Husayn Ibn Ali b. 11 Januari 626 d. 13 Oktober 680

Dari Rodovid ID

Orang:70255
Langsung ke: panduan arah, cari
Marga (saat dilahirkan) Bani Hashem
Jenis Kelamin Pria
Nama lengkap (saat dilahirkan) Husayn Ibn Ali
Orang Tua

Ali ibn Abu Thalib [Banu Hashim] b. 600? d. 28 Januari 661

Sayyidah Fatima Az Zahra Binti Muhammad SAW [Bani Hasyim] b. 606 d. 632

Halaman-wiki wikipedia:fr:Al-Hussein ibn Ali
[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10][11]

Momen penting

11 Januari 626 lahir:

kelahiran anak: Fatimah [Al Husaini]

kelahiran anak: Потомок Хусейна Хашимов [Хашимовы-потомки]

perkawinan: Shahr Banu [Sassanovici]

perkawinan: Shahr Banu [Sassanovici]

6 Januari 659 kelahiran anak: Madinah, Ali Zainal Abidin (Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib) / Ali bin Husain [Al Husaini] b. 6 Januari 659 d. 20 Oktober 712

669 - 680 gelar: Imam of Shia Islam, 3rd

13 Oktober 680 wafat: Karbala, Iraq

Catatan-catatan

3ième Imam Chiite duodecimain Hilal Achmar link Biografi ini ditulis secara ringkas dan bebas dari kitab-kitab: Siyar A’lâm Nubalâ’ karya Imam adz-Dzahabi Juz 3, penerbit Mu’assasah ar-Risâlah, Tahqiq; Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy, cet. XI – 1422 H/2001 M; al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibnu Katsîr, juz 8, Maktabah al-Ma’ârif – Beirut, tanpa tahun; Tahdzîb at-Tahdzîb karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah cet. I- Mathba’ah Majlis Dâ-irah al-Mâ’arif an-Nizhâmiyah, India – Haidar Abâd dan Majmû’ Fatâwa karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullah.

NAMA DAN NASAB Beliau adalah Husain bin Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thâlib bin ‘Abdil Muth-thalib bin Hâsyim bin ‘Abdi Manâf bin Qushayy al-Qurasyi al-Hâsyimiy. Kun-yahnya Abu 'Abdillah. Seorang imam yang mulia, cucu yang merupakan salah satu bunga kehidupan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dunia dan kesayangannya di samping Hasan Radhiyallahu 'anhuma. Kedua orang tuanya adalah ‘Ali bin Abi Thâlib dan Fâthimah az-Zahra’ binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

KELAHIRANNYA Dilahirkan pada tanggal 5 Sya’bân tahun keempat Hijriyah, dan jarak umur antara beliau dengan Hasan, kakaknya, menurut sebagian ulama adalah satu kali masa suci ditambah masa kehamilan[1] .

KEDUDUKAN HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHU Beliau adalah seorang Imam di antara imam-imam Ahlu Sunnah, memiliki kedudukan mulia di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sangat dicintainya. Dari Ibnu Abi Nu’mi, ia berkata: "Aku mendengar 'Abdullah bin 'Umar Radhiyallahu 'anhuma ketika ditanya oleh seseorang (yang datang dari Irak) tentang hukum orang yang berihram- (kata Syu’bah: saya menduga ia bertanya tentang hukum) membunuh lalat-. Maka 'Abdullah bin 'Umar berkata: "(Lihatlah) orang-orang Irak bertanya tentang hukum membunuh seekor lalat, padahal mereka telah membunuh putra dari putri Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا. رواه البخاري

"Keduanya (Hasan dan Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia". [Riwayat al-Bukhari dan lainnya, Fathul Bâri VII/95, no. 3753]

Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lâm Nubalâ’ [2] membawakan riwayat dari Jâbir Radhiyallahu 'anhu yang ketika melihat Husain bin ‘Ali masuk ke dalam Masjid mengatakan: “Barangsaiapa yang ingin melihat seorang sayyid (pemuka) dari para pemuda ahli sorga maka lihatlah Husain Radhiyallahu 'anhu ini”. Saya mendengar hal itu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam"[3]

Dalam kitab yang sama, adz-Dzahabi rahimahullah juga membawakan riwayat dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, ia berkata: "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelimuti ‘Ali, Fâthimah serta kedua anaknya (Hasan dan Husain) dengan sebuah selimut, kemudian beliau bersabda:

"اَللَّهُمَّ هَؤُلاَءِ أَهْلُ بَيْتِ بِنْتِي وَحَامَتِي، اَللَّهُمَّ أَذْهِبْ عَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهِّرْهُمْ تَطْهِيْرًا". فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ! أَنَا مِنْهُمْ؟ قَالَ : إِنَّكِ إِلَى خَيْرٍ. "Ya Allah, mereka adalah ahli bait putriku dan kesayanganku. Ya Allah, hilangkanlah kotoran dari mereka, dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya”. Aku (Ummu Salamah) bertanya: Apakah aku termasuk mereka?. Beliau menjawab: "Sesungguhnya engkau menuju kepada kebaikan"".

Hadits ini dikatakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah bahwa isnad-nya jayyid (baik), diriwayatkan dari beberapa jalan dari Syahr. Sementara pentahqiq mengatakan, hadits itu shahih dengan syawâhidnya [4].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:

حُسَيْنٌ مِنِّي وَ أَنَا مِنْ حُسَيْنٍ، أَحَبَّ اللهُ مَنْ أَحَبَّ حُسَيْنًا، حُسَيْنٌ سِبْطٌ مِنَ الأسْبَاطِ

"Husain termasuk bagian dariku dan aku termasuk bagian darinya, Allah akan mencintai siapa saja yang mencintai Husain. Dan Husain adalah satu umat di antara umat-umat yang lain dalam kebaikannya"[5].

Demikianlah kedudukan Husain bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhuma, beliau sempat hidup bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sekitar lima tahun. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menyayangi dan memuliakannya sebagaimana menyayangi dan memuliakan Hasan Radhiyallahu 'anhu hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat. Sepeninggal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar, 'Umar dan Utsman pun Radhiyallahu 'anhum sangat mencintai, memuliakan dan mengagungkannya. Dan Husain Radhiyallahu 'anhu selalu menyertai ayahnya, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu sampai wafatnya.

Ketika Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu resmi menjadi khalifah, maka Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu juga sangat memuliakannya, bahkan sangat memperhatikan kehidupan Husain Radhiyallahu 'anhu dan saudaranya, sehingga sering memberikan hadiah kepada keduanya. Tetapi, ketika Yazid bin Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah, Husain Radhiyallahu 'anhu bersama Ibnu Zubair Radhiyallahu 'anhu termasuk yang tidak mau berbai’at. Bahkan penolakan itu terjadi sebelum Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu wafat ketika Yazid sudah ditetapkan sebagai calon khalifah pengganti Mu’awiyah.

Oleh karena itu, beliau berdua keluar dari Madinah dan lari menuju Mekah. Kemudian keduanya menetap di Mekah. Ibnu Zubair Radhiyallahu 'anhu menetap di tempat shalatnya di dekat Ka’bah, sedangkan Husain Radhiyallahu 'anhu di tempat yang lebih terbuka karena di kelilingi banyak orang.

Selanjutnya, banyak surat yang datang kepada Husain Radhiyallahu 'anhu dari penduduk Irak membujuk beliau supaya memimpin mereka. Menurut isi surat, mereka siap membai’at Husain Radhiyallahu 'anhu. Dan surat-surat itu di antaranya berisi pernyataan gembira atas kematian Mu’awiyah Radhiyallahu 'anhu[6]. Karena penduduk Irak memang banyak diwarnai oleh pemikiran rafidhah (syi’ah) dan khawarij.

Begitulah, semua Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memuliakan Husain Radhiyallahu 'anhu sebagaimana mereka memuliakan Hasan Radhiyallahu 'anhu.

Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan riwayat dari Ibnu al-Muhazzim rahimahullah yang mengatakan: “Pernah kami sedang menghadiri suatu jenazah. Lalu, datanglah Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu yang dengan bajunya mengibaskan debu-debu yang ada pada kaki Husain”.[7]

BEBERAPA SIFAT HUSAIN RADHIYALLAHU 'ANHU Secara fisik, Husain Radhiyallahu 'anhu lebih mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bagian dada sampai kaki, sementara Hasan Radhiyallahu 'anhu lebih mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada wajahnya[8]. Ketika kepala Husain didatangkan di hadapan 'Ubaidullah bin Ziyâd, maka sambil memegang sebilah pedang, ia mengkorek-korek hidung (sebagian riwayat: gigi seri) Husain, ia berkata: "Aku belum pernah melihat orang setampan ini". Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu yang ketika itu ada di hadapannya, mengatakan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd: “Husain Radhiyallahu 'anhu merupakan orang yang termasuk paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam“[9].

'Ubaidullah bin Ziyâd adalah Amir (gubernur) Bashrah pada masa pemerintahan Yazid bin Mu’awiah dan yang kemudian oleh Yazid diangkat pula sebagai Amir Kufah menggantikan Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu [10]. 'Ubaidullah bin Ziyâd inilah yang memobilisasi perang melawan Husain Radhiyallahu 'anhu, dan bahkan menekan dengan ancaman kepada 'Umar bin Sa’d bin Abi Waqqâsh rahimahullah untuk memeranginya.[11]

Tentang sifat Husain lainnya, antara lain sebagaimana yang dibawakan oleh adz-Dzahabi rahimahullah dari riwayat Sa’id bin ‘Amr, ia berkata: "Sesungguhnya Hasan Radhiyallahu 'anhu pernah berkata kepada Husain Radhiyallahu 'anhu : “Betapa ingin aku memiliki sebagian kekerasan hatimu”. Lalu Husain Radhiyallahu 'anhu menjawab: “Dan betapa ingin aku memiliki sebagian kelembutan lidahmu”.[12]

WAFATNYA Para ulama berselisih pendapat tentang kapan Husain Radhiyallahu 'anhu wafat. Tetapi, adz-Dzahabi, Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani lebih menguatkan bahwa wafatnya pada hari ‘Asyura bulan Muharam tahun 61 H[13] . Sedang umurnya juga diperselisihkan, ada yang mengatakan 58 tahun, 55 tahun dan 60 tahun. Tetapi Ibnu Hajar rahimahullah menguatkan bahwa umur beliau 56 tahun.[14]

Jauh hari sebelum Husain terbunuh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menceritakan bahwa Husain akan wafat dalam keadaan terbunuh. Adz-Dzahabi rahimahullah membawakan beberapa riwayat tentang itu, di antaranya dari ‘Ali, ia berkata:

“Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika kedua mata beliau bercucuran air mata, lalu beliau bersabda: "Jibril baru saja datang, ia menceritakan kepadaku bahwa Husain kelak akan mati dibunuh. Kemudian Jibril berkata: "Apakah engkau ingin aku ciumkan kepadamu bau tanahnya?". Aku menjawab: "Ya. Jibril lalu menjulurkan tangannya, ia menggenggam tanah satu genggaman. Lalu ia memberikannya kepadaku. Sehingga karena itulah aku tidak kuasa menahan air mataku”.[15]

Intinya banyak riwayat yan menceritakan tentang itu.

Pada hari-hari menjelang wafatnya, saat hendak berangkat dari Mekah menuju Irak, di negeri tempat beliau terbunuh, Husain Radhiyallahu 'anhu meminta nasehat kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

Maka, Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu 'anhma berkata: “Kalaulah tidak dipandang tidak pantas, tentu aku kalungkan tanganku pada kepalamu (maksudnya hendak mencegah kepergiannya)”.

Maka Husain Radhiyallahu 'anhu menjawab: “Sungguh jika aku terbunuh di tempat demikian dan demikian, tentu lebih aku sukai daripada aku mengorbankan kemuliaan negeri Mekah ini” [16]

Husain Radhiyallahu 'anhu akhirnya tetap berangkat menuju Irak setelah sebelumnya mengutus Muslim bin ‘Aqil bin Abi Thalib ke Irak untuk mengadakan penyelidikan, dan akhirnya mendapat berita bahwa beliau harus segera ke Irak.[17]

Namun, ketika Ibnu 'Umar Radhiyallahu 'anhuma tiba di Madinah, beliau mendengar berita bahwa Husain sedang menuju ke Irak. Mengingat betapa bahayanya Irak bagi Husain Radhiyallahu 'anhuma, maka Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma pun menyusulnya untuk menyarankan agar Husain mengurungkan niatnya. Tetapi, karena harapan-harapan yang diberikan oleh orang-orang Irak, maka Husain tetap pada pendiriannya untuk berangkat ke Irak. Maka Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma pun dengan berat hati melepaskannya setelah sebelumnya memeluk Husain Radhiyallahu 'anhu dan mengucapkan kata perpisahan. Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhuma berkata:

“Aku titipkan engkau kepada Allah dari kejahatan seorang pembunuh”.[18]

Demikianlah, akhirnya Husain bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhuma tetap berangkat ke Irak dan kemudian terbunuh secara zhalim, di tangan kaum orang-orang aniaya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah memberikan komentar tentang terbunuhnya Husain Radhiyallahu 'anhuma sebagai berikut:

“Ketika Husain bin ‘Ali Radhiyallahu 'anhuma terbunuh pada hari ‘Asyura, yang dilakukan oleh sekelompok orang zhalim yang melampaui batas, dan dengan demikian berarti Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan Husain Radhiyallahu 'anhuma untuk memperoleh kematian sebagai syahid, sebagaimana Allah Azza wa Jalla juga telah memuliakan Ahlu Baitnya yang lain dengan mati syahid, seperti halnya Allah Azza wa Jalla telah memuliakan Hamzah, Ja’far, ayahnya yaitu ‘Ali dan lain-lain dengan mati syahid. Dan mati syahid inilah salah satu cara Allah Azza wa Jalla untuk meninggikan kedudukan serta derajat Husain Radhiyallahu 'anhuma. Maka, ketika itulah sesungguhnya Husain Radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya, yaitu Hasan Radhiyallahu 'anhuma menjadi pemuka para pemuda Ahli sorga.”[19]

Pada sisi lain Syaikhul Islam juga mengatakan:

“Husain Radhiyallahu 'anhuma telah dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mati syahid pada hari (‘Asyura) ini. Dengan peristiwa ini, Allah Azza wa Jalla juga berarti telah menghinakan pembunuhnya serta orang-orang yang membatu pembunuhan terhadapnya atau orang-orang yang senang dengan pembunuhan itu. Husain Radhiyallahu 'anhuma memiliki contoh yang baik dari para syuhada yang mendahuluinya. Sesungguhnya Husain Radhiyallahu 'anhuma dan saudaranya (yaitu Hasan) Radhiyallahu 'anhuma merupakan dua orang pemuka dari para pemuda Ahli sorga. Keduanya merupakan orang-orang yang dibesarkan dalam suasana kejayaan Islam, mereka berdua tidak sempat mendapatkan keutamaan berhijrah, berjihad dan bersabar menghadapi beratnya gangguan orang kafir sebagaimana dialami oleh para Ahli Baitnya yang lain. Karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuliakan keduanya dengan mati syahid sebagai penyempurna bagi kemuliaannya dan sebagai pengangkatan bagi derajatnya agar semakin tinggi. Pembunuhan terhadap Husain Radhiyallahu 'anhuma ini merupakan musibah besar. Dan Allah Azza wa Jalla mensyari’atkan agar hamba-Nya ber-istirja’ (mengucapkan innâ lillâh wa innâ ilaihi raji’ûn) ketika mendapatkan musibah dengan firman-Nya:

"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:"Innâ lillâh wa innâ ilaihi râji’ûn ". Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." [al-Baqarah/2:155-157][20]

Demikianlah biografi Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhuma secara ringkas. Adapun tempat yang selama ini dianggap sebagai kuburan Husain atau kuburan kepala Husain di Syam, di Asqalan, di Mesir atau di tempat lain, maka itu adalah dusta, tidak ada bukti sama sekali. Karena semua ulama dan sejarawan yang dapat dipercaya tidak pernah memberikan kesaksian tentang hal itu. Bahkan mereka menyebutkan bahwa kepala Husain dibawa ke Madinah dan dikuburkan di sebelah kuburan Hasan [21]. Radhiyallahu ‘Anhuma wa ‘An Jami’ish Shahaabah ajma'in. Wallahu al-Musta’aan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] ________ Footnote [1]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/149) [2]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/282-283) [3]. Dikatakan oleh pentahqiq Siyar A’lâm Nubalâ bahwa para perawinya adalah para perawi yang dipakai dalam Kitab Shahih, kecuali ar-Rabî’ bin Sa’d, tetapi ia tsiqah (terpercaya) [4]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/283) [5]. Hadits ini hasan, diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi, karya Syaikh al-Albâni t – juz III/539 no. 3775 – Maktabah al-Ma’ârif – Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru, th. 1420 H/2000 M. Dan Shahih Sunan Ibnu Majah karya Syaikh al-Albâni t – juz I/64-65 no. 118 - 143 – Maktabah al-Ma’ârif – Riyadh, cet. I dari terbitan yang baru, th. 1417 H/1997 M [6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150) [7]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/287) [8]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/150) [9]. Ibid. Lihat pula Shahih Sunan at-Tirmidzi (III/540 no. 3778). [10]. Ibid [11]. Lihat misalnya, Siyar A’lâm Nubalâ (III/300 dll). Meskipun sesungguhnya 'Umar bin Sa’d sangat tidak menyukai tugas ini. Bahkan akhirnya beliau menyesal dan mengatakan: “Tidak ada seorang pun yang pulang kepada keluarganya dengan membawa suatu keburukan sebagaimana yang aku bawa. Aku telah menaati 'Ubaidullah bin Ziyâd, tetapi aku telah durhaka kepada Allah k dan telah memutuskan tali silaturrahim.”Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/303) [12]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ, III/287 [13]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ ( III/318), al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/172), Tahdzîb at-Tahdzîb (II/356) [14]. Tahdzîb at-Tahdzîb (II/356) [15]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/288-289). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharjiy) mengatakan, hadits itu dan yang senada diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Thabrani dan lain-lain, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang tsiqah. [16]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/292). Pentahqiq kitab ini (Muhammad Na’im al-‘Arqasusy dan Ma’mûn Shagharji) mengatakan, riwayat ini diriwayatkan oleh ath-Thabrâni, sedangkan para perawinya oleh al-Haitsami dikatakan sebagai para perawi yang dipakai dalam kitab Shahîh. [17]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah (VIII/153 dst) [18]. Lihat Siyar A’lâm Nubalâ (III/292) [19]. Lihat Majmû’ Fatâwa (XXV/302) [20]. Lihat Majmû’ Fatâwa (IV/511) [21]. Lihat Majmû’ Fatâwa (XXVII/465) Ustadz Ahmas Faiz Asifuddin pada: http://almanhaj.or.id/content/2608/slash/0

Ketika Mu'awiyah wafat, para warga Kufa *) menulis kepada Husain,

"Kami telah mengurung diri kami, demi membai'at anda. Kami hidup dan mati dalam mempertahankan bai'at kami. Maka selam ini kami tidak menghadiri shalat Jum'at, maupun shalat jama'ah." ( "Murujudz-dzahab", jilid III/54, Al-Mas'usi, sejarawan Syi'ah)

  • )Kufa adalah sebaik-baik negeri, yang pernah menjadi pusat dan

tanah yang subur bagi kegiatan kaum Syi'ah, sehingga merka mengatakan, "Adapun Kufa dan sleuruh daerahnya, di sanalah tempat Syi'ah Ali bin Abi Thalib...." (Uyunul-akhbar, Arridha, dinukil dari kitab "Syi'ah dalam sejarah"). Diriwayatkan dari Ja'far bahwasanya ia berkata, "Allah, telah menawarkan kesetiaan terhadap kita kepada rakyat-rakyat dari beberapa negeri. Tiada satu negeri pun yang rakyatnya menerima baik tawaran Allah itu, kecuali warga Kufa." (dikutip dari kitab "Bahsairud-darajat", bagian kesepuluh)

Telah sampai pula kepada Husain surat-surat lain, yang isinya antara lain, "Kebun-kebun telah menghijau dan buah-buahan telah masak. Bila anda suka, datanglah dengan membawa pasukan yang kuat." (Dari kitab "A'lamul-wara", oleh Ath-Thabrasi, hal. 223 dan kitab Al-Irsyad, hal. 220, karangan Al-Mufid).

Ketika surat-surat dari Kufa itu berturut-turut, serta banyak sekali datang kepadanya, dan dalam pada itu warga Kufa dengan keras sekali meminta kedatangannya, maka ia mengutus Muslim bin Aqil bin Abi Thalib ke Kufa, dengan membawa suratnya, yang di dalamnya ia memberitahu mereka bahwa ia segera berangkat (menuju Kufa), sesampai suratnya itu kepada mereka. Ketika Muslim tipa di Kufa, warga Kufa berkumpul menemui Muslim, dan menytakan sumpah setia mereka kepada Husain, serta memberikan kepadanya janji yang sungguh-sungguh untuk membela dan mendukungnya, serta tetap setia kepadanya. (Tarikh Al-Ya'qubi, II/242)

Al-Mufid menambahkan, "Warga Kufa memba'iatnya dengan menangis. Jumlah mereka lebih dari delapan belas ribu orang." (Al-Irsyad, 220)

Husain bersiap-siap untuk berangkat ke Kufa. Ibnu Abbas, panglima pasukan Ali dan sekaligus penasehat pribadinya, lagi pula seorang yang penuh pengalaman dan mengetahui dengan benar-benar watak kaum Syi'ah pada zamannya, datang kepada Husain dan memberi nasehat agar mengurungkan niatnya pergi ke Kufa, karena warganya yang suka berkhianat. Lihat pesan Ibnu Abbas dalam Murujudz- dzahab, III/55. Demikian pula nasehat Ibnu Abbas didukung oleh Abu Bakar bin Hisyam yang dikutip oelh Al-mas'udi dalam Murujudz- dzahab, III/56)

Berita kedatangan Muslim bin Aqil di Kufa sampai kepada Yazid bin Mu'awiyah. Dan ia menulis kepada Ubaidillah bin Zayyad dan menyampaikan keputusan pengangkatannya sebagai Wali Kufa.

Tidak akan diceritakan di sini apa yang terjadi secara lengkapnya, tentang terbunuhnya Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah dan Abdullah bin Yaqthur.

Berita kematian tiga orang ini sampai kepada Husain bin Ali ketika berjumpa dengan Al-hurr bin Yazid Attamimi ketika sampai di kota Qadisiah, dalam perjalanannya ke Kufa.

Kemudian Husain berkhutbah di hadapan pengikut-pengikutnya,

"Amma ba'du, telah sampai kepada kami berita yang amat dahsyat, yaitu terbunuhnya Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah dan Abullah bin Yaqthur. Syi'ah kami (di Kufa) telah mengkhianati kami. Oleh sebab itu, barangsiapa di atnara kalian ingin meninggalkan kami, silahkan pergi, tanpa keberatan (dari pihak kami) dan tanpa kehilangan kehormatan (dari pihak kalian)"

Maka berpencaranlah pengikut-pengikut Husain, meninggalkannya. Mereka pergi ke jurusan kanan dan kiri; maka yang tingal bersama Husain hanya orang-orang yang berangkat bersama dia dari Madinah, dan sekelompok kecil orang yang bergabung kepadanya....

....

Husain kemudian berangkat menuju Kufa. Di tengah jalan ia berjumpa dengan salah seorang warga Kufa. Ia memberitahu Husain mengenai pengkhianatan, keengganan dan kelicikan orang-orang Kufa. Orang itu berkata, "Di Kufa anda tidak mempunyai pembela dan pendukung; bahkan kami khawatir bahwa mereka akan bangkit memerangi anda."

Ketika Husain melihat bahwa lasykar Kufa dan pengikut- pengikutinya berpaling darinya dan sikap mereka (terhadapnya) malahan kebaikan dari apa yang mereka tulis (kepadanya) dan dari apa yang dikatakan oleh utusan-utusan mereka, bahakan merka menyangkal apa yang mereka tulis kepadanya, ia berkta kepada salah seorang pengikutnya,

"Keluarkan dua kantong yang berisi surat-surat mereka, yang mereka kirimkan kepadaku."

Orang itu mengeluarkan dua kantong yang penuh berisi surat-surat; lalu Husain membeberkan surat-surat itu. Mereka menyangkal surat- surat tersebut. Kemudian Husain meneruskan perjalanannya, hingga mencapai Karbala. Melihat banyaknya pasukan yang menghadapinya, Husain sadar bahwasanya tiada tempat pelarian baginya. Ia lalu berdo'a:

"Allahumma, ya Allah. Berilah keputusan antara kami dan suatu kaum yang mengundang kami, dengan janji membela kami, lalu mereka itu malahan akan membunuh kami."

Ia kemudian berjuang terus hingga jatuh terbunuh. Semoga rahmat dan keridhaan Allah dilimpahkan kepadanya. Nyatalah bahwa semua yang datang di medang perang Karbala, dengan tujuan memeranginya dan melaksanakan pembunuhan terhadapnya, adalah laskar Kufa, tiada seorang pun warga Syam yang ikut. (Murujudz-dzahab, III/61)

Al-Ya'qubi, ahli sejarah, yang fanatik kepada aliran Syi'ah menerangkan,

"Sesudah gerombolan warga Kuga itu membunuh Husain, mereka merampok kemahnya, menawan kaum wanita, sanak kerabat Husain yang ikut bersamanya, dan mengangkat mereka ke Kufa. Ketika wanita-wanita itu memasuki Kufa, kaum wanita Kufa keluar, sambil meratap dan menangis. Ali bin Husain (yang ikut dalam rombongan tawanan itu) berkata, "Mereka ini menangisi kami; lalu siapakah yang membunuh kami?" (Tarikh Al-ya'qubi, I/235)

Inilah yang terjadi pada Husain, demikian pula yang terjadi, baik pada masa Ali, maupun pada masa Ali dan Hasan serta pada masaa imam-imam dan pemimpin-pemimpin syi'ah lainnya.

Apa komentar Welhausen, seorang orientalis Jerman, yang menaruh simpati kepada kaum Syi'ah terhadap peristiwa terbunuhnya Husain dan sikap orang Syi'ah terhadap Husain.

(dinukil dari "Sejarah: Pertumbuhan dan Perkembangan Gerakan Syi'ah", Dr. Ihsan Ilahi Zahier, Al-Ma'arif Bandung, hal. 225-224)

"Sebagian besar warga Kufa tidak mempunyai keinginan membela Pemerintah (kekuasaan Yazid bin Mu'awiyah), tetapi sekalipun demikian, mereka tidak bergabung ke pihak-pihak musuh-musuh Pemerintah; SAMPAI-SAMPAI MEREKA, YANG DAHULUNYA MENGIRIM SURAT KEPADA HUSAIN; YANG DIDALAMNYA MEREKA MENYATAKAN SUMPAH SETIA MEREKA TERHADAPNYA, TIDAK BERGABUNG KEPADA TENTARA HUSAIN MALAH MENINGGALKANNYA DI SAAT-SAAT IA DALAM KEMALANGAN, mereka tidak mengulurkan tangan untuk memberikan pertolongan kepadanya. Paling banyak yang mereka lakukan ialah mengamati pertempuran dari jauh dan menyaksikan (dari jauh pula) pergolakan terakhir Husain, kemudian (atas kematiannya) mereka menangisinya. Sedikit sekali dari mereka yang bertekad mengikuti Husain, seta menemaninya dalam musibahnya. Dari mereka ini dapt disebutkan antara lain Abu Tsumamah Ash- Sha'idi, pengawas Baitul-mal, dan Ibnu Usjah. Selain dari mereka itu, orang-orang yang mengikuti Husain dalam pergolakannya terdiri atas mereka yang menjumpainya dalam perjalanannya ke Kufa, kemudian mengikutinya, dan orang-orang yang yang terdorong oleh rasa kemanusiaan, untuk bergabung dengannya, pada-pada saat terkahir, sekalipun mereka ini, sebelumnya, tidak pernah mempunyai hubungan sesuatu pun dengannya dan tidak termasuk dalam golongan Syi'ahnya. Padahal ahli sejarah mengungkapkan kontradiksi ini, yakni antara orang-orang wajib membela (yang memikul kewajiban membela Husain), tetapi tidak melakukan sesuatu, dan orang-orang sukarelawan, yang dengan perbutan mereka (membela Husain) telah membuat malu golongan yang pertama. Para ahli sejarah terkadang memaparkan peristiwa tersebut secara dramatis. Yang menarik perhatian ialah, bahwa kaum Anshar juga, jadi bukan saja kaum Quraisy, telah meninggalkan Husain, tiada seorang pun dari mereka yang keluar bersama Husain dari Madinah, sedang dalam kalangan syi'ah kufa terdapat sedikit sekali dari orang-orang asal anshar. Adapun pemberontakan yang meletus di Madinah, pada tahun 63 H., bukanlah pemberontakan untuk membala anak-cucu Ali, hal mana terbukti bahwa Ali bin Husain berlepas tangan dari pemberontakan itu.

Di samping golongan pengecut dan yang tidak setia itu, terdapat pula golongan yang merupakan musuh-musuh Syi'ah dengan terang-terangan; mereka ini adalah pengikut-pengikut dan pegawai-pegawai Pemerintah Bani Umayah. Perbantahan yang dilakukan tidak berkisar sekeliling masalah-masalah agama dan keimanan." (Demikian Welhausen dalam bukunya yang berjudul, "Kaum Khawarij dan Syi'ah, hal. 134)


artikel 2


Al-Hasan dan Al-Husein adalah putera dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhum, cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari anak perempuannya Fathimah radhiyallahu 'anha. Mereka termasuk kalangan ahlul bait Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan mendapat pujian-pujian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya beliau bersabda:

Sesungguhnya Al-Hasan dan Al-Husein adalah kesayanganku dari dunia. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz VII, hal. 464, hadits 3753 dan Tirmidzi, Ahmad dari Ibnu Umar)

Juga bersabda:

Al-Hasan dan Al-Husein adalah sayyid (penghulu) para pemuda ahlul jannah. (HR. Tirmidzi, Hakim, Thabrani, Ahmad dan lain-lain dari Abi Sa'id al-Khudri; dishahihkan oleh Syaikh AlAlbani dalam Silsilah Hadits Shahih, hal 423, hadits no. 796 dan beliau berkata hadits ini diriwayatkan pula dari 10 shahabat)

Riwayat Hidup Al-Husein dan Peristiwa Pembunuhannya

Beliau dilahirkan pada bulan Sya'ban tahun ke-empat Hijriyah. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam men- tahnik (yakni mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut bayi dengan digosokkan ke langit-langitnya -pent.), mendoakan dan menamakannya Al-Husein. Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan Nihayah, juz VIII, hal. 152.

Berkata Ibnul Arabi dalam kitabnya Al-Awashim minal Qawashim: "Disebutkan oleh ahli tarikh bahwa surat-surat berdatangan dari ahli kufah kepada Al-Husein (setelah meninggalnya Mu'awiyah radhiyallahu 'anhu). Kemudian Al-Husein mengirim Muslim Ibnu Aqil, anak pamannya kepada mereka untuk membai'at mereka dan melihat bagaimana keikutsertaan mereka. Maka Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu memberitahu beliau (Al-Husein) bahwa mereka dahulu pernah mengkhianati bapak dan saudaranya. Sedangkan Ibnu Zubair mengisyaratkan kepadanya agar dia berangkat, maka berangkatlah Al- Husein. Sebelum sampai beliau di Kufah ternyata Muslim Ibnu Aqil telah terbunuh dan diserahkan kepadanya oleh orang-orang yang memanggilnya. "Cukup bagimu ini sebagai peringatan bagi yang mau mengambil peringatan" (kelihatannya yang dimaksud adalah ucapan Ibnu Abbas kepada Al-Husein -pent.).

Tetapi beliau radhiyallahu 'anhu tetap melanjutkan perjalanannya dengan marah karena dien dalam rangka menegakkan al-haq. Bahkan beliau tidak mendengarkan nasehat orang yang paling alim pada jamannya yaitu ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan menyalahi pendapat syaikh para shahabat yaitu Ibnu Umar. Beliau mengharapkan permulaan pada akhir (hidup -pent.), mengharapkan kelurusan dalam kebengkokan dan mengharapkan keelokan pemuda dalam rapuh ketuaan.

Tidak ada yang sepertinya di sekitarnya, tidak pula memiliki pembela- pembela yang memelihara haknya atau yang bersedia mengorbankan dirinya untuk membelanya. Akhirnya kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein, maka datang kepada kita musibah yang menghilangkan kebahagiaan jaman. (lihat Al- Awashim minal Qawashim oleh Abu Bakar Ibnul 'Arabi dengan tahqiq dan ta'liq Syaikh Muhibbuddin Al-Khatib, hal. 229-232)

Yang dimaksud oleh beliau dengan ucapannya 'Kita ingin mensucikan bumi dari khamr Yazid, tetapi kita tumpahkan darah Al-Husein' adalah bahwa niat Al-Husein dengan sebagian kaum muslimin untuk mensucikan bumi dari khamr Yazid yang hal ini masih merupakan tuduhan-tuduhan dan tanpa bukti, tetapi hasilnya justru kita menodai bumi dengan darah Al-Husein yang suci. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhibbudin Al-Khatib dalam ta'liq-nya terhadap buku Al-Awashim Minal Qawashim.

Ketika Al-Husein ditahan oleh tentara Yazid, Samardi Al-Jausyan mendorong Abdullah bin Ziyad untuk membunuhnya. Sedangkan Al-Husein meminta untuk dihadapkan kepada Yazid atau dibawa ke front untuk berjihad melawan orang-orang kafir atau kembali ke Mekah. Namun mereka tetap membunuh Al-Husein dengan dhalim sehingga beliau meninggal dengan syahid radhiyallahu 'anhu. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji'un.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Al-Husein terbunuh di Karbala di dekat Eufrat dan jasadnya dikubur di tempat terbunuhnya, sedangkan kepalanya dikirim ke hadapan Ubaidillah bin Ziyad di Kufah. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan dari para imam yang lain.

Adapun tentang dibawanya kepala beliau kepada Yazid telah diriwayatkan dalam beberapa jalan yang munqathi' (terputus) dan tidak benar sedikitpun tentangnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat tampak sesuatu yang menunjukkan kedustaan dan pengada-adaan riwayat tersebut. Disebutkan padanya bahwa Yazid menusuk gigi taringnya dengan besi dan bahwasanya sebagian para shahabat yang hadir seperti Anas bin Malik, Abi Barzah dan lain-lain mengingkarinya. Hal ini adalah pengkaburan, karena sesungguhnya yang menusuk dengan besi adalah 'Ubaidilah bin Ziyad. Demikian pula dalam kitab-kitab shahih dan musnad, bahwasanya mereka menempatkan Yazid di tempat 'Ubaidilah bin Ziyad. Adapun 'Ubaidillah, tidak diragukan lagi bahwa dialah yang memerintahkan untuk membunuhnya (Husein) dan memerintahkan untuk membawa kepalanya ke hadapan dirinya. Dan akhirnya Ibnu Ziyad pun dibunuh karena itu.

Dan lebih jelas lagi bahwasanya para shahabat yang tersebut tadi seperti Anas dan Abi Barzah tidak berada di Syam, melainkan berada di Iraq ketika itu. Sesungguhnya para pendusta adalah orang-orang jahil (bodoh), tidak mengerti apa-apa yang menunjukkan kedustaan mereka." (Majmu' Fatawa, juz IV, hal. 507-508)

Adapun yang dirajihkan oleh para ulama tentang kepala Al-Husein bin Ali radhiyallahu 'anhuma adalah sebagaimana yang disebutkan oleh az- Zubair bin Bukar dalam kitabnya Ansab Quraisy dan beliau adalah seorang yang paling 'alim dan paling tsiqah dalam masalah ini (tentang keturunan Quraisy). Dia menyebutkan bahwa kepala Al-Husein dibawa ke Madinah An-Nabawiyah dan dikuburkan di sana. Hal ini yang paling cocok, karena di sana ada kuburan saudaranya Al-Hasan, paman ayahnya Al-Abbas dan anak Ali dan yang seperti mereka. (Dalam sumber yang sama, juz IV, hal. 509)

Demikianlah Al-Husain bin Ali radhiyallahu 'anhuma terbunuh pada hari Jum'at, pada hari 'Asyura, yaitu pada bulan Muharram tahun 61 H dalam usia 54 tahun 6 bulan. Semoga Allah merahmati Al-Husein dan mengampuni seluruh dosadosanya serta menerimanya sebagai syahid. Dan semoga Allah membalas para pembunuhnya dan mengadzab mereka dengan adzab yang pedih. Amin.

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Yazid bin Mu'awiyyah

Untuk membahas masalah ini kita nukilkan saja di sini ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah secara lengkap dari Fatawa-nya sebagai berikut:

Belum terjadi sebelumnya manusia membicarakan masalah Yazid bin Muawiyyah dan tidak pula membicarakannya termasuk masalah Dien. Hingga terjadilah setelah itu beberapa perkara, sehingga manusia melaknat terhadap Yazid bin Muawiyyah, bahkan bisa jadi mereka menginginkan dengan itu laknat kepada yang lainnya. Sedangkan kebanyakan Ahlus Sunnah tidak suka melaknat orang tertentu. Kemudian suatu kaum dari golongan yang ikut mendengar yang demikian meyakini bahwa Yazid termasuk orang-orang shalih yang besar dan Imam-imam yang mendapat petunjuk.

Maka golongan yang melampaui batas terhadap Yazid menjadi dua sisi yang berlawanan:

Sisi pertama, mereka yang mengucapkan bahwa dia kafir zindiq dan bahwasanya dia telah membunuh salah seorang anak perempuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, membunuh shahabat-shahabat Anshar, dan anak-anak mereka pada kejadian Al-Hurrah (pembebasan Madinah) untuk menebus dendam keluarganya yang dibunuh dalam keadaan kafir seperti kakek ibunya 'Utbah bin Rab'iah, pamannya Al-Walid dan selain keduanya. Dan mereka menyebutkan pula bahwa dia terkenal dengan peminum khamr dan menampakkan maksiat-maksiatnya.

Pada sisi lain, ada yang meyakini bahwa dia (Yazid) adalah imam yang adil, mendapatkan petunjuk dan memberi petunjuk. Dan dia dari kalangan shahabat atau pembesar shahabat serta salah seorang dari wali-wali Allah. Bahkan sebagian dari mereka meyakini bahwa dia dari kalangan para nabi. Mereka mengucapkan bahwa barangsiapa tidak berpendapat terhadap Yazid maka Allah akan menghentikan dia dalam neraka Jahannam. Mereka meriwayatkan dari Syaikh Hasan bin 'Adi bahwa dia adalah wali yang seperti ini dan seperti itu. Barangsiapa yang berhenti (tidak mau mengatakan demikian), maka dia berhenti dalam neraka karena ucapan mereka yang demikian terhadap Yazid. Setelah zaman Syaikh Hasan bertambahlah perkara-perkara batil dalam bentuk syair atau prosa. Mereka ghuluw kepada Syaikh Hasan dan Yazid dengan perkara-perkara yang menyelisihi apa yang ada di atasnya Syaikh 'Adi yang agung -semoga Allah mensucikan ruhnya-. Karena jalan beliau sebelumnya adalah baik, belum terdapat bid'ah-bid'ah yang seperti itu, kemudian mereka mendapatkan bencana dari pihak Rafidlah yang memusuhi mereka dan kemudian membunuh Syaikh Hasan bin 'Adi sehingga terjadilah fitnah yang tidak disukai Allah dan Rasul-Nya.

Dua sisi ekstrim terhadap Yazid tersebut menyelishi apa yang disepakati oleh para ulama dan Ahlul Iman. Karena sesungguhnya Yazid bin Muawiyyah dilahirkan pada masa khalifah Utsman bin 'Affan radliallahu 'anhu dan tidak pernah bertemu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta tidak pula termasuk shahabat dengan kesepakatan para ulama. Dia tidak pula terkenal dalam masalah Dien dan keshalihan. Dia termasuk kalangan pemuda-pemuda muslim bukan kafir dan bukan pula zindiq. Dia memegang kekuasaan setelah ayahnya dengan tidak disukai oleh sebagian kaum muslimin dan diridlai oleh sebagian yang lain. Dia memiliki keberanian dan kedermawanan dan tidak pernah menampakkan kemaksiatan-kemaksiatan sebagaimana dikisahkan oleh musuh-musuhnya.

Namun pada masa pemerintahannya telah terjadi perkara-perkara besar yaitu:

1. Terbunuhnya Al-Husein radhiyallahu 'anhu sedangkan Yazid tidak memerintahkan untuk membunuhnya dan tidak pula menampakkan kegembiraan dengan pembunuhan Husein serta tidak memukul gigi taringnya dengan besi. Dia juga tidak membawa kepala Husein ke Syam. Dia memerintahkan untuk melarang Husein dengan melepaskannya dari urusan walaupun dengan memeranginya. Tetapi para utusannya melebihi dari apa yang diperintahkannya tatkala Samardi Al-Jausyan mendorong 'Ubaidillah bin Ziyad untuk membunuhnya.Ibnu Ziyad pun menyakitinya dan ketika Al-Husein radhiyallahu 'anhu meminta agar dia dibawa menghadap Yazid, atau diajak ke front untuk berjihad (memerangi orang-orang kafir bersama tentara Yazid -pent), atau kembali ke Mekkah, mereka menolaknya dan tetap menawannya. Atas perintah Umar bin Sa'd, maka mereka membunuh beliau dan sekelompok Ahlul Bait radhiyallahu 'anhum dengan dhalim. Terbunuhnya beliau radhiyallahu 'anhu termasuk musibah besar, karena sesungguhnya terbunuhnya Al-Husein -dan 'Utsman bin 'Affan sebelumnya- adalah penyebab fitnah terbesar pada umat ini. Demikian juga pembunuh keduanya adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah. Ketika keluarga beliau radhiyallahu 'anhu mendatangi Yazid bin Mua'wiyah, Yazid memuliakan mereka dan mengantarkan mereka ke Madinah.

Diriwayatkan bahwa Yazid melaknat Ibnu Ziyad atas pembunuhan Husein dan berkata: "Aku sebenarnya meridlai ketaatan penduduk Irak tanpa pembunuhan Husein." Tetapi dia tidak menampakkan pengingkaran terhadap pembunuhnya, tidak membela serta tidak pula membalasnya, padahal itu adalah wajib bagi dia. Maka akhirnya Ahlul Haq mencelanya karena meninggalkan kewajibannya, ditambah lagi dengan perkara-perkara yang lain. Sedangkan musuh-musuh mereka menambahkan kedustaan-kedustaan atasnya.

2. Ahlil Madinah membatalkan bai'atnya kepada Yazid dan mereka mengeluarkan utusan-utusan dan penduduknya. Yazid pun mengirimkan tentara kepada mereka, memerintahkan mereka untuk taat dan jika mereka tidak mentaatinya setelah tiga hari mereka akan memasuki Madinah dengan pedang dan menghalalkan darah mereka. Setelah tiga hari, tentara Yazid memasuki Madinah an-Nabawiyah, membunuh mereka, merampas harta mereka, bahkan menodai kehormatan-kehormatan wanita yang suci, kemudian mengirimkan tentaranya ke Mekkah yang mulia dan mengepungnya. Yazid meninggal dunia pada saat pasukannya dalam keadaan mengepung Mekkah dan hal ini merupakan permusuhan dan kedzaliman yang dikerjakan atas perintahnya.

Oleh karena itu, keyakinan Ahlus Sunnah dan para imam-imam umat ini adalah mereka tidak melaknat dan tidak mencintainya. Shalih bin Ahmad bin Hanbal berkata: Aku katakan kepada ayahku: "Sesungguhnya suatu kaum mengatakan bahwa mereka cinta kepada Yazid." Maka beliau rahimahullah menjawab: "Wahai anakku, apakah akan mencintai Yazid seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir?" Aku bertanya: "Wahai ayahku, mengapa engkau tidak melaknatnya?" Beliau menjawab: "Wahai anakku, kapan engkau melihat ayahmu melaknat seseorang?" Diriwayatkan pula bahwa ditanyakan kepadanya: "Apakah engkau menulis hadits dari Yazid bin Mu'awiyyah?" Dia berkata: "Tidak, dan tidak ada kemulyaan, bukankah dia yang telah melakukan terhadap ahlul Madinah apa yang dia lakukan?"

Yazid menurut ulama dan Imam-imam kaum muslimin adalah raja dari raja-raja (Islam -pent). Mereka tidak mencintainya seperti mencintai orang-orang shalih dan wali-wali Allah dan tidak pula melaknatnya. Karena sesungguhnya mereka tidak suka melaknat seorang muslim secara khusus (ta yin), berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu: Bahwa seseorang yang dipanggil dengan Hammar sering minum khamr. Acap kali dia didatangkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dicambuknya. Maka berkatalah seseorang: "Semoga Allah melaknatnya. Betapa sering dia didatangkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jangan engkau melaknatnya, sesungguhnya dia mencintai Allah dan Rasul-Nya. " (HR. Bukhari)

Walaupun demikian di kalangan Ahlus Sunnah juga ada yang membolehkan laknat terhadapnya karena mereka meyakini bahwa Yazid telah melakukan kedhaliman yang menyebabkan laknat bagi pelakunya.

Kelompok yang lain berpendapat untuk mencintainya karena dia seorang muslim yang memegang pemerintahan di zaman para shahabat dan dibai'at oleh mereka. Serta mereka berkata: "Tidak benar apa yang dinukil tentangnya padahal dia memiliki kebaikan-kebaikan, atau dia melakukannya dengan ijtihad."

Pendapat yang benar adalah apa yang dikatakan oleh para imam (Ahlus Sunnah), bahwa mereka tidak mengkhususkan kecintaan kepadanya dan tidak pula melaknatnya. Di samping itu kalaupun dia sebagai orang yang fasiq atau dhalim, Allah masih mungkin mengampuni orang fasiq dan dhalim. Lebih-lebih lagi kalau dia memiliki kebaikan-kebaikan yang besar.

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dari Ummu Harran binti Malhan radhiyallahu 'anha bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...��������� ������ ���� �������� ���������� ���������� �������� ���������� ������. (���� �������)

Tentara pertama yang memerangi Konstantiniyyah akan diampuni. (HR. Bukhari)

Padahal tentara pertama yang memeranginya adalah di bawah pimpinan Yazid bin Mu'awiyyah dan pada waktu itu Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu 'anhu bersamanya.

Catatan: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melanjutkan setelah itu dengan ucapannya: "Kadang-kadang sering tertukar antara Yazid bin Mu' awiyah dengan pamannya Yazid bin Abu Sufyan. Padahal sesungguhnya Yazid bin Abu Sufyan adalah dari kalangan Shahabat, bahkan orang- orang pilihan di antara mereka dan dialah keluarga Harb (ayah Abu Sufyan bin Harb -pent) yang terbaik. Dan beliau adalah salah seorang pemimpin Syam yang diutus oleh Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika pembebasan negeri Syam. Abu Bakar ash- Shiddiq pernah berjalan bersamanya ketika mengantarkannya, sedangkan dia berada di atas kendaraan. Maka berkatalah Yazid bin Abu Sufyan: "Wahai khalifah Rasulullah, naiklah! (ke atas kendaraan) atau aku yang akan turun." Maka berkatalah Abu Bakar: "Aku tidak akan naik dan engkau jangan turun, sesungguhnya aku mengharapkan hisab dengan langkah-langkahku ini di jalan Allah. Ketika beliau wafat setelah pembukaan negeri Syam di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu 'anhu, beliau mengangkat saudaranya yaitu Mu'awiyah untuk menggantikan kedudukannya.

Kemudian Mu'awiyah mempunyai anak yang bernama Yazid di zaman pemerintahan 'Utsman ibnu 'Affan dan dia tetap di Syam sampai terjadi peristiwa yang terjadi. Yang wajib adalah untuk meringkas yang demikian dan berpaling dari membi-carakan Yazid bin Mu'awiyah serta bencana yang menimpa kaum muslimin karenanya dan sesungguhnya yang demikian merupakan bid'ah yang menyelisihi ahlus sunnah wal jama'ah. Karena dengan sebab itu sebagian orang bodoh meyakini bahwa Yazid bin Mu`awiyah termasuk kalangan shahabat dan bahwasanya dia termasuk kalangan tokoh-tokoh orang shalih yang besar atau imam-imam yang adil. Hal ini adalah kesalahan yang nyata." (Diambil dari Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, jilid 3, hal. 409-414)

Bid'ah-bid'ah yang Berhubungan dengan Terbunuhnya Al-Husein

Kemudian muncullah bid'ah-bid'ah yang banyak yang diadakan oleh kebanyakan orang-orang terakhir berkenaan dengan perisiwa terbunuhnya Al-Husein, tempatnya, waktunya dan lain-lain. Mulailah mereka mengada-adakan An-Niyaahah (ratapan) pada hari terbunuhnya Al- Husein yaitu pada hari 'Asyura (10 Muharram), penyiksaan diri, mendhalimi binatang-binatang ternak, mencaci maki para wali Allah (para shahabat) dan mengada-adakan kedustaan-kedustaan yang diatasnamakan ahlul bait serta kemungkaran-kemungkaran yang jelas dilarang dalam kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam serta berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Al-Husein radhiyallahu 'anhu telah dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dengan mati syahid pada hari 'Asyura dan Allah telah menghinakan pembunuhnya serta orang yang mendukungnya atau ridla dengan pembunuhannya. Dan dia mempunyai teladan pada orang sebelumnya dari para syuhada, karena sesungguhnya dia dan saudaranya adalah penghulu para pemuda ahlul jannah. Keduanya telah dibesarkan pada masa kejayaan Islam dan tidak mendapatkan hijrah, jihad, dan kesabaran atas gangguan-gangguan di jalan Allah sebagaimana apa yang telah didapati oleh ahlul bait sebelumnya. Maka Allah mulyakan keduanya dengan syahid untuk menyempurnakan kemulyaan dan mengangkat derajat keduanya.

Pembunuhan beliau merupakan musibah besar dan Allah subhanahu wa ta'ala telah mensyari'atkan untuk mengucapkan istirja' (Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un) ketika musibah dalam ucapannya:

.... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orangyang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun". Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al- Baqarah: 155-157)

Sedangkan mereka yang mengerjakan apa-apa yang dilarang oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rangka meratapinya seperti memukul pipi, merobek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah, maka balasannya sangat keras sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu, berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam:

Bukan dari golongan kami, siapa yang memukul-mukul pipi, merobek- robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits lain, juga dalam Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al- Asy'ari radhiyallahu 'anhu, bahwa dia berkata: "Aku berlepas diri dari orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas diri darinya, yaitu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berlepas diri dari al-haliqah, ash-shaliqah dan asy-syaaqqah. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam Shahih Muslim dari Abi Malik Al-Asy'ari bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Empat perkara yang terdapat pada umatku dari perkara perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya: bangga dengan kedudukan, mencela nasab (keturunan), mengharapkan hujan dengan bintang-bintang dan meratapi mayit. (HR. Muslim)

Dan juga beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya perempuan tukang ratap jika tidak bertaubat sebelum matinya dia akan dibangkitkan di hari kiamat sedangkan atasnya pakaian dari timah dan pakaian dada dari nyala api neraka. (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim)

Hadits-hadits tentang masalah ini bermacam-macam. Demikianlah keadaan orang yang meratapi mayit dengan memukul-mukul badannya, merobek-robek bajunya dan lain-lain. Maka bagaimana jika ditambah lagi bersama dengan itu kezaliman terhadap orang-orang mukmin (para shahabat), melaknat mereka, mencela mereka, serta sebaliknya membantu ahlu syiqaq orang-orang munafiq dan ahlul bid'ah dalam kerusakan dien yang mereka tuju serta kemungkaran lain yang Allah lebih mengetahuinya.


Maraji':

-Minhajus-Sunnah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. -Majmu' Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. -Al-'Awashim Minal Qawashim, oleh Qadhi Abu Bakar -Ibnul Arabi dengan tahqiq dan ta'liq Syaikh Muhibbudin Al-Khatib. -Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir. -Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. -Shahih Muslim dengan Syarh Nawawi. -Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al- Albani.

[Sumber: Majalah SALAFY edisi VIII/Rabi'ul Awal/1417/1996 Penulis Ustadz Muhammad Umar Sewed] (dinukil dari "Sejarah: Pertumbuhan dan Perkembangan Syi'ah", Dr. Ihsan Ilahi Zhahier, Al-Ma'arif Bandung, secara ringkas) http://hanifhanif.multiply.com/journal/item/1 foto:http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=gr&GRid=37245034


Versi Bahasa Indonesia (Translate by Wikipedia)


Husain bin Ali

Husain bin ‘Alī bin Abī Thālib (Bahasa Arab: حسين بن علي بن أﺑﻲ طالب)‎ (3 Sya‘bān 4 H - 10 Muharram 61 H; 8 Januari 626 - 10 Oktober 680 AD) adalah cucu dari Nabi Muhammad yang merupakan putra dari Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Husain merupakan Imam ketiga bagi kebanyakan sekte Syi'ah, dan Imam kedua bagi yang lain. Ia dihormati oleh Sunni karena ia merupakan Ahlul Bait. Ia juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 setelah ayah beliau terutama bagi tarekat Qadiriyyah di seluruh dunia dan tarekat Alawiyyah di Hadramaut.

Ia terbunuh sebagai syahid pada Pertempuran Karbala tahun 680 Masehi. Perayaan kesyahidannya disebut sebagai Hari Asyura dan pada hari itu kaum Muslim Syi'ah bersedih.


Kelahiran dan Kehidupan Keluarga

Kelahiran

Husain dilahirkan tiga tahun setelah Hijrah ke Madinah (626 M), orang tuanya adalah Ali, sepupu Muhammad dan orang kepercayaannya, dan Fatimah, putri Muhammad. Husain adalah cucu kedua Muhammad.

Genealogi:

Image:husain bin ali.jpg

Istri-istri

Husain menikahi 3 orang wanita: 1.Syahr Banu 2.Ummu Rubab 3.Ummu Laila

Keturunan

Al-Husain [1] memiliki 5 orang putra dan 2 orang putri,
diantaranya adalah :
1.Ali bin Husain as-Sajjad [2], Dijuluki Abu Muhammad bergelar Zainal
  Abidin mempunyai 3 orang putra :
  1.Zaid yang berputra 3 orang : 
    1.Muhammad
    2.Isa
    3.Yahya
  2.Umar dengan laqob Al Asyraf yang berputra : 
    1.Ali yang berputra : 
      1.Al Qasim yang berputra : 
        1.Muhammad dengan laqob Shahibut Thaliqan
  3.Muhammad bergelar Al Baqir [3] berputra 1 orang : 
    1.Jafar dengan laqob As Shodiq yang berputra 5 orang : 
      1.Ismail
      2.Musa yang dijuluki Al Kazhim berputra : 
        1.Ali dengan laqob Ar Ridha yang berputra : 
          1.Muhammad bergelar At Taqiy
      3.Muhammad yang dijuluki Ad Dibaj yang berputra : 
        1.Ali menikah dengan Makhdum Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak keturunan Parsi berputra satu : 
          1.Abdul Aziz Syah, Sultan Perlak I(Aceh-840-864 M) [4]
      4.Ali bergelar Al Uraidhi [5] yang berputra : 
        1.Muhammad An-Naqib [6] yang berputra : 
          1.Isa Ar-Rumi [7] yang berputra 2 orang : 
            1.Muhammad
            2.Ahmad bergelar Al Muhajir [8] berputra :
              1.Muhammad (Keturunannya tersebar di negri Baghdad )
              2.Abdullah / Ubaidillah (Abu Alawy) [9]. Lahir di Basrah dan meninggal pada 383 H di Somal, Yaman berputra :
                1.Basri[4]
                2.Jadid[4]
                3.Alwi al-Awwal [10] berputra : 
                  1.Muhammad Sohibus Saumi'ah [11] berputra :
                    1.Alwi ats-Tsani [12] berputra : 
                      1.Salim 
                      2.Ali Khali' Qasam[13]
                        1.Muhammad Shahib Mirbath [14]
                             1. Abdullah (tidak berputra), 
                             2. Ahmad (tidak berputra), 
                             3. Alwi bin Muhammad 'bergelar "Ammul-Faqih al-Muqaddam", kemudian mempunyai tiga orang anak yaitu :
                                1. Sayyid Abdul Malik[15]
                                   1. Al-Amir Abdullah Azmatkhan [16]
                                      1. Asy Saikh Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin [17]
                                         1. Asy Sayyid Maulana Husein Akbar[18]
                                2. Abdullah [19]]
                                   1. Ali [[20]]
                                3. Abdurrahman [[21]]
                                   1. Ahmad [[22]]
                             4. Ali bin Muhammad bergelar "al-A'dham al-Faqih al-Muqaddam" berputra :
                                1. Muhammad bin Ali  
                        2.Abdullah[7]
                        3.Husain[7]
      5.Ishaq bergelar Al Mu'tamin yang berputra : 
        1.Al Qasim
2.Ali bin Husain al-Akbar
  Syahid Pertempuran Karbala. Ibunya bernama Laila binti Abu Murrah bin Urwah bin Mas'ud ats-Tsaqafi
3.Ali bin Husain al-Asghar Syahid Pertempuran Karbala. Ibunya bernama Rubab binti Imra al-Qais, merupakan syahid termuda di
  Karbala
4.Ja'far bin Husain Ibunya dari suku Quda'ah. Ja'far meninggal pada saat Husain masih hidup 
5.Abdullah bin Husain Syahid saat masih bayi bersama ayahnya.

Putri

6.Sukainah binti Husain Ibunya bernama Rabab binti Imru' al-Qais bin Adi dari Kalb dari Ma'd. Rabab juga ibut dari Abdullah bin
  Husain.
7.Fatimah binti Husain Ibunya bernama Umm Ishaq binti Thalhah bin Ubaidillah dari Taim[1]

[sunting] Sumber-sumber

  1. http://hanifhanif.multiply.com/journal/item/1 -
  2. http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=gr&GRid=37245034 -
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Husain_bin_Ali -
  4. http://en.wikipedia.org/wiki/Husayn_ibn_Ali -
  5. http://id.wikipedia.org/wiki/Pertempuran_Karbala -
  6. http://id.wikipedia.org/wiki/Silsilah_keluarga_Muhammad -
  7. http://en.wikipedia.org/wiki/Family_tree_of_Muhammad -
  8. http://en.wikipedia.org/wiki/Family_tree_of_Husayn_ibn_Ali -
  9. http://en.wikipedia.org/wiki/Category:Muslim_family_trees -
  10. http://freepages.family.rootsweb.ancestry.com/~naqobatulasyrof/main/des/d3.htm#g3 -
  11. https://freepages.rootsweb.com/~naqobatulasyrof/family/main/ped/23.htm -

Dari kakek nenek sampai cucu-cucu

Kakek-nenek
Abdullah
lahir: Аравія
perkawinan: Амinah Binti Wahab
wafat: 570?
Abbas bin Abdul-Muththalib
lahir: 566
wafat: 652
Nawfal bin Khuwaylid
lahir: 540 ? 596
Kakek-nenek
Orang Tua
Tulayq bin Abu Talib
lahir: 540 ? 600
Rayta Bint Abu Talib
lahir: 580 ? 616
Umm Hani' Bint Abi Talib
lahir: 580 ? 616
Касим Мухаммадів син Хашимів
lahir: Аравія
wafat: 601, Аравія
Ибрахим
lahir: 630
wafat: 632
Orang Tua
 
== 3 ==
Hasan ibn Ali
lahir: 4 Maret 625
gelar: 661 - 670, Imam of Shia Islam, 2nd
wafat: 9 Maret 670
Zaynab Bint Ali
lahir: 626
wafat: 682, Medina, Arabia
Umm Kulthum Bint Ali
lahir: 6 Juli 630
Husayn Ibn Ali
lahir: 11 Januari 626
perkawinan: Shahr Banu
perkawinan: Shahr Banu
gelar: 669 - 680, Imam of Shia Islam, 3rd
wafat: 13 Oktober 680, Karbala, Iraq
== 3 ==
Anak-anak
Ali Zainal Abidin (Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib) / Ali bin Husain
lahir: 6 Januari 659, Madinah
wafat: 20 Oktober 712, Madinah, pekuburan Baqi.
2. Hasan al Mutsanna bin Hasan / Hasan II
lahir: 661, Garis Syeikh Abdul Qodir Jaelani
wafat: 715, Medina
Anak-anak
Cucu-cucu
Muhammad Al Baqir
lahir: 676, Madina
pekerjaan: Imam Ke 5
wafat: 743, Baqi, Madina
1. Abdullah Mahdi
lahir: Garis Syeikh Abdul Qodir Jaelani
Cucu-cucu

Peralatan pribadi