Kanjeng Susuhunan Pakubuwono V / Sunan Sugih (Raden Mas Sugandi) b. 1785 d. 5 September 1823
Dari Rodovid ID
Marga (saat dilahirkan) | Pakubuwono V |
Jenis Kelamin | Pria |
Nama lengkap (saat dilahirkan) | Kanjeng Susuhunan Pakubuwono V / Sunan Sugih |
Nama belakang lainnya | Raden Mas Sugandi |
Orang Tua
♂ Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IV / Raden Mas Subadya (Sunan Bagus) [Pakubuwono IV] b. 2 September 1768 d. 2 Oktober 1820 ♀ Kanjeng Raden Ayu Handoyo / Raden Ayu Adipati Anom (Ratu Kencana) [Cakraningrat] | |
Halaman-wiki | [[1]] |
Momen penting
1785 lahir: Surakarta
kelahiran anak: ♀ Raden Ayu Sekarkedhaton [Pakubuwono V]
kelahiran anak: ♂ Gusti Pangeran Haryo Suryoningrat [Pakubuwono V]
kelahiran anak: ♂ Gusti Pangeran Haryo Sinduseno [Pakubuwono V]
perkawinan: ♀ Raden Ayu Sosrokusumo / Ratu Kencana [Martani]
perkawinan: ♀ Ratu Mas / Kanjeng Ratu Ageng [?]
26 April 1807 kelahiran anak: Surakarta, ♂ Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI / Raden Mas Sapardan (Sinuhun Bangun Tapa) [Pakubuwono VI] b. 26 April 1807 d. 2 Juni 1849
10 Februari 1820 - 5 September 1823 gelar: Surakarta, Bergelar Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwono V
5 September 1823 wafat: Surakarta
Catatan-catatan
Sri Susuhunan Pakubuwana V (lahir: Surakarta, 1785 – wafat: Surakarta, 1823) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1820 – 1823.
Kisah Hidup Nama aslinya adalah Raden Mas Sugandi, putra Pakubuwana IV yang lahir dari permaisuri Raden Ayu Handoyo putri Adipati Cakraningrat bupati Pamekasan. Ia naik takhta pada tanggal 10 Februari 1820, selang delapan hari setelah kematian ayahnya.
Pakubuwana V juga dikenal dengan sebutan Sunan Sugih, yang artinya “Baginda Kaya”, yaitu kaya harta dan kaya kesaktian. Konon, ia pernah membuat keris pusaka dengan tangannya sendiri, bernama Kyai Kaget, yang berasal dari pecahan meriam pusaka Kyai Guntur Geni saat terjadinya pemberontakan orang Cina tahun 1740.
Pakubuwana V juga memerintahkan ditulisnya Serat Centhini berdasarkan pengalaman pribadinya semasa menjabat Adipati Anom. Yang menjadi juru tulis naskah populer ini ialah Raden Rangga Sutrasna.
Pakubuwana V hanya memerintah selama tiga tahun. Ia meninggal dunia pada tanggal 5 September 1823. Raja Surakarta selanjutnya adalah putranya, yaitu Pakubuwana VI, yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional.
SRI SUSUHUNAN PAKUBUWANA V, BUKAN HANYA RAJA dari Karaton Surakarta Hadiningrat, melainkan beliau juga seorang maecenas besar yang pernah dimiliki Indonesia. Meski kekuasaannya berlangsung sangat pendek (1820-1823), namun jasa dan gagasannya terukir panjang. Dari gagasan, dan tentu donasi beliau (yang bahkan telah dimulai ketika masih sebagai putra mahkota bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara ing Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV), lahirlah pada awal abad 19 itu, Suluk Tambangraras yang kemudian lebih dikenal sebagai Serat Centhini. Serat Centhini, ditulis tahun 1815 oleh tiga pujangga Karaton Surakarta. Yakni, Ki Ngabei Ranggasutrasna, Raden Tumenggung Sastranegara, dan Ki Ngabei Sastradipura. Sebagai sebuah karya sastra, memenuhi syarat sebagai sebuah mahakarya yang memiliki pengaruh luas. Sampai banyak orang bisa berkomentar dan menilai, sekali pun sama sekali belum pernah membacanya, sampai hari ini. Begitu hebatnya ia, sampai-sampai karya ini muncul dalam banyak versi. Setidaknya ditengarai ada 12 versi Serat Centhini, dan itu sudah cukup menunjukkan kelasnya. Daerah tebanya begitu luas. Ia mengenai apa saja. Bukan hanya mengenai sastra atau seni, melainkan juga tentang adat-istiadat, obat-obatan, makanan dan minuman (jaman sekarang disebut kuliner), pengetahuan tentang hewan, tanaman, agama, sejarah, dan bahkan tentang seks. Tentang yang terakhir itulah, Serat Centhini antara lain dikenal luas. Karena Serat Centhini-lah karya sastra Jawa pada waktu itu, yang berbicara berterus-terang perihal seks. Penjabarannya, bukan hanya verbal tetapi kadang liar. Dalam Serat Centhini, juga dikisahkan bagaimana terjadi anal seks atau pun praktik homo-seksualitas. Dan bahkan, seks massal,... Pada bagian-bagian yang berkait dengan seks itu, konon Pakubuwana V sendiri yang turun tangan, menulis langsung. Itu terjadi setelah tiga penulisnya dirasa tidak memuaskannya. Tidak nges, dan kurang lugas. Kurang mak nyus, kata almarhum Prof. Dr. Umar Kayam (yang kemudian ditirukan atau dipopulerkan oleh pakar kuliner Bondan Winarno). Maka, Serat Centhini jilid 5 s.d 10 yang ditulis sendiri oleh sang Raja, sebagaimana kemudian bisa dibaca dalam kitab Serat Centhini sekarang ini. Ia mendapat banyak sebutan, sebagai karya korpus, monumental, sastra kanon yang begitu lengkap dan mencengangkan, karena cakupan isinya yang ensiklopedis, gaya bertuturnya, serta ketebalannya. Bayangkanlah, pada abad 19 itu, lahir karya sastra yang secara liris dan intens, ditulis sebanyak 12 jilid, dengan 722 pupuh tembang (jenis puisi Jawa). Satu pupuh tembang, tak jarang terdiri dari ratusan kuplet (bait), bahkan ada beberapa yang mencapai lebih dari 300 kuplet. Dan masing-masing kuplet terdiri antara 6 hingga 12 baris. Bisa dibayangkan, kepiawaian bahasa para penulisnya. Karena masing-masing pupuh tembang diikat oleh guru wilangan (jumlah suku kata yang terukur dan terhitung pasti), dan guru lagu (akhir suku kata masing-masing baris yang baku, untuk mendapatkan pola pantunnya). Karena itu, kata-kata dalam bahasa Jawa yang dipakai para penulisnya begitu lentur karena mengejar rima dan bunyi. Karena itu ketika Serat Centhini itu dilisankan (ditembangkan) siapa pun sepanjang mengetahui cara menyanyikan pupuh tembang itu, Centhini menjadi komunikatif, mudah untuk diapresiasi, dan mudah untuk disosialisasikan. Bahkan terbuka ditafsirkan dan punya kecenderungan bias, karena faktor pendengaran, pengertian, atau ingatan. Hal ini menjadi mudah terjadi, karena tembang sebagai sastra lisan yang jamak dilakukan pada waktu itu, terjadi dalam berbagai bentuk pertemuan banyak orang, ketika berada dalam upacara sunatan, pengantin, atau berbagai pertemuan-pertemuan rutin, yang diselenggarakan oleh berbagai kelompok masyarakat, dalam berbagai waktu dan tempat. Karena itulah Centhini bisa muncul dalam banyak versi. Seperti Centhini Pegon. Centhini Jalalen. Centhini versi Madura. Dan lain sebagainya. Tidak dalam niat menyamakan, demikian pulalah ketika para sahabat Muhammad SAW hendak mengumpulkan hadist nabi, yang tentunya disampaikan secara lisan. Maka ketika hadist itu hendak dikumpulkan dan dituliskan, dibutuhkan para perawi hadis yang sahih, yang bisa menjamin tingkat kebenarannya. Apalagi, untuk kasus penulisan Alquran, yang dilakukan setelah nabi wafat. Demikian pula dengan kasus penulisan Injil, yang ditulis berdasar penuturan sahabat-sahabat Jesus seperti Lukas, Paul, Johannes dan lain sebagainya. Percontohan dalam karya sastra Indonesia, mungkin bisa ditemui pada novel “Para Priyayi” (1992) Umar Kayam, yang pembagian bab-nya ditulis menurut sudut pandang “aku” tokoh-tokohnya. Atau pada lahirnya novel kwarternarius “Bumi Manusia” (1980) Pramoedya Ananta Toer. Yang konon sebelum dituliskan, justeru dilisankan. Didongengkan terlebih dulu kepada sesama napi di Pulau Buru, untuk kemudian baru ditulis. Serat Centhini (1815) berada dalam nasib berbeda, karena ia “hanya” sastra Jawa, yang tentu tidak segawat kasus penulisan kitab agama yang membutuhkan kesahihan dan kecanggihan. Demikian pula, ia bukan sastra teks Indonesia yang “mulia”, yang mempunyai para ahli kritiknya masing-masing. Sehingga perlu ada studi perbandingan atau studi kritis, sebagaimana dialami oleh Umar Kayam atau Pramoedya.
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu
gelar: Dan setrusnya menjadi PANCER dari keturunannya ( Trah Kyai Adipati Nitidiningrat - Pasuruan )
perkawinan: ♀ Garwo Padmi [ Putri Dari Tjakraadiningrat V, Nama Tidak Tercatat ]
gelar: 27 Juli 1751 - 8 November 1799, Pasuruan, Bupati Pasuruan I bergelar Kyai Adipati Nitiadiningrat I
perkawinan: ♀ Ratu Kencana
perkawinan: ♀ Ratu Paku Buwono
perkawinan: ♀ Raden Ayu Retnodiluwih
gelar: 14 Juni 1830 - 28 Juli 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII [1830–1858]
wafat: 28 Juli 1858, Surakarta
perkawinan: ♀ Bendoro Raden Ajeng Ngaisah
gelar: 17 Agustus 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII
wafat: 28 Desember 1861, Surakarta
perkawinan: ♀ Raden Ayu Sekarkedhaton
gelar: 16 Januari 1843, Surakarta, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro III
wafat: 27 Januari 1853, Astana Mangadeg