14.1.1. Maulana Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Djati II) b. 1448 d. 1568 - Keturunan (Inventaris)
Dari Rodovid ID
perkawinan: <1> ♀ 3. Fatimah / Syarifah Baghdad (Nyai Mas Syarifah Panata Pasambangan) [Azmatkhan]
perkawinan: <2> ♀ Nyai Ageng Tepasari / Nyai Ageng Tepanjani [Singasari]
perkawinan: <3> ♀ Nyai Ratu Kawunganten [Pajajaran]
perkawinan: <4> ♀ Nyai Babadan [?] d. 1477, Babadan
perkawinan: <3!> ♀ Nyai Ratu Kawunganten [Pajajaran]
gelar: 1479 - 1568, Sultan Cirebon II (1479-1568)
perkawinan: <5> ♀ Nio Ong Tin / Ratu Rara Sumanding (Ratu Ontin Nio) [Nio] d. 1488
wafat: 1568, Gunung Jati, Cirebon
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.
Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.
Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.
Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.
Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.
Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.
Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.
Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada Pangeran Treggono (setelah Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Nasab lengkapnya sebagai berikut: 23) SUNAN GUNUNG JATI bin 22) Syarif Abdullah Umdatuddin bin 21) Ali Nurul Alam bin 20)Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin 19) Sayyid Ahmad Jalaluddin bin 18) Sayyid Abdullah bin 17) Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin 16) Sayyid Alwi Ammil Faqih bin 15) Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin 14) Sayyid Ali Khali’ Qasam bin 13) Sayyid Alwi bin 12) Sayyid Muhammad bin 11) Sayyid Alwi bin 10) Sayyid Ubaidillah bin 9) Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin 8) Sayyid Isa bin 7) Sayyid Muhammad bin 6) Sayyid Ali Al-Uraidhi bin 5) Imam Ja’far Shadiq bin 4) Imam Muhammad Al-Baqir bin 3) Imam Ali Zainal Abidin bin 2) Imam Al-Husain bin 1) Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti 0) NABI MUHAMMAD RASULULLAH
Władcy Cirebonu
Dynastia muzułmańska
* Nieznani władcy (1478-1527) * Sunan Gunung Dżati (władca Cirebonu w zachodniej części Jawy Zachodniejok. 1527-1570; władca Bantamu ok. 1527-1552) * Ratu (ok. 1570-1649; król (panembahan) od 1639) [prawnuk] * Zależność od Mataramu 1582-1679 * Giri Laja (1649-1662) [wnuk] * Rozpad państwa na cztery pałace (kraton) 1662-1819
Kraton Kasepuhan
* Sepuh I Szams ad-Din (sułtan 1662-1697) [syn] * Sepuh II Dżamal ad-Din (1697-1723) [syn] * Protektorat holenderski 1705/1758-1819 * Sepuh III Salam ad-Din (1723-1734) [syn] * Sepuh IV Tadż al-Arifin Muhammad Zajn ad-Din (1734-1753) [syn] * Sepuh V Muhammad Szams ad-Din (1753-1773) * Sepuh VI (1773-1787) [syn] * Sepuh VII (regent 1781-1787; władca 1787-1791) [brat] * Sepuh VIII (1791-1819; regencja 17791-1792; usunięty, zmarł 1845) [syn] * Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Kraton Kasepuhan 1819
Kraton Kanoman
* Anom I Abu-Manasiri Badr ad-Din (sułtan 1662-1703) [syn Giri Laji] * Hallar ad-Din (1703-1706) [syn] * Protektorat holenderski 1705/1758-1819 * Radża Kusama (1706-1719) * Anom II Abu-Manasiri Muhammad Alim ad-Din (1719-1732) [syn] * Temenggong (Minister) (1732-1744) * Anom III Abu’l-Chajr Muhammmad Chajr ad-Din (1744-1797) [syn Anoma II] * Anom IV Iman ad-Din (1797-1819; usunięty, zmarł 1853) [syn nieślubny] * Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Kraton Kanoman 1819 * Anom Muhammad Nurus (?-198?) * Hadżi Muhammad Dżalaluddin (?-2002) * Muhammad Saladin (2003) * Radża Muhammad Emiruddin (2003-dziś)
Kraton Kaprabonan
* Cirebon I Abd al-Kamil Muhammad Nasr ad-Din (władca (panembahan) 1694-1714) [syn Radży Kusamy] * Protektorat holenderski 1705/1758-1819 * Temenggong (Minister) (1714-1725) * Cirebon II Abd al-Pahur Muhji ad-Din (1725-1731) [syn Cirebona I] * Temenggong (Minister) Secadipura (1731-1752) * Cirebon III Muhammad Tajr Jaridin Sabririn (1752-1773) [syn Cirebona II]
Kraton Kacirebonan
* Kamar ad-Din (władca (pangeran) 1697-1723) * Protektorat holenderski 1705/1758-1819 * Cirebon I Muhammad Akbar ad-Din (sułtan 1723-1734) [syn] * Cirebon II Abu Muharram Muhammad Salih ad-Din (1734-1758) [brat] * Cirebon III Muhammad Harr ad-Din (1758-1768) [syn] * Interregnum 1768-1808 * Cirebon IV (1808-1810) [brat] * Interregnum 1810-1819* Holenderskie Indie Wschodnie podbijają Kraton Kacirebonan 1819
2
31/2 <1+3> ♀ 4.1.1.6. Ratu Winahon / Ratu Winangun [Gunung Jati]perkawinan: <7> ♀ 3.4.1.1.3. Ratu Ayu Kirana [Azmatkhan]
gelar: 1552 - 1570, Sultan Banten I
wafat: 1570, Banten
Kesultanan Banten 1527-183
Wilayah Banten pada masa Maulana Hasanuddin, yang menguasai Selat Sunda pada kedua sisinya Ibukota Surosowan, Kota Intan Bahasa Sunda, Jawa, Melayu, Arab,[1] Agama Islam Pemerintahan Kesultanan
Sultan - 1527-1552 sebagai bawahan Demak - 1552–1570 ¹ Maulana Hasanuddin - 1651–1683 Ageng Tirtayasa Sejarah - Serangan atas Kerajaan Sunda 1527 - Aneksasi oleh Hindia-Belanda 1813
Artikel ini bagian dari seri Sejarah Indonesia
Garis waktu sejarah Indonesia Sejarah Nusantara
Prasejarah Kerajaan Hindu-Buddha Kutai (abad ke-4) Tarumanagara (358–669) Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7) Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13) Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9) Kerajaan Medang (752–1006) Kerajaan Kahuripan (1006–1045) Kerajaan Sunda (932–1579) Kediri (1045–1221) Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14) Singhasari (1222–1292) Majapahit (1293–1500) Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15) Kerajaan Islam Penyebaran Islam (1200-1600) Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521) Kesultanan Ternate (1257–sekarang) Kerajaan Pagaruyung (1500-1825) Kesultanan Malaka (1400–1511) Kerajaan Inderapura (1500-1792) Kesultanan Demak (1475–1548) Kesultanan Kalinyamat (1527–1599) Kesultanan Aceh (1496–1903) Kesultanan Banten (1527–1813) Kesultanan Cirebon (1552 - 1677) Kesultanan Mataram (1588—1681) Kesultanan Siak (1723-1945) Kerajaan Kristen Kerajaan Larantuka (1600-1904) Kolonialisme bangsa Eropa Portugis (1512–1850) VOC (1602-1800) Belanda (1800–1942) Kemunculan Indonesia Kebangkitan Nasional (1899-1942) Pendudukan Jepang (1942–1945) Revolusi nasional (1945–1950) Indonesia Merdeka Orde Lama (1950–1959) Demokrasi Terpimpin (1959–1965) Masa Transisi (1965–1966) Orde Baru (1966–1998) Era Reformasi (1998–sekarang)
Kesultanan Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut. Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan awal
De Stad Bantam, lukisan cukilan lempeng logam (engraving) karya François Valentijn, Amsterdam, 1726[3] Pada awalnya kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.[4]
Selain mulai membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.[5]
Seiring dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana,[6] Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570[7] melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam penaklukkan tersebut.[8]
Pada masa Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.[1]perkawinan: <9> ♂ 12.1.1. Maulana Abdul Qadir (Pati Unus) [Azmatkhan]
perkawinan: <10> ♂ 5.1.1.1. Maulana Sayyid Fathahillah / Pangeran Jayakarta I (Pangeran Pasai) [Pasai]
perkawinan: <11> ♀ Ratu Ayu Nyawa / Ratu Ayu Wulan [Brawijaya V]
gelar: 1528, Cirebon, Adipati Cirebon
3
perkawinan: <13> ♀ Ratu Pucuk UmuN / Nyi Mas Ratu Inten Dewata (Pangeran Istri) [Wretikandayun]
gelar: 21 Oktober 1530 - 1580, Sumedang Larang, Raja Sumedang Larang Ke 9
wafat: 1580c
Sumedang Selatan
Sunan Tuakan digantikan oleh putrinya yang kedua yang bernama Ratu Sintawati alias Nyai Mas Patuakan (1462 – 1530 M) sebagai raja Sumedang Larang ketujuh, Ratu Sintawati menikah dengan Sunan Corenda raja Talaga putera Ratu Simbar Kancana dari Kusumalaya putra Dewa Niskala penguasa Galuh. Dari Ratu Sintawati dan Sunan Corenda mempunyai putri bernama Satyasih atau dikenal sebagai Ratu Inten Dewata setelah menjadi penguasa Sumedang yang kedelapan bergelar Ratu Pucuk Umum (1530 – 1578 M).
Pada masa Ratu Sintawati agama Islam mulai menyebar di Sumedang pada tahun 1529 M. Agama Islam disebarkan oleh Maulana Muhammad alias Pangeran Palakaran putera Maulana Abdurahman alias Pangeran Panjunan. Pangeran Palakaran menikah dengan Nyi Armilah, seorang puteri Sindangkasih Majalengka (versi lainnya dengan Ratu Mertasari puteri Sunan Gunung Jati-Cirebon) dan hasil pernikahan tersebut pada tanggal 6 bagian gelap bulan jesta tahun 1427 saka (+ 29 Mei 1505 M) lahirlah seorang putra bernama Rd. Solih atau Ki Gedeng Sumedang alias Pangeran Santri. Kemudian Pangeran Santri menikah dengan Ratu Pucuk Umum, yang akhirnya Pangeran Santri menggantikan Ratu Pucuk Umum sebagai penguasa Sumedang, Pangeran Santri dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Pangeran Kusumadinata I pada tanggal 13 bagian gelap bulan Asuji tahun 1452 saka (+ 21 Oktober 1530 M), Pangeran Santri merupakan murid Sunan Gunung Jati.
Pangeran Santri merupakan penguasa Sumedang pertama yang menganut agama Islam dan berkedudukan di Kutamaya Padasuka sebagai Ibukota Sumedang Larang yang baru, sampai sekarang di sekitar situs Kutamaya dapat dilihat batu bekas fondasi tajug keraton Kutamaya. Pada tanggal 3 bagian terang bulan srawana tahun 1480 saka (+ 19 Juli 1558 M) lahirlah Pangeran Angkawijaya yang kelak bergelar Prabu Geusan Ulun putera dari Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum. Pada masa pemerintahan Pangeran Santri kekuasaan Pajajaran sudah menurun di beberapa daerah termasuk Sumedang dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten . Pada tahun 1578 tepatnya pada hari Jum’at legi tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578 – 1610) sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda dan mewarisi daerah bekas wilayah Pajajaran, sebagaimana dikemukakan dalam Pustaka Kertabhumi I/2 (h. 69) yang berbunyi; “Ghesan Ulun nyakrawartti mandala ning Pajajaran kangwus pralaya, ya ta sirnz, ing bhumi Parahyangan. Ikang kedatwan ratu Sumedang haneng Kutamaya ri Sumedangmandala” (Geusan Ulun memerintah wilayah Pajajaran yang telah runtuh, yaitu sirna, di bumi Parahiyangan. Keraton raja Sumedang ini terletak di Kutamaya dalam daerah Sumedang) selanjutnya diberitakan “Rakyan Samanteng Parahyangan mangastungkara ring sira Pangeran Ghesan Ulun” (Para penguasa lain di Parahiyangan merestui Pangeran Geusan Ulun). “Anyakrawartti” biasanya digunakan kepada pemerintahan seorang raja yang merdeka dan cukup luas kekuasaannya. Dalam hal ini istilah “nyakrawartti” maupun “samanta” sebagai bawahan, cukup layak dikenakan kepada Prabu Geusan Ulun, hal ini terlihat dari luas daerah yang dikuasainya, dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat.perkawinan: <33!> ♂ 4.1.1.3.1. Pangeran Agung / Panembahan Ratu I (Pangeran Emas) [Gunung Jati II]
perkawinan: <37!> ♂ Pangeran Sedang Kemuning / Pangeran Suwarga (Pangeran Pakungja) [Gunung Jati II]
wafat: 1585
4
431/4 <13+?> ♂ 2.1.1.1. Raden Aryawangsa / Sultan Muhamad Wangsa Adipati Pakuan [Azmatkhan]Sebagian riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik ipar beliau) sebagai penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunan beliau selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang putra beliau Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga paman beliau sendiri karena Ibunda beliau adalah kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut diatas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah beliau wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan oleh putra dan cucu beliau para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan di zaman Sultan Ageng Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam ,sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.- Silsilah KiAgeng Penjawi adalah sebagai berikut:Raja Brawijaya V berputra Raden Bondan Kejawan. Raden Bondan Kejawan mempunyai tiga putra yang bungsu putri bernama Rara Kasihan diperistri Ki Ageng Ngerang. Pasangan antara Ki Ageng Ngerang dengan Rara Kasihan ini menurunkan dua putra orang yaitu Ki Ageng Ngerang II dan seorang putri (diperistri Ki Ageng Sela). Ki Ageng Ngerang II mempunyai putra empat yaitu Ki Ageng Ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V, dan Pangeran Kalijenar. Ki Ageng Ngerang III mempunyai putra bernama Penjawi.
- Silsilah Ki Ageng Pemanahan sebagai berikut : Putra Raden Bondan Kejawan yang nomor dua bernama Ki Ageng Getas Pandawa. Ki Ageng Getas Pandawa berputra Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela berputra Ki Ageng Enis. Ki Ageng Enis menurunkan putra bernama Pemanahan.
- Silsilah Ki Jurumertani sebagai berikut : putra Raden Bondan Kejawan yang tertua adalah Ki Ageng Wanasaba. Ki Ageng Wanasaba berputra Pangeran Made Pandan I. Pangeran Made Pandan I berputra Ki Ageng Pakringan yang mempunyai isri bemama Rara Janten. Dari pasangan ini mempunyai empat putra yaitu Ageng Nyai Laweh, Nyai Manggar, Putri, dan Jurumertani.
'Pangeran Jayakarta alias Sungerasa adalah nama seorang penguasa kota pelabuhan Jayakarta, yang menjabat sebagai wakil dari Kesultanan Banten. Kekuasaan Banten atas wilayah ini berhasil direbut oleh Belanda, setelah Pangeran Jayakarta dikalahkan oleh pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei 1619.
Asal-usul
Asal-usul Pangeran Jayakarta masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta. Menurut Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17 (yaitu sesudah Sajarah Banten, 1662/3), Pangeran Jayakarta atau Jayawikarta adalah putra Tubagus Angke dan Ratu Pembayun, puteri Hasanuddin, anak Sunan Gunung Jati.
Menurut Adolf Heukeun SJ dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II, silsilah ini tidak sesuai dengan sumber-sumber sekunder lain karena sumber-sumber yang digunakan oleh hikayat mengandung banyak cerita dongeng.[1]
Peran politik di Banten
Pada tahun 1596 Pangeran Muhammad, penguasa Banten ketiga, gugur waktu menyerang Palembang. Putera satu-satunya ialah Abdul Kadir, yang baru berusia lima bulan. Maka dipilihlah seorang mangkubumi yang sekaligus menjadi wali putera itu. Tetapi mangkubumi ini wafat pada tahun 1602. Maka ibu putra mahkota menjadi wali dan menikah dengan mangkubumi yang ketiga. Karena ayah tiri disayang putera mahkota Banten dan dihormati rakyat, maka para pangeran menjadi iri dan memberontak. Pangeran dari Jayakarta datang dengan banyak bawahannya sehingga pemberontak mengalah dan berdamai.perkawinan: <18> ♀ 3. Nyimas Cukang Gedeng Waru [Pajajaran]
perkawinan: <19> ♀ Ratu Harisbaya [Cirebon]
perkawinan: <20> ♀ Nyi Mas Pasarean [Pajajaran]
gelar: 1578 - 1610, Prabu Sumedang Larang Ke 9
wafat: 1610
Generasi ke-1
1 Pangeran Santri KOESOEMADINATA, I , (Ki Gedeng Sumedang) 1X Ratoe Poetjoek Oemoen ., (NM. Ratoe Dewi Ratoe Inten Dewata. NM. Ratu Satyasih) 1.1 Pangeran Geusan Oeloen KOESOEMADINATA, II. 1.2 Dmg. Rangga Dadji . 1.3 Dmg. Watang . 1.4 Santoan Wirakoesoemah . 1.5 Santoan Tjikeroeh .1.6 Santoan Awi Loear .
perkawinan: <21> ♀ Ratu Pembayun [Sultan Hadiwijaya]
gelar: 1570 - 1649, Sultan Cirebon IV (1568-1649)
pekerjaan: Cirebon, Sultan Cirebon III ( 1589 - 1649 )
wafat: 1649, Cirebon
wafat: 1596, Palembang
wafat: 1653, Putri Panembahan Ratu (Sultan Cirebon Ke 4 setelah Sunan Gunung Jati)
Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro dari tulisan Sartono Kusumaningrat (http://www.tembi.org/majalah-prev/ratu.htm)
Sunan Amangkurat Agung adalah putra kesepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan merupakan putra kedua dari permaisuri kedua yang bernama Raden Ayu Wetan. Permaisuri pertama Sultan Agung Hanyakrakusuma bernama Kanjeng Ratu Kulon (Ratu Emas Tinumpak). Permaisuri pertama ini setelah melahirkan putranya yang diberi nama Raden Mas Sahwawrat diusir dari kraton dan tempatnya digantikan oleh permaisuri kedua. Setelah permaisuri pertama meninggalkan kraton, permaisuri kedua diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Kulon.
Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin kemudian diberi nama Jibus dan Rangkah ( yang berarti 'semak berduri', 'tutup batas'). Sebagai putra mahkota secara resmi ia diberi nama Pangeran Aria Mataram. Raja ini juga dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga, Susuhunan Tegalwangi, dan Sultan Plered. Sering pula ia disebut dengan nama Tegalwangi saja. Ia diberi nama Tegalwangi karena meninggal di Tegalwangi (daerah Tegal, Jawa Tengah) dalam pelariannya karena penyerbuan Trunajaya.
Raja ini pulalah yang memindahkan kratonnya dari Kerta ke Plered tidak lama setelah ia menerima tampuk pimpinan pemerintahan. Usaha pemindahan kraton itu sendiri sebenarnya telah dimulai sejak 26 Januari 1648 semasa Sultan Agung masih memegang pemerintahan.
Amangkurat Tegalwangi pernah menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit / Raden Mas Alit (putra kedua Kanjeng Ratu Kulon) yang mendapat dukungan kaum ulama Mataram. Menurut cerita tutur pemberontakan Pangeran Alit terjadi karena hasutan Tumenggung Pasingsingan (pengasuh Pangeran Alit) dan anaknya yang bernama Tumenggung Agrayuda. Kedua tumenggung itu mengobarkan nafsu Pangeran Alit untuk menjadi raja dan mereka menjamin bahwa separuh Mataram berpihak kepadanya. Akan tetapi pemberontakan Pangeran Alit tidak berhasil karena rencananya terburu diketahui oleh pihak Amangkurat Tegalwangi. Pangeran Alit sendiri tewas oleh karena tergores oleh kerisnya sendiri yang beracun.
Untuk membalas dendam atas dukungan kaum ulama Mataram terhadap adiknya yang memberontak itu, Amangkurat memerintahkan empat orang kepercayaannya untuk melakukan sapu bersih kaum ulama. Empat orang kepercayaannya itu adalah Raden Mas atau Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta (Tumenggung Pati), Tumenggung Suranata (Tumenggung Demak)., dan Kiai Ngabei Wirapatra. Dalam tragedi ini sebanyak 5-6 ribu orang ulama tewas dibantai secara mengerikan.5
821/5 <49> ♂ 4.1.1.3.1.1.1. Pangeran Adipati Anom / Pangeran Adipati Carbon (Pangeran Sedang Gayem) [Gunung Djati II]Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.[rujukan?]
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.[rujukan?]perkawinan: <22> ♀ 3. Nyi Tanduran Ageung [Talaga]
IV. Prabu Munding Surya Ageung ( Raja Maja )
Menurut Sejarah Panjalu Ciamis, Prabu Munding Surya Ageung adalah ayah dari Rd.Ranggamantri/Parunggangsa ( Raja Maja terakhir ). Rd. Ranggamantri selanjutnya menikah dengan Ratu Dewi Sunyalarang ( Ratu Parung - 1500 M ) putra Sunan Parung /Batara Sakawayana ( Raja Talaga – 1450 M ) dan akhirnya merangkap sebagai Raja Talaga terakhir. Diislamkan oleh Syarif Hidayatullah tahun 1529 M, Rd. Ranggamantri/Parunggangsa diberi julukan “ Pucuk Umum “.
Rd. Ranggamantri ( + 1530 M ) mempunyai 3 orang putra, yaitu :
- Prabu Haurkuning
Prabu Haurkuning adalah Pendiri Kerajaan Galuh Pangauban. Beliau mempunyai 3 orang putra, yaitu :
- Maharaja Upama, menggantikan ayahnya sebagai Raja Galuh Pangauban di Putra Pinggan.
- Maharaja Cipta Sanghiang, menjadi raja di Galuh Salawe ( daerah Cmaragas Sekarang ). Maharaja Cipta Sanghiyang, mempunyai 3 orang putra, yaitu :
- Nyi Tanduran Ageung, beliau adalah isteri Pangeran Rangga Permana putra Prabu Geusan Ulun yang mendirikan Kerajaan Galuh Kertabumi ( Raja Galuh Kertabumi 1585 – 1602 M ). Menurut catatan Rd. Yusuf Suriadiputra ( Bupati Ciamis 1954 – 1958 M ) salah satu keturunan Rd. Wirasuta ( Bupati Karawang pertama ) bahwa Nyi Tanduran Ageung mendapatkan wilayah sebelah Timur alun-alun Ciamis sekarang meliputi Kec. Ciamis, Cijeungjing (Bojong ), Rancah, distrik Banjar sampai ke sebelah Selatan.
Pangeran Rangga Permana ( Prabu di Muntur ) dengan Nyi Tanduran Ageung berputrakan 2 orang yaitu :
- Maraja Cipta ( Adipati Kertabumi II ), beliau adalah mertua Adipati Panaekan ( Bupati Nagara Tengah ).
- Rd. Kanduruan Singaperbangsa ( Adipati Kertabumi III ), beliau yang menurunkan para Bupati Galuh Kertabumi/ Ciancang, yaitu sbb :
- Rd.Adipati Singaperbangsa II atau Rd. Pagergunung dan disebut Adipati Kertabumi IV ( 1618 – 1641 ). Putra Adipati Kertabumi III.
- Kanduruan Singaperbangsa III ( Adipati Kertabumi V ) ( (1641– 1654 ).
- Rd. Wirasuta disebut Mas Galak atau Kanduruan Singaperbangsa IV (1654 – 1656 ), Bupati Galuh Kertabumi terakhir, kemudian pindah ke Karawang menjadi Bupati Karawang 1 dengan gelar Dalem Panatayuda I ( 1679 – 1721 ) putra 2
- Rd. Candramerta ( 1676 - 1681 ) putra 3
- Rd. Jayanagara ( 1681 – 1683 ) putra 4
- Rd. Puspanagara ( 1683 – 1685 ) putra 4
- Panembahan Wargamala ( 1685 – 1700 )
- Dalem Candranagara ( 1700 – 1714 ) putra 4
- Nyi Rd. Ayu Rajakusumah ( Bupati Istri ) ( 1714 – 1718 ) putra 8
- Dalem Kertayana/ Dalem Wiramantri I ( 1718 – 1736 ) suami Nyi Rd. Ayu Rajakusumah.( menantu 8 )
- Dalem Wiramantri II ( 1736 – 1762 ) putra 10
- Dalem Wiramantri III ( 1762 – 1787 ) putra 11
- Dalem Wiramantri IV ( 1787 – 1803 ) putra 12 ( Kabupaten Utama ).
- Rd. Demang Wirantaka ( 1803 – 1811 ) putra 13 Bupati terakhir
Pada tahun 1811 Kabupaten Utama – Ciamis – Banagara disatukan menjadi satu Kabupaten Ciamis, sampai dengan sekarang.
Keterangan : * ).Karena pada tahun 1679 M daerah Karawang dijadikan Kabupaten, maka beliau yang menjadi Bupati Karawang pertama (1679 – 1721 M ) dengan gelar Dalem Panatayuda I. Beliaulah yang menurunkan para Bupati Karawang sebagai berikut :
1. Dalem Panatayuda II ( 1721 – 1732 ). 2. Dalem Panatayuda III ( 1732 – 1752 ). 3. Rd. Apun Balon /Dalem Panatayuda IV ( 1752 – 1783 ). 4. Rd. Singasari /Dalem Panatayuda V ( menantu 3 ) ( 1783 – 1809 ).
Dalem Panatayuda V pada tahun 1809 dipindahan menjadi Bupati Brebes dengan gelar Dalem Singasari Panatayuda I, putranya Rd. Sastrapraja ( Demang Karawang ) menjalankan pemerintahan Kab. Karawang sampai kekosongan Bupati diisi oleh Dalem Surialaga II ( 1811 – 1813 M ) putra Dalem Surialaga I ( Bupati Sumedang ).
Sejak tahun 1813 – 1821 M pemerintah tidak mengangkat Bupati di Karawang, dan daerah Karawang dipegang oleh RA Sastradipura. Baru ada tahun 1821 M Kabupaten Karawang didirikan kembali sampai dengan sekarang.perkawinan: <23> ♂ Raden Dipati Oekoer / Adipati Wangsanata (Wangsataruna) [Pajajaran]
perkawinan: <24> ♀ 6. NM. Kokom Ruhada (Nyimas Roro / Buyut Lidah) [Pajajaran]
perkawinan: <186!> ♀ 1.5.1.1. NM. Romlah [Sumedang Larang]
gelar: 1625 - 1633, memerintah di Canukur, Sukatali - Situraja lalu dipindahkan ke Parumasan, Conggeang, Naik Tahta pada usia 45 tahun, karena didahului oleh Raden Aria Suradiwangsa. Adipati Sumedang II
Daftar isi |
PANGERAN RANGGA GEDE
Pasca Prabu Geusan (Rd. Angka Wijaya), bentuk pemerintahan Kerajaan berubah menjadi Kabupatian karena pengaruh dari intervensi dan ekspansi Kesulltanan Mataram. Karena Prabu Geusan Ulun mempunyai dua putra mahkota yaitu Pangeran Rangga Gede dan Pangeran Soeriadiwangsa.
Pangeran Rangga Gede putra pertama dari Prabu Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya) dan Ratu Cukang Gedeng Waru, memerintah di Canukur, Sukatali - Situraja lalu dipindahkan ke Parumasan, Conggeang.
Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri ke 2 dan memiliki 3 orang anak salah satunya bernama Soeriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata III, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki 12 anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata IV, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh ke dua putranya diatas.
Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram - Jawa Tengah dibawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatarbelakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Soeriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.
Setibanya di Mataram beilau menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I, penghargaan lain dari Sultan Agung menjuluki wialayah kekuasaan Sumedang dengan nama Prayangan artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus, di kemudian hari dengan lafal setempat nama prayangan berubah menjadi Priangan, berbeda dengan kata Parahiangan (Para-Hyang-an) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).
Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri dibawah pretensi / proteksi Mataram :
- Hanya Kesultanan Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten.
- Ratu Harisbaya merupakan kerabat Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa / Rangga Gempol I).
- Seperti halnya Sumedang Larang, Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan.
- Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran.
- Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon.
- Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit diantara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi.
Catatan : Kesultanan Banten, Cirebon dan Mataram sangat kuat pada masa itu, karena mereka memiliki pantai-pelabuhan tempat berbagai kegiatan bukan hanya perdagangan tetapi juga masuknya persenjataan modern ukuran masa itu, Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ± 30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol IV (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda.
Soeriadiwangsa / Kusumadinata III / Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi propinsi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede, tidak berapa kemudian beliau mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura. Wilayah kekuasaannya dititipkan kepada Rangga Gede karena putra-putranya belum ada yang dewasa.
Beliau berhasil menaklukkan Sampang Madura namun tidak berapa lama sekembalinya ke Mataram malah beliau dijatuhi hukuman mati oleh Sultan Agung akibat fitnah dari Bupati Purbalingga.
Mendengar saudaranya telah dihukum mati. Rangga Gede mengambil-alih dan mempersatukan wilayah titipan dengan wilayah miliknya, berarti Sumedang Larang kembali keluas asalnya, salah satu putra Soeriadiwangsa / Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa menuntut kembali wilayah kekuasaan ayahnya namun tidak ditanggapi, akhirnya ia pergi dan meminta bantuan Sultan Banten.
Mulailah pemerintahan Pangeran Rangga Gede (Pangeran Kusumadinata IV) baik sebagai Bupati Sumedang maupun sebagai Bupati Wadana Prayangan (Priangan) dari tahun 1625 sampai tahun 1633, dibawah pengaruh Mataram dan terdapat berbagai perubahan baik struktur organisasi dan pengenalan nama jabatan antara lain Bupati, Wadana, Kabupaten (dari Ka-Bupati-an), termasuk nama Sumedang Larang menjadi Sumedang saja tanpa Larang, juga berbagai gelar kepangkatan, dalam silsilah dianggap sebagai Bupati Sumedang ke 4.
Beberapa waktu kemudian terjadilah intervensi Kesultanan Banten akibat pengaruh Rd. Kartajiwa (Soeriadiwangsa 2) putra Dipati Aria Soeriadiwangsa (Rangga Gempol 1) yang ingin memperoleh kembali haknya, beberapa wilayah Sumedang ditaklukan dan dikuasai Banten. Karena dianggap tidak mampu menghadapi serangan Banten akhirnya Rangga Gede dipecat oleh Sultan Agung dan dipenjarakan di Mataram.
Jabatan beliau sebagai Bupati Wadana Prayangan dicopot dan diserahkan kepada Dipati Ukur yang memindahkan pusat pemerintahan ke Daerah Ukur (Bandung sekarang) dengan misi pertama mengusir tentara Kesultanan Bamten dari wilayah Priangan. Setelah berhasil mengusir Banten misi kedua adalah menyerang Batavia namun misi kedua ini gagal dan Dipati Ukur tidak berani pulang ke Mataram. Oleh Sultan Agung tindakan Dipati Ukur dianggap desersi dan harus dihukum berat, namun tidak ada yang sanggup menangkap Dipati Ukur yang terkenal gagah berani serta memiliki sisa-sisa pasukan yang kuat.
Akhirnya Sultan Agung membebaskan Rangga Gede dari hukuman dan memberi tugas menangkap Dipati Ukur hidup atau mati, namun tugas tersebut tidak dapat terlaksana karena beliau keburu meninggal dunia sewaktu pusat pemerintahannya di Parumasan - Conggeang dan Pangeran Rangga Gede dimakamkan Jalan Panday Desa Regol Wetan Kecamatan Sumedang Sekatan.
Sedangkan Dipati Ukur sendiri akhirnya dapat ditangkap hidup-hidup oleh Bahureksa salah satu panglima perang Mataram akibat pengkhianatan beberapa pengikutnya, dibawa ke Mataram dan dihukum mati disana.
Tidak ada keterangan siapa dan berapa jumlah istri Rangga Gede hanya tercatat beliau memiliki 29 orang anak, oleh karenanya penulis membahasnya dibawah tulisan ini.
Pemerintahan Kabupaten Sumedang selanjutnya dipegang oleh salah seorang putra Rangga Gede yang bernama Raden Bagus Weruh yang kemudian bergelar Pangeran Rangga Gempol II sebagai Bupati Sumedang ke 5 dari tahun 1633 sampai tahun 1656, dan terjadi lagi pemindahan ibu-kota dari Canukur ke Kampung Sulambitan Kelurahan Regol Wetan Kecamatan Sumedang Selatan, berbeda dengan pendahulunya beliau bukan Bupati Wadana sebagai akibat peristiwa Dipati Ukur karena dalam masa awal pemerintahnya terjadi pemecahan wilayah di Prayangan / Priangan oleh Mataram menjadi empat Kabupaten yang sejajar kedudukannya yaitu Kabupaten Parakan Muncang, Bandung, Sukapura dan Sumedang sendiri, berarti wilayah Kabupaten Sumedang menjadi kecil hanya seperempat dari wilayah semasa Prabu Geusan Ulun, maksud pemecahan ini adalah penghargaan terhadap 3 orang bekas pengikut Dipati Ukur yang membelot dan ikut serta dalam operasi pengejaran serta penangkapan Dipati Ukur oleh Bahureksa dan masing-masing diangkat sebagai Bupati juga dalam rangka persiapan penyerangan ke Batavia untuk yang ketiga kalinya, namun tidak terwujud karena Sultan Agung keburu meninggal dunia.
SEKILAS SEJARAH PEMERINTAHAN PADA MASA RANGGA GEDE
Daerah Galuh yang sudah ditaklukan terlebih dahulu oleh Mataram pada tahun 1595. Selanjutnya Sultan Mataram membagi-bagi wilayah Priangan, yang dalam sumber-sumber Belanda disebut Westerlanden, menjadi kabupaten-kabupaten yang masing-masing dikepalai oleh seorang bupati.
Untuk mengawasi serta mengkoordinasikan para bupati ini, salah seorang bupati yang dianggap terkemuka atau cukup berpengaruh diangkat menjadi wedana bupati. Wedana bupati per-tama adalah Rangga Gempol I (1620 -1625 M), yang kedua adalah Dipati Ukur (1625 - 1629 M), dan yang terakhir adalah Pangeran Rangga Gempol II (1641 - 1656 M).
Setelah yang terakhir ini, jabatan wedana bupati dihapuskan dan selanjutnya para bupati bertanggung jawab langsung kepada Sultan Mataram.
Adapun berpindahnya jabatan Wedana Bupati dari Rangga Gempol I (Rd. Aria Soeriadiwangsa) kepada Dipati Ukur, bermula dari perintah Sultan Mataram kepada Rangga Gempol I untuk membantu menaklukkan daerah Sampang, Madura.
Jabatan sebagai penguasa Sumedang diserahkan kepada kakak tirinya, yaitu Rangga Gede. Oleh karena Rangga Gempol I meninggal, putranya, yaitu Aria Soeriadiwangsa II (Rd. Kartadjiwa), menuntut haknya atas tahta Sumedang. Rangga Gede menolak sehingga Aria Soeriadiwangsa II (Rd. Kartadjiwa) meminta bantuan Sultan Banten untuk merebut kekuasaan dengan janji, ia akan tunduk kepada Kesultanan Banten.
Permintaan ini dipenuhi oleh Sultan Banten karena dukungan Sumedang diperlukan dalam menghadapi persaingan dengan Mataram.
Rangga Gede ternyata tidak mampu menahan serangan Banten. Ia kemudian dipanggil ke Mataram dan ditahan di sana. Jabatan wedana bupati kemudian diserahkan kepada Dipati Ukur dari Tatar Ukur karena ia menyanggupi membantu merebut Batavia dari VOC. Ternyata usaha Dipati Ukur gagal. Ia ditangkap tentara Mataram dan dihukum di Mataram. Jabatan wedana bupati diserahkan kembali kepada Rangga Gede.
Untuk mengembalikan stabilitas politik yang terganggu akibat peristiwa Dipati Ukur, Sultan Mataram melakukan reorganisasi wilayah Priangan antara tahun 1641 dan 1645 M.
Wilayah kekuasaan Dipati Ukur yang meliputi Sumedanglarang dahulu, yaitu Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan mungkin Cianjur dibagi menjadi 4 kabupaten yaitu : Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung pada tahun 1641 M.
Daerah Galuh kemudian dipecah-pecah menjadi Bojonglopang, Imbanagara, Utama, Kawasen dan Banyumas. Selain itu, di Krawang dibangun koloni-koloni yang penduduknya didatangkan dari Jawa. Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, putranya yaitu Sunan Amangkurat I meneruskan reorganisasi wilayah barat. Daerah itu dibagi menjadi dua belas ajeg yaitu : Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Krawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Galuh), Sekace, Banyumas, Ayah, dan Banjar.
Kekuasaan Mataram atas Priangan berakhir dengan adanya perjanjian 19-20 Oktober 1677 dan 5 Oktober 1705, antara Mataram dengan VOC. Dalam perjanjian pertama disebutkan bah-wa Mataram menyerahkan wilayah Priangan Timur kepada VOC, sedangkan dalam perjanjian kedua Mataram menyerahkan wila-yah Priangan Tengah dan Priangan Barat kepada VOC. Penyerahan wilayah Priangan kepada VOC dilakukan Mataram sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram. Pengambilalihan wilayah Priangan tidak berlangsung cepat. Baru pada tanggal 15 Nopember 1684, Komandan Jacob Couper. dan Kapten Joachurn Michiels menangani daerah Priangan atas perintah Gubernur Jenderal Johannes Camphuijs. Bupati pertama yang mendapat surat pengangkatan dari VOC adalah Wangsatanoe yang ditetapkan menjadi Bupati Pamanukan pada tanggal 24 Desember 1701.
Pada tahun 1706 Pangeran Aria Cirebon diangkat sebagai pengawas (overseer) bupati-bupati Priangan, kecuali Krawang dan Cianjur yang sudah dianggap termasuk wilayah Batavia. Kedudukan Pangeran Aria Cirebon dikukuhkan berdasarkan Resolusi 9 Februari 1706. Sebelumnya, Pangeran Sumedang juga mengajukan permohonan untuk menjadi Wedana Bupati. Permohonan ini ditolak karena VOC berpendapat bahwa kedudukan para bupati Priangan semuanya sama dan semuanya mengabdi langsung kepada VOC.
Setelah Pangeran Aria Cirebon meninggal tahun 1723, ternyata tidak diangkat penggantinya. Putra Pangeran Aria Cirebon, Martawijaya, mencoba mengajukan permohonan untuk mengisi jabatan ayahnya, tetapi ditolak karena jabatan wedana bupati tidaklah untuk diwariskan.
ISTERI-ISTERINYA PANGERANG RANGGA GEDE
Dalam Buku Sarsilah tidak tercatat siapa saja istrinya Pangeran Rangga Gede. Adapun Istri-istrinya Pangeran Rangga Gede adalah :
1. Nyimas Romlah, putri dari Arasuda dari istrinya NM. Ngabehi Mertayuda, putra Ratu Cukang Gedeng Waru (NM. Sari Hatin) dan Prb. Geusan Ulun (Rd. Angka Wijaya). NM. Romlah adalah putra dari Santowan Cikeruh dari istrinya Nyimas Sari (Buyut Sedet - Kampung Legok Cijambe Paseh), dan NM. Sari adalah putri dari NM. Romlah Karomah dan Hosto Husma. NM. Romlah Karomah putra dari Rd. Meumeut dan NM. Mala Rokaya. Rd. Meumeut putra dari Prb. Siliwangi (Jaya Dewata) dari ke 4, yaitu Ratu Raja Mantri (Ratu Ratnasih) dari Sumedanglarang putra pertama Prabu Tirta Kusuma (Sunan Tuakan) dan Ratu Nurcahya.
2. Nyimas Asidah, adalah putra ke 4 dari Sutra Bandera (R. Sastra Pura Kusumah) dan NM. Hatimah. Sutra Bandera (Sastra Pura Kusumah adalah putra ke 4 dari Prb. Nusiya Mulya (Prb. Saryoni Nyata) / Panembahan Pulosari dari NM. Oo Imahu. NM. Hatimah adalah adik dari Terong Peot dan Nangganan, putra dari Kusnaedi Kusumah dari NM. Harsari. R. Sutra Bandera (Sastra Pura Kusumah) menikah dengan NM. Hatimah, berputra :
1. Rd. Sutrra Mulut / Eyang Haji Baginda. 2. Rd. Mara Suda 3. Rd. Rohimat 4. NM. Asidah.
Dari Istrinya NM Asidah, Pangeran Rangga Gede berputra salah satunya yaitu Rd. Bagus Weruh atawa digelari Rangga Gempol 2 (1633 - 1656 M).
3. Nyimas Roro atau Nyimas Kokom Ruhada (Buyut Lidah), putra dari Prb. Raga Mulya / Panembahan Pulosari dan NM Oo Imahu (NM Harom Muthida). Makam Nyimas Roro di Kampung Cijambe Legok Paseh Sumedang).
Keterangan dibawah ini : Prabu Nusiya Mulya /Panembahan Pulosari (1567 - 1579 M), menikah dengan Nyimas Oo Imahu (Harom Muthida), berputra :
- NM. Harim Hotimah, makam di Bogor.
- NM. Sari Atuhu (Buyut Eres), diperisteri oleh Santowan Awiluar (Pangeran Bungsu), putra bungsu dari Pangeran Santri dan Ratu Inten Dewata. Makam NM. Sari Atuhu (Buyut Eres) di Parugpug Paseh Legok.
- R. Sastra Pura Kusumah (Sutra Bandera), menikahi NM. Hatimah putranya R. Kusnaedi Kusumah dan NM. Harsari. NM. Hatimah adalah adiknya Terong Peot dan Nangganan. Makamnya Sutra Bandera di Sagara Manik Desa Cipancar Sumedang Selatan.
- R. Istihilah Kusumah / Pangeran Sunan Umbar / Sutra Umbar (Embah Ucing), memperistri NM Pamade salah putri Prabu Geusan dan Ratu Cukang Gedeng Waru. Makamnya Istihilah Kusumah (Sutra Umbar) di Makam Tajur Cipancar Sumedang Selatan.
- NM. Kokom Ruhada (Nyimas Roro / Buyut Lidah), diperistri menjadi salah salah satu Istri Pangeran Rangga Gede, makamnya di Kampung Cijambe Legok Paseh Sumedang.
- NM. Suniasih, diperisteri oleh Jaya Perkasa (Sayang Hawu) Makamnya NM. Suniasih di Tajur Cipancar Sumedang.
PUTRA-PUTRI PANGERAN RANGGA GEDE
1.1.1 Pangeran Rangga Gede (Koesoemahdinata IV), berputra : 1.1.1.1 Dalem Aria Bandayuda 1.1.1.2 Dalem Djajoeda 1.1.1.3 Dalem Wargaita 1.1.1.4 Dalem Wangsa Subaya 1.1.1.5 Dalem Rangga Gempol II (Koesoemahdinata V) 1.1.1.6 Dalem Loerah 1.1.1.7 Rd. Singamanggala 1.1.1.8 Ki Wangsaparamadja 1.1.1.9 Ki Wiratama 1.1.1.10 Ki Wangsaparadja 1.1.1.11 Ki Djasinga 1.1.1.12 Ki Wangsasabadra 1.1.1.13 Kiyahi Anggatanoe 1.1.1.14 Ki Martabaja 1.1.1.15 NM. Anggadasta 1.1.1.16 NM. Nataparana 1.1.1.17 NM. Arjapawenang 1.1.1.18 NM. Martarana 1.1.1.19 NM. Djagasatroe 1.1.1.20 NM. Wargakarti 1.1.1.21 NM. Bajoen 1.1.1.22 NM. Wangsapatra 1.1.1.23 NM. Warga Komara 1.1.1.24 NM. Joedantaka 1.1.1.25 NM. Toean Soekadana 1.1.1.26 NM. Oetama 1.1.1.27 NM. Kawangsa 1.1.1.28 NM. Wirakarti1.1.1.29 NR. Nalawangsa
emigrasi: di Pagaden dan Pamanukan
1.1.10.1 Dlm. Panengan . 1.1.10.2 Dlm. Djajapoespa . 1.1.10.3 Kiai Parajasoeta .1.1.10.4 NM. Gempler .
gelar: 23 Juni 1596 - 10 Maret 1651, Banten, Sultan Banten IV
wafat: 10 Maret 1651, Pemakaman Kenari Banten
berputra :
Sultan ‘Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota) Ratu Dewi Ratu Ayu Pangeran Arya Banten Ratu Mirah Pangeran Sudamanggala Pangeran Ranamanggala Ratu Belimbing Ratu Gedong Pangeran Arya Maduraja Pangeran Kidul Ratu Dalem Ratu Lor Pangeran Seminingrat Ratu Kidul Pangeran Arya Wiratmaka Pangeran Arya Danuwangsa Pangeran Arya Prabangsa Pangeran Arya Wirasuta Ratu Gading Ratu Pandan Pangeran Wirasmara Ratu Sandi Pangeran Arya Jayaningrat Ratu Citra Pangeran Arya Adiwangsa Pangeran Arya Sutakusuma Pangeran Arya Jayasantika Ratu Hafsah Ratu Pojok Ratu Pacar Ratu Bangsal Ratu Salamah Ratu Ratmala Ratu Hasanah Ratu Husaerah Ratu Kelumpuk Ratu JiputRatu Wuragil
gelar: 1620, Adipati Sumedang I, merangkap Bupati Wadana Parahyangan (1610-1624)
wafat: 1624, Mataram, Dimakamkan di Bembem Yogyakarta
RANGGA GEMPOL / PANGERAN SURIADIWANGSA
Pada tahun 1610 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I dari Ratu Harisbaya istri kedua Geusan Ulun. Setelah wafatnya Geusan Ulun negeri-negeri bawahan Sumedang Larang dahulu, seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu dan lain-lain melepaskan diri dari Sumedang Larang sehingga wilayah kekuasaan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I menjadi lebih kecil meliputi Parakanmuncang, Bandung dan Sukapura (Tasikmalaya). Setelah menjadi Bupati Pangeran Aria Suriadiwangsa memakai gelar Dipati Kusumadinata III dengan Ibukota pemerintahan dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegal Kalong, sedangkan putra Geusan Ulun dari Nyai Mas Gedeng Waru, Pangeran Rangga Gede diangkat menjadi bupati Sumedang dan berkedudukan di Canukur, pada masa itu Sumedang di bagi menjadi dua pemerintahan, setelah wafatnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa di Mataram, Sumedang disatukan kembali oleh Rangga Gede dengan Ibukota di Parumasan Kecamatan Conggeang Sumedang.
Pada masa Pangeran Aria Soeriadiwangsa, Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa I pergi ke Mataram untuk menyatakan penyerahan Sumedang Larang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian dan tugas yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa I diangkat menjadi Bupati Wadana dan diberi gelar Rangga Gempol atau Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata. Penyerahan Sumedang ke Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan menghindari pula serangan dari Cirebon. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol adalah Bupati Sumedang yang pertama merangkap Bupati Wadana Prayangan (1620 – 1625). Pada tahun 1614 Sultan Agung mengemukakan pengakuan atas seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon kepada VOC . Pada tahun 1624 Rangga Gempol diminta Sultan Agung untuk membantu menaklukan Sampang Madura. Jabatan Bupati di Sumedang sementara dipegang oleh Rangga Gede . Penaklukan Sampang oleh Rangga Gempol tidak melalui peperangan tetapi melalui jalan kekeluargaan karena Bupati Sampang masih berkerabat dengan Rangga Gempol dari garis keturunan ibunya Harisbaya, sehingga Bupati Madura menyatakan taat kepada Pangeran Rangga Gempol. Atas keberhasilnya Rangga Gempol tidak diperkenankan kembali ke Sumedang oleh Sultan Agung, sampai sekarang ada kampung bernama Kasumedangan yang dahulunya merupakan tempat menetap para bekas prajurit Rangga Gempol dari Sumedang. Sejak Rangga Gempol menetap di Mataram, pemerintahan di Sumedang dipegang oleh Pangeran Rangga Gede (1625 – 1633). Pangeran Rangga Gempol wafat di Mataram dimakamkan di Lempuyanganwangi. Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata meninggalkan 5 putera – putri, salah satunya anak pertama Raden Kartajiwa / Raden Soeriadiwangsa II menuntut haknya sebagai putra mahkota akan tetapi Rangga Gede menolaknya sehingga Raden Soeriadiwangsa II meminta bantuan kepada Sultan Banten untuk merebut kabupatian Sumedang dari Pangeran Rangga Gede, meskipun Banten memenuhi permintaan Raden Suriadiwangsa tetapi serangan langsung tentara Banten ke Sumedang pada masa Pangeran Panembahan (1656 – 1706). Pada tahun 1641 wilayah Sumedang Larang meliputi Pamanukan, Ciasem, Karawang, Sukapura, Limbangan, Bandung dan Cianjur dibagi menjadi empat Kabupaten yaitu Sumedang, Sukapura, Parakanmuncang dan Bandung dan pada tahun 1645 dibagi lagi menjadi 12 ajeg (setaraf Kabupaten) yaitu Sumedang, Parakanmuncang, Bandung, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Wirabaya, Kawasen, Sekace, Banyumas, Ayah dan Banjar. Pada tahun 1656 jabatan Bupati Wadana dihapuskan dan setiap bupati langsung dibawah Mataram. Sejak wafatnya Rangga Gede digantikan oleh puteranya Raden Bagus Weruh /Rangga Gempol II (1633 – 1656) menjadi Bupati Sumedang sedangkan jabatan Bupati Wadana dipegang oleh Dipati Ukur / Raden Wangsanata Bupati Purbalingga dengan tempat pemerintahan di Bandung. Jabatan Bupati Wadana diberikan ke Dipati Ukur dari Rangga Gede karena Rangga Gede dianggap tidak mampu menjaga wilayah Mataram dari tentara Banten memasuki daerah yang dikuasai Mataram yaitu Pamanukan dan Ciasem (peristiwa Raden Suriadiwangsa II).6
1211/6 <80> ♀ 5.1.1.1.2.1.2. Ratu Mertakusumah [Azmatkhan]perkawinan: <27> ♀ Ratu Tulungayu [Ponorogo]
perkawinan:
gelar: 1601 - 1613, Kota Gede, Mataram, Sultan Mataram Ke 2 bergelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram
wafat: 1613
gelar: 1613, "Anumerta Panembahan Seda ing Krapyak"
Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram (lahir: Kotagede, ? - wafat: Krapyak, 1613) adalah raja kedua Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1601-1613. Ia juga sering disebut dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak, atau cukup Panembahan Seda Krapyak, yang bermakna "Baginda yang wafat di Krapyak". Tokoh ini merupakan ayah dari Sultan Agung, raja terbesar Mataram yang juga pahlawan nasional Indonesia.
Daftar isi |
Silsilah keluarga
Nama asli Prabu Hanyakrawati adalah Raden Mas Jolang, putra Panembahan Senapati raja pertama Kesultanan Mataram. Ibunya bernama Ratu Mas Waskitajawi, putri Ki Ageng Panjawi, penguasa Pati. Antara kedua orang tua Mas Jolang tersebut masih terjalin hubungan sepupu.
Ketika menjabat sebagai Adipati Anom (putra mahkota), Mas Jolang menikah dengan Ratu Tulungayu putri dari Ponorogo. Namun perkawinan tersebut tidak juga dikaruniai putra, padahal Mas Jolang terlanjur berjanji jika kelak dirinya menjadi raja, kedudukan Adipati Anom akan diwariskan kepada putra yang dilahirkan Ratu Tulungayu.
Mas Jolang kemudian menikah lagi dengan Dyah Banowati putri Pangeran Benawa raja Pajang. Dyah Banowati yang kemudian bergelar Ratu Mas Hadi melahirkan Raden Mas Rangsang dan Ratu Pandansari (kelak menjadi istri Pangeran Pekik).
Empat tahun setelah Mas Jolang naik takhta, ternyata Ratu Tulungayu melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Wuryah alias Adipati Martapura. Padahal saat itu jabatan adipati anom telah dipegang oleh Mas Rangsang.
Peran awal
Mas Jolang pernah dikirim ayahnya untuk menghadapi pemberontakan pamannya dari pihak ibu, yaitu Adipati Pragola dari Pati tahun 1600.
Pemberontakan tersebut dipicu oleh perkawinan Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua. Pragola marah karena khawatir kedudukan kakaknya (Ratu Mas Waskitajawi) terancam. Ia pun memberontak menyatakan Pati lepas dari Mataram.
Panembahan Senapati menugasi Mas Jolang untuk memadamkan pemberontakan Pragola. Namun ia tidak mampu mengalahkan kesaktian pamannya itu. Ia bahkan jatuh pingsan karena terluka menghadapi Pragola dan terpaksa dibawa mundur oleh pasukannya.
Pemberontakan Adipati Pragola akhirnya ditumpas langsung oleh Panembahan Senapati sendiri.
Pemberontakan Pangeran Puger
Pangeran Puger alias Raden Mas Kentol Kejuron adalah putra kedua Panembahan Senapati yang lahir dari selir bernama Nyai Adisara. Saat itu putra pertama Senapati yang bernama Raden Rangga Samudra (lahir dari Rara Semangkin) telah meninggal sejak lama. Hal ini membuat Pangeran Puger menjadi putra tertua dan merasa lebih berhak atas takhta Kesultanan Mataram daripada Mas Jolang.
Panembahan Senapati meninggal pada tahun 1601 dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai raja Mataram selanjutnya, yang bergelar Prabu Hanyakrawati. Pengangkatan tersebut membuat Pangeran Puger sakit hati dan tidak mau menghadap ke pertemuan kenegaraan. menyadari hal itu, Hanyakrawati pun mengangkat kakaknya itu sebagai adipati Demak.
Meskipun demikian, Pangeran Puger tetap saja memberontak pada tahun 1602. Perang saudara antara Mataram dan Demak pun meletus. Akhirnya, pada tahun 1605 Pangeran Puger dapat ditangkap dan dibuang ke Kudus.
Pemberontakan selanjutnya terjadi pada tahun 1607, dilakukan oleh Pangeran Jayaraga (alias Raden Mas Barthotot), adik Hanyakrawati yang menjadi bupati Ponorogo. Pemberontakan ini dipadamkan oleh adik yang lain, yaitu Pangeran Pringgalaya (alias Raden Mas Julik putra Retno Dumilah). Jayaraga tertangkap dan dibuang ke Masjid Watu di Nusakambangan.
Menyerang Surabaya
Pada tahun 1610 Hanyakrawati melanjutkan usaha ayahnya, yaitu menaklukkan Surabaya, musuh terkuat Mataram. Serangan-serangan yang dilakukannya sampai akhir pemerintahannya tahun 1613 hanya mampu memperlemah perekonomian Surabaya namun tidak mampu menjatuhkan kota tersebut.
Serangan pada tahun 1613 sempat menyebabkan pos-pos VOC di Gresik dan Jortan ikut terbakar. Sebagai permintaan maaf, Hanyakrawati mengizinkan VOC mendirikan pos dagang baru di Jepara. Ia juga mencoba menjalin hubungan dengan markas besar VOC di Ambon.
Kematian di Krapyak
Prabu Hanyakrawati meninggal dunia pada tahun 1613 karena kecelakaan sewaktu berburu kijang di Hutan Krapyak. Oleh karena itu, ia pun terkenal dengan gelar anumerta Panembahan Seda ing Krapyak.
Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah Mas Rangsang. Namun, karena sebelumnyua pernah berjanji pada istri pertama (Ratu Tulungayu), maka Mas Wuryah pun lebih dahulu dijadikan raja bergelar Adipati Martopuro selama satu hari.
Setelah memerintah selama satu hari, Adipati Martopuro kemudian digantikan oleh Mas Rangsang, atau yang lebih terkenal dengan julukan Sultan Agung.
Catatan
Pangeran Puger kakak Prabu Hanyakrawati yang memberontak pada tahun 1602-1605 berbeda dengan Pangeran Puger yang bergelar Pakubuwana I. Pangeran Puger Pakubuwana I adalah cicit Hanyakrawati yang hidup pada zaman selanjutnya. Ia menjadi raja Kasunanan Kartasura pada tahun 1705-1719.
Kepustakaan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi H.J.de Graaf dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: KanisiusPurwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
gelar: Bupati Sumedang Ke 3 (1633 – 1656)
PANGERAN RANGGA GEMPOL II
Setelah wafatnya Rangga Gede digantikan oleh putranya Raden Bagus Weruh setelah menjadi bupati memakai nama Pangeran Rangga Gempol II / Kusumahdinata V (1633 – 1656), Pangeran Rangga Gempol II tidak diangkat menjadi Bupati Wadana tetapi hanya Dipati Sumedang saja.
Bupati Wadana, sejak Amangkurat I menjadi Sultan Mataram tidak ada lagi, dengan demikian Rangga Gempol II hanya menjadi Bupati Sumedang. Pada tahun 1655 pembagian kabupatian – kabupatian bukanlah pada wilayah kabupatian tetapi cacahnya. Demikian pula batas kekuasaan bukan batas teritorial tetapi batas sosial, tiap kabupaten mendapat + 300 umpi. Sumedang dengan cacah satu perempat dari cacah Sumedang pada masa Rangga Gede. Setelah Rangga Gempol II wafat digantikan oleh putra Pangeran Panembahan.
1.1.10.1 Dlm. Panengah . 1.1.10.1.1 NRA. Sepoeh . 1.1.10.1.2 Dlm. Wangsatanoe I (Regent Pamanoekan Ke 1, 1692) 1.1.10.1.3 Rd. Dipakoesoemah . 1.1.10.1.4 Rd. Sastra . 1.1.10.1.5 Rd. Anggaredja . 1.1.10.1.6 NR. Mantri . 1.1.10.1.7 Rd. Adinagara . 1.1.10.1.8 NM. Nakilah . 1.1.10.1.9 Kiai Djawirja . 1.1.10.1.10 Kiai Poespawirija . 1.1.10.1.11 Kiai Anggadidjaja . 1.1.10.1.12 NM. Arsa . 1.1.10.1.13 NM. Moelja .1.1.10.1.14 Kiai Dipanata .
Keberadaan Ki Djasinga di Jasinga
"Ki Djasinga" atau "Dalem Bayah" adalah nama julukan yang diberikan keluarga kepada Raden Mas Tirta Kusumah putra ke sebelas dari Pangeran Rangga Gede / Kusumadinata IV karena menghilang dari Sumedang Larang, mengembara, beraktivitas dan menetap di daerah Djasinga (100 tahun kemudian Jasinga menjadi Kewedanaan Bogor/Buitenzorg). Ki Djasinga dikalkulasi lahir antara tahun 1611 sd 1616 (dihitung dari tahun kelahiran Pengeran Ranggagede tahun 1580 + nikah diusia 20 tahun + anak no 11). Di Djasinga, Ki Djasinga tidak sendirian, karena ada nama lain yang berasal dari Sumedang yaitu Kyai Singa Manggala saudara Kandung Kyai Tanudjiwa yang membuka wilayah Kampung Baru (Bogor) bekas Ibu Kota Kerajaan Pajajaran (Pakuan) pada tahun 1687. Menurut Pleyte dalam bukunya "Soendasche Schetsen", hal 120 :had Tanoedjiwa twee broers, Pralaya (sic) en Singamanggala. Dezen laatsten naam vind in do Tanggerangsche bovenlanden (Tanudjiwa memiliki dua saudara lelaki, Pralaya (sic) dan Singamanggala. Nama-nama tersebut berasal/ditemukan/berdomisili di daerah dataran tinggi Tanggerang). Yang dimaksud dataran tinggi Tangerang adalah wilayah sekitar Rumpin, Jasinga atau Lebak Banten.
Kyai Singa Manggala menurut kalkulasi lahir pada tahun 1612 dan bersama-sama dua saudaranya yaitu Kyai Perlaya dan Kyai Tanudjiwa ikut bergabung dalam rombongan tentara pasukan Dipati Ukur yang menyerang Batavia Ke 2 di tahun 1629. Pada tahun 1629 ini, baik Kyai Singa Manggala, maupun Ki Djasinga baru berusia 17-20 tahunan. (Lihat Koran De Locomotief, tanggal 22 Mei 1905)
"Ki Djasinga" di Jasinga menikah dengan Putri Maulana Yusuf, Sultan Banten ke 2 (1570-1582) yang bernama Ratu Ayu Kusumah / Ratu Wiyos, berputra Rd. Mas Urwa (Buyut Sampang) yang menikah dengan Putri ke 6 Kyai Singa Manggala yang bernama Nyai Enis Raksadikara Uak/Bude_nya MA. Salmun (Sastrawan Sunda yang menetap di Bogor), berputra 5 orang. Mengapa Ki Djasinga menikahkan putranya dengan putri Kyai Singa Manggala? Asumsi saya adalah :
- Ibunda Ki Djasinga adalah isteri ke dua Pangeran Rangga Gede yang bernama Nyimas Arsidah (Entien), putri Raden Sastra Pura Kusumah (Sutra Bandera) adik kandung Raden Aji Mantri Cucu Prabu Ragamulya (1567-1569), jadi Nyai Enis Raksadikara masih keponakan Ki Djasinga, sedangkan Ki Djasinga masih saudara Sepupu Kyai Singa Manggala;
- Kedatangan Ki Djasinga di Jasinga dimungkinkan berbarengan dengan Kyai Singa Manggala yang tergabung dalam pasukan Dipati Ukur yang menyerang Batavia ke 2 tahun 1629;
- Kedatangan/keberadaan Ki Djasinga, Kyai Singa Manggala dan Kyai Perlaya ke Jasinga, menempuh jarak yang cukup jauh (Sumedang-Jasinga, 208 km ditempuh 35 hari jalan kaki/7 hari berkuda) dan mengandung resiko besar selama di perjalanan, jadi alasan utama mereka ke Jasinga adalah Napak Tilas / Berziarah / Menelusuri Pusat Pemerintahan Pajajaran pada masa Kakek/Buyutnya Prabu Ragamulya di daerah PULOSARI (nama gunung dan nama tempat) yang dijadikan basis pertahanan Pajajaran dari ancaman Kesultanan Banten. Jadi sebagai pemuda dewasa yang masih keturunan Keluarga Raja Pajajaran terakhir, menyimpan rasa penasaran yang besar untuk mengetahui secara langsung (bukan dari cerita turun temurun) mengenai tempat atau minimal peninggalan leluhurnya yang pernah menjadi Raja di PULOSARI.
Ki Djasinga menjadi Abdi Sultan Ageng Tirtayasa
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683) di Banten, terjadi kerusuhan di daerah Bayah, Lebak, Dalem Jasinga atau Ki Jasinga atau Rd. Mas Tirtakusumah diminta oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk mengendalikan situasi di Lebak Banten, maka sampai akhir hayatnya Rm. Tirta Kusuma atau Ki Jasinga beserta sebagian keluarganya menetap di Wilayah Banten
Silsilah Keluarga
Generasi ke-3 Silsilah Pangeran Santri Sumedang Larang
1.1.1 Pangeran Rangga Gede KOESOEMADINATA, IV 1.1.1.1 Dlm. Aria Bandajoeda . 1.1.1.2 Dlm. Djajoeda . 1.1.1.3 Dlm. Wargaita . 1.1.1.4 Dlm. Wangsasoebaja . 1.1.1.5 Dlm. Rangga Gempol II KOESOEMADINATA, V 1.1.1.6 Dlm. Loerah . 1.1.1.7 Rd. Singamanggala . 1.1.1.8 Ki Wangsaparamadja . 1.1.1.9 Ki Wiratama . 1.1.1.10 Ki Wangsaparadja . 1.1.1.11 Ki Djasinga 1.1.1.12 Ki Wangsasabadra . 1.1.1.13 Kiyahi Anggatanoe . 1.1.1.14 Ki Martabaja . 1.1.1.15 NM. Anggadasta . 1.1.1.16 NM. Nataparana . 1.1.1.17 NM. Arjapawenang . 1.1.1.18 NM. Martarana . 1.1.1.19 NM. Djagasatroe . 1.1.1.20 NM. Wargakarti . 1.1.1.21 NM. Bajoen . 1.1.1.22 NM. Wangsapatra . 1.1.1.23 NM. Warga Komara . 1.1.1.24 NM. Joedantaka . 1.1.1.25 NM. Toean Soekadana . 1.1.1.26 NM. Oetama . 1.1.1.27 NM. Kawangsa . 1.1.1.28 NM. Wirakarti . 1.1.1.29 NR. Nalawangsa .
1.1.1.11 Ki Djasinga 1.1.1.11X Ratu Ayu Wiyos / Ratu Ayu Kusuma Putri Panembahan Maulana Yusuf, Banten
1.1.1.11.1. Rd. Mas Urwa (Buyut Sampang) 1.1.1.11.1X Nyai Enis Raksadikara Putri Kyai Singa Manggala kakak kandung Kyai Tanujiwa / Ki Mas Tanu (Hoofd Demang Bogor, 1689-1705) 1.1.1.11.1.1.Rd. Mas Soleman 1.1.1.11.1.2.Rd. Mas Samaun 1.1.1.11.1.3.Nyai Sabariyah di Rangkasbitung 1.1.1.11.1.4.Nyai Sariyah di Ciseeng1.1.1.11.1.5.Nyai Asih di Karawang
pekerjaan: 1670, Surabaya, Diangkat sebagai Bupati Surabaya 11 ( Tahun 1670 - 1678 ) oleh Amangkurat I atas jasa-jasanya mengusir pemberontak yang dipimpin Trunojoyo di Surabaya dan berhasil membebaskan Tjakraningrat II ( Adipati Madura ) yang ditawan Laskar Trunojoyo di hutan Lodoyo, Blitar. Sebelumnya menjabat sebagai salah satu Tumenggung Kerajaan Mataram .
wafat: 1678, Kediri, Bertindak sebagai salah satu Tumenggung Kerajaan Mataram .Gugur dalam Perang menumpas pemberontakan Trunojoyo di Kediri.
penguburan: 1678, Sentono Boto Putih, Pergirikan Surabaya.
pekerjaan: 1654 - 1665, Keariaan Tangerang Periode 2
ASAL-OESOEL
Raden Aria Wangsakara, ternyata keturunan dari Kesultanan Banten. Silsilah Gubernur Wahudin Halim dari garis ibu yang menjadi keturunan Raden Aria Wangsakara, adalah pertemuan dua tokoh besar yaitu Sulthan Abul Mafakhir (Sultan Banten keempat ) dan Pangeran Arya Wangsakara (Penguasa Tangerang 1663 di bawah Kesulthanan Banten bergelar Arya Tangerang). Makom arya wangsakara di lengkong ulama kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang.
Dalam sosialisasi tersebut dipaparkan bahwa Pangeran Arya Wangsakara atau dikenal juga dengan nama Kiayi Wangsaraja atau dikenal Raden Lenyep adalah cucu dari Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang dari putra Prabu Geusan Ulun yang bernama Pangeran Arya Wiraraja. Pangeran Arya Wangsakara sebelum menjadi penguasa Tangerang pada zaman Sultan Agung Tirtayasa, sebelumnya adalah tangan kanan Sultan Abul Mafakhir di Kesultanan Banten.
Pangeran Wangsakara dinikahkan dengan cucu sultan Abul Mafakhir yang bernama Ratu Zakiyah binti Ratu Salamah. Dari pernikahan ini mempunyai anak Ratu Ratnasih. Ratu Ratnasih atau Raden Wiratnasih atau Raden Ratna Sukaesih ini. Kemudian menurunkan sosok Gubernur Banten yaitu Wahidin Halim. “Jadi Wahidin Halim adalah dzuriyat dari Sulthan Abul Mafakhir Banten dan Pangeran Arya Wangsakara Tangerang. Pangeran Wangsakara meninggal di usia senja dalam pertempuran sengit antara pasukan Sultan Tirtayasa dan VOC di Ciledug Tangerang.
Selain dengan cucu Sultan Abul Mafakhir, Wangsakara juga mempunyai dua isteri lainnya yaitu Nyaimas Nurmala putri Adipati Karawang mempunyai anak Raden Yudanagara dan Raden Raksanagara. Isteri yang lain adalah putri dari Tubagus Idham yang bernama Ratu Maimunah mempunyai anak Raden Wiranegara atau disebut Syekh Ciliwulung kresek.
Raden Ratna Sukaesih mempunyai anak Raden Tapa Dilaga atau Kiayi Tapa. Kiayi Tapa bersama Tubagus Buang memimpin gerilya melawan kompeni Belanda. Pemberontakan Kyai Tapa berawal dari rakyat Banten yang dikhianati oleh Ratu Syarifah yang bersekutu dengan VOC. Ratu Syarifah adalah istri dari Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin (1733-1750).
SILSILAH RA. WIRARADJA II / RA. WANGSAKARA (Sumber : [Silsilah Pangeran Santri Sumedang|http://silsilah-ernimuthalib.blogspot.com/search/label/651%20Pangeran%20Santri%20%28G01-11%29]
SILSILAH PANGERAN SANTRI KOESOEMADINATA I (Gen.01-11)
Generasi ke-1
1. Pangeran Santri KOESOEMADINATA, I , (Ki Gedeng Sumedang) 1X Ratoe Poetjoek Oemoen, (Ratoe Inten Dewata, Satyasih) 1.1 Pangeran Geusan Oeloen KOESOEMADINATA, II (Angkawijaya) 1.2 Dmg. Rangga Dadji . 1.3 Dmg. Watang . 1.4 Santoan Wirakoesoemah . 1.5 Santoan Tjikeroeh . 1.6 Santoan Awi Loear .
Generasi ke-2
1.1 Pangeran Geusan Oeloen KOESOEMADINATA, II (Angkawijaya) 1.1X1 NM. Gedeng Waru 1.1.1 Pangeran Rangga Gede KOESOEMADINATA IV 1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I / Rd. Aria ALI 1.1.3 Kiai Kadoe Rangga Gede . 1.1.4 Kiai Rangga Patra Kelana . 1.1.5 Kiai Aria Rangga Pati . 1.1.6 Kiai Ngb. Watang . 1.1.7 NM. Dmg. Tjipakoe . 1.1.8 NM. Ngb. Martajoeda . 1.1.9 NM. Rangga Wiratama . 1.1.10 Rd. Rg. Nitinagara or Dlm Rg Nitinagara . 1.1.11 NM. Rangga Pamade . 1.1.12 NM. Dipati Oekoer . 1.1.13 Pangeran Tmg. Tegal Kalong . 1.1.14 Kiai Dmg. Tjipakoe . 1.1X2 Ratoe Harisbaya ., 1.1.15 Pangeran Rangga Gempol I KOESOEMADINATA, III 1.1X3 NM. Pasaeran.
Generasi-3
1.1.2 Rd. Aria Wiraradja I / Rd. Aria ALI 1.1.2.1 Rd. Wiraradja II / Rd. Aria Wangsakara 1.1.2.2 NM. Noertedja .
Generasi-4
1.1.2.1 Rd. Wiraradja II / Rd. Aria Wangsakara 1.1.2.1X1 NM Noermala or Sara 1.1.2.1.1 Rd. Joedanegara 1.1.2.1.2 Rd. Raksanegara 1.1.2.1X2 Tatoe Maemoenah 1.1.2.1.3 Rd. Wiranegara (Cili Woeloeng/Syeikh Ciliwung Kresek) 1.1.2.1X3 Ratu Zakiyah 1.1.2.1.4 NR. Ratna Sukaesih 1.1.2.1.5 NR. Wira Sukaesih 1.1.2.1.6 NR. Sukaedah 1.1.2.1.7 NR. Kara Supadmi
1.1.2.2 NM. Noertedja 1.1.2.2.1 Rd. Wiraradja III
PERJUANGAN
Raden Aria Wangsakara adalah seorang ulama, pejuang, dan pendiri Tangerang. Dalam sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten, Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman. Bersama dua kerabatnya, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara, Wangsakara lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang malah berpihak kepada VOC.
Wangsakara yang kemudian memilih menetap di tepian Sungai Cisadane diberi kepercayaan oleh Sultan Maulana Yusuf, pemimpin Kesultanan Banten kala itu, untuk menjaga wilayah yang kini dikenal sebagai Tangerang, khususnya wilayah Lengkong, dari pendudukan VOC. Sehari-hari, Wangsakara yang juga pernah didapuk sebagai penasihat Kerajaan Mataram menyebarkan ajaran Islam. Namun, aktivitas Wangsakara menyebarkan ajaran Islam mulai tercium oleh VOC tahun 1652-1653.
Karena dianggap membahayakan kekuasaan, VOC mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane, persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Wangsakara. VOC pun sampai memprovokasi dan menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara. Provokasi itulah yang kemudian memicu pertempuran antara penjajah dan rakyat Tangerang. Kegigihan rakyat di bawah kepemimpinan Raden Aria Wangsakara yang melakukan pertempuran selama tujuh bulan berturut-turut itupun membuahkan hasil. VOC gagal merebut wilayah Lengkong yang berhasil dipertahankan oleh Wangsakara dan para pengikutnya. Wangsakara sendiri gugur pada tahun 1720 di Ciledug dan dimakamkan di Lengkong Kyai, Kabupaten Tangerang.
Pada 2021, ia diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia bersama dengan Tombolotutu, Aji Muhammad Idris, dan Usmar Ismail oleh Presiden Indonesia Joko Widodo.[1]pekerjaan: Sultan Mataram ( 1646 - 1677 )
perkawinan: <28> ♀ Ratu Kulon [?] , <29> ♀ Ratu Wetan [?]
wafat: 1677
perkawinan: <30> ♀ Nji Raden Ajoe ? (Nn) [?]
pekerjaan: 1649, Cirebon, Sultan Cirebon IV ( 1649 - 1677 ) Catatan : Tinggal di Mataram bersama kedua anaknya : RT Martawijaya dan RT Kartawijaya. Pemerintahan dijalnkan anak ketiganya RT Wangsakerta.
wafat: 1677, Mataram
penguburan: 1677, Pasarean Girilaya, Yogyakarta
Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran. Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram. Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di Imogiri.berputra :
Abul Fath Abdul Fattah Ratu Panenggak Ratu Nengah Pangeran Arya Elor Ratu Wijil Ratu Puspita Pangeran Arya Ewaraja Pangeran Arya Kidul Ratu Tinumpuk Ratu Inten Pangeran Arya Dipanegara Pangeran Arya Ardikusuma Pangeran Arya Kulon Pangeran Arya Wetan Ratu Ayu Ingalengkadipura
Masa Raja / Sultan Banten ke-5
Pada 1636, Syarif Mekkah di Arab di bawah otorisasi Kesultanan Turki turut memberikan pula gelar sultan kepada putra Mahkota Sultan Banten Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir, dengan gelar Sultan Abul Ma’ali Ahmad. Penggelaran ini secara administratif membagi pembagian tugas sang putra Mahkota sebagai Sultan Wakil yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten. Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad berjasa mengedarkan uang Banten yang dibuat dari besi dan Timah. Beliau meninggal lebih dulu daripada ayahnya yakni pada tahun 1650, sehingga hak kepewarisan tahta jatuh kepada anak beliau atau cucu dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yakni kepada Pangeran Surya yang bergelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa.
atau Wasis Jayakusuma II, putra dari Wasis Jayakusuma I atau Adipati Pragola I. Adipati Pragola II, beristrikan Raden Ajeng Tulak atau Ratu Mas Sekar yg merupakan Adik Sultan Agung. Maka, Adipati Pragola II tidak lain adalah adik ipar dari Sultan Agung, sang penguasa Mataram.
Pada masa kepemimpinanya, sang adipati meneruskan kebijakan ayahnya, yang menyatakan bahwa Pati dan Mataram sederajat. Karena hal ini, sang adipati tidak mau mengikuti Pisowanan Agung yang diwajibkan bagi bawahan Mataram. Awalnya, Sultan Agung masih membiarkan ketidakhadiran adik iparnya itu. Karena daerah Pati, termasuk wilayah basis kekuatan bagi Mataram, dan Kadipaten yg paling kuat karena satu-satunya wilayah yg belum terkalahkan. Sehingga, jangan sampai melakukan pemberontakan.
Akhir dari hubungan Mataram-Pati, adalah dengan meletusnya perang Pati. Sebab perang ini adalah, penyerangan Pati ke Jepara karena sebuah konflik. Namun, oleh Patih Endranata, Pati dilaporkan akan memberontak dari Mataram.
Sultan Agung memutuskan untuk menyerbu Pati dari tiga penjuru, yaitu Timur, Selatan dan Barat. Ratusan ribu prajurit Mataram dikerahkan untuk menghancurkan Pati. Sebagai Senapatinya, Mataram menunjuk Tumenggung Alap-alap.
Pasukan dari arah Timur, yang dipimpin Adipati Martoloyo membawai pasukan Mancanegara, dan bermukim di Pekuwon Juwana bagian timur. Pasukan Mataram dari arah selatan dipimpin oleh Pangeran Madura yg membawahi prajurit Kedu, Begalan dan Pamijen, pasukan ini mendirikan tenda-tenda perkemahan di kaki Gunung Kendeng sekitar daerah Cengkalsewu sebelah selatan Pati.
Pasukan dari arah barat dipimpin oleh bupati Sumedang (Rangga Gempol I) yang membawahi pasukan khusus berkuda, pasukan ini mendirikan barak di sekitar wilayah Matraman Margorejo sebelah barat Pati. Terakhir keluarga raja yang memimpin pasukan-pasukan Pamejagan mataram. Pengawal pribadi terdiri dari 2.000 prajurit semua kapendak yang ada diantara mereka harus mengikuti raja.
Dalam pertempuran ini, Adipati Pragola II dibantu oleh enam tumenggung. Ke enam tumenggung tersebut yaitu, Tumenggung Mangunjaya, Adipati Kenduruan, Tumenggung Ramananggala, Tumenggung Tohpati, Adipati Sawunggaling, Tumenggung Sindurejo, serta seluruh rakyat Pati.
Pada hari Jum’at Wage, tanggal 4 Oktober 1627 M, Adipati Pragola II wafat setelah tertusuk tombak Kyai Baru milik Sultan Agung, yang diserahkan pada Lurah Kapedak, Naya Derma. Sang adipati meninggal dan dikebumikan di Sendang Sani.
Setelah wafatnya Adipati Pragola II, Sultan Agung menemui adiknya, Ratu Mas Sekar, yang tidak lain adalah istri dari sang adipati. Sultan Agung menanyakan alasan pemberontakan Pati terhadap Mataram. Ratu Mas Sekar, dengan perasaan duka yang mendalam, menjawab bahwa semua berita yang didengar oleh sang sultan adalah berita yang dipalsukan oleh Patih Endranata. Patih Endranata akhirnya ditangkap, dan dieksekusi.
Perlawanan Adipati Pragola II yang gagah berani dalam melawan Mataram, untuk menjaga kehormatan Kadipaten Pati terus hidup dalam ingatan masyarakat Pati. Karena peristiwa penyerangan Mataram ini, ada sebuah pantangan bagi masyarakat Pati. Yaitu, orang Pati jangan sampai menikah dengan orang Mataram.1.1.1.7.1 Rd. Singamanggala ., II . 1.1.1.7.2 Kiai Singadiwangsa . 1.1.1.7.3 Kiai Kertamanggala . 1.1.1.7.4 Kiai Paranamanggala . 1.1.1.7.5 Kiai Wangsakerta . 1.1.1.7.6 NM. Adjeng . 1.1.1.7.7 NM. Ante . 1.1.1.7.8 NM. Baros .1.1.1.7.9 Kiai Abdoel Moetolib .
1.1.10.1 Dlm. Panengan or Dlm Rg Panengah . 1.1.10.2 Dlm. Djajapoespa . 1.1.10.3 Kiai Parajasoeta or Dlm Najapoespa . 1.1.10.4 Rd. Anggapoespa .1.1.10.5 NM. Gempler or NR Gemblek .
1. BABAD Banten
2. Catatan Keluarga Drs. R (Tb) H. Achmad Arslan Jayasentika, M. Sc (Juru Sejarah Bani Jayasentika).
3. Catatan Keluarga R (Tb). Dika Syah Bachri (Sekretaris Jendral Dzurriyyat Panembahan Maulana Yusuf Pekalangan Gede 1570 - 1580, Kasunyatan - Banten).
4. Buku Nasab Induk : Keluarga Pangeran Jaya Sentika (Halim)
7
2421/7 <115> ♀ 11. Gusti Ratu Wirokusumo [Brawijaya]
d.1.2.2 NM Nurteja
Ia mempunyai anak satu, dalam silsilah Sumedang anaknya, yaitu R. Wiraraja III, mengambil nama yang sama dengan kakeknya, Wiraraja I.
d.1.3. Kiai Kadu Rangga Gede .
d.1.4. Kiai Rangga Patra Kelana .
d.1.5. Kiai Aria Rangga Pati .
Kyai Aria Ranggapati, melahirkan keturunan ke Haur Kuning.
d.1.6. Kiai Ngb. Watang .
d.1.7. NM. Dmg. Cipaku
d.1.8. NM. Ngb. Martajoeda .
Nyi Mas Ngabehi Martayuda, melahirkan keturunan ke Ciawi Tasikmalaya.
d.1.9. NM. Rangga Wiratama .
d.1.10. Rd. Rg. Nitinagara Raden Rangga Nitinagara atau Dalem Rangga Nitinagara, melahirkan keturunan ke Pagaden Pamanukan Subang. Karena itu Raden Rangga Nitinagara selalu dikaitkan dengan nama Pagaden Ia mempunyai 5 orang anak, yaitu: Dalem Panengah atau Dalem Rangga Panengah . Dalem Jayapuspa Kiai Parayasuta atau Dalem Nayapuspa. R. Anggapuspa . NM. Gempler atau NR Gemblek d.1.10.1. Dalem Panengah Dalem Panengah atau Dalem Rangga Panengah menikah dengan NR Embah Nyai atau NR Timbanganten, dan mempunyai 14 anak: NRA. Sepoeh .
Dlm. Wangsatanoe ., I . Rd. Dipakoesoemah . Rd. Sastra . Rd. Anggaredja .
NR. Mantri .
Rd. Adinagara . NM. Nakilah .
Kiai Djawirja . Kiai Poespawirija . Kiai Anggadidjaja . NM. Arsa .
NM. Moelja .Kiai Dipanata
perkawinan: <34> ♀ 1. Kanjeng Ratu Batang [Gp.2] / Ratu Ayu Wetan (R.Ayu Prahilla) [Brawijaya]
perkawinan: <45!> ♀ Kanjeng Ratu Kulon [Gp.1] / Ratu Mas Tinumpak (Ratu Mas Ayu Sakluh) [Cirebon] d. 1653
perkawinan: <35> ♀ Mas Ayu Wangen [?]
perkawinan: <36> ♀ Mas Ayu Sekar Rini [?]
gelar: 1613 - 1645, Mataram, SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Panembahan Hanyakrakusuma atau Prabu Pandita Hanyakrakusuma
wafat: 1645, Pajimatan Imogiri
Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma
Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman Susuhunan Hanyakrakusuma Panembahan Hanyakrakusuma Prabu Pandita Hanyakrakusuma Senapati-ing-Ngalaga Sayidin Panatagama
Masa kekuasaan : 1613 – 1645 Pendahulu : Adipati Martapura Pengganti : Amangkurat I
Permaisuri-1 : Ratu Kulon putri Kesultanan Cirebon
Permaisuri-2 : Ratu Wetan putri Adipati Batang Wangsa : Dinasti Mataram Ayah : Panembahan Hanyakrawati Ibu : Ratu Mas Hadi Dyah Banawati
Perangko Republik Indonesia cetakan tahun 2006 edisi Sultan Agung. Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, lahir: Kutagede, Kesultanan Mataram, 1593 - wafat: Karta (Plered, Bantul), Kesultanan Mataram, 1645) adalah Sultan ke-tiga Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu.
Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975.
Daftar isi
2 Gelar yang Dipakai 3 Awal pemerintahan 4 Menaklukkan Surabaya 5 Pasca penaklukan Surabaya 6 Hubungan dengan VOC 7 Menyerbu Batavia 8 Setelah kekalahan di Batavia 9 Akhir kekuasaan 10 Wafatnya Sultan Agung 11 Rujukan 12 Lihat pula 13 Referensi
Daftar isi |
Silsilah keluarga
Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyakrawati dan Ratu Mas Adi Dyah Banawati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang.
Versi lain mengatakan, Sultan Agung adalah putra Pangeran Purbaya (kakak Prabu Hanyakrawati). Konon waktu itu, Pangeran Purbaya menukar bayi yang dilahirkan istrinya dengan bayi yang dilahirkan Dyah Banawati. Versi ini adalah pendapat minoritas sebagian masyarakat Jawa yang kebenarannya perlu untuk dibuktikan.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Sultan Agung memiliki dua orang permaisuri utama. Yang menjadi Ratu Kulon adalah putri sultan Cirebon, melahirkan Raden Mas Syahwawrat atau "Pangeran Alit". Sedangkan yang menjadi Ratu Wetan adalah putri Adipati Batang (cucu Ki Juru Martani) yang melahirkan Raden Mas Sayidin (kelak menjadi Amangkurat I).
Gelar yang Dipakai
Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma" atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, ia mengganti gelarnya menjadi "Susuhunan Agung Hanyakrakusuma", atau disingkat "Sunan Agung Hanyakrakusuma".
Setelah 1640-an beliau menggunakan gelar "Sultan Agung Senapati-ing-Ngalaga Abdurrahman". Pada tahun 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah "Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram", yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah,
Untuk mudahnya, nama yang dipakai dalam artikel ini adalah nama yang paling lazim dan populer, yaitu "Sultan Agung".
Awal pemerintahan
Raden Mas Rangsang naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan adiknya(beda ibu), Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena adiknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu. Setelah pengangkatannya menjadi sultan, dua tahun kemudian, patih senior Ki Juru Martani wafat karena usia tua, dan kedudukannya digantikan oleh Tumenggung Singaranu.
Ibu kota Mataram saat itu masih berada di Kota Gede. Pada tahun 1614 mulai dibangun istana baru di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, yang kelak mulai ditempati pada tahun 1618.
Saingan besar Mataram saat itu tetap Surabaya dan Banten. Pada tahun 1614 Sultan Agung mengirim pasukan menaklukkan sekutu Surabaya, yaitu Lumajang. Dalam perang di Sungai Andaka, Tumenggung Surantani dari Mataram tewas oleh Panji Pulangjiwa menantu Rangga Tohjiwa bupati Malang. Lalu Panji Pulangjiwa sendiri mati terjebak perangkap yang dipasang Tumenggung Alap-Alap.
Pada tahun 1615 Sultan Agung memimpin langsung penaklukan Wirasaba ibukota Majapahit (sekarang Mojoagung, Jombang). Pihak Surabaya mencoba membalas. Adipati Pajang juga berniat mengkhianati Mataram namun masih ragu-ragu untuk mengirim pasukan membantu Surabaya. Akibatnya, pasukan Surabaya dapat dihancurkan pihak Mataram pada Januari 1616 di desa Siwalan.
Kemenangan Sultan Agung berlanjut di Lasem dan Pasuruan tahun 1616. Kemudian pada tahun 1617 Pajang memberontak tapi dapat ditumpas. Adipati dan panglimanya (bernama Ki Tambakbaya) melarikan diri ke Surabaya.
Menaklukkan Surabaya
Pada tahun 1620 pasukan Mataram mulai mengepung kota Surabaya secara periodik. Sungai Mas dibendung untuk menghentikan suplai air, namun kota ini tetap mampu bertahan.
Sultan Agung kemudian mengirim Tumenggung Bahureksa (bupati Kendal) untuk menaklukkan Sukadana (Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622. Dikirim pula Ki Juru Kiting (putra Ki Juru Martani) untuk menaklukkan Madura tahun 1624. Pulau Madura yang semula terdiri atas banyak kadipaten kemudian disatukan di bawah pimpinan Pangeran Prasena yang bergelar Cakraningrat I.
Dengan direbutnya Sukadana dan Madura, posisi Surabaya menjadi lemah, karena suplai pangan terputus sama sekali. Kota ini akhirnya jatuh karena kelaparan pada tahun 1625, bukan karena pertempuran. Pemimpinnya yang bernama Pangeran Jayalengkara pun menyerah pada pihak Mataram yang dipimpin Tumenggung Mangun-oneng.
Beberapa waktu kemudian, Jayalengkara meninggal karena usia tua. Sementara putranya yang bernama Pangeran Pekik diasingkan ke Ampel. Surabaya pun resmi menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Tumenggung Sepanjang sebagai bupati.
Pasca penaklukan Surabaya
Setelah penaklukan Surabaya, keadaan Mataram belum juga tentram. Rakyat menderita akibat perang yang berkepanjangan. Sejak tahun 1625-1627 terjadi wabah penyakit melanda di berbagai daerah, yang menewaskan dua per tiga jumlah penduduknya.
Pada tahun 1627 terjadi pula pemberontakan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola, sepupu Sultan Agung sendiri. Pemberontakan ini akhirnya dapat ditumpas namun dengan biaya yang sangat mahal.
Hubungan dengan VOC
Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC.
Pada tahun 1619 VOC berhasil merebut Jayakarta di bagian Barat pulau Jawa yang belum ditaklukkan Mataram, dan mengganti namanya menjadi Batavia. Markas mereka pun dipindah ke kota itu. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten.
Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Akibatnya, hubungan diplomatik kedua pihak pun putus.
Menyerbu Batavia
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Serangan Besar di Batavia
"Serangan Besar di Batavia oleh Sultan Mataram" pada tahun 1628 (cetakan setelah 1680).[1] [2] Sasaran Mataram berikutnya setelah Surabaya jatuh adalah Banten yang ada di ujung Barat pulau Jawa. Akan tetapi posisi Batavia yang menjadi penghalang perlu diatasi terlebih dahulu oleh Mataram.
Bulan April 1628 Kyai Rangga bupati Tegal dikirim sebagai duta ke Batavia untuk menyampaikan tawaran damai dengan syarat-syarat tertentu dari Mataram. Tawaran tersebut ditolak pihak VOC sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang.
Maka, pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Tumenggung Bahureksa, bupati Kendal tiba di Batavia. Pasukan kedua tiba bulan Oktober dipimpin Pangeran Mandurareja (cucu Ki Juru Martani). Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Perang besar terjadi di benteng Holandia. Pasukan Mataram mengalami kehancuran karena kurang perbekalan. Menanggapi kekalahan ini Sultan Agung bertindak tegas, pada bulan Desember 1628 ia mengirim algojo untuk menghukum mati Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandurareja. Pihak VOC menemukan 744 mayat orang Jawa berserakan dan sebagian tanpa kepala.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Adipati Juminah berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit. Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras di Karawang dan Cirebon. Namun pihak VOC berhasil memusnahkan semuanya.
Walaupun kembali mengalami kekalahan, serangan kedua Sultan Agung berhasil membendung dan mengotori Sungai Ciliwung, yang mengakibatkan timbulnya wabah penyakit kolera melanda Batavia. Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal menjadi korban wabah tersebut.
Setelah kekalahan di Batavia
Sultan Agung pantang menyerah dalam perseteruannya dengan VOC Belanda. Ia mencoba menjalin hubungan dengan pasukan Kerajaan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena ia menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah.
Kekalahan di Batavia menyebabkan daerah-daerah bawahan Mataram berani memberontak untuk merdeka. Diawali dengan pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630. Kemudian Sumedang dan Ukur memberontak tahun 1631. Sultan Cirebon yang masih setia berhasil memadamkan pemberontakan Sumedang tahun 1632.
Pemberontakan-pemberontakan masih berlanjut dengan munculnya pemberontakan Giri Kedaton yang tidak mau tunduk kepada Mataram. Karena pasukan Mataram merasa segan menyerbu pasukan Giri Kedaton yang masih mereka anggap keturunan Sunan Giri, maka yang ditugasi melakukan penumpasan adalah Pangeran Pekik pemimpin Ampel. Pangeran Pekik sendiri telah dinikahkan dengan Ratu Pandansari adik Sultan Agung pada tahun 1633. Pemberontakan Giri Kedaton ini berhasil dipadamkan pasangan suami istri tersebut pada tahun 1636.
[Akhir kekuasaan]
Wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) Pada tahun 1636 Sultan Agung mengirim Pangeran Selarong (saudara seayah Sultan Agung, putra Panembahan Hanyakrawati dan selir Lung Ayu dari Panaraga) untuk menaklukkan Blambangan di ujung timur Pulau Jawa. Meskipun mendapat bantuan dari Bali, negeri Blambangan tetap dapat dikalahkan pada tahun 1640.
Dalam masa Sultan Agung, seluruh Pulau Jawa sempat tunduk dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu.
Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian.
Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending.
Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Bahasa ini digunakan supaya tercipta rasa persatuan di antara penghuni istana.
Sementara itu Bahasa Sunda juga mengalami perubahan sejak Mataram menguasai Jawa Barat. Hal ini ditandai dengan terciptanya bahasa halus dan bahasa sangat halus yang sebelumnya hanya dikenal di Jawa Tengah.
Wafatnya Sultan Agung
Pintu masuk ke makam Sultan Agung di Pemakaman Imogiri di Imogiri, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia (foto tahun 1890). Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Ia pun membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Ia juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram.
Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram selanjutnya, bergelar Amangkurat I.
Rujukan
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moedjianto. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu Pogadaev, V. A. Sultan Agung (1591 - 1645). The Ruler of the Javanese Kingdom; Kris – the sacred weapon of Java; On the Pirates Ship. Istorichesky Leksikon. XVII vek (Historical Lexicon. XVII Century). Мoscow: “Znanie”, 1998, p. 20 - 26.
Lihat pula
Babad Tanah Jawi Rara Mendut
Referensi
1.^ Montanus, A. "Oud en nieuw Oost-Indien", hal. 358
2.^ [1] Afbeelding - AMH (Berkas AMH)wafat: 1688, Magelang
gelar: Bupati ke 4 (1656 – 1706)
PANGERAN PANEMBAHAN / RANGGA GEMPOL III
Pangeran Rangga Gempol III (1656 – 1706) adalah bupati yang cerdas, lincah, loyal, berani dan perkasa. Pada masa pemerintahannya penuh dengan perjuangan dan patriotisme beringinan mengembalikan kejayaan masa Sumedang Larang. Pangeran Rangga Gempol III / Kusumahdinata VI dikenal juga sebagai Pangeran Panembahan, gelar Panembahan diberikan oleh Susuhunan Amangkurat I Mataram karena atas bakti dan kesetiaannya kepada Mataram. Kekuatan dan kekuasaan Pangeran Panembahan adalah paling besar di seluruh daerah yang dikuasai oleh Mataram di Jawa Barat berdasarkan pretensi Mataram tahun 1614. Pada masa Pangeran Panembahan pula di Sumedang dibuka areal persawahan sehingga waktu itu kebutuhan pangan rakyat tercukupi .
Pada tahun 1614 Mataram mengemukakan pretensi (pengakuan) bawah seluruh Jawa Barat kecuali Banten dan Cirebon dibawah kekuasaan Sultan Agung. Berdasarkan pretensi inilah Mataram menganggap Batavia sebagai perebutan wilayah Mataram. Pangeran Panembahan adalah bupati pertama yang berani menentang dan mampu memperalat kompeni VOC. Pangeran Panembahan berani menentang dan melepaskan diri dari Mataram dan berani dan mampu menghadapi Banten.
Setelah wafatnya Sultan Agung Mataram (1645) digantikan oleh puteranya Susuhunan Amangkurat I (1645 – 1677). Pada tahun 1652 Mataram mengadakan kontrak dengan VOC secara lisan, VOC diberi hak pakai secara penuh oleh Mataram atas daerah sebelah barat Sungai Citarum dengan demikian Sumedang tidak termasuk daerah yang diserahkan kepada kompeni oleh Mataram yang waktu itu Sumedang dibawah pemerintahan Raden Bagus Weruh / Rangga Gempol II, atas perjanjian tersebut VOC tidak puas maka pada tahun 1677 VOC kembali mengadakan perjanjian secara tertulis, perjanjian tersebut disaksikan oleh Pangeran Panembahan. Salah satu butir dalam perjanjian tersebut bahwa batas sebelah barat antara Cisadane dan Cipunagara harus diserahkan mutlak oleh Mataram kepada VOC dan menjadi milik penuh VOC, kemudian dari hulu Cipunagara ditarik garis tegak lurus sampai pantai selatan dan laut Hindia. Permintaan VOC tersebut oleh Susuhunan Amangkurat I ditolak dan Susuhunan Amangkurat I mengatakan bahwa daerah antara Citarum dan Cipunagara bahwa daerah tersebut merupakan kekuasaan kebupatian Sumedang yang dipimpin oleh Pangeran Panembahan bukan daerah kekuasaan Mataram. Daerah antara Citarum dan Cipunagara merupakan bekas daerah kekuasaan Sumedang Larang ketika dipimpin oleh Prabu Geusan Ulun. Penolakan tersebut diterima dengan baik oleh VOC, sedangkan butir perjanjian lain disetujui oleh Mataram. Dengan demikian VOC menyetujui perjanjian tersebut dengan catatan daerah yang diserahkan pada tahun 1652 menjadi milik VOC .
Makam Pangeran Rangga Gempol III / Pangeran Panembahan di Gunung Puyuh Kecamatan Sumedang Selatan.
Cita – cita Pangeran Panembahan untuk menguasai kembali bekas wilayah kerajaan Sumedang Larang bukan perkara yang mudah karena beberapa daerah sudah merupakan wilayah dari Banten, Cirebon, Mataram dan VOC. Sebagai sasaran penaklukan kembali adalah pantai utara Jawa seperti Karawang, Ciasem, Pamanukan dan Indramayu yang merupakan kekuasaan dari Mataram. Pangeran Panembahan meminta bantuan kepada Banten karena waktu itu Banten sedang konflik dengan Mataram tetapi setelah dipertimbangkan langkah tersebut kurang bijaksana karena masalah Raden Suriadiwangsa II, sedangkan permohonan bantuan Pangeran Panembahan tersebut diterima dengan baik oleh Banten dan mengajak Sumedang untuk berpihak kepada Banten dalam menghadapi VOC dan Mataram. Ajakan dari Banten tersebut ditolak oleh Pangeran Panembahan dan menyadari sepenuhnya Sultan Agung akan menyerang Sumedang, yang akhirnya Banten menyerang Sumedang. Oleh karena itu Pangeran Panembahan mengirim surat kepada VOC pada tanggal 25 Oktober 1677 yang isinya memohon kepada VOC menutup muara sungai Cipamanukan dan pantai utara untuk mencegat pasukan Banten sedangkan penjagaan di darat ditangani oleh Sumedang. Sebagai imbalan VOC diberi daerah antara Batavia dan Indramayu, sebenarnya daerah tersebut sudah diberikan oleh Mataram kepada VOC berdasarkan kontrak tahun 1677 kenyataannya Sumedang tidak memberikan apa-apa kepada VOC . Sebenarnya dalam perjanjian kontrak antara Mataram dengan VOC pada 25 Februari 1677 dan 20 Oktober 1677 yang diuntungkan adalah Sumedang karena secara tidak langsung VOC akan menempatkan pasukan untuk menjaga wilayahnya dan akan menghambat pasukan Banten untuk menyerang Sumedang sehingga Pangeran Panembahan dapat memperkuat kedudukan dan pertahanannya di Sumedang. Meskipun demikian VOC bersedia membantu Sumedang dan Kecerdikan Pangeran Panembahan tidak disadari oleh VOC dan VOC menganggap Sumedang sebagai kerajaan yang berdaulat dan merdeka. Pangeran Panembahan juga mengadakan hubungan dengan Kepala Batulajang (sebelah selatan Cianjur) Rangga Gajah Palembang merupakan cucu Dipati Ukur.
Serangan pertama Sumedang di pantai utara adalah daerah Ciasem, Pamanukan dan Ciparagi dengan mudah dikuasai oleh Pangeran Panembahan. Di Ciparigi Sumedang menempatkan pasukannya sebagai persiapan menyerang Karawang. Setelah daerah-daerah tersebut dikuasai oleh Pangeran Panembahan, pasukan Sumedang bersiap untuk menaklukan Indramayu tetapi Indramayu tidak diserang karena keburu mengakui Pangeran Panembahan sebagai pimpinannya. Dengan demikian daerah pantai utara Jawa antara Batavia dan Indramayu merupakan kekuasaan mutlak Sumedang. Ketika Pangeran Panembahan sibuk menaklukan pantai utara, Sultan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang .
Pada tahun 10 Maret 1678 pasukan Banten bergerak untuk menyerang Sumedang melalui Muaraberes /Bogor, Tangerang ke Patimun Tanjungpura dan berhasil melalui penjagaan VOC, awal Oktober pasukan Banten telah datang di Sumedang tetapi pasukan Banten tidak bisa masuk ke Ibukota karena Pangeran Panembahan bertahan dengan gigih. Pada serangan pertama ini Banten mengalami kegagalan karena tepat waktu Ibukota Sumedang diserang, di Banten terjadi perselisihan antara Sultan Agung Tirtayasa dan Sultan Haji Surasowan,. Selama sebulan lamanya tentara Banten yang dipimpin oleh Raden Senapati bertempur dan Raden Senapati tewas dalam pertempuran tersebut sehingga pasukan Banten ditarik mundur karena Sultan Agung memerlukan pasukan untuk menghadapi puteranya Sultan Haji. Pangeran Panembahan akhirnya menguasai seluruh daerah pantai utara dan Pangeran Panembahan berkata kepada VOC akan taat dan patuh asalkan terus membantunya terutama pengiriman senjata dan mesiu tetapi Pangeran Panembahan tidak taat bahkan menentang kompeni VOC dan tidak pernah datang ke Batavia dan tidak pernah pula memberi penghormatan atau upeti kepada VOC, yang akhirnya VOC menarik pasukannya dari pantai utara.. Setelah menguasai pantai utara Pangeran Panembahan menguasai daerah kebupatian yang dibentuk oleh Mataram pada tahun 1641 seperti Bandung, Parakan muncang, dan Sukapura . Dengan demikian Pangeran Panembahan menguasai kembali seluruh daerah bekas Sumedang Larang kecuali antara Cisadane dan Cipunagara yang telah diserahkan oleh Mataram kepada VOC tahun 1677. Sehingga Sumedang mencapai puncak kejayaannya kembali setelah pada masa Prabu Geusan Ulun. Penarikan pasukan VOC dari pantai utara membuka peluang bagi Banten dengan mudah untuk masuk wilayah Sumedang. Dalam melakukan penaklukan daerah-daerah di pantai utara dan menghadapi Banten, Pangeran Panembahan dilakukan sendiri berserta pasukan Sumedang tanpa ada bantuan dari VOC sama sekali, bantuan VOC hanya menjaga batas luar wilayah Sumedang dan selama menjaga VOC tidak pernah terlibat perang secara langsung di wilayah kekuasaan Pangeran Panembahan, bantuan lain dari VOC berupa pengiriman beberapa pucuk senjata dan meriam setelah Sumedang pertama kalinya diserang oleh Banten.
Pada awal oktober 1678 pasukan Banten kedua kalinya kembali menyerang Sumedang, serangan pertama pasukan Banten merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sumedang di pantai utara, Ciparigi, Ciasem dan Pamanukan akhirnya jatuh ke tangan pasukan Banten sedangkan pasukan kompeni yang dahulu menjaga daerah tersebut telah ditarik . Akhirnya pasukan Bali dan Bugis bergabung dengan pasukan Banten bersiap untuk menyerang Sumedang. Pada awal bulan puasa pasukan gabungan tersebut telah mengepung Sumedang, pada tanggal 18 Oktober 1678 hari Jumat pasukan Banten di bawah pimpinan Cilikwidara dan Cakrayuda menyerang Sumedang tepat Hari Raya Idul Fitri dimana ketika Pangeran Panembahan beserta rakyat Sumedang sedang melakukan Sholat Ied di Mesjid Tegalkalong, serangan pasukan Banten ini tidak diduga oleh Pangeran Panembahan karena bertepatan dengan Hari Raya dimana ketika Pangeran Panembahan dan rakyat Sumedang sedang beribadah kepada Allah. Akibat serangan ini banyak anggota kerabat Pangeran Panembahan yang tewas termasuk juga rakyat Sumedang. Pangeran Panembahan sendiri berhasil meloloskan diri ke Indramayu dan tiba pada bulan Oktober 1678. Serangan pasukan Banten ini dianggap pengecut oleh rakyat Sumedang karena pada serangan pertama Banten, Sumedang sanggup memukul mundur dan mengalahkan Banten. Oleh Sultan Banten, Cilikwidara diangkat menjadi wali pemerintahan dengan gelar Sacadiparana sedangkan yang menjadi patihnya adalah Tumenggung Wiraangun-angun dengan gelar Aria Sacadiraja. Selama di Indramayu Pangeran Panembahan menggalang kekuatan kembali dengan bantuan dari Galunggung, pasukan Pangeran Panembahan dapat merebut kembali Sumedang setelah enam bulan berada di Sumedang, pada bulan Mei 1679 Cilikwidara menyerang kembali dengan pasukan lebih besar, yang akhirnya Sumedang jatuh kembali ke tangan Cilikwidara, Pangeran Panembahan terpaksa mundur kembali ke Indramayu. Pendudukan Sumedang oleh Cilikwidara tak berlangsung lama pada bulan Agustus 1680 pasukan Cilikwidara ditarik kembali ke Banten karena terjadi konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Sultan Haji yang didukung oleh VOC, dalam konflik tersebut dimenangkan Sultan Haji. Sejak itu kejayaan Sultan Banten berakhir. Sultan Haji berkata kepada VOC bahwa Banten tidak akan mengganggu lagi Cirebon dan Sumedang, yang pada akhirnya berakhirlah kekuasaan Banten di Sumedang. Pada tanggal 27 Januari 1681 Pangeran Panembahan kembali ke Sumedang dan bulan Mei 1681 memindahkan pemerintahan dari Tegalkalong ke Regolwetan (Sumedang sekarang) dan membangun gedung kebupatian yang baru Srimanganti sekarang dipakai sebagai Museum Prabu Geusan Ulun Yayasan Pangeran Sumedang, pembangunan Ibukota Sumedang yang baru tidak dapat disaksikan oleh Pangeran Panembahan, pada tahun 1706 Pangeran Panembahan wafat dan dimakamkan di Gunung Puyuh di samping makam ayahnya Pangeran Rangga Gempol II. Pada tahun 1705 seluruh wilayah Jawa Barat dibawah kekuasaan kompeni VOC Setelah wafatnya Pangeran Panembahan digantikan oleh putranya Raden Tanumaja dengan gelar Adipati, bupati pertama kali yang diangkat oleh VOC. Pangeran Rangga Gempol III Panembahan merupakan bupati paling lama masa pemerintahannya hampir 50 tahun dari tahun 1656 sampai tahun 1705 dibandingkan dengan bupati – bupati Sumedang lainnya.
Setelah peristiwa penyerbuan pasukan Banten ke Sumedang, Pangeran Panembahan membentuk sistem keamanan lingkungan yang disebut Pamuk terdiri dari 40 orang pilihan, setiap pamuk mendapatkan sawah dari Pangeran Panembahan, sawah tersebut boleh digarap dan diterima hasilnya oleh pamuk yang bersangkutan selama ia masih bekerja sebagai pamuk. Sawah tersebut dinamakan Carik, suatu sistem gaji yang bekerja untuk kebupatian. Carik disebut juga Bengkok di daerah lain yang akhirnya sistem pemberian gaji ini untuk Pamong Desa.
Pangeran Rangga Gempol III Panembahan menyisihkan sebagaian tanahnya miliknya sebagai sumber penghasilan bupati, agar penghasilan bupati tidak lagi menjadi beban rakyat. Tanah tersebut tidak boleh dibagi waris jika Pangeran Panembahan wafat tetapi diturunkan lagi kepada bupati berikutnya secara utuh dan lengkap.perkawinan: <180!> ♀ Ratu Adi Kalsum [Kalsum]
gelar: 10 Maret 1651 - 1683, Banten, Sultan Banten ke VI
wafat: 11 Desember 1692, Batavia
penguburan: 12 Desember 1692, Sedakingkin-Banten
Daftar isi |
Asal-Usul Sultan Ageng Tirtayasa
Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684) adalah putra pertama dari 15 bersaudara dari ayah yang bernama Sultan Abul Ma'ali Ahmad Rachmatullah, silsilah ke atasnya sampai ke Rasulullah Nabi Muhammad SAW, adalah sebagai berikut :
0. Sayyidina Muhammad Saw (Rasulallah SAW) 1. Sayyidina Ali bin Abu Thalib >< Fatima Binti Muhammad SAW Az Zahra 2. Husayn Ibn Ali 3. Ali Zainal Abidin (Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib) / Ali bin Husain 4. Muhammad Al Baqir 5. Ja'afar As-Sodiq 6. Ali Al-’Uraidhi (Al Husaini) / Ali bin Ja'far 7. Muhammad An-Naqib 8. Isa Ar-Rumi 9. Ahmad Al Muhajir ( أحمد المهاجر) (Ahmad bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib ) 10. Ubaidullah 11. Alwi Awwal (Sayidina Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa) 12. Muhammad Sohibus Saumi'ah 13. Alwi Ats-Tsani ( Imam Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah ) 14. Ali Kholi' Qosam 15. Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi Qosam 16. Alawi Ammil Al Fagih (Sayidina Al-Faqih Al-Muqoddam Muhammad bin Ali bin Muhammad Shohib Mirbath) 17. Sayyid Abdul Malik al-Muhajjir al-Azmatkhan Ba'alawi al-Husaini 18. Al-Amir Abdullah al-Azmatkhan 19. Asy Syaikh Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin al-Azmatkhan al-Husaini 20. Asy Syaikh Sayyid Husain Jamaluddin Akbar al-Azmatkhan al-Husaini 21. Sayyid Ali Nurul Alam / Ali Nuruddin (1) / Maulana Malik Israil al-Azmatkhan al-Husaini 22. Syarif Abdullah Mahmud Umdatuddin Sayyid Abdullah al-Azmatkhan al-Husaini 23. Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatullah Al Azmatkhan Al Husaini) 24. Panembahan Maulana Hasanuddin (Sayyid Maulana Hasanuddin Al Azmatkhan Al Husaini) 25. Panembahan Maulana Yusuf (Sayyid Maulana Yusuf Al Azmatkhan Al Husaini) 26. Panembahan Maulana Muhammad Nashruddin (Sayyid Muhammad Nashruddin Al Azmatkhan Al Husaini) 27. Sultan Abu Al Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir (Sayyid Mahmud 'Abdul Qadir Al Azmatkhan Al Husaini) 28. Sultan Abul Ma'ali Ahmad Rachmatullah (Sayyid Abul Ma'ali Ahmad Al Azmatkhan Al Husaini) 29. Sultan Ageng Tirtayasa (Sayyid Abul Fath 'Abdul Fattah Al Azmatkhan Al Husaini)
Keturunan Sultan Ageng Tirtayasa
1. Sultan Haji 2. Pangeran Arya ‘abdul ‘Alim 3. Pangeran Arya Ingayudadipura 4. Pangeran Arya Purbaya 5. Pangeran Sugiri 6. Tubagus Rajasuta 7. Tubagus Rajaputra 8. Tubagus Husaen 9. Raden Mandaraka 10.Raden Saleh 11.Raden Rum 12.Raden Mesir 13.Raden Muhammad 14.Raden Muhsin 15.Tubagus Wetan 16.Tubagus Muhammad ‘Athif 17.Tubagus Abdul 18.Ratu Raja Mirah 19.Ratu Ayu 20.Ratu Kidul 21.Ratu Marta 22.Ratu Adi 23.Ratu Ummu 24.Ratu Hadijah 25.Ratu Habibah 26.Ratu Fatimah 27.Ratu Asyiqoh 28.Ratu Nasibah 29.Tubagus Kulon
Masa Raja / Sultan Banten ke-6
![Pengadilan militer di Banten, 1596, anonim, 1646 [1]](http://rodvoid.org/thumb/3/37/Pengadilan-Banten-3.jpeg/350px-Pengadilan-Banten-3.jpeg)
Sepeninggal Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684) yang diakui negara RI sebagai salah satu Pahlawan Nasional dari Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik. Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah). Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon dan turut mencakupnya.
Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, sayangnya bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal sebagai Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian dengan siasat devide et impera, mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian didukung VOC untuk mempertahankan hak tahta kekuasaan atas Banten yang sebenarnya belum saatnya untuk dipegang namun merupakan siasat adu domba Belanda.
Perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa
Kala menjadi Raja Banten, Sultan Ageng Tirtayasa telah melakukan beberapa strategi untuk memulihkan kembali Banten sebagai bandar perdagangan internasional. Dalam Modul Sejarah Indonesia (2020:14), Anik Sulistiyowati menjabarkan beberapa strategi tersebut:
- Mengundang para pedagang dari Inggris, Perancis, Denmark, dan Portugis berdagang di Banten;
- Meluaskan interaksi dagang dengan bangsa Cina, India, dan Persia;
- Mengirim beberapa kapal dengan maksud mengganggu pasukan VOC;
- Membuat saluran irigasi sepanjang Sungai Ujung Jawa sampai Pontang yang ditujukan sebagai persiapan suplai perang dan pengairan sawah.
Rupanya, segala yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut terjadi karena VOC sering menghadang kapal asal Cina yang tengah melakukan perjalanan ke Banten. Dengan semangat mempertahankan kehidupan Banten, Pangeran Surya tidak segan melakukan gangguan balik kepada pihak VOC. Di tengah situasi konflik, pada 1671, Sultan Ageng Tirtayasa menitahkan Sultan Haji menjadi orang yang mengurus masalah dalam negeri Banten.
Terkait masalah dengan luar negeri, merupakan urusan Sultan Ageng sendiri. Akan tetapi, pengangkatan Sultan Haji ini membawa keuntungan kepada VOC. Berkat dukungan VOC, Sultan Haji justru merebut kekuasaan Banten dan menjadi raja di Istana Surosowan pada 1681. Sebagai imbal balik dukungannya VOC, Sultan Haji harus menandatangani perjanjian, yang berisi:
- Kesultanan Banten musti memberikan daerah Cirebon kepada VOC;
- Monopoli lada di Banten diambil alih VOC;
- Pasukan Banten yang ada di pantai Priangan harus ditarik mundur, dan
- VOC meminta 600.000 ringgit jika Banten nantinya mengingkari perjanjian yang telah disebutkan.
gelar: 1654 - 1656, Galuh, Bupati Galuh Kertabhumi Terakhir / Kanduruan Singaperbangsa IV
RADEN ADIPATI SINGAPERBANGSA (1633-1677)
Raden Adipati Singaperbangsa putra Wiraperbangsa dari Galuh (Wilayah Kerjaaan Sumedanglarang) Bergelar Adipati Kertabumi IV. Pada masa pemerintahan Raden Adipati Singaperbangsa, pusat pemerintahan Kabupaten Karawang berada di Bunut Kertayasa. Sekarang termasuk wilayah Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat. Dalam melaksanakan tugasnya Raden Adipati Singaperbangsa didampingi oleh Aria Wirasaba, yang pada saat itu oleh kompeni disebut sebagai “ HET TWEEDE REGENT “, sedangkan Raden Adipati Singaperbangsa sebagai “HOOFD REGENT”. Raden Adipati Singaperbangsa, wafat pada tahun 1677, dimakamkan di Manggung Ciparage, Desa Manggung Jaya Kecamatan Cilamaya Kulon. Raden Adipati Singaperbangsa, dikenal pula dengan sebuatn Kiai Panembahan Singaperbangsa, atau Dalem Kalidaon atau disebut juga Eyang Manggung.
Pada tahun 1632, Sultan Agung mengutus kembali Wiraperbangsa dari Galuh dengan membawa 1000 prajurit dan keluarganya menuju Karawang tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah membebaskan Karawang dari pengaruh Banten, mempersiapkan logistik sebagai bahan persiapan melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia, sebagaimana halnya tugas yang diberikan kepada Aria Wirasaba yang telah dianggap gagal. Tugas yang diberikan kepada Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik dan hasilnya dilaporkan kepada Sultan Agung atas keberhasilannya, Wiraperbangsa oleh Sultan Agung dianugerahi jabatan Wedana (setingkat Bupati ) di Karawang dan diberi gelar Adipati Kertabumi III, serta diberi hadiah sebilah keris yang bernama “KAROSINJANG”.Setelah penganugerahan gelar tersebut yang dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa bermaksud akan segera kembali ke Karawang, namun sebelumnya beliau singgah dulu ke Galuh, untuk menjenguk keluarganya. Atas takdir Ilahi beliau wafat di Galuh, jabatan Bupati di Karawang, dilanjutkan oleh putranya yang bernama Raden Singaperbangsa dengan gelar Adipati Kertabumi IV yang memerintah pada tahun 1633-1677, Tugas pokok yang diemban Raden Adipati Singaperbangsa, mengusir VOC (Belanda) dengan mendapat tambahan parjurit 2000 dan keluarganya, serta membangun pesawahan untuk mendukung Logistik kebutuhan perang.
Hal itu tersirat dalam piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut : “ Panget Ingkang piagem kanjeng ing Ki Rangga gede ing Sumedang kagadehaken ing Si astrawardana. Mulane sun gadehi piagem, Sun Kongkon anggraksa kagengan dalem siti nagara agung, kilen wates Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isine pun pari limang takes punjul tiga welas jait. Wodening pari sinambut dening Ki Singaperbangsa, basakalatan anggrawahani piagem, lagi lampahipun kiayi yudhabangsa kaping kalih Ki Wangsa Taruna, ingkang potusan kanjeng dalem ambakta tata titi yang kalih ewu; dipunwadanahaken ing manira, Sasangpun katampi dipunprenaharen ing Waringipitu ian ing Tanjungpura, Anggraksa siti gung bongas kilen, Kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi mulud tahun alif. Kang anulis piagemmanira anggaprana titi “. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :
“Peringatan piagam raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung milik raja. Di sebelah Barat berbatas Cipamingkis, disebelah Timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi padi lima takes lebih tiga belas jahit. Adapun padi tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa. Basakalatan yang menyaksikan piagam dan lagi Kyai Yudhabangsa bersama Ki Wangsataruna yang diutus oleh raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga. Pimpinannya adalah Kiayi Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah negara agung di sebelah Barat. Piagan ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 bulan mulud tahun alif. Yang menulis piagam ini ialah anggaprana, selesai. Tanggal yang tercantum dalam piagam pelat kuningan kandang sapi gede ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Karawang berdasarkan hasil penelitian panitia sejarah yang dibentuk dengan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Karawang nomor : 170/PEM/H/SK/1968 tanggal 1 Juni 1968 yang telah mengadakan penelitian dari pengkajian terhadap tulisan :
- Dr. Brandes dalam “ Tyds Taal-land En Volkenkunde “ XXVIII Halaman 352,355, menetapkan tahun 1633;
- Dr. R Asikin Wijayakusumah dalam ‘ Tyds Taal-land En Volkenkunde “ XXVIII 1937 AFL, 2 halaman 188-200 (Tyds Batavissc Genot Schap DL.77, 1037 halaman 178-205) menetapkan tahun 1633;
- Batu nisan makam panembahan Kiyai Singaperbangsa di Manggungjaya Kecamatan Cilamaya tertulis huruf latin 1633-1677;
- Babad Karawang yang ditulis oleh Mas Sutakarya menulis tahun 1633.
Hasil Penelitian dan pengkajian panitia tersebut menetapkan bahwa hari jadi Kabupaten Karawang pada tanggal 10 rabi’ul awal tahun 1043 H, atau bertepatan dengan tanggal 14 September 1633 M atau Rabu tanggak 10 Mulud 1555 tahun jawa/saka.
SILSILAH PANEMBAHAN SINGAPERBANGSA (PECAHAN DARI SILSILAH PANGERAN KUSUMADINATA 1 / PANGERAN SANTRI-SUMEDANG LARANG)
Generasi ke-1
1 Panembahan Singaperbangsa (Kiyai Raden Adipati Kertabumi IV, Dalem Kalidaun, Dalem Ciparage, Eyang Manggu). 1.1 RAA. Panatayuda I1.2 NM Noermala or Sara
gelar: 1683 - 1687, Sultan Banten Ke VII
penguburan: Sedakingkin-Banten
berputra:
Sultan Abdul Fadhl Sultan Abul Mahasin Pangeran Muhammad Thahir Pangeran Fadhludin Pangeran Ja’farrudin Ratu Muhammad Alim Ratu Rohimah Ratu Hamimah Pangeran Ksatrian Ratu Mumbay (Ratu Bombay)
Masa Raja / Sultan Banten ke 7
Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687) Dengan gelar Sultan Abu Nashr Muhammad Abdul Kahar. Penobatan ini disertai beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang meminimalkan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan rakyat semakin menjadi karena monopoli perdagangan VOC. Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan tekanan dari VOC yang tuntutannya sesuai perjanjian harus diturut. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Sultan Haji
Sultan Haji merupakan salah seorang putera dari Sultan Abulfath Abdulfattah atau Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten. Namanya Sultan Abunnashri Abdulkahar atau Abdulqohhar namun lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Ia mendapatkan tahtanya bekerja sama dengan Belanda setelah menggulingkan ayahnya. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi, mengingat jika ia pewaris syah dari Kesultanan Banten seharusnya tanpa melakukan kudeta terhadap ayahnya pun, ia dapat menerima tahta tersebut.
Masalah ini dimungkinkan ketidak sabaran Sultan Haji untuk segera menduduki jabatannya, karena ada putra Sultan Ageng lainnya yang bernama Pangeran Purbaya dianggap mampu menggantikan Sultan Ageng, atau Sultan merasa kurang sreg terhadap perilaku Sultan Haji. Namun dimungkinkan pula ada hasutan Belanda, mengingat hubungan Belanda dengan Sultan Ageng dan para pendahulunya kurang baik. Sedangkan jika mendukung Sultan Haji maka Belanda akan lebih mudah menguasai perdagangan di Banten.
Spekulasi terakhir ini yang mungkin paling mendekati, mengingat ada simbiosa mutualisma antara Belanda yang bertujuan melancarkan kepentingan dagangnya dan Sultan Haji yang mengincar jabatan kesultanan. Ketika terjadi peperangan antara Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji yang dibantu Belanda istana habis terbakar, tidak sedikit pula perkampungan menjadi musnah.
Sejak Sultan Haji bertahta banyak peristiwa-peristiwa yang sangat merugikan Kesultanan Banten, baik masalah perekonomian negara maupun perpolitikannya. Banyak sudah pemberontakan yang dilakukan rakyat termasuk para pendukung setia Sultan Ageng. Tabiat Sultan Haji dalam menghadapi Belanda pun sangat bertolak belakang dengan para pendahulunya. Sultan Haji sangat mengandalkan bantuan militer dan bantuan ekonomi Belanda, berakibat Banten tidak lagi memiliki kedaulatan penuh, bahkan Belanda sangat mempengaruhi struktur pemerintahan Banten.
Kata Untoro (2007) menyebutkan, sejak ditandatanganinya perjanjian pada tanggal 17 april 1684 praktis kukuasaan Kesultanan Banten dapat dianggap runtuh. Lebih lanjut menyebutkan : Perjanjian antara Kesultanan Banten dengan Belanda ditandatangani di Keraton Surasowan, dibuat dalam bahasa Belanda dan Jawa dan Melayu. Penanndatanganan dari pihak Kompeni dilakukan oleh komandan dan presiden komisi Franscois Tack, Kapten Herman Dirkse Wendepoel, Evenhart van der Schuere serta Kapten bangsa Melayu, Wan Abdul Kahar, sedangkan dari pihak Banten dilakukan oleh Sultan Abdul Kahar, pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tadjudin, pangeran Natanegara, dan pangeran Natawijaya (Tjandrasasmita : 1967 : 54). Sejak perjanjian tersebut Kompeni secara langsung aktif menentukan monopoli perdagangan Banten.
Beberapa diantara peninggalannya yang monumental, ia membangun daerah-daerah yang rusak akibat perang, selain itu ia membangun kembali istana Surosowan. Untuk membangun istana Surasowan iapun meminta bantuan Cardeel, seorang arsitek Belanda. Iapun mengganti cara berpakaian dari berpakaian ala Banten menjadi cara berpakaian Arab, sekalipun pernah ditentang oleh Sultan Ageng ketika ia masih berkuasa.
Sultan Haji meninggal dan dimakamkan di Sedakingkin, sebelah utara mesjid Agung, sejajar dengan makam Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji dikarunia beberapa orang anak, antara lain Pengeran Ratu yang kemudian menggantikan tahtanya sebagai Sultan Banten yang dikenal dengan sebutan Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya (1687-1690), Raja / Sultan kedelapan di Kesultanan Surasowan Banten.. Namun hanya sebentar dan tidak mempunyai keturunan.
http://gentong-pusaka.blogspot.co.id/2013/01/sultan-haji.html
wafat: 21 Februari 1659, Kotagede Yogyakarta, Dimakamkan di Pajimatan Imogiri
pekerjaan: Bangil, Jawa Timur, Adipati Pasuruan ( ? - 1706 )
wafat: 5 Desember 1706, Bangil, Gugur dalam Perang dengan Pasukan Keraton Surakarta yang dibantu Pasukan VOC Belanda.
gelar: 1677 - 1723, Cirebon, Sultan Kanoman I
wafat: 1723, Cirebon
wafat: 1703, Mataram
Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang bergelar R.A. Angganaya (1678-1693).
Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak jabatan bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan VOC. Angganaya memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R. Angganata, R. Ay. Gilang, dan R. Kartadinata.
perkawinan: <38> ♀ Nji Raden Ajoe Nn (Nn) [Nn]
pekerjaan: 1709, Surabaya, Jawa Timur, Bupati kasepuhan I Surabaya ( 1709 - 1718 )
wafat: 1723, Kaap De Goede Hoop, Afrika Selatan
perkawinan: <40> ♂ Pangeran Cakraningrat I (Raden Praseno) [Aria Damar]
1.1.15.4 NR. Soemalintang or NR Ajoemajar or RA Soedarsah . 1.1.15.4X Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema DiningratKeseluruhan keturunannya terdapat dibuku "Sajarah Babon Luluhur Sukapura" (SBLS), disusun oleh Rd. Sulaeman Anggapradja, sesepuh KWS (Kumpulan Wargi Sukapura) Cabang Garut, tertanggal 27 September 1976. Dalam bentuk file report lengkap yang tercakup dalam database silsilah pada "Descendants of Pangeran Koesoemadiningrat or Pgn Koesoema Diningrat"]
1.1.10.5X Kiai Naja Poespa ., (1.4.1.6) 1.1.10.5.1 Kiai Angga Poespa 1.1.10.5.2 Kiai Angga Koesoemah . 1.1.10.5.3 Kiai Najakoesoemah . 1.1.10.5.4 Rd. Wirakoesoemah . 1.1.10.5.5 Kiai Wirakoesoemah . 1.1.10.5.6 NM. Natawoelan . 1.1.10.5.7 Kiai Bangsawiria . 1.1.10.5.8 Kiai Anggadinata .1.1.10.5.9 Kiai Soerakoesoemah .
1. BABAD Banten
2. Catatan Keluarga Drs. R (Tb) H. Achmad Arslan Jayasentika, M. Sc (Juru Sejarah Bani Jayasentika).
3. Catatan Keluarga R (Tb). Dika Syah Bachri (Sekretaris Umum Dzurriyyat Panembahan Maulana Yusuf Pekalangan Gede 1570 - 1580, Kasunyatan - Banten).
4. Buku Nasab Induk : Keluarga Pangeran Jaya Sentika (Halim)
8
4191/8 <261> ♂ 1.1.1.5.2.2. Rd. Soetanata I . [Sumedang Larang]wafat: Jawa Timur
perkawinan: <41> ♀ Ratu Wetan (Kajoran) [Kajoran]
perkawinan: <589!> ♀ Gusti Kanjeng Ratu Pembayun [P. Pekik]
gelar: 1646 - 13 Juli 1677, SULTAN MATARAM KE 4 bergelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung (Amangkurat 1)
wafat: 13 Juli 1677, Wanayasa, Banyumas
Silsilah Amangkurat I Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin, putra Sultan Agung. Ibunya bergelar Ratu Wetan, yaitu putri Tumenggung Upasanta bupati Batang (keturunan Ki Juru Martani). Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram.
Sebagaimana umumnya raja-raja Mataram, Amangkurat I memiliki dua orang permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Awal pemerintahanPada tahun 1645 ia diangkat menjadi raja Mataram untuk menggantikan ayahnya, dan mendapat gelar Susuhunan Ing Alaga. Ketika dinobatkan secara resmi tahun 1646, ia bergelar Amangkurat atau Mangkurat, lengkapnya adalah Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung. Dalam bahasa Jawa kata Amangku yang berarti "memangku", dan kata Rat yang berarti "bumi", jadi Amangkurat berarti "memangku bumi". Demikianlah, ia menjadi raja yang berkuasa penuh atas seluruh Mataram dan daerah-daerah bawahannya, dan pada upacara penobatannya tersebut seluruh anggota keluarga kerajaan disumpah untuk setia dan mengabdi kepadanya.
Amangkurat I mendapatkan warisan Sultan Agung berupa wilayah Mataram yang sangat luas. Dalam hal ini ia menerapkan sentralisasi atau sistem pemerintahan terpusat. Amangkurat I juga menyingkirkan tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan pandangan politiknya. Misalnya, Tumenggung Wiraguna dan Tumenggung Danupaya tahun 1647 dikirim untuk merebut Blambangan yang telah dikuasai Bali, namun keduanya dibunuh di tengah jalan.
[[Pada tahun 1647 ibu kota Mataram dipindah ke Plered]]. Istana baru ini lebih banyak dibangun dari batu bata, sedangkan istana lama di Kerta terbuat dari kayu. Perpindahan istana tersebut diwarnai pemberontakan Raden Mas Alit atau Pangeran Danupoyo, adik Amangkurat I yang menentang penumpasan tokoh-tokoh senior. Pemberontakan ini mendapat dukungan para ulama namun berakhir dengan kematian Mas Alit. Amangkurat I ganti menghadapi para ulama. Mereka semua, termasuk anggota keluarganya, sebanyak 5.000 orang lebih dikumpulkan di alun-alun untuk dibantai.
Hubungan dengan pihak lainAmangkurat I menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, antara lain pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I dianggap sebagai bukti takluk VOC terhadap kekuasaan Mataram. Namun ia kemudian tergoncang saat VOC merebut Palembang tahun 1659.
Permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten tapi gagal. Kemudian tahun 1652 Amangkurat I melarang ekspor beras dan kayu ke negeri itu.
Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makasar yang dijalin Sultan Agung akhirnya hancur di tangan putranya setelah tahun 1658. Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak.
Perselisihan dengan putra mahkotaAmangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat yang menjadi Adipati Anom. Perselisihan ini dilatarbelakangi oleh berita bahwa jabatan Adipati Anom akan dipindahkan kepada Pangeran Singasari (putra Amangkurat I lainnya).
Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663. Perselisihan memuncak tahun 1668 saat Mas Rahmat merebut calon selir ayahnya yang bernama Rara Oyi.
Amangkurat I menghukum mati Pangeran Pekik mertuanya sendiri, yang dituduh telah menculik Rara Oyi untuk Mas Rahmat. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.
Pemberontakan TrunajayaMas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan. Kemudian Trunajaya dibiayai untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.
Maka dimulailah [[pemberontakan Trunajaya pangeran Madura]]. Trunajaya dan pasukannya juga dibantu para pejuang Makasar pimpinan Karaeng Galesong, yaitu sisa-sisa pendukung Sultan Hasanuddin yang dikalahkan VOC tahun 1668. Sebelumnya tahun 1674 pasukan Makasar ini pernah meminta sebidang tanah untuk membuat perkampungan, namun ditolak Amangkurat I.
Pertempuran demi pertempuran terjadi di mana kekuatan para pemberontak semakin besar. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom sebagaimana yang direncanakan sebelumnya dan malah melakukan penjarahan terhadap istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik kembali memihak ayahnya.
Puncaknya, tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Babad Tanah Jawi menyatakan, dengan jatuhnya istana Plered menandai berakhirnya Kesultanan Mataram. Setelah mengambil rampasan perang dari istana, Trunajaya kemudian meninggalkan keraton Mataram dan kembali ke pusat kekuasaannya di Kediri, Jawa Timur.
Kesempatan tersebut diambil oleh Pangeran Puger untuk menguasai kembali keraton yang sudah lemah, dan mengangkat dirinya menjadi raja di Plered dengan gelar Susuhunan ing Alaga. Dengan demikian sejak saat itu terpecahlah kerajaan Mataram.
Kematian Amangkurat IPelarian Amangkurat I membuatnya jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Amangkurat I meninggal pada 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum. Oufers hadir disana dengan dua belas orang serdadu. Amangkurat I juga berwasiat agar Mas Rahmat meminta bantuan VOC dalam merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas Rahmat ini kemudian bergelar Amangkurat II dan mendirikan Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram.gelar: Bupati Sumedang Ke 5 Tahun (1706–1709)
Profil Rd. Tmg. Tanoemadja
Pengganti Pangeran Panembahan adalah putranya Raden Tanumadja (1706 – 1709), Raden Tanumadja adalah bupati pertama yang diangkat oleh kompeni. Pengangkatannya pun disertai syarat, yaitu harus menempuh masa percobaan, kesetiaan dan ketaatan Raden Tanumadja terhadap pemerintah kompeni dan Raden Tanumadja dibawah Pangeran Aria Cirebon sebagai atasannya karena Pangeran Aria Cirebon diangkat menjadi Gubernur di Priangan.
Seperti di ceritakan di atas pada tahun 1681 Ibukota Sumedang dipindahkan dari Tegal Kalong ke Regolwetan oleh Pangeran Panembahan. Dalam membangun Ibukota sumedang yang baru Pangeran Panembahan tidak sempat menyaksikan karena keburu wafat maka pembangunan dilanjutkan oleh Putranya Raden Tanumadja, pada masa Pangeran Panembahan membangun gedung kabupatian baru bernama Srimanganti yang selanjutnya pembangunan gedung Srimanganti diselesaikan oleh Raden Tanumadja
Daftar isi |
TIGA TOKOH NAMA PANGERAN "PURBAYA" DI JAWA
Pangeran Purubaya atau Pangeran Purbaya dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa merujuk kepada tiga tokoh:
- Pangeran Purbaya Kesultanan Mataram, putra ke 5 Panembahan Senopati Mataram, dikalkulasi lahir pada tahun 1597, hidup sampai zaman pemerintahan Amangkurat I putra Sultan Agung. Ia hampir saja menjadi korban ketika Amangkurat I menumpas tokoh-tokoh senior yang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya. Untungnya, Purbaya saat itu mendapat perlindungan dari ibu suri (janda Sultan Agung).Purbaya meninggal dunia bulan Oktober 1676 saat ikut serta menghadapi pemberontakan Trunajaya. Amangkurat I mengirim pasukan besar yang dipimpin Adipati Anom, putranya, untuk menghancurkan desa Demung (dekat Besuki) yang merupakan markas orang-orang Makasar sekutu Trunajaya. Perang besar terjadi di desa Gogodog. Pangeran Purbaya yang sudah lanjut usia gugur akibat dikeroyok orang-orang Makasar dan Madura.
- Pangeran Purbaya Kasunanan Kartasura, alias Gusti Panembahan Purbaya (Raden Mas Sasangka), putera Susuhunan Pakubuwono I (Amangkurat I), dikalkulasi lahir sekitar tahun 1665, pernah menjadi Adipati Pajang. Sepeninggal sang ayah, Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar berselisih dengan kakak mereka, yaitu Amangkurat IV (raja baru). Amangkurat IV mencabut hak dan kekayaan kedua adiknya itu. Pangeran Purbaya masih bisa bersabar, namun Pangeran Blitar menyatakan pemberontakan. Perang saudara pun meletus tahun 1719. Perang ini terkenal dengan nama Perang Suksesi Jawa Kedua. Pangeran Purbaya akhirnya bergabung dengan kelompok Pangeran Blitar. Mereka membangun kembali istana lama Mataram di kota Karta, dengan nama Kartasekar. Pangeran Blitar mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan, sedangkan Pangeran Purbaya sebagai penasihat bergelar Panembahan. Setelah Pangeran Blitar meninggal di Malang tahun 1721 karena sakit, perjuangan pun dilanjutkan Panembahan Purbaya. Ia berhasil merebut Lamongan. Namun gabungan pasukan Kartasura dan VOC terlalu kuat. Purbaya akhirnya tertangkap bersama para pemberontak lainnya. Panembahan Purbaya dihukum buang ke Batavia. Ia memiliki putri yang menjadi istri Pakubuwana II putra Amangkurat IV. Dari perkawinan itu lahir Pakubuwana III raja Surakarta yang memerintah tahun 1732-1788.
- Pangeran Purbaya Kesultanan Banten, Pangeran Purbaya yang ini adalah putra Sultan Ageng Tirtayasa raja Banten (1651-1683). Ia mendukung perjuangan ayahnya dalam perang melawan VOC tahun 1682-1684. Pangeran Purbaya adalah putera kedua Sultan Ageng Tirtayasa, dikalkulasi lahir pada tahun 1661. Pangeran Purbaya juga diangkat menjadi putra mahkota baru karena Sultan Haji (putra mahkota sebelumnya) memihak VOC. Setelah berperang sekitar 3 tahun, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya tertangkap bulan Maret 1683, dan Banten pun jatuh ke tangan VOC. Pangeran Purbaya dan istrinya yang anti VOC bernama Raden Ayu Gusik Kusuma lalu melarikan diri ke Gunung Gede. Penderitaan Purbaya membuat dirinya memutuskan untuk menyerah. Namun, ia hanya mau dijemput oleh perwira VOC yang berdarah pribumi. Saat itu VOC sedang sibuk menghadapi gerombolan Untung Suropati. Kapten Ruys pemimpin benteng Tanjungpura berhasil membujuk Untung Suropati agar bergabung dengan VOC daripada hidup sebagai buronan. Untung Suropati bersedia. Ia pun dilatih ketentaraan dan diberi pangkat Letnan. Untung Suropati kemudian ditugasi menjemput Pangeran Purbaya di tempat persembunyiannya. Namun datang pula pasukan VOC lain yang dipimpin Vaandrig Kuffeler, yang memperlakukan Purbaya dengan tidak sopan. Sebagai seorang pribumi, Untung Suropati tersinggung dan menyatakan diri keluar dari ketentaraan. Ia bahkan berbalik menghancurkan pasukan Kuffeler. Pangeran Purbaya yang semakin menderita memutuskan tetap menyerah kepada Kapten Ruys di benteng Tanjungpura. Sebelum menjalani pembuangan oleh Belanda pada April 1716, Pangeran Purbaya memberikan surat wasiat yang isinya menghibahkan beberapa rumah dan sejumlah kerbau di Condet kepada anak-anak dan istrinya yang ditinggalkan.[1] Sedangkan istrinya Gusik Kusuma konon pulang ke negeri asalnya di Kartasura dengan diantar Untung Suropati.
PANGERAN PURBAYA BANTEN
Pangeran Arya Purbaya adalah salah satu putra dari istri-istri Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), yang menjadi penerus mahkota kesultanan yaitu Pangeran Gusti atau Sultan Abu Nasr Abdul Kahar (1672-1687) yang kelak disebut Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai beberapa istri diantaranya Ratu Adi Kasum sebagai permaisuri yang melahirkan Abdul Kahar (Sultan Abdul Nasr Abdul Kahar), dari Ratu Ayu Gede, Sultan Ageng dikaruniai 3 orang anak, yaitu P. Arya Abdul Alim, P. Ingayujapura (ingayudipura) dan Pangeran Arya Purbaya. Sedangkan dari istri-istri lainnya mempunyai beberapa anak yaitu P. Sugiri, TB. Raja Suta, TB. Husen, TB. Kulon, dan lain-lain.
Putera mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat menjadi pembantu ayahnya (Sultan Ageng) untuk mengurus urusan dalam negeri Kesultanan Banten.
Sedangkan Pangeran Arya Purbaya membantu ayahnya untuk mengurus urusan luar negeri dan berkedudukan di Keraton kecil di Tirtayasa.
Pemisahan pengurusan tata pemerintahan itu tercium oleh wakil VOC W. Chaeff yang menghasut Sultan Haji untuk mencurigai posisi adiknya yaitu P. Arya Purbaya, karena dapat mendominasi pemerintahan dan Sultan Haji tidak bisa naik tahta, atas hasutan Itulah terjadi persekongkolan antara Sultan Haji dan VOC.
Pada Bulan Mei 1680 Sultan Haji mengutus perwakilan untuk bertemu dengan Gubernur Jendral VOC di Batavia untuk mengukuhkan dirinya sebagai Sultan.
Pada tanggal 25 November 1680 Sultan Ageng Tirtayasa sangat marah kepada putra mahkota Sultan Haji karena ia memberi ucapan selamat kepada Gubernur baru Speelman yang menggantikan Rijkolf Van Goens padahal Kompeni baru saja menghancurkan gerilya Banten dan Cirebon.
Dengan bantuan VOC, Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan menguasai Keraton Surosowan pada tahun 1681. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecah perang antara Ayah-Anak. Dalam waktu singkat, Sultan Ageng berhasil menguasai Keraton Surosowan. Pasukan Sultan Ageng berkoalisi dengan pasukan gabungan pelarian dari Makassar, Jawa Timur, Lampung, Bengkulu, Melayu. Karena daerah asal mereka dikuasai VOC dan menggabungkan diri dengan Banten, atas kekecewaan mereka terhadap raja-rajanya.
Sultan Haji berlindung di loji Belanda dan dilindungi oleh Jacob de Roy dan dipertahankan oleh Kapten Sloot dan W. Cheaff. Tanggal 7 April 1682 pauskan Kompeni dari Armada Laut mendesak Keraton Tirtayasa dan Keraton Surosowan, pasukan tersebut dipimpin Francois Tack, De Sain Martin dan Jongker.
Sultan Ageng gigih berjuang dibantu Syekh Yusuf dari Makassar dan Pangeran Purbaya, serta Pasukan Makassar, Bali dan Melayu yang bermarkas di Margasana.
Tanggal 8 Desember 1682 Kacarabuan, Angke dan Tangerang dikuasai VOC, Sultan Ageng bertahan di Kademangan, tetapi pertahanan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit, pasukan Kademangan yang dipimpin P. Arya Wangsadiraja akhirnya mengungsi ke Pedalaman Banten yaitu Ciapus, Pagutan dan Jasinga.
Pada tanggal 28 Desember 1682, Pasukan Jongker, Michele dan Tack mendesak Keraton Tirtayasa, Sultan Ageng berhasil menyelamatkan diri dengan terlebih dahulu Pangeran Purbaya membakar Keraton Tirtayasa untuk menyelamatkan Ayahnya, Sultan Ageng, Pangeran Kulon, Syekh Yusuf Makassar mengungsi ke Sajira dan Muncang.
Sementara Pangeran Arya Purbaya dan pasukannya bergerak ke Parijan pedalaman Banten hingga ke Jasinga karena Pasukan Arya Wangsadireja berlebih dahulu mengungsi ke Jasinga.
Sultan Haji mengirimkan utusan ke Sajira untuk berdamai dan akhirnya pada tanggal 14 Maret 1683 Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Arya Purbaya mendatangi Surosowan. Akibat akal licik VOC dan Sultan Haji, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan dibawa ke Batavia untuk diadili. Pangeran Purbaya berhasil meloloskan diri.
Pangeran Perbaya, Pangeran Kulon dan Syekh Yusuf Makassar meneruskan perjuangan melawan Kompeni.
Syekh Yusuf bersama Pangeran Kidul dan pasukan yang berjumlah 5000 orang, 1000 diantaranya Melayu, Bugis, Makassar yang siap mati bersama gurunya bergerak menuju Muncang terus ke Lawang Taji (Jasinga) menyusuri Sungai Cidurian kemudian ke Cikaniki terus ke Ciaruteun melalui Cisarua dan Jampang kemudian meneruskan ke Sukapura dan Mandala dengan tujuan Cirebon.
Pangeran Purbaya kemudian menyusul bersama Pangeran Kulon dan Pangeran Sake beserta pasukannya hingga ke Galunggung dan Singaparna (Tasikmalaya).
Pada tanggal 25 September 1683 pasukan Pangeran Kidul dan Pasukan Banten dan Makassar gugur di Citanduy (Padalarang). Syekh Yusuf Makassar ditangkap oleh Van Happel yang menyamar sebagai orang muslim, dibuagn ke Cape Town (Afrika Selatan).
Pangeran Purbaya sempat mempertahankan pedalaman Banten dna membuat garis batas di Cikeas (antara Banten dan Batavia), Pangeran Purbaya mempertahankan Banten Selatan. Ia meneruskan perjuangan Syekh Yusuf Makassar dan akhirnya Pangeran Purbaya bersama Pangeran Kulon dan Pangeran Sake gugur dalam pemberontakan di Galunggung (Tasikmalaya).
Sekelumit tentang Pangeran Purbaya dalam sejarah autentik sangat berjasa dalam mempertahankan Banten dan dipercaya oleh Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Makassar bahkan pasukan koalisi Makassar, Bugis dan Melayu.
SILSILAH PANGERAN POERBAJA
- Sultan Ageng Tirtayasa >< Nyai Gede Ayu, berputra
- Pangeran Poerbaja >< Ratu Ayoe Gesik Keosoemah, berputra
PROPERTI PANGERAN PURBAJA
Banyak asset-asset peninggalan Pangeran Purbaya di daerah Batavia dan sekitarnya, diantaranya adalah :
- Tanah didaerah Kebantenan, Cilincing;
- Tanah & Pabrik Gula di daerah Bekasi Selatan;
- Tanah & Rumah Tinggal di daerah Condet;
- Tanah & Rumah didaerah Kampung Karang Congok, Karang Satria, Tambun Utara, Bekasi;
- Tanah & Rumah di Jatingara Kaum;
- Tanah & Rumah di Citeureup, Bogor;
- Tanah & Rumah di Ciluar (Tanah Baru), Bogor;
Kemungkinan besar, aset sebanyak itu sebagian diwariskan ke Anak Isterinya, sebagian lagi dihibahkan untuk Saudaranya dan dijadikan Wakaf Masjid, Rumah Sakit dan Pesantren.
PETA TANAH MILIK PANGERAN POERBAJA
Persil Tanah Milik P. Poerbaja di Karangtjongok (Sekarang Karangsatria), Bekasi, seluas 35 Ha (5-12-1778).Beberapa Alasan Para Pangeran dan Cucu Buyutnya Hijrah Ke Batavia
Pasca perseteruan antara Sultan Haji dengan Ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa, dimana pada akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa berikut Putera-puteranya (Pangeran) yang mendukungnya di bawah pengawasan Pemerintah Pusat VOC, dan mereka untuk sementara ditempatkan di Kastil Batavia.perkawinan: <582!> ♀ Ratu Rohimah [Manduraraja]
gelar: 1690 - 1733, Sultan Banten Ke IX
berputra 58 orang :
- Sultan Muhammad Syifa
- Sultan Muhammad Wasi’
- Pangeran Yusuf
- Pangeran Muhammad Shaleh
- Ratu Samiyah
- Ratu Komariyah
- Pangeran Tumenggung
- Pangeran Ardikusuma
- Pangeran Anom Mohammad Nuh
- Ratu Fatimah Putra
- Ratu Badriyah
- Pangeran Manduranagara
- Pangeran Jaya Sentika
- Ratu Jabariyah
- Pangeran Abu Hassan
- Pangeran Dipati Banten
- Pangeran Ariya
- Raden Nasut
- Raden Maksaruddin
- Pangeran Dipakusuma
- Ratu Afifah
- Ratu Siti Adirah
- Ratu Safiqoh
- Tubagus Wirakusuma
- Tubagus Abdurrahman
- Tubagus Mahaim
- Raden Rauf
- Tubagus Abdul Jalal
- Ratu Hayati
- Ratu Muhibbah
- Raden Putera
- Ratu Halimah
- Tubagus Sahib
- Ratu Sa’idah
- Ratu Satijah
- Ratu ‘Adawiyah
- Tubagus Syarifuddin
- Ratu ‘Afiyah Ratnaningrat
- Tubagus Jamil
- Tubagus Sa’jan
- Tubagus Haji
- Ratu Thoyibah
- Ratu Khairiyah Kumudaningrat
- Pangeran Rajaningrat
- Tubagus Jahidi
- Tubagus Abdul Aziz
- Pangeran Rajasantika
- Tubagus Kalamudin
- Ratu Siti Sa’ban Kusumaningrat
- Tubagus Abunasir
- Raden Darmakusuma
- Raden Hamid
- Ratu Sifah
- Ratu Minah
- Ratu ‘Azizah
- Ratu Sehah
- Ratu Suba/Ruba
- Tubagus Muhammad Said (Pangeran Natabaya)
Masa Raja / Sultan Banten ke 9
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Beliau memerintah dari tahun 1690 sampai 1733. Pada masa beliaulah baru kakek beliau yang pahlawan Nasional Sultan Ageng Tirtayasa wafat di tahun 1692 dalam tahanan Kompeni
RADEN ANOM WIRASUTA (1677-1721)
Raden Anom Wirasuta Putra raden Adipati Singaperbangsa bergelar Adipati Panatayudha I.Beliau dilantik menjadi Bupati di Citaman Pangkalan. Beliau setelah wafat, dimakamkam di Bojongmanggu Pangkalan, Karena beliau dikenal pula dengan sebutan Panembahan Manggu.
SILSILAH PANEMBAHAN SINGAPERBANGSA
Generasi ke-2
1.1 RAA. Panatayuda I (Rd. Anom Wirasuta, Rd. Pager Gunung, RAA Wirasuta) 1.1X1 NM. Galuh 1.1.1 RAA. Panatayuda II 1.1X2 Nyi Gurende 1.1.2 NR. Kertayuda
1.2 NM Noermala or Sara 1.2X Rd. Wiraradja II 1.2.1 Rd. Joedanegara1.2.2 Rd. Raksanegara
Masa Raja / Sultan Banten ke 8
Sepeninggal Sultan Haji, putra beliau Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Beliau sangat perhatian terhadap bidang budaya dan sejarah. Pada tanggal 15 Juni 1690 beliau menemukan Batu Tulis Bogor.
Ternyata Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia jatuh sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata (1693-1706). Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang menyerahkan hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada yang ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia juga menyerahkan 80 pikul tarum dan 55 pikul kapas.
Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule sebagai sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705 sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Amangkurat III.gelar: 1851 - 1860, Patih Kendal
gelar: 1860 - 1863, Regent/Boepati Salatiga, dengan gelar Raden Toemenggoeng
Sumber : Buku "Sajarah Bogor" oleh R. Memed Sunardi, November 1966 (Mengacu kepada referensi Catatan-catatan lainnya seperti : RH. Misbach bin Nuch, R. Jususf Wiranata Negara, R. Atje Atmawidjaja (Djaksa) Menjadi menantu Hoofd Djaksa Salatiga (1846-163) Raden Mas Soemo Dipoero (Almanak 1846-1863)
Menurut Bupati Salatiga Dari Masa Ke Masa, KRT Prawiro Koesoemo terkenal dengan sebutan Bupati Sedo Amuk, yang meninggal karena adanya kemelut.

Disarikan oleh : RE. Suhendar Diponegoro dari tulisan Sartono Kusumaningrat (http://www.tembi.org/majalah-prev/ratu.htm)
Sunan Amangkurat Agung adalah putra kesepuluh Sultan Agung Hanyakrakusuma dan merupakan putra kedua dari permaisuri kedua yang bernama Raden Ayu Wetan. Permaisuri pertama Sultan Agung Hanyakrakusuma bernama Kanjeng Ratu Kulon (Ratu Emas Tinumpak). Permaisuri pertama ini setelah melahirkan putranya yang diberi nama Raden Mas Sahwawrat diusir dari kraton dan tempatnya digantikan oleh permaisuri kedua. Setelah permaisuri pertama meninggalkan kraton, permaisuri kedua diganti namanya menjadi Kanjeng Ratu Kulon.
Amangkurat I lahir pada tahun 1619 dengan nama Raden Mas Sayidin kemudian diberi nama Jibus dan Rangkah ( yang berarti 'semak berduri', 'tutup batas'). Sebagai putra mahkota secara resmi ia diberi nama Pangeran Aria Mataram. Raja ini juga dikenal dengan nama Susuhunan Amangkurat Senapati Ingalaga, Susuhunan Tegalwangi, dan Sultan Plered. Sering pula ia disebut dengan nama Tegalwangi saja. Ia diberi nama Tegalwangi karena meninggal di Tegalwangi (daerah Tegal, Jawa Tengah) dalam pelariannya karena penyerbuan Trunajaya.
Raja ini pulalah yang memindahkan kratonnya dari Kerta ke Plered tidak lama setelah ia menerima tampuk pimpinan pemerintahan. Usaha pemindahan kraton itu sendiri sebenarnya telah dimulai sejak 26 Januari 1648 semasa Sultan Agung masih memegang pemerintahan.
Amangkurat Tegalwangi pernah menghadapi pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya sendiri yang bernama Pangeran Alit / Raden Mas Alit (putra kedua Kanjeng Ratu Kulon) yang mendapat dukungan kaum ulama Mataram. Menurut cerita tutur pemberontakan Pangeran Alit terjadi karena hasutan Tumenggung Pasingsingan (pengasuh Pangeran Alit) dan anaknya yang bernama Tumenggung Agrayuda. Kedua tumenggung itu mengobarkan nafsu Pangeran Alit untuk menjadi raja dan mereka menjamin bahwa separuh Mataram berpihak kepadanya. Akan tetapi pemberontakan Pangeran Alit tidak berhasil karena rencananya terburu diketahui oleh pihak Amangkurat Tegalwangi. Pangeran Alit sendiri tewas oleh karena tergores oleh kerisnya sendiri yang beracun.
Untuk membalas dendam atas dukungan kaum ulama Mataram terhadap adiknya yang memberontak itu, Amangkurat memerintahkan empat orang kepercayaannya untuk melakukan sapu bersih kaum ulama. Empat orang kepercayaannya itu adalah Raden Mas atau Pangeran Aria, Tumenggung Nataairnawa atau Kiai Suta (Tumenggung Pati), Tumenggung Suranata (Tumenggung Demak)., dan Kiai Ngabei Wirapatra. Dalam tragedi ini sebanyak 5-6 ribu orang ulama tewas dibantai secara mengerikan.1.1.10.5.1.1 Knj. Dlm. Adp. Patrakoesoemah . 1.1.10.5.2 Kiai Angga Koesoemah . 1.1.10.5.3 Kiai Najakoesoemah . 1.1.10.5.3X RA. Riyanagara ., 1.1.10.5.3.1 Rd. Soerianatakoesoemah (Patrakoesoemah II) 1.1.10.5.3.2 Dlm. Rd. Paranadiredja . 1.1.10.5.4 Rd. Wirakoesoemah . 1.1.10.5.4.1 Kiai Mas Naja . 1.1.10.5.4.2 NM. Nakisah . 1.1.10.5.4.3 Rd. Wiradinata . 1.1.10.5.5 Kiai Wirakoesoemah . 1.1.10.5.6 NM. Natawoelan . 1.1.10.5.7 Kiai Bangsawiria . 1.1.10.5.8 Kiai Anggadinata . 1.1.10.5.8.1 Wan Tompel . 1.1.10.5.8.2 Wan Mili .1.1.10.5.9 Kiai Soerakoesoemah .
1. BABAD Banten
2. Catatan Keluarga Drs. R (Tb) H. Achmad Arslan Jayasentika, M. Sc (Juru Sejarah Bani Jayasentika).
3. Catatan Keluarga R (Tb). Dika Syah Bachri (Sekretaris Umum Dzurriyyat Panembahan Maulana Yusuf Pekalangan Gede, Banten 1570 - 1580).
4. Buku Nasab Induk : Keluarga Pangeran Jaya Sentika (Halim)