Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI / Raden Mas Sapardan (Sinuhun Bangun Tapa) b. 26 April 1807 d. 2 Juni 1849
Dari Rodovid ID
Marga (saat dilahirkan) | Pakubuwono VI |
Jenis Kelamin | Pria |
Nama lengkap (saat dilahirkan) | Kanjeng Susuhunan Pakubuwono VI / Raden Mas Sapardan |
Nama belakang lainnya | Sinuhun Bangun Tapa |
Nama lainnya | Pangeran Adipati Ngabehi |
Orang Tua
♂ Kanjeng Susuhunan Pakubuwono V / Sunan Sugih (Raden Mas Sugandi) [Pakubuwono V] b. 1785 d. 5 September 1823 |
Momen penting
26 April 1807 lahir: Surakarta
kelahiran anak: ♀ Gusti Raden Ayu Cokrodiningrat [Pakubuwono VI]
kelahiran anak: ♀ Gusti Raden Ayu Cokrodiningrat [Pakubuwono VI] d. 1882
kelahiran anak: ♀ Gusti Raden Ajeng Sapariyem (Gusti Raden Ayu Cokrodiningrat) [Pakubuwono VI] d. 1882
kelahiran anak: ♀ Raden Ayu Chodidjah [Pakubuwono]
perkawinan: ♀ Ratu Mas [?]
perkawinan: ♀ Ratansari [?]
15 September 1823 - 1830 gelar: Susuhunan of Surakarta
22 Desember 1830 kelahiran anak: Surakarta, ♂ Kanjeng Susuhunan Pakubuwono IX / Pangeran Prabuwijaya (Raden Mas Duksino) [Pakubuwono IX] b. 22 Desember 1830 d. 16 Maret 1893
2 Juni 1849 wafat: Ambon, Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Catatan-catatan
Sri Susuhunan Pakubuwana VI (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 April 1807 – meninggal di Ambon, 2 Juni 1849 pada umur 42 tahun) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1823 – 1830. Ia dijuluki pula dengan nama Sinuhun Bangun Tapa, karena kegemarannya melakukan tapa brata.
Sunan Pakubuwana VI telah ditetapkan pemerintah Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional berdasarkan S.K. Presiden RI No. 294 Tahun 1964, tanggal 17 November 1964.
Asal-Usul Nama aslinya adalah Raden Mas Sapardan, putra Pakubuwana V yang lahir dari istri Raden Ayu Sosrokusumo, keturunan Ki Juru Martani. Ia dilahirkan pada tanggal 26 April 1807.
Pakubuwana VI naik takhta tanggal 15 September 1823, selang sepuluh hari setelah kematian ayahnya.
Hubungan dengan Pangeran Dipanegara Pakubuwana VI adalah pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, yang memberontak terhadap Kesultanan Yogyakarta dan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1825. Namun, sebagai seorang raja yang terikat perjanjian dengan Belanda, Pakubuwana VI berusaha menutupi persekutuannya itu.
Penulis naskah-naskah babad waktu itu sering menutupi pertemuan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro menggunakan bahasa simbolis. Misalnya, Pakubuwana VI dikisahkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau bertapa di Hutan Krendawahana. Padahal sebenarnya, ia pergi menemui Pangeran Diponegoro secara diam-diam.
Pangeran Diponegoro juga pernah menyusup ke dalam keraton Surakarta untuk berunding dengan Pakubuwana VI seputar sikap Mangkunegaran dan Madura. Ketika Belanda tiba, mereka pura-pura bertikai dan saling menyerang. Konon, kereta Pangeran Diponegoro tertinggal dan segera ditanam di dalam keraton oleh Pakubuwana VI.
Dalam perang melawan Pangeran Diponegoro, Pakubuwana VI menjalankan aksi ganda. Di samping memberikan bantuan dan dukungan, ia juga mengirim pasukan untuk pura-pura membantu Belanda. Pujangga besar Ranggawarsita mengaku semasa muda dirinya pernah ikut serta dalam pasukan sandiwara tersebut.
Penangkapan oleh Belanda Patung Pakubuwana VI di keraton SurakartaBelanda akhirnya berhasil menangkap Pangeran Diponegoro pada tanggal 28 Maret 1830. Sasaran berikutnya ialah Pakubuwana VI. Kecurigaan Belanda dilatarbelakangi oleh penolakan Pakubuwana VI atas penyerahan beberapa wilayah Surakarta kepada Belanda.
Belanda berusaha mencari bukti untuk menangkap Pakubuwana VI. Juru tulis keraton yang bernama Mas Pajangswara (ayah Ranggawarsita) ditangkap untuk dimintai keterangan. Sebagai anggota keluarga Yasadipura yang anti Belanda, Pajangswara menolak membocorkan hubungan rahasia Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Ia akhirnya mati setelah disiksa secara kejam. Konon jenazahnya ditemukan penduduk di sekitar Luar Batang.
Belanda tetap saja menangkap Pakubuwana VI dan membuangnya ke Ambon pada tanggal 8 Juni 1830 dengan alasan bahwa Mas Pajangswara sudah membocorkan semuanya, dan kini ia hidup nyaman di Batavia.
Fitnah yang dilancarkan pihak Belanda ini kelak berakibat buruk pada hubungan antara putra Pakubuwana VI, yaitu Pakubuwana IX dengan putra Mas Pajangswara, yaitu Ranggawarsita.
Pakubuwana IX sendiri masih berada dalam kandungan ketika Pakubuwana VI berangkat ke Ambon. Takhta Surakarta kemudian jatuh kepada paman Pakubuwana VI, yang bergelar Pakubuwana VII.
Misteri Kematian Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, ia meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Pada tahun 1957 jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, yaitu kompleks pemakaman keluarga raja keturunan Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jend. TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putra Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle.
Ditinjau dari letak lubang, Pakubuwana VI jelas bukan mati karena bunuh diri, apalagi kecelakaan saat berpesiar. Raja Surakarta yang anti penjajahan ini diperkirakan mati dibunuh dengan cara ditembak pada bagian dahi.
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu
perkawinan: ♀ Ratu Kencana
perkawinan: ♀ Ratu Paku Buwono
perkawinan: ♀ Raden Ayu Retnodiluwih
gelar: 14 Juni 1830 - 28 Juli 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII [1830–1858]
wafat: 28 Juli 1858, Surakarta
perkawinan: ♀ Bendoro Raden Ajeng Ngaisah
gelar: 17 Agustus 1858, Surakarta, Susuhunan Surakarta Ke-VII
wafat: 28 Desember 1861, Surakarta
perkawinan: ♀ Raden Roro Ngaliyah
perkawinan: ♀ Raden Ayu Sosrokusumo
perkawinan: ♀ Raden Ayu Sumoasmoro
perkawinan: ♀ Raden Ayu Gondoasmoro
penguburan: Kartasura, Sukoharjo
wafat: 28 Mei 1944
perkawinan: ♀ Raden Ayu Siti Loewijah
perkawinan: ♀ Gusti Bendoro Raden Ayu Moerjati
pekerjaan: 1 Oktober 1946 - 1 Juni 1948, Yogyakarta dan Magelang, Panglima Divisi III/ Diponegoro
wafat: 17 Maret 1962, Jakarta
perkawinan: ♀ Gusti Raden Ajeng Samsinah (G. R. A. Adipati Sosrodiningrat)
perkawinan: ♀ Raden Nganten Setijoningsih
penguburan: Astana Turiloyo, Surakarta