria Soelastri wafat di Semarang tanggal 8 September 1975 dan dimakamkan di Kompleks Gua Maria Kerep Ambarawa (GMKA).perkawinan: <398!> ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Yudonegoro II [Hb.7.19] (Bendoro Raden Ayu Cokdrodiningrat) [Hamengku Buwono VII]
pekerjaan: 17 Maret 1900 - 21 Oktober 1911, Yogyakarta, Pepatih Dalem Kesultanan Yogyakarta bergelar Kanjeng Raden Adipati Danurejo VI
perkawinan: <1310!> ♂ Raden Mas Johannes Soedarto Sosroningrat [Paku Alam III] b. 25 Desember 1895
KAUMAN Islam~c Village bertengger di atas pintu gerbang utama masuk kampung Kauman dari sisi selatan. Di kampung sumpek berpenduduk 4.500 jiwa itulah, lahir Kiai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kampung Kauman di jantung Yog~yakarta hampir sarlla tuanya dengan keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Keraton Y~gyakarta secara resmi ditempati Sultan Hamengku Buwono I pada 7 Oktober 1756, dilengkapi beberapa bangunan penunjang. Masjid Agung, salah satu di antaranya, dibangun di bagian depan keraton, di barat Alun-Alun Utara. Fungsi masjid itu tidak hanya untuk tempat ibadah, melainkan juga untuk keperluan kemasyarakatan lainnya. Masjid itu berada di bawah pengawasan lembaga Kepengulon, sebuah lembaga yang mengurusi urusan keagamaan kerajaan Yogyakarta. Lembaga ini dipimpin oleh seorang penghulu, yang di dalam birokrasi keraton dipegang oleh seorang abdi Bupati Nayaka. Penghulu dan seluruh aparatnya ini disebut dengan Abdi Dalem Pamethakan, abdi dalem putih. Para abdi dalem yang mengurusi masjid ini mendapat fasilitas tanah gaduhan di sekitar masjid tersebut. Tanah seluas 1~2.000 m2 yang digunakan sebagai tempat tinggal para pengelola masjid itu disebut Tanah Pakauman, yang selanjut~ya ~disebut Kauman. Kata Kauman itu berasal dari kata Arab Qoimuddin (~Qoim dan Addin), artinya penegak agama. Dari pendekatan antropologi, masyarakat Kauman, termasuk masyarakat endogami. Sebuah masyarakat y~ang melaksanakan pernikahan dengan orang sekampung. Menurut Drs. Ahmad Adaby Darban, putra Kauman, dosen Sejarah Kauman UGM "Akibat ikatan kea~gamaan dan pertalian darah itu pergaulan sosial lebih intim." Di kampung Kauman itulah lahir Muhammad Darwisy, yan~g kelak dikenal dengan nama Kiai Haji Ahmad Dahlan. Putra Kiai Abu Bakar imam dan khatib Masjid Agung Keraton Yogyakarta, itu sejak 1~910 berusaha memurnikan Islam, m~engembalikan kehidupan agama kepada sumber aslinya, Quran dan Sunah. Secara terbuka, saat itu, Kiai Dahlan memberantas hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam. Misalnya perbuatan menyekutukan Tuhan (syirik), bidah khurafat, melakukan upacara peribadatan yang tidak diajarkan Quran. Salah satu tindakan nyata yang dilakukan Kiai Ahmad Dahlan, waktu itu, adalah memperbaiki arah kiblat yang semula lurus ke barat tapi kemudian dengan mengacu pada ilmu falak dibuat agak condong ke utara 22 derajat. Pembetulan arah kiblat ini dimulai dari Langgar Kidul, milik Kiai Ahmad Dahlan, dengan membuat garis saf. Anjuran pembetulan arah kiblat ini kemudian memberi semangat pada para santrinya untuk membuat garis-garis saf arah kiblat di Masjid Agung Yogyakarta. Akibatnya, sebagai abdi dalem Ketib, Kiai Ahmad Dahlan dinyatakan bersalah, melanggar kewenangannya dan birokrasi, karena Masjid Agung adalah wewenang kesultanan. Kanjeng Penghulu Cholil Kamaluddiningrat, penghulu Masjid Agung, bertambah marah ketika tahu bahwa Langgar Kidul baru saja diubah bangunannya, diluruskan dengan kiblat condong ke utara 22 derajat. Dia memerintah tukang-tukang dengan dikawal polisi Belanda merusak Langgar Kidul. Kiai Ahmad Dahlan sangat terpukul. Gerakan Pembaruan (Tajdid) yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan menjadi mulus setelah empat dari lima langgar yang ada di Kauman itu mengikuti jejaknya. Usaha reformasi lebih lancar lagi setelah Kiai Cholil meninggal 1914, dan diganti oleh Kanjeng Penghulu Muhammad Sa'idu Kamaludiningrat. Kiai Penghulu Sa'idu inilah memberi nama gerakan itu Muhammadiyah, artinya pengikut Nabi Muhammad, 1912. Dan, Kanjeng Penghulu Muhammad Sa'idu menjadi anggota Muhammadiyah dengan nomor stambuk 00001. Lalu, Kiai Penghulu mengizinkan pendopo Pengulon untuk aktivitas gerakan Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan, usaha Muhammadiyah sangat menonjol. Pada 1913 di Kauman lahir sekolah kiai, sekolah yang amat asing bagi masyarakat Kauman saat itu, yang lebih mengenal sistem pesantren. Karena meniru Belanda, Kiai Ahmad Dahlan dituduh kafir dan dicap sebagai Kiai Palus serta 'Kristen Alus'. Tapi, Ahmad Dahlan jalan terus. Pada 1918 juga di Kauman berdiri sekolah tingkat lanjut Al-Qismul Arqo. Sebuah sekolah dengan sistem modern. Sekolah inilah kemudian diubah menjadi Pondok Muhammadiyah, selanjutnya diubah lagi menjadi Kweekschool M~uhammadiyah dan Kweek~school Istri. Karena sekolah yang dise~lenggakan oleh bumiputra tidak dibolehkan memakai nama mirip sekolah Belanda, lalu berubah lagi menjadi Madrasah Mu~alimin Muhammadiyah dan Madrasah Mualimat Muhammadiyah. Da~ri Langgar Kidul itu berm~uculan organisasi kemuhammadiyah. Antara lain, 1917, berdiri organisasi wanita Muhammadiyah, yang diberi Aisiyah. Lalu, 191~7, berdiri organisasi kepanduan Hizbul Wathon, dan 1922, di Dalem Pengulon berdiri pendidikan kanak-kanak yang diberi nama Bus~~tanul A~tfal. Dan tumbuh pula organisasi pencak silat Ci Kauman (1915, yang kemudian bernama Tapak Suci. Kauman sekarang masih merupakan kampung santri dan kampung perjuangan. Di sana ada pengajian malam Selasa yang terkenal. Pengajian itu sudah ada sejak zaman Kiai Ahmad Dahlan, yang dahulu sering dihadiri oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Kauman telah melahirkan empat pahlawan nasional: Kiai H. Ahmad Dahlan, Nyai Ahmad Dahlan, Kiai H. Fachruddin, dan Kiai H. Bagus Hadikoesoemo. Syahril Chili dan M. Ajie Surya
(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1990/12/15/NAS/mbm.19901215.NAS20135.id.html)
KH Kholil & KH. Achmad Dachlan Tahun 1868 – 1910
1868 · Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta dengan nama Muhammad Darwis. Berayahkan K.H. Abu Bakar, seorang Ketib Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. · Darwis kanak-kanak dikenal sebagai memiliki keahlian membuat barang kerajinan dan mainan. Sebagaimana anak laki-laki lain, ia juga memiliki kegemaran bermain layang-layang dan gasing · Saat remaja ia belajar agama Islam tingkat lanjut. Belajar fiqh dari K.H. Muhammad Saleh, belajar nahwu dari K.H. Muhsin, juga pelajaran lainnya didapatkan dari K.H. Abdul Hamid di Lempuyangan dan K.H. Muhammad Nur. · Sebelum haji, jenis kitab yang dibaca Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab Ahlussunnah wal jamaah dalam ilmu aqaid, dari madzhab Syafii dalam ilmu fiqh, dan dari Imam Ghazali dalam ilmu tasawuf.
1883-88 · Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama. Di tanah suci ia belajar kepada banyak ulama. Untuk ilmu hadits belajar kepada Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Selain dengan guru-guru di atas, selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi dengan Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama mukim di di Mekah.
1888 · Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia membelanjakan sebagian dari modal dagang sebesar f 500 (lima ratus gulden) yang diberi ayahnya, untuk membeli buku.
1889 · Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.
1896 · Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai dengan kebiasan yang berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang paling besar Ahmad Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.
1898 · Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di Kauman. Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan itu berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
1900-1910 · Panitia Zakat pertama. · Panitia kurban pertama. · Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal. · Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.
1903 · Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali memperdalam ilmu agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji pertama. Ia belajar fiqh kepada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa’id Yamani, dan Syekh Sa’id Babusyel. Belajar ilmu hadis kepada Mufti Syafi‘I, ilmu falaq pada Kyai Asy’ari Bawean, ilmu qiraat pada Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang terjadi di Indonesia dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
1909
· Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo. Selanjutnya, ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta
1910 · Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab. · Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan anggota Budi Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis. · Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa, bertempat di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran 2,5 m x 6 m, di ia sendiri bertindak sebagai guru. Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali. (http://www.muhammadiyah.or.id/content-154-det-timeline-muhammadiyah.html).
Catatan Hilal Achmar: Masalah arah kiblat ini, sampai tahun 2000-2010 masih menjadi perdebatan, apakah masjid yang tidak tepat mengarah ke Ka'bah, harus dibenarkan atau tidak arah kiblatnya. Saya fikir, memang harus dibenarkan arah kiblatnya, tetapi dengan catatan: 1. Disosialisasikan dahulu kepada masyarakat sekitar Masjid. 2. Masyarakat diberitahu tentang arah kiblat yang benar dengan dasar ilmu yang dapat dimengertinya. 3. Berhati-hati, sehingga tidak menimbulkan konflik. Dibawah ini ada cara penentuan arah kiblat yang akurat dan sederhana, dimana masyarakat akan mengerti, dan menyadari arah kiblat mereka:
KIBLAT Kiblat adalah kata Arab yang merujuk arah yang dituju saat seorang Muslim mendirikan salat. Sejarah
Pada mulanya, kiblat mengarah ke Yerusalem. Menurut Ibnu Katsir,[1] Rasulullah SAW dan para sahabat salat dengan menghadap Baitul Maqdis. Namun, Rasulullah lebih suka salat menghadap kiblatnya Nabi Ibrahim, yaitu Ka'bah. Oleh karena itu beliau sering salat di antara dua sudut Ka'bah sehingga Ka'bah berada di antara diri beliau dan Baitul Maqdis. Dengan demikian beliau salat sekaligus menghadap Ka'bah dan Baitul Maqdis.
Setelah hijrah ke Madinah, hal tersebut tidak mungkin lagi. Ia salat dengan menghadap Baitul Maqdis. Ia sering menengadahkan kepalanya ke langit menanti wahyu turun agar Ka'bah dijadikan kiblat salat. Allah pun mengabulkan keinginan beliau dengan menurunkan ayat 144 dari Surat al-Baqarah: Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan (Maksudnya ialah Nabi Muhammad SAW sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah).[2]
Juga diceritakan dalam suatu hadits riwayat Imam Bukhari:[3] Dari al-Bara bin Azib, bahwasanya Nabi SAW pertama tiba di Madinah beliau turun di rumah kakek-kakek atau paman-paman dari Anshar. Dan bahwasanya beliau salat menghadap Baitul Maqdis enam belas atau tujuh belas bulan. Dan beliau senang kiblatnya dijadikan menghadap Baitullah. Dan salat pertama beliau dengan menghadap Baitullah adalah salat Ashar dimana orang-orang turut salat (bermakmum) bersama beliau. Seusai salat, seorang lelaki yang ikut salat bersama beliau pergi kemudian melewati orang-orang di suatu masjid sedang ruku. Lantas dia berkata: "Aku bersaksi kepada Allah, sungguh aku telah salat bersama Rasulullah SAW dengan menghadap Makkah." Merekapun dalam keadaan demikian (ruku) mengubah kiblat menghadap Baitullah. Dan orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab senang beliau salat menghadap Baitul Maqdis. Setelah beliau memalingkan wajahnya ke Baitullah, mereka mengingkari hal itu. Sesungguhnya sementara orang meninggal dan terbunuh sebelum berpindahnya kiblat, sehingga kami tidak tahu apa yang akan kami katakan tentang mereka. Kemudian Allah yang Maha Tinggi menurunkan ayat "dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu" (al-Baqarah, 2:143).[2]
Hal itu terjadi pada tahun 624. Dengan turunnya ayat tersebut, kiblat diganti menjadi mengarah ke Ka'bah di Mekkah. Selain arah salat, kiblat juga merupakan arah kepala hewan yang disembelih, juga arah kepala jenazah yang dimakamkkan.
Penentuan arah kiblat
Dalam 1000 tahun terakhir, sejumlah matematikawan dan astronom Muslim seperti Biruni telah melakukan perhitungan yang tepat untuk menentukan arah kiblat dari berbagai tempat di dunia. Seluruhnya setuju bahwa setiap tahun ada dua hari dimana matahari berada tepat di atas Ka'bah, dan arah bayangan matahari dimanapun di dunia pasti mengarah ke Kiblat. Peristiwa tersebut terjadi setiap tanggal 28 Mei pukul 9.18 GMT (16.18 WIB) dan 16 Juli jam 9.27 GMT (16.27 WIB) untuk tahun biasa. Sedang kalau tahun kabisat, tanggal tersebut dimajukan satu hari, dengan jam yang sama.
Tentu saja pada waktu tersebut hanya separuh dari bumi yang mendapat sinar matahari. Selain itu terdapat 2 hari lain dimana matahari tepat di "balik" Ka'bah (antipoda), dimana bayangan matahari pada waktu tersebut juga mengarah ke Ka'bah. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 28 November 21.09 GMT (4.09 WIB) dan 16 Januari jam 21.29 GMT (4.29 WIB)
Pranala luar Indonesia) Sensitifnya Arah Kiblat Kiblat Kiblat Qiblah Qiblah in north america Al-Quds About.com Second Year of the Hijra di al-islam.org Menentukan arah kiblat pakai Google Earth di youtube
Catatan ^ (Arab)Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat al-Baqarah. ^ a b (Arab)Al-Qur'an Al-Karim. ^ (Arab)Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari, hadits no. 41 dalam Fath al-Bari.
Kyai Penghulu R. M. Haji Muhammad Cholil Kamaludiningrat digantikan oleh Kiai Muhammad Sangidu/Kiai Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat, yaitu seorang penghulu keraton Yogyakarta sejak tahun 1914 sampai tahun 1940. Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat dikenal sebagai pemegang kartu anggota Muhammadiyah stanboek No. 1, dan juga pendukung gerakan KH. Ahmad Dahlan.
Kiai Penghulu Kanjeng Raden Haji Muhammad Kamaludiningrat mempunyai anak Muhammad Wardan dilahirkan pada tanggal 19 Mei 1911 di Kampung Kauman, Yogyakarta. Dia anak ketiga dari tujuh bersaudara seayah-seibu. Adapun enam saudaranya adalah Umniyah, Muhammad Darun, Muhammad Jannah, Muhammad Jundi, Burhanah dan Wari`iyah. Selain itu, dia juga mempunyai saudara yang berlainan ibu, yaitu Djalaluddin, Siti Salaman dan Siti Nafi`ah. Di lingkungan masyarakat Kauman, keluarga PKRH Muhammad Kamaluddiningrat dikenal sebagai Dani (keluarga) ketib Tengah yang tinggal di wilayah Kauman bagian barat. Sebagai keluarga abdi dalem santri mereka memiliki pusat kegiatan di Langgar Dhuwur. Dengan demikian, Muhammad Wardan secara sosio kultural berasal dari lingkungan keluarga abdi dalem santri.
Foto Insert: Keturunan Kyai Penghulu R. M. Haji Muhammad Cholil Kamaludiningrat, saat silaturahmi Idhul Fithri Tahun 2011wafat: 9 Februari 1916, Mahakeret Manado, Disarekan kembali di Pasarean Hasta Renggo Kotagede Yogyakarta pada Hari Minggu Legi 22 Juli 1990
Pada tahun 1883, BPH. Hadiwijoyo bersama istri dan anaknya, menjemput rombongan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Sekar Kedaton (permaisuri Sultan Hamengku Buwono V) dan putranya Gusti Raden Mas (GRM) Timur Muhammad/Gusti Pangeran Haryo (GPH) Suryengalogo di pelabuhan kapal di Manado, dan mempersilahkan mereka menempati rumah beliau di kampung Pondol. Selama di pengasingan, BPH. Hadiwijoyo ditemani putranya yang bernama RM. Menot. Kemudian disana lahir putra no.6 yang diberi nama RM. Joko Sangkolo. Setelah GPH. Suryengalogo meninggal dunia (1901), GKR. Sekar Kedaton dibelikan rumah oleh Sultan Hamengku Buwono VII sebagai tempat tinggal beliau bersama anak dan cucunya. BPH. Hadiwijoyo sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh GKR. Sekar Kedaton.
Kemudian GRA. Hadiwijoyo kembali ke Yogyakarta sampai dengan wafatnya dan dimakamkan di Pasarean Hasta Renggo Kota Gede Yogyakarta (di luar cungkup). BPH. Hadiwijoyo bersumpah tidak akan kembali ke Yogyakarta sebelum saudara yang memfitnahnya wafat, namun ternyata beliau wafat terlebih dahulu. Setelah sekian lama, akhirnya para anggota Trah Hadiwijoyo (Hadiwijayan) bersepakat untuk memindahkan makam BPH. Hadiwijoyo dari Mahakeret Manado ke Pasarean Hasta Renggo Yogyakarta. Rencana ini terelisasi pada tanggal 21 Juli 1990 dimana sebelumnya makam GRA. Hadiwijoyo dibongkar terlebih dahulu dan disandingkan dengan peti BPH. Hadiwijoyo untuk kemudian secara bersama-sama dimakamkan kembali di dalam cungkup.
Keenam Putra/Putri BPH. Hadiwijoyo adalah: 1. RA. Kustiyah (w.VI.17.1) 2. RM. Sutijo / RM. L. Prawirodipuro / RMW. Hatmodijoyo (w.VI.17.2) 3. RM. Subroto / RM. Dutodiprojo / RM. Rio Projomardowo (w.VI.17.3) 4. RA. Sriyati (w.VI.17.4) 5. RM. Sujono / RM. Menot (w.VI.17.5)
6. RM. Joko Sangkolo (w.VI.17.6)perkawinan: <416> ♀ Bendoro Raden Ayu Jatikusumo [Hb.7.78] (R. A. Soeharsi Widianti) [Hamengku Buwono VII] , Yogyakarta
lahir: 1 Juni 1946 - 1 Maret 1948, Rembang, Panglima Divisi V Ronggolawe
pekerjaan: 1948 - 1949, Jakarta, Kepala Staf TNI Angkatan Darat I
pekerjaan: 1958 - 1960, Singapura, Duta Besar RI untuk Singapura
pekerjaan: 1959 - 1960, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja I
pekerjaan: 1960 - 1962, Jakarta, Menteri Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja II
pekerjaan: 1962 - 1963, Jakarta, Menteri Muda Perhubungan Darat dan Pos, Telegraf dan Telepon Kabinet Kerja III
wafat: 4 Juli 1992
perkawinan: <417> ♂ R. A. A. M. Sis Tjakraningrat [Cakraadiningrat II] d. 24 September 1992
wafat: 10 Juli 1988, Ciputat, Tangerang Selatan
penguburan: Imogiri, Bantul
perkawinan: <418> ♂ Raden Ngabei Djoyosoebroto [Bratadiningrat - Banyumas]
wafat: 1920, Wafat dimakamkan di Pesarean Sentono Asri Kromodjayan di Desa Terusan Mojokerto
perkawinan: <419> ♂ Raden Mas Soerjosoejarso [Mangkunegara V]
wafat: 10 November 2015, Bandung
Kecantikan Gusti Noeroel yang termasyhur ini juga dibarengi dengan kepiawaiannya menari. Suatu kali, di usianya yang masih 15 tahun, Gusti Noeroel diminta datang secara khusus untuk menari di hadapan Ratu Wilhelmina di Belanda. Tarian tersebut dipersembahkan sebagai kado pernikahan Putri Juliana. Menariknya, saat itu rombongan dari Mangkunegaran tidak membawa gamelan untuk mengiringi tarian Gusti Nurul. Tarian itu diiringi alunan gamelan yang dimainkan dari Pura Mangkunegaran dan dipancarkan melalui Solosche Radio Vereeniging, yang siarannya bisa ditangkap dengan jernih di Belanda[4].
Gusti Noeroel juga dikenal sebagai salah satu tokoh yang membidani berdirinya Solosche Radio Vereeniging, stasiun radio pertama di Indonesia.perkawinan: <421> ♀ Raden Ayu Tejoasmoro [Ga.Hb.6.18.1] [?]
perkawinan: <422> ♀ Raden Ayu Doyoasmoro [Ga.Hb.6.18.3] [?]
perkawinan: <423> ♀ Raden Ayu Pujoasmoro [Ga.Hb.6.18.4] [?]
perkawinan: <424> ♀ Roro Aminten [Ga.Hb.6.18.15] [?]
perkawinan: <425> ♀ Raden Ayu Pujohadiresmi [Ga.Hb.6.18.14] [?]
perkawinan: <426> ♀ Raden Ayu Asmorowati [Ga.Hb.6.18.12] [?]
perkawinan: <427> ♀ Roro Pujoningsih [Ga.Hb.6.18.13] [?]
perkawinan: <428> ♀ Roro Pujoasmoro [Ga.Hb.6.18.11] [?]
perkawinan: <429> ♀ Roro Asmorohadi [Ga.Hb.6.18.10] [?]
perkawinan: <430> ♀ Raden Ayu Asmaraningsih [Ga.Hb.6.18.5] [?]
perkawinan: <431> ♀ Raden Ayu Asmorowati [Ga.Hb.6.18.6] [?]
perkawinan: <432> ♀ Raden Ayu Asmororesmi [Ga.Hb.6.18.9] [?]
perkawinan: <433> ♀ Roro Asmaraningdiah [Ga.Hb.6.18.8] [?]
perkawinan: <434> ♀ Raden Ayu Supenaningsih [Ga.Hb.6.18.7] [?]
wafat: 14 Maret 1928
perkawinan: <435> ♀ Rachmawati Ir [Tdk ada Catatan] b. 1938
lahir: 2011, Surakarta
perkawinan: <436> ♂ R Kasdu Sumoatmodjo [R Sumoatmodjo] d. 1973
pekerjaan: MOJOKERTO, Bupati Ridder Mojokerto Th.1894-1916 Lulusan sekolah HBS Surabaya Th.1875
gelar: Atas jasa-jasa R.A.A.Kromodjoyo Adinegoro IV terhadap bidang kepurbakalaan, Pemerintah Belanda pada tahun 1925 memberikan bintang kepadanya dan gelar Ridder In de Orde yan den Nederlandschen Leeuw.
perkawinan: <437> ♂ R Ayu Murtasijah [Mas Ng Reksokusumo]
perkawinan: <929!> ♀ Raden Ayu Katarinah [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan]
wafat: 15 Maret 1934, Mojokerto, Dimakamkan di Pesarean Sentono Asri di ds Terusan, Mojokerto
perkawinan: <438> ♀ Siti Sumari Dra [Tdk ada Catatan] b. 1940
perkawinan: <439> ♀ Muryati [Tdk ada Catatan] b. 1948
Pada tanggal 28 Desember 1901 R. Soekeni menerima besluit untuk di pindah tugas ke kecamatan Ploso di Jombang sebagai Mantri Guru. Lingkungan Ploso pada masa itu masih sangat desa sekali. Selanjutnya pada tanggal 23 November 1907 ia menerima besluit dari Kementrian Pendidikan Kolonial Belanda di Batavia untuk di pindah tugas ke Sidoarjo kota kecil pada waktu itu yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Surabaya.
Pada tanggal 22 Januari 1909 R. Soekeni menerima besluit lagi untuk di pindah tugas ke Mojokerto, selanjutnya di pindah tugas lagi ke Blitar sebagai guru di Normaalschool berdasarkan besluit tertanggal 2 Februari 1915 dari Batavia.
Pada saat ke Jakarta merupakan perjalanan yang terakhir dari R. Soekeni, pada saat itu ia diminta datang ke Jakarta oleh putranya Soekarno untuk melihat kelahiran Cucunya yang pertama Guntur, saat berjalan-jalan menghirup hangatnya udara Jakarta R. Soekeni terjatuh dan sakit keras sampai meninggal pada tanggal 18 Mei 1945.pekerjaan: Jaksa Landrad di Sidoarjo
perkawinan: <441> ♀ Raden Ayu Djamaliah [Ki Abdullah - Batu Ampar - Guluk Guluk - Sumenep]
wafat: 1960, Wafat dimakamkan di Pesarean Gribig Malang.
perkawinan: <442> ♀ 2. Rr Sinta [Hamengku Buwono] b. 12 Agustus 1967, Purwokerto
perkawinan: <444> ♀ R. A. Retno Pradopo [Retno Pradopo]
perkawinan: <445> ♀ R. A. Koeroetien [Koeroetien]
perkawinan: <446> ♀ R. A. Pradoponingsih [Pradoponingsih]
wafat: 1972, Rumah Sakit Panti Kosala, Surakarta
penguburan: Astana Imogiri, Bantul
perkawinan: <226!> ♀ R Ay Siti Chotidjah [R Panji Ronokoesoemo] , <227!> ♀ Mas Ayu Kaminah [Dermoyudo] , <228!> ♀ Mas Ayu Daliyah [Tdk ada catatan] , <549!> ♂ RTA Notodiningrat III / Raden Arya Soleko [Kyai Adipati Nitiadiningrat - Pasuruan] , <229!> ♀ Nyai Tas [Tdk ada catatan] , <230!> ♀ Mas Ayu Sarminah [Dermoyudo]
perkawinan: <453> ♂ Raden Mas Adipati Haryo Hadiningrat / Pangeran Ario Tjondronegoro IV [Demak]
perkawinan: <458> ♀ Raden Ayu Doyoresmi [?]
perkawinan: <459> ♀ Raden Ayu Suryomataram [Gp.Hb.6.9.1] ? (Bendoro Raden Ayu Kusniya) [?] , Surakarta
1.Ibunipun Nyi. H. Ali 2.Nyi Mangku 3.Madnur 4.Toyib
Buku alit punika kaparingan asma PUSTAKA PERDHIKAN. Dipun anggit dinten Jumat Kliwon, 11 Safar 1430 H/ taun JE 1942 utawi 06 Februari 2009 dening R. Muh. Rafi Ananda Basaiban kanti ngempalaken riwayat saha silsilah saking pra turunipun Suwargi KH. Imanadi ugi kanti penyelidikan awujud sumber – sumber kawontenan ing sejarah. Riwayat kakempalaken saking panjenenganipun ;
1.KH. Sayyid R. Salim Al Mator Jatisari 2.Sayyid R. Sugeng Assyamsi Kauman
Buku kacetak kanti sederhana supados saged dipun waos dening pra putra wayahipun KH. Imanadi ingkang mbetahaken. Kagem Pra putra wayah ingkang dereng kaserat wonten ing mriki kersaha nyerat piyambak – piyambak lan kahaturaken dhateng Sayyid R. Muh. Rafi Ananda wonten alamat Jalan Garuda 13 Kebumen Jawa – Tengah. Wasana Buku Pustaka Perdhikan punika sageda manfangati kagem kita sami. Amin.
Buku Pustaka Perdhikan nyariosaken riwayatipun KH. Imanadi saha silsilahipun dumugi putra wayah turunipun.
KH. Imanadi putranipun Pangeran Nurudin / Syekh Nurmadin bin Pangeran Marbut / Syekh Abdurrahman Rawareja. Dipun carioasaken bilih Pangeran Marbut punika salah satunggaling pangeran saking Mataram Kartasura. Pangeran Marbut rayinipun Pangeran Said / Syekh Mursyid Legok. Pangeran Marbut dipun tugasi supados madosi Pangeran Said ingkang langkung rumiyin kesah saking kraton amargi mboten remen kaliyan Walandi ingkang pengaruhipun sampun mlebet wonten keluarga kraton wekdal samanten. Pangeran Marbut lajeng tindak mangilen madosi keng Raka ngantos dumugi kepanggih wonten ing Rawareja. Siti Rawa dados dhusun ingkang reja sak sampunipun Pangeran Said lenggah wonten ing mriku. Sak sampunipun kepanggih kalian keng Raka, Pangeran Marbut lajeng nyuwun dhumateng Pangeran Said kondur dhateng Mataram, ananging Pangeran Marbut malah dipun suwun ndherek merangi Walandi. Pangeran Marbut kagungan satunggal pemanggih kaliyan Pangeran Said, lajeng mboten sios kondur dhateng Mataram lan ndherek keng Raka merangi Walandi. Pangeran Marbut kasuwun supados lenggah wonten Rawareja, dene Pangeran Said lajeng jengkar saking Rawareja supados mboten dipun curigani dening Walandi. Pageran Said tindak mangilen dumugi Legok, lajeng lenggah wonten ing mriku ngatos dumugi sedanipun ( pesarehanipun wonten sak wingkingipun masjid Legok ). Pangeran marbut peputra Pangeran Nurudin / Syekh Nurmadin. Syekh Nurmadin ugi kados dene ingkang rama, tansah nglampahaken syiar Islam kanti mucali ngaos piwulang agami Islam wonten Rawareja lan tansah merangi Walandi, asring kanti dhedhemitan ( gerilya ).
Pangeran Nurmadin Peputra KH. Imam Manadi / Imanadi ingkang sak sampunipun dhiwasa lajeng lenggah wonten ing siti Perdhikan / Keputihan inggih punika siti ingkang merdhika, bebas saking pajeg. Siti punika lajeng kawastan siti Pesucen, ingkang sak terusipun dados dhusun nami Pesucen.
Wonten ing Pesucen KH. Imanadi ugi tansah nerasaken perjuanganipun ingkang Rama lan Eyangipun. KH. Imanadi nglampahaken syiar Islam wonten ing dhusun Pesucen. Panjenenganipun ugi sampun nate tindak dhateng Mekah kagem nglampahi haji lan ngaos Agami Islam, mila ngantos lenggah wonten ing Mekah sawatawis dangu. Sak Konduripun saking Mekah KH. Imanadi dipun dadosaken panglima perang dening Pangeran Dhiponegara kagem wilayah Kebumen lan sak kiwa - tengenipun. Wondene panglima perang pusat dipun asta dening putranipun KH. Nur Iman Mlangi / KGPH. Sandeyo ( antawis taun 1825 – 1830 ).
Kh. Imanadi sanget misuwur dados setunggaling priyantung ingkang Linangkung, tangguh ugi ahli strategi perang, ingkang asring kanti dhedhemitan ( gerilya ), Mila Panjenenganipun mboten gampil dipun cepeng dening Walandi. Walandi ngantos kuwalahan ngadhepi KH. Imanadi. Wonten satunggaling wekdal, KH. Imanadi perang mengsah Walandi wonten sakpinggiring lepen LUKULA / Kali Gending. Panjenenganipun kepepek mboten saged mlajar malih. KH. Imanadi lajeng mlebet wonten ing lepen ( silem ) ngantos dangu mboten katingal. Walandi ingkang sumerep kalangkunganipun KH. Imanadi lajeng kanti sabar madosi turut lepen ngantos dumugi wekasanipun lepen LUKULA. Wonten ing mriku KH. Imanadi lajeng ngetingal lan lajeng dipun cepeng.
Kalangkunganipun KH. Imanadi sanesipun babagan agami, inggih babagan politik, hukum, sosial lan ketatanegaraan ( pemerintahan ), ndadosaken Walandi sanget hormatipun lan sae dhumateng panjenenganipun sanajan wonten ing tahanan.
Ngleresi jaman Adipati Arung Binang IV ( 1833 – 1861 ) ingkang wekdal samanten ngasta pemerintahan Kebumen, wonten satunggaling wekdal sang Adipati pikantuk sasmita “ menawi badhe kiyat pemerintahanipun kedah manggihi lan sesarengan kaliyan KH. Imanadi ingkang wekdal samanten taksih dados tahanan politik. Adipati Lajeng ngedalaken KH. Imanadi saking tahanan lan ndadosaken panjenenganipun Pengulu Landrat I Kebumen. KH. Imanadi kersa dipun dadosaken Pengulu Landrat kanti syarat ingkang dados wakilipun inggih punika KH. Zaenal Abidin Banjursari Buluspesatren ingkang wekdal samanten taksih wonten tahanan amargi dados badalipun KH. Imanadi wekdal merangi Walandi.
Kh Imanadi ngasta dados Pengulu Landrat I Kebumen lan lenggah wonten ing Kebumen. Panjenenganipun mundhut siti sak kilenipun alun – alun Kebumen ingkang sak lajengipun kawastanan kampung Kauman. Siti ingkang pernah Tengah lajeng dipun dadosaken Mesjid ingkang sak mangke dados nami Masjid Agung Kauman Kebumen ( antawis taun 1832 ). Masjid ingkang sepindah dipun damel kanti modhel Joglo inggih punika ngagem 4 saka guru. KH. Imanadi damel saka guru saking kajeng jati ingkang dipun dugikaken saking kabupaten Ambal. Dipun cariosaken bilih adegipun saka 4 punika namung satunggal dalu inggih amargi angsal bantuan saking jin Islam saking Timur Tengah ingkang kawon juritipun kaliyan KH. Imanadi nalika wonten ing Mekah. Jin punika asma Syekh Abdurrahman ingkang katelah ugi Mbah Wangsa. Jin punika nyuwun tumut KH. Imanadi kondur dhateng Kebumen. Panjenenganipun marengaken kanti syarat mboten hangganggu damel sedaya putra wayah lan turunipun.
Sekawan saka guru punika hingga sak punika taksih, ananging sampun dipun biantu cor. Wiwit taun 1832 M dumugi sak punika Masjid sampun dipun renovasi ambal kaping 5. Renovasi paling ageng wonten ing warsa 2005.
Dumugi sak punika Imam Masjid sampun gantos ambal kaping 10, ingkang sedaya taksih kalebet putra wayahipun KH. Imanadi.
KH. Imanadi lenggah wonten Kauman ngantos dumugi sedanipun, ananging lajeng dipun sarekaken wonten pesarean Pesucen Wonosari, mboten sesarengan kaliyan Pangeran Nurmadin ( Ramananipun ) ugi Pangeran Marbut ( Eyangipun ) ingkang sumare wonten ing dhusun Rawareja.
Sak surutipun KH. Imanadi, Pengulu Landrat II dipun asta dening KH. Moh. Alwi ( salah satunggaling putra KH. Imanadi ).
Pengulu Landrat III dipun asta dening KH. Ali Khusen ( Ingkang sak lajengipun dados marasepuhipun KH. Ali Awal ) amargi wekdal samanten pra putra KH. Alwi taksih sanget timur.
Penguli landrat IV dipun asta dening KH. Ali Awal ( salah satunggaling putra KH. Alwi ).
Pengulu Landrat V dipun asta dening Kh. Abdul Fatah ,( amargi pra putra KH. Ali Awal taksih sanget timur )
Pengulu landrat VI / Pungkasan dipun asta dening KH. Abdullah Ibrahim ( putra pembajeng KH. Ali Awal kaliyan garwa ingkang kaping kalih ).
Wiwit taun 1946 Pengulu landrat dipun gantos dados Kantor Urusan Agama ( KUA ). Ingkang ngasta sepindah wonten KUA kebumen inggih punika KH. Efendi.
SILSILAH KH. IMANADI KEBUMEN
Pangeran Marbut / Syekh Abdurrahman ( Pesarehanipun wonten ing Rawareja ) peputra ; Pangeran Nurudin / Syekh Nurmadin ( Pesarehanipun wonten ing Rawareja ) peputra ; KH. Imanadi ( Pesarehanipun wonten ing Pesucen ) peputra ; saking Garwa I ( Pringtutul Rawareja ) 1.Nyi. Warna 2.Kyai Basar Kahfi 3.Moh. Alwi 4.Ali Khusen 5.Zakariya 6.H. Chasan 7.Bafiroh 8.Nyi Yohana
Saking Garwa II ( Putrinipun RA. Kamaludin / Garwanipun Pengulu Kraton Jogja binti BPA. Dipowiyono bin Sinuwun Hamengku Buwana II kaliyan garwa kaping 4 / RA. Erawati ) peputra ;
1.Nyi Jawahir 2.H. Ahmad
Nyi Warna peputra ;
Kyai Basar Kahfi peputra ;
Moh. Alwi ( pesarehanipun wonten ing Pesucen ) peputra ; 1.Ali Awal Kauman 2.Alwi Pesucen 3.Hanawawi Kauman 4.Abdul Fatah
Ali Khusen peputra ; 1.Nyi Ali Awal Kauman ( turunipun mriksani turunipun Ali Awal Kebumen Garwa I ) 2.Munada Prembun peputra : 1.Madrejo / Muh. Ikhsan peputra : 1. Mad Idris 2. Sumowiyoto 3. Datun 4. Kasim peputra : 1. Sumiati 2. Suprapti 3. Ciptadi Prembun peputra : 1. Ayu Muzayyanah 2. Rosi Ruvaida 4. Isni peputra : 1. Nuryaningsih 2. Dewi Anjarsari 5. Chomsiatun peputra : 1. Intan Heri Purwoko 2. Setyo Nugroho 6. Sri Rochimah 7. Sri Rasmini peputra : 1. Sunikmah 2. M. Mudrik As. 3.Bagus Ulinuha 4. M. Habiburrohman 5. M. Ulil Azmi 6. M. Ali Wafa 7. S. U. Sa'adah 8. M. Huda 9. Ayu 10. Afriyani 11. M. Fikri 8. M. Marsudi 9. Siti Jumarni 10. Sarmini peputra : 1. Aji Mustofa 2. S.A. Tsani 3. Fuad 5. Madinah 6. Poniah 7. Sarikem 8. Siti Asiyah
2.Dalil 3.Ardjo Mutofa 4.Saminem Zakariya peputra ; 1.Nyi H. Ilyas Kutoarjo 2.H. Muh. Ilham Suraturunan 3.H. Muh. Aspan Suraturunan 4.H. Muh. Yusuf Kauman
H. Chasan peputra ;
Bafiroh peputra ;
Nyi Yohana peputra ;
Nyi jawahir peputra ; 1.Ali Mustafa peputra ; 1. Sastra 2. H. Muhson 3. Imam Pura 4. Sarbini 5. Dalail 6. Munirah 7. Nyai Madmarja
2.SanMunawar ( Lurah Pesucen ) 3.Nyi Basar Kahfi 4.Nyi Sanmustafa 5.Ali Muntaha peputra ; 1. Muhsin 2. Muhson 3. Muhsonah 4. Munsarip 5. Munisah 6. Mutnginah
6.Mustahal 7.Abdul Anwar ( Siwedi Kutowinangun ) 8.Marjuned ( Banjarnegara ) 9.Nyi Madmurja ( Kenteng Karangsari Kutowinangun ) 10.Nyi Badariyah ( Nyi H. Nawawi ) peputra ; 1. Nyai Carik jetis 2. Nyai Ahmad 3. Nyai Badriyah 4. Haji Masyhud 5. Nyai Trafas 6. Maklum
11.Nyi Ramadipura ( Buluspesantren ) 12.Nyi Satirah 13.Badarudin peputra ; 1. Nyi Ali Tsani Kauman ( Garwa I ) peputra ; 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh
2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
2. Makmun Kauman peputra ; 1. Rokhimah Tasikmalaya peputra ;
2. Kharisoh Rantewringin peputra ; 1. Nurul Kauman 2. Retno Rantewringin 3. Beni 3. Khotmah Tasikmalaya peputra ;
4. Halimah Tasikmalaya peputra ;
5. Honimah Kebumen peputra ; 1. R. Muh. Rafi Ananda / Tuti Khusniati Al Maki 2. Aila Rezannia / Poedjo Raharjo 6. Soimah Kauman peputra ; 1. Arif Hidayat 2. Titin Rahayuningsih 3. Teguh Priyatno 4. Nur Fatmawati 5. Diyah Kurniasari
3. Nyi Maklum Kauman
H. Ahmad peputra ; 1.Ibunipun Nyi. H. Ali 2.Nyi Mangku 3.Madnur 4.Toyib
KH. Ali Awal bin Moh. Alwi kaliyan Garwa I peputra ;
1.Nyi Abdul Manan I ( Sepuh )Kemangguan Alian 2.Kyai Ismail Karanganyar Kebumen 3.Nyi Abdul manan II Kemangguan Alian 4.Nyi Zaenudin Pekeyongan 5.Nyi Hanan Plumbon peputra ; 1. Pengulu Ridwan/ Rilwan peputra ; 1. Rughoyah / Makmun Kauman 2. Rofqoniyah / Kyai Matori Jatisari peputra ; 1. KH. Sayyid R. Salim Al Mator peputra ; 1. Tobagus Muslihudin Aziz 2. Hikmatul Hasanah 3. Maksumah Kurniawati 4. Musyafa Firman Iswahyudi 5. Retno Auliyatussangadah 6. Eta Fatmawati Auliyatul Ummah
2. Songidah peputra ;
3. Sangadatun Diniyah peputra ;
4. Kyai Khumsosi Al Matori peputra ; 1. Siti Khulasoh 2. Siti Fatimah 3. Lukman Zein 4. Anis Siti Karimah 5. Siti Khomsiati 6. Anas Mufadhol
5. H. Makmuri peputra ;
6. Muslim peputra ;
3. Sanusi Prembun peputra ; 1. Sol 2. Salamah Balingasal Prembun
4. Sugeng peputra ;
5. Dulkodir peputra ;
6.Kyai Tohir Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
Kyai Kosim Kedungtawon Kutowinangun peputra ;
KH. Ali Awal kaliyan Garwa II peputra ; 1.KH. Abdullah Ibrahim Kauman ( Pengulu Landrat terakhir ) peputra ; 1. Siti Khotijah / Zaenal Kauman 2. Siti hajatiyah / Mbah Jamaksari Somalangu 3. Ashariyah / Mustofa Banjarnegara 4. Umi Kulsum / Sumbono 5. Maimunah / Ali Siroj ( Purworejo ) 6. Mariyah / Sumbono 7. Hasim 8. Maryatini / Masngudin 9. Johariyah / kagarwa Sururudin, lajeng kagarwa dening Kyai Jamaksari Somalangu 10. Sri Kartini
2.Moh. Soleh peputra ; 1. Yusuf Soleh 2. Taslimah / Daqir Pekeyongan 3. Slamet Soleh 4. Musngidah / Masngud Prembun peputra ; 1. Dalail 5. Makmunah / Tahrir 6.Asyiah / Ngalimun Prembun
3.Siti Khalimah Wanasara / Abdullah sepuh peputra ; 1. Aminah Wanasara peputra ; 1. Muhtar
2. Mutiah Krakal peputra ; 1. Roh
4.H. Ali Tsani Kauman peputra ; Garwa I 1. Siti Khalimah Kauman peputra ; 1. Mutoharoh 2. Chafsoh Pekalongan peputra ; 1. Arifin Pekalongan
Garwa II ( Sayyidah Isti Sangadah binti Sayyid Muh. Fadil bin Sayyid Muh. Zein Solotiang bin Sayyid Muh. Alim Bulus Purworejo ) 1.Mahmud Ali Kauman peputra ; 1. Arif Mustofa
2.Isti Chamidah peputra ; 1. M. Sudjangi 2. Sugeng Assyamsi 3. Abdul Rozak 4. Lukman Hakim 5. Abdus Somad 6. M. Mahfud 7. M. Murtadlo
5.Abdul Wahab peputra ; 1. Moh Alwi Tejasari Kawedusan peputra ; 1. Ikhsan Alwi
2. Syamsi / Isti Chamidah
Khoul KH. Imanadi dipun wontenaken saben tanggal 14 Ruwah wonten ing serambi Masjid Pesucen Wonosari.
Wasana sinigeg semanten kemawon riwayat saha silsilahipun KH. Imanadi. Mugi – mugi handadosaken pepenget saha tuladhanipun khusus dhateng pra dharahipun, dhateng pra kathah umumipun. Amin
Kebumen, 06 Februari 2009 Sayyid R. Muh. Rafi Ananda
http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2009/12/pustaka-perdikan-riwayat-kh-imanadi.htmlperkawinan: <462> ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Joyowinoto [?]
perkawinan: <992!> ♂ Kanjeng Gusti Timur Muhammad Suryengalogo [Hb.5.9] / Raden Mas Muhammad [Hb.3.2.22.1] [Hamengku Buwono V] b. 17 Juni 1855 d. 12 Januari 1901
Persahabatan yang akrab antara Pangeran Kusumoyudo dengn RAA Cokronagoro I dipererat dengan menikahkan putra mereka. Yakni RAA Cokronagoro II dengan salah satu putri Pangeran Kusumoyudo. Dari hasil perkawinan tersebut dikarunia enam orang anak. Selain RAA Cokronagoro III yang menjabat Bupati di Kabupaten Purworejo, adik perempuannya juga dinikahi oleh Raden Adipati Suryo Adikusumo Bupati Wonosobo.
Masa pemerintahan RAA Cokronagoro III tidak begitu lama, berbeda dengan ayah atau kakeknya yang memerintah Kabupaten Purworeji sampai puluhan tahun. RAA Cokronagoro III hanya memerintah selama 11 tahun. Hal itu karena RAA Cokronagoro III sering sakit-sakitan. Akibat fisiknya sangat lemah kemudian RAA Cokronagoro III mengundurkan diri sebagai bupati. Kedudukannya digantikan oleh putra ketiganya, yakni Raden Mas Tumenggung Sugeng yang selanjutnya bergelar RAA Cokronagoro IV.
Ketika RAA Cokronagoro IV memerintah, Pasar Baledono yang direncanakan pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro II sudah mulai tumbuh dan berkembang. Tetapi RAA Cokronagoro III tidak sempat membenahi pasar tersebut karena terlanjur sakit-sakitan. RAA Cokronagoro III mempunyai 14 putra. Sayangnya dari catatan yang ada tidak pernah disebutkan secara pasti berapa istrinya. Masyarakat hanya mengetahui dan mengenal istri RAA Cokronagoro III Raden sepuh Nganten Subur Danuasmoro.perkawinan: <494> ♂ K. R. M. H. Koesoemodjati [Koesoemodjati]