4. Raden Ronggo Prawirosentiko (1) / Raden Ronggo Prawirodirjo I d. 1784 - Keturunan (Inventaris)
Dari Rodovid ID
wafat: 1784, dimakamkan di Pemakaman Taman
MADIUN DIBAWAH TRAH BUPATI PRAWIRODIRJO
Setelah Perjanjian Gianti Pangeran Ronggo Prawirosentiko di angkat sebagai Bupati Wedana di Madiun, dengan nama baru Ronggo Prawirodirjo dan berkedudukan di istana lama di Kranggan.
Masa pemerintahan Ronggo Prawirodirjo I, dibangun istana baru di Desa Wonosari, sebelah utara kali catur, tidak jauh dari istana Kranggan. Istana ini digunakan sebagai kantor Dinas Bupati Wedono. Menurut buku ”De Stand der Voedingsmidellen” oleh De Vorstenlanden. Struktur pemerintahan pada waktu itu terdiri :
Bupati : dibantu kerabat ( kaum sentana) sebagai pemegang policy daerah serta penerus perintah dari Pusat.
Patih : tugas pokok mengemudikan jalannya pemerintahan sehari-hari
Mantri Besar : tugas membagi pekerjaan negara dan sekaligus mengawasi
Mantri : terdiri beberapa orang Mantri yang menguasai di bidang masing-masing yaitu, Mantri Praja, Mantri Tani, Mantri Keuangan, Mantri Hukum
Beberapa Pegawai Istana
Kelima jajaran itu disebut Kaum Priyayi
Pada tingkat Desa susunannya adalah :
Bekel (Kepala Desa) : Pejabat pemerintahan di Desa
Carik : pelaksana jalannya pemerintahan
Kebayan : memberi perintah dan menarik pajak
Kepetengan : Mengatur keamanan desa
Modin : urusan keagamaan (islam) perkawinan, kelahiran dan kematian
Beberapa desa yang berdekatan , dibentuk seorang DEMANG dengan tugas sebagai koordinator dari para Bekel dan beberapa Kademangan di bentuk lah seorang Koordinator yaitu, PALANG atau disebut juga Lurah Palang.
Dalam Buku ”Kebudayaan Islam” oleh Mohammad Natsir mengutarakan bahwa, pertemuan pejabat-pejabat tertentu biasanya dilaksanakan pada hari Senin, Rabu dan Sabtu. Bertempat di Pendopo istana atau disebut Mandapan ( mandapa, Pendapa)
Tahun 1784 Ronggo Prawirodirjo I wafat dan dimakamkan di Pemakaman Taman yang kemudian oleh Sultan Hamengku Buwono ditetapkan sebagai Tanah Perdikan. Raden Mangundirjo putra dari Ronggo Prawirodirjo I, naik tahta menggantikan ayahnya sebagai Bupati Wedono Mancanegara Timur bergelar Ronggo Prawirodirjo II (1784-1797) selama 13 tahun sebagai bupati ke 15. selain berkedudukan di Istana lama, Kranggan beliau juga membangun kembali Istana Wonosari (sekarang Demangan/Kuto Miring) sebagai Istana Bupati Wedono Madiun. Raden Mangundirjo, adalah seorang yang pemberani, cakap dan lincah. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengkubuwono I.
RONGGO PRAWIRODIRJO III (1797-1810) Bupati ke 16 adalah putra dari Ronggo Prawirodirjo II, beliau juga menantu Sultan Hamengku Buwono II atau suami dari Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, di samping menjadi bupati beliau juga sebagai penasehat Hamengkubowono II bersama Adipati Danurejo II dan Tumenggung Sumodiningrat. Ada 14 Bupati Brang wetan yang berada di bawah pengawasannya, pusat pemerintahannya di Istana Maospati namun beliau sering menetap di Yogyakarta. Beliau berkediaman di 3 tempat yaitu Yogyakarta, Maospati dan Wonosari. Ronggo Prawirodirjo III gugur saat perang melawan Pasukan Yogyakarta, atas kehendak Belanda di Ds. Sekaran (17-12-1810), kemudian dimakamkan di pemakaman Banyu Sumurup dekat makam Imogiri. Tahun 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, Ronggo Prawirodirjo III dimakamkan kembali di Pemakaman Giripurno, Gunung Bancak disamping makam Permaisurinya yaitu GKR Maduretno dan dinyatakan sebagai pejuang perintis melawan penjajahan Belanda.
PERLAWANAN BUPATI MADIUN TERHADAP BELANDA
Pangeran Ronggo Prawirodirjo III termashur keperwiraanya, taat beribadah dan sangat anti terhadap Kolonial Belanda. Beliau memperistri Putri Sultan Hamengku Buwono II, yaitu Gusti Kanjeng Ratu Maduretno. Kabupaten Mediun pada waktu Pemerintahan Ronggo Prawirodirjo III berpusat di Maospati, namun karena kesibukannya sebagai penasehat Sultan, maka beliau sering menetap di Kraton Yogyakarta. Didalam Kraton Kasultanan sendiri terjadi perseteruan antara Ronggo Prawirodirjo III di bantu Tumenggung Sumodiningrat melawan Adipati Danurejo II yang mengantek pada Belanda.
Sejak 31 Desember 1799, Kekuasaan VOC dibubarkan, dan 1 Januari 1800 digantikan dengan ”Pemerintah Hindia Belanda” yang dipimpin oleh Mr.Willem Daendels yang berpangkat Gubernur Jenderal, hal ini akibat perubahan politik di negeri Belanda, Napoleon Bonaparte dari Perancis berhasil menaklukan Belanda, maka Jawa dikuasai oleh orang Belanda Perancis.
Pada masa ini terjadilah perselisihan antara Willem Daendels dengan Ronggo Prawirodirjo III, yang diawali dari permintaan tata tertib upacara protokoler yang di tetapkan Daendels, yaitu dalam upacara pisowanan di Istana Yogyakarta, Residen Belanda dalam menghadap Sultan saat masuk melalui alun-alun utara dengan naik kereta dan di kawal pasukan dengan payung kebesaran dan duduk sejajar dengan Sultan, serta Sultan harus mempersembahkan minuman, karena dianggap sebagai perwakilan Negeri Belanda. Dengan tata tertib tersebut, Ronggo Prawirodirjo III sebagai penasehat Sultan merasa terhina, dan menyatakan tidak senang terhadap Belanda, terutama kepada Patih Danurejo II yang dipandang sebagai otak kekacauan yang dilakukan Belanda didalam Istana Yogyakarta.
Perselisihan yang paling hebat terjadi saat, Daendels menetapkan hutan-hutan di Jawa termasuk wilayah Madiun menjadi milik Pemerintah Belanda, Hutan di wilayah Madiun di tebang dan di angkut ke Surabaya untuk membuat 20 kapal perang Belanda.
Bersamaan dengan itu, di luar istana banyak terjadi kerusuhan-kerusuhan yang menurut Belanda, semuanya terjadi atas perintah Bupati Madiun.
Berdasarkan “memorie” Residen Yogyakarta Johanness Gerardus Van Den Berg. Pembunuhan yang dilakukan Bupati Madiun di Desa Delanggu, ketika perjalanan ke Yogyakarta. Putra Raden Ronggo Prawirodirjo minta seekor kambing yang bagus yang digembala, karena pemilik kambing tersebut tidak mau menjual dengan harga berapapun, maka si penggembala terbunuh oleh Raden Ronggo Prawirodirjo, hal ini menjadi sebuah pemberitaan yang hangat di Negeri Agung Yogyakarta.
Pebruari 1810, Gubernur Jendral H.W. Daendels mengambil tindakan keras dengan adanya kerusuhan yang terjadi di wilayah Ponorogo, yaitu di Desa Ngebel dan Sekedok yang merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Yaitu terjadi pembunuhan dan perampokan yang akhirnya terjadi saling serang di wilayah perbatasan Madiun dan Ponorogo.menurut Babad, Ponorogo selalu menderita kekalahan, karena pertahahanan dan perlawanan di daerah tersebut tidak sebaik dan sekuat pertahanan Kasultanan Yogyakarta yang ada di Madiun, maka Daendels minta agar Sultan Yogyakarta memberi ganti rugi atas kejadian tersebut, akan tetapi Sultan menolak, beliau minta agar hal tersebut diselidiki bersama lebih dahulu. Hasil keputusan dari penelitian, Bupati Madiun di anggap bersalah, maka Bupati Ronggo Prawirodirjo III mengajukan pembelaan dengan pengajuan pengaduan sejenis pada Kasunanan Surakarta, namun tak dihiraukan oleh Daendels.
Kemudian Perampokan dan pembunuhan serupa terjadi di wilayah Karesidenan Pekalongan, Semarang, Rembang dan Demak. Kerusuhan tersebut dipimpin seorang Demang dari Tirsana ”Tirtowijoyo” juga dituduh sebagai kaki tangan yang sengaja diselundupkan oleh Ronggo Prawirodirjo III. Untuk kesekian kalinya Ronggo Prawirodirjo III di anggap bersalah.
Hal yang sangat menyakitkan Ronggo Prawirodirjo III, yaitu penetapan Gubernur Jendral H.W Daendels yang menetapkan bahwa seluruh hutan di Jawa adalah menjadi milik Pemerintah Belanda, dengan penetapan tersebut hutan di wilayah Madiun di babad oleh Residen Yogyakarta Minister Morreess, yang akan digunakan untuk membuat 20 kapal perang di Surabaya. Ronggo Prawirodirjo III menolak keras penebangan hutan tersebut.
Berdasarkan kesalahan-kesalahan yang telah dituduhkan pada Ronggo Prawirodirjo III tersebut diatas, Gubernur Jendral W.H. Daendels minta kepada Sultan, agar Bupati Madiun Ronggo Prawirodirjo III beserta kaki tangannya agar diserahkan kepada Belanda untuk mendapat hukuman menurut Undang-Undang negeri Belanda, melalui Van Broom Belanda menyampaikan 4 tuntutan, yaitu :
1. Sultan agar menerima upacara protokoler baru yang sudah ditetapkan Daendels.
2. Mengembalikan Raden Danurejo II sebagai Patih Kerajaan.
(semula dipecat karena berpihak pada Belanda)
3. Memberhentikan jabatan Patih Raden Tumenggung Notodiningrat. (karena beliau dianggap membahayakan Belanda)
4. Memanggil Bupati Ronggo Prawirodirjo III, untuk menghadap ke Bogor supaya minta ampun kepada Gubernur Jendral.
Apabila empat tuntutan tersebut tidak dijalankan, Gubernur Jendral beserta tentara akan datang sendiri ke Yogyakarta untuk menghukum Sultan. Suasana tersebut diatas memang sengaja dibuat oleh Pemerintah Belanda, agar tulang punggung kasultanan Yogyakarta tersebut lumpuh, serta mengambil alih kekuasaan Mancanegara Timur dari tangan Kasultanan Yogyakarta.
PERLAWANAN RONGGO PRAWIRODIRJO III TERHADAP BELANDA
Isi tuntutan Pemerintah Hindia Belanda yang akan merobah tatanan Upacara Protokoler Istana yang sangat merendahkan Raja dan menyerahkan Ronggo Prawirodirjo III kepada Gubernur Jendral H.W. Daendels dirasa sangat berat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono II, maka tanggal 12-11-1810 Istana Yogyakarta dikepung 1500 pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap, hingga akhirnya tuntutan tersebut berangsur-angsur terpaksa dilaksanakan oleh Sultan Hamengku Buwono II, Patih Danurejo II diangkat kembali menjadi Patih Kerajaan, sedangkan Patih Notodiningrat diturunkan jabatannya menjadi Bupati Dalam. Tanggal 13-11-1810 mulai dilaksanakan tuntutan untuk merubah upacara istana dan memerintah Ronggo Prawirodirjo III untuk datang ke Istana Gubernur Jendral di Bogor.
Dalam hati Ronggo Prawirodirjo III, jika memenuhi perintah Sultan (ayah mertuanya) untuk menghadap ke Belanda di Bogor, berarti menyerah dan mau dijajah, apalagi Ronggo Prawirodirjo III telah menyadari bahwa Belanda memang menginginkan kematiannya, namun jika tidak memenuhi , Sultan akan menderita karena harus memenuhi keinginan Gubernur Jendral Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III memilih meninggalkan istana Yogyakarta kembali ke Maospati dan menetapkan keputusannya untuk “Melawan Pemerintah Belanda” untuk mengelabuhi Belanda, belau menulis surat kepada Van Broom dan Sultan. Surat kepada Van Broom menyebutkan bahwa beliau akan memenuhi permintaan Belanda untuk menghadap Gubernur Jendral di Bogor. Adapun surat khusus kepada ayahandanya (Sultan) disampaikan melalui Tumenggung Notodiningrat dan Tumenggung Sumodiningrat, beliau suatu malam menjelang kepergiannya datang ke rumah Raden Tumenggung Notokusumo, pada malam itu Raden Tumenggung Notodiningrat dan Sumodiningrat (Putra Tumenggung Notokusumo) berada di tempat tersebut. Ronggo Prawirodirjo III menyatakan bahwa beliau sudah tidak tahan dengan tipu muslihat Patih Danuredjo II, beliau pasti ditangkap dan di buang oleh Belanda. Oleh karena itu kehendaknya hanyalah mengikuti istrinya yang telah meninggal dunia, beliau bersedia mati bersama-sama Belanda.
Ronggo Prawirodirjo III akan mengadakan perang gerilya terhadap Belanda di wilayah Mancanegara Timur. Selanjutnya beliau minta agar istananya dijaga dan jembatan-jembatan yang menuju Kabupaten Madiun agar dirusak. Beliau juga minta agar rencananya itu di beritahukan kepada Sultan agar mendukung perlawanannya terhadap Belanda.
Tanggal 20-11-1810, Bupati Madiun Memproklamasikan “Perang Melawan Pemerintah Belanda” mendengar pernyataan tersebut H.W Daendels sangat terkejut. Tanggal 21-11-1810, Ronggo Prawirodirjo III tiba di Maospati diikuti oleh 300 prajurit Yogyakarta, dalam perjalanan beliau telah mengadakan pengrusakan dan pembakaran di Surakarta, yang dianggap kaki tangan Belanda. Beliau menyerukan ajakan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda kepada semua rakyat Mancanegara Timur dan masyarakat Tionghoa. Beliau menggunakan gelar baru ”Susuhunan Prabhu ing Alogo” dan Patih Madiun Tumenggung Sumonegoro mendapat gelar ”Panembahan Senopatining Perang” 14 Bupati bawahannya mendapat gelar “Pangeran”
Tindakan pertama, untuk memperluas medan perang, Ronggo Prawirodirjo III mengirim surat kepada Bupati Mancanegara Barat, Bupati Mancanegara Pesisir Utara, dan Para Bupati diwilayah tersebut, Isi surat itu adalah:
Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta mengakui Ronggo Prawirodirjo III sebagai Sultan Madiun dengan gelar ”Susuhunan Prabhu ing Alogo”
Agar seluruh Bupati di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta menyokong perjuangannya melawan penjajah Belanda di Nusantara
Agar orang laki-laki baik Jawa maupun Tionghoa yang militan, bersedia masuk menjadi tenaga sukarela, mengusir penjajah Belanda
Agar penduduk seluruh Nusantara mengetahui, bahwa Belanda berusaha mengamankan posisi mereka di Nusantara atas raja-raja daerah, guna terjaminnya kelangsungan hak monopoli Belanda yang menyusahkan kehidupan rakyat, maka dari itu untuk mengurangi perluasan kekuasaannya segera dilawan sampai titik darah penghabisan
Agar membinasakan pegawai-pegawai Belanda yang ada terlebih dahulu, perlakuan semena-mena telah dilakukan oleh para pegawai Belanda, mereka mendapat gaji kecil dari Belanda, maka mereka selalu bertindak curang untuk memperkaya diri, akibatnya rakyat sangat menderita.
Agar semua memohon berkah Sultan Yogyakarta dan Tuhan Yang Maha Esa, agar mendapat perlindungan agar menghindarkan Pulau Jawa ini dari kesulitan untuk melawan penjajah Belanda
Pagi harinya tanggal 21-11-1810, Sultan memanggil semua Pangeran, sentana, para kerabat dan para Bupati untuk berkumpul, membicarakan perlawanan Bupati Madiun kepada Belanda, untuk membuktikan bahwa Sultan tidak bersalah maka Sultan melaporkan hal ini kepada Pemerintah Belanda di Semarang, sebagai bukti Sultan menyerahkan Notokusumo dan Pangeran Raden Notodiningrat kepada Pemerintah Belanda dengan syarat apabila Ronggo Prawirodirjo III berhasil ditangkap atau dibunuh, agar kedua pangeran tersebut di kembalikan ke Istana Yogyakarta.
Menurut buku Babad Amangku Buwono, penyerahan kedua pangeran tersebut mendatangkan suasana duka yang mendalam di istana Yogyakarta, mereka ke Semarang diantar oleh Tumenggung Danukusumo, Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dan nyonya.
Di Semarang pada waktu itu pula,( 21-11-1810 ) sedang berlangsung rapat rahasia antara Gubernur Jendral H.W Daendels dan Panglima Perang Van Broom, yang disusul oleh Patih Danuredjo II, dan Residen Yogyakarta, minister Engelhard dengan keputusan bahwa dalam waktu dekat Sultan Hamengku Buwono II akan di copot dan diganti Putra Mahkota, karena Sultan dianggap telah membantu dan melindungi perlawanan Bupati Madiun, kecuali jika ada keputusan sungguh-sungguh dari Sultan Hamengku Buwono II untuk segera membasmi pemberontakan Bupati Madiun.
Berdasar keputusan Semarang tersebut, terpaksa Sri Sultan Hamengku Buwono II segera mengirim pasukan kerajaan yang terdiri dari 1.000 prajurit infanteri dan 12 prajurit kavaleri di bawah pimpinan Panglima Perang Raden Tumenggung Purwodipuro, di bantu 2 ahli tempur Belanda yaitu, Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III. Sedang di pihak Bupati Madiun hanya terdiri dari 300 prajurit setia di bawah panglima perang Tumenggung Sumonegoro dan pasukan sukarela yang tak terhitung banyaknya.
Menurut Babad Tanah Jawa, Kabupaten Jipang dan Panolan yang menjadi pusat pertahanan prajurit Kasultanan Yogyakarta, berhasil di hancurkan oleh pasukan Madiun. Dalam ekspedisi ini pasukan Madiun selalu unggul. Tumenggung Purwodipuro adalah seorang yang penakut, beliau enggan melawan Ronggo Prawirodirjo III, akhirnya pasukan Kasultanan kembali ke Istana Yogyakarta.
Kegagalan ekspedisi pertama ini membuat Sultan marah, Tumenggung Purwodipuro di pecat dari jabatan Bupati Dalam, diangkat panglima baru yaitu, Pangeran Adinegara di bantu Raden Wirjokusumo, Raden Wirjotaruno, Raden Sosrowidjaya dan Raden Tirtodiwirdjo untuk memimpin ekspedisi yang kedua, ekspedisi kedua pun gagal, wilayah daerah Kabupaten Madiun belum terjamah oleh pasukan kasultanan, medan pertempuran berpusat di perbatasan Ngawi dan perbatasan Magetan.
Ekspedisi ketiga dibawah pimpinan Pangeran Purwokusumo, ini juga menemui kegagalan, barulah pada tanggal 7 Desember 1810 diangkat panglima perang Pangeran Dipokusumo (saudara Pangeran Diponegoro) dengan dibantu Letnan Paulus dan Sersan Leberfeld dengan 12 pasukan kavaleri. Pertempuran dahsyat terjadi di pusat-pusat pertahanan Kabupaten Madiun dan mampu dikuasai oleh pasukan Pangeran Dipokusumo, pusat perlawanan tinggal di Kabupaten Madiun. Menurut buku “Overzigt jilid III” bahwa tanggal 7 Desember 1810, pada malam hari, Istana Maospati, Madiun berhasil diduduki oleh pasukan Yogyakarta tanpa ada perlawanan. Pangeran Dipokusumo menduduki Istana Maospati hingga 3 hari tanpa mendapat gangguan dari musuh, hal ini disebabkan pusat pertahanan telah dipindahkan ke Istanan Raden Ronggo Prawirodirjo III yang di Wonosari, Madiun.
Tanggal 11 Desember 1810, Istana Wonosari dan sekitarnya berhasil diduduki pasukan Yogyakarta, saat itu keluarga Bupati Madiun terpisah dengan pasukan induk, pasukan Raden Ronggo Prawirodirjo III mundur ke arah timur, yaitu ke Kabupaten Kertosono.
Oleh karena sebagian keluarga Raden Ronggo Prawirodirjo III terpisah dengan pasukan induk maka, 2 adik, beberapa anak dan ibu Raden Ronggo Prawirodirjo III di tangkap dan di serahkan pada Sultan sebagai tawanan di Yogyakarta.
Tanggal 12 Desember 1810 situasi di Madiun sudah aman, hingga Letnan Paulus leluasa mengadakan pengamatan terhadap situasi daerah Madiun, yang kemudian hari dapat dimanfaatkan untuk kepentingan Belanda. Maka Letnan Paulus adalah orang Belanda pertama yang mengetahui seluk beluk Kabupaten Madiun.
Sejak 10 Desember 1810, pusat pertahanan Raden Ronggo Prawirodirjo III dipindahkan ke Kertosono, dengan sisa prajurit 100 orang. Tanggal 13 Desember 1810 Pangeran Dipokusumo memerintahkan pasukan Yogyakarta mengejar ke Kertosono di bawah perintah Bupati Wirianagara, Bupati Martolojo, Bupati Judokusumo dan Bupati Sumodiwirjo yang di dampingi sersan Leberfeld.
Pada tanggal 17 Desember 1810 terjadi pertempuran dahsyat di Desa Sekaran Bojonegoro, jatuh korban tak terhingga di kedua pihak. Akhirnya Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Bupati Sumonegoro dapat berhadapan langsung dengan Pasukan Yogyakarta , seluruh prajurit dan para Bupati tidak ada yang berani dengan Raden Ronggo Prawirodirjo.
Demi nama keluarga perlawanan dihentikan, yang dihadapi sekarang bukanlah Belanda, tetapi Pangeran Dipokusumo (masih keluarga). Pendirian Raden Ronggo Prawirodirjo III, lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda. Terjadi konflik batin dalam diri Raden Ronggo Prawirodirjo III, Pangeran Dipokusumo tidak berdosa, ia hanya menjalankan perintah ayahnya, Sultan Yogyakarta yang ditahan oleh Belanda. Apabila Pangeran Dipokusumo tewas, berarti Belanda amat senang karena duri yang berbahaya akan lenyap, keinginan Belanda menguasai Kraton Yogyakarta segera tercapai.
Dengan pertimbangan yang berat tersebut, Raden Ronggo Prawirodirjo III memilih mati dengan pusakanya sendiri, yaitu tombak sakti ”Kyai Blabar” dengan perang pura-pura/setengah hati melawan Pangeran Dipokusumo.
Menurut buku “Sekitar Yogyakarta, karangan Dr. Soekanto yang mengutip dari buku “Aanteekeningen” diutarakan sebagai berikut :
Dalam Babad keturunan Prawirosentiko tertulis, bahwa Pangeran Dipokusumo diperintahkan oleh Sultan menangkap Bupati Wedono Ronggo Prawirodirjo III hidup atau mati; atas permintaan sendiri beliau dibunuh dengan tombak pusaka Kyai Blabar oleh Pangeran Dipokusumo dalam perkelahian pura-pura antara seorang melawan seorang. Demikianlah Raden Ronggo Prawirodirjo III menemui ajalnya sebagai korban Daendels, Van Broom dan Danuredjo II.
Bupati Madiun merangkap Bupati Wedono Mancanegara Timur telah gugur sebagai kusuma bangsa tanggal 17 Desember 1810 di Desa Sekaran, Bojonegoro. Jenazahnya di bawa ke Istana Yogyakarta dengan upacara kebesaran. Beliau dimakamkan di makam Banyu sumurup, dekat komplek Makam Imogiri. Atas pertimbangan keluarga pada bulan Februari 1957 oleh Sultan Hamengku Buwono IX, beliau dipindahkan makamnya ke samping makam isterinya, GKR Maduretno, di Gunung Bancak setelah di semayamkan lebih dahulu di Masjid Taman Madiun.
Untuk mengisi jabatan Bupati Madiun dan Wedono Mancanegara Timur maka diangkat sementara Pangeran Dipokusumo oleh Sultan Hamengku Buwono II untuk mengisi jabatan tersebut, yang berkedudukan di Maospati, Madiun. Pengangkatan ini dengan pertimbangan atas jasa beliau. Sesuai adat dan tradisi kerajaan bahwa ahli waris Prawirodirjo III, khususnya putra sulung bernama Prawirodiningrat masih belum dewasa dan masih mendapat pendidikan di Yogyakarta, maka kedudukan Bupati Madiun untuk sementara waktu di pegang Pangeran Dipokusumo
Daerah yang di lalui Ronggo Prawirodirjo III setelah melarikan diri dari kasultanan Jogjakarta,
versi Peter Carey : 1.Prambanan 2.Klaten 3.Delanggu (21 November 1810) 4.Kartasura (22 November 1810) 5.Masaran * 6.Padas (24 November 1810) 7.Sragen * 8.Tarik (25 November 1810) 9.Jagaraga 10.Magetan (27 November 1810) 11.Maospati (28 November 1810) 12.Madiun 13.Sentul (3 Desember 1810) 14.Caruban (8 Desember 1810) 15.Tunggur (9 Desember 1810) 16.Berbek 17.Pace * 18.Nganjuk (10 Desember 1810) 19.Gabar 20.Kertasana (11 Desember 1810) 21.Munung (12 Desember 1810) 22.Pandhantoya 23.Cabean (14-16 Desember 1810) 24.Sekaran (16-17 Desember 1810)
- = daerah yang dirusak/bakar pasukan Ronggo Prawirodirjo III
Kraton Maospati yang berbenteng dijarah pasukan Belanda dn kesultanan
PANGERAN DIPOKUSUMO menjabat dari tahun 1810-1822. Politik pemerintahanya masih melanjutkan politik Ronggo Prawirodirjo III dengan tunduk sepenuhnya pada Yogyakarta dan tidak menuruti sepenuhnya permintaan Belanda.
YOGYAKARTA SETELAH PERLAWANAN BUPATI MADIUN
Sejak terjadi pemberontakan Pangeran Raden Ronggo Prawirodirjo III terhadap Belanda, disekitar Istana Yogyakarta ditempatkan Pasukan Belanda yang kuat, bahkan setelah Raden Ronggo Prawirodirjo III Gugur, Pasukan Belanda menambah kekuatannya di sekitar Istana. Walaupun Sultan telah memenuhi keinginan Belanda untuk membasmi perlawanan Bupati Madiun, namun Belanda masih belum puas, tanggal 31 Desember 1810 Gubernur Jendral HW Daendels datang ke Istana Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono II diturunkan dari tahta, dan mengangkat putra mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Sultan Hamengku Buwono III. Sultan baru ini adalah ayah Pangeran Dipokusumo (Bupati Madiun pengganti Raden Ronggo Prawirodirjo III ), Sultan Hamengku Buwono II kemudian disebut Sultan sepuh tidak mempunyai kekuasaan lagi, hanya pada acara tertentu seperti Grebeg Siyam, grebeg Maulud, Grebeg Suro dan Upacara-upacara lainnya, hadir mendampingi Sultan Hamengku Buwono III.
Pangeran Notokusumo dan Pangeran Notodiningrat, yang diserahkan ke Semarang oleh Hamengku Buwono II sebagai jaminan atas janji untuk menangkap hidup atau mati Ronggo Prawirodirjo III, baru di kembalikan ke Istana Yogyakarta tanggal 16 Desember 1811, hal itu pun, karena ada perubahan politik dalam pemerintahan negeri Belanda (Perancis) yaitu, kekalahan Pemerintah Belanda dari Inggris, yang sebenarnya Belanda menginginkan kedua pangeran tersebut untuk di binasakan.
Tanggal 26 Agustus 1811, tentara Inggris yang di pimpin Lord Minto berpusat di India mengepung pusat pemerintahan Belanda di Batavia, Pusat pertahanan pasukan Belanda di Jatinegara jatuh. Gubernur Jendral J.W. Janssens (pengganti Daendels) yang semula Gubernur Kaap Kolonie ( Afrika Selatan) menghadapi nasib tragis. J.W. Janssens dan pasukan Belanda mundur ke Semarang, dengan harapan mendapat bantuan Kasultanan dan Kasunanan Mataram, namun tidak mendapat simpati. Kasultanan Yogyakarta termasuk Kabupaten Madiun, bahkan diam-diam membantu tentara Inggris, dengan harapan Belanda segera musnah dari wilayah Yogyakarta. Tanggal 18 September 1811 Belanda akhirnya menyatakan menyerah pada Jendral Auchmuty di Salatiga dengan syarat menanda tangani perjanjian ”Kapitulasi Tuntang” secara yurisdis semenjak itu Nusantara di kuasai Inggris.
Pergantian Pemerintahan Belanda ke tangan Inggris, dimanfaatkan oleh Sultan Sepuh untuk mengambil tahta Kasultanan Yogyakarta kembali, dari tangan Sultan Hamengku Buwono III. 23 September 1811 Sultan Sepuh mengembalikan Sultan menjadi Putra Mahkota kembali. Dalam masa peralihan tersebut dilakukan pembersihan di lingkungan Istana, Patih Danuredjo II di bunuh dan pejabat-pejabat yang pro Belanda dan Danuredjo II di tangkap dan dipenjara atau di bunuh.
Setelah Kapitulasi Tuntang, pemerintah Hindia Belanda menyerahkan kekuasaan di Nusantara kepada Pemerintah Britania Raya (Inggris) dengan Gubernur Jendral Sir Thomas Stamford Rafless.
Pada masa Pemerintahan Inggris ini, Sultan Hamengku Buwono II mengajak Kasunanan Surakarta untuk memulihkan hak-hak raja-raja Mataram, termasuk tata cara Upacara protokoler Istana serta berusaha mengadakan perlawanan kepada Pemerintah Inggris. Usaha-usaha perlawanan Sultan Hamengku Buwono II ini membuat Pemerintah Inggris tidak suka. Dengan di bantu Pangeran Notokusumo, tanggal 18-20 Juni 1812 Pasukan Inggris yang dipimpin Jendral Gillespie menyerbu Istana Yogyakarta dan terjadi pertempuran hebat, namun Pasukan Inggris berhasil menguasai Istana dan memaksa Hamengku Buwono II turun tahta , Kasultanan diserahkan kembali pada Sultan Hamengku Buwono III (putra mahkota), kemudian Oleh Rafless, Sultan sepuh (Hamengku Buwono II) di tangkap dan diasingkan ke Pulau Pinang kemudian dipindah ke Ambon
Pada tanggal 1 Agustus 1812 Pemerintah Inggris memaksa Hamengku Buwono III untuk memenuhi keinginan Pemerintah Inggris , yaitu antara lain :
- Wilayah Kedu, sebagian Semarang, separuh Pacitan, Rembang, Japan, Jipang, Grobogan dan Surabaya menjadi milik Pemerintah Inggris yang diberi ganti kerugian sebesar 100.000 Real per tahun
- Kasultanan Yogyakarta tidak boleh mempunyai angkatan bersenjata yang kuat, kecuali hanya prajurit-prajurit keamanan Kraton
- Memberikan sebagian wilayah Kasultanan Yogyakarta kepada Pangeran Notokusumo, atas jasa beliau pada Pemerintah Inggris.
Tanggal 17 Maret 1813 Pemerintah Inggris mengangkat serta membangunkan Istana Pangeran Notokusumo sebagai Pangeran Merdiko di bawah Pemerintah Inggris dengan wilayah Kadipaten Paku Alaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Tahun 1815 kekuasaan Inggris di Nusantara diserahkan kembali ke Pemerintah Belanda
Tahun 1820, Bupati Madiun Pangeran Dipokusumo tidak aktif menjalankan roda pemerintahan dikarenakan sakit, maka sesuai tradisi jika penguasa berhalangan dibentuklah perwakilan atau badan perwakilan. Pada waktu itu Patih Raden Tumenggung Tirtoprodjo yang menjadi Pejabat Bupati Madiun. Penerus Trah Prawirodirjo yaitu Raden Ronggo Prawirodiningrat waktu itu belum cukup dewasa
MASA PERANG DIPONEGORO DI MADIUN
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta.
Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita.
Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon )
Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda)
Ulama dan Santri : mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.
Maka dengan munculnya seorang pemimpin yang berani melawan dominasi Belanda, mereka segera menyambut dengan semangat juang yang membara.
Perang Diponegoro berawal dari rencana Belanda membangun jalan Yogyakarta- Magelang melewati Muntilan, namun berbelok melintasi Makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro murka, dan meyuruh bawahannya untuk memcabut patok-patok yang telah dipasang Belanda.
Rabu, 20 Juli 1825, Perang meletus dengan adanya serangan mendadak tentara Belanda di rumah Pangeran Diponegoro dan pamannya Pangeran Magkubumi serta para pendukungnya di Tegalrejo.
Perang Diponegoro ini berlangsung 5 tahun, yaitu periode I, tahun 1825-1826. periode II, tahun 1827-1830.
Dari catatan Kapten Inf. P.J.F. Louw dan Kapten Inf. E.S. De Klerck menyatakan sebagai berikut :
Daerah Madiun dan sekitarnya yang ikut berperang adalah :
- Maospati
(tempat Bupati Wedono Madiun yang memegang komando tertinggi wilayah Mancanegara Timur )
- Wonorejo
- Kranggan atau Wonokerto
- Muneng dan Bagi
- Keniten (Ngawi)
- Magetan ( terdiri dari 3 kabupaten)
- Bangil (Ngawi)
- Purwodadi (Magetan)
- Gorang-gareng (terdiri dari 2 kabupaten)
- Ponorogo ( terdiri dari 6 kabupaten)
- Caruban
- Lorog ( Pacitan)
- Panggul (Pacitan)
Selain daerah Kabupaten tersebut diatas, masih ada yang kemungkinan bukan di bawah para Bupati, diantaranya Desa Perdikan, Desa Norowito, Desa Pangrambe, Desa Sentanan dan Desa Apana yaang terdapat di Pacitan, juga Domini-Domini Kerajaan.
Wonorejo adalah daerah penelitian Belanda yang selanjutnya untuk pertama kali orang-orang Belanda menetap disitu. Kranggan atau Wonokarto atau Tunggul, terletak di Madiun Bagian utara, dekat Kota Ngawi di kiri kanan sungai Madiun. Di sebelah tenggara Tunggul terletak di Kabupaten Muneng dengan Ibukota Muneng ( sekarang masih dikenal) di sebelah selatan Ngawi terdapat Kabupaten Keniten, berbatasan dengan Magetan dengan batas alam sungai Jungki. Purwodadi merupakan Kabupaten termuda dengan lokasi di sebelah selatan Keniten, termasuk wilayah Kabupaten Magetan sekarang. Maospati saat itu merupakan tempat bersemayam Bupati Wedono sebagai komando tertinggi untuk wilayah Mancanegara Timur.
Pada waktu permulaan perang , bupati di wilayah Madiun yang memimpin perang sebagai Panglima daerah sebagai berikut :
- Raden Mas Tumenggung Prawirodirjo ( saudara sepupu Pangeran Diponegoro ), Bupati Kepala I di Wonorejo Madiun.
- Raden Mas Tumenggung Prawirosentiko, Bupati kepala II di Tunggul
- Raden Mas Tumenggung Surodirjo, Bupati Keniten
- Raden Mas Tumenggung Yudoprawiro, Bupati Maospati
- Raden Mas Tumenggung Yudokusumo, Bupati Muneng
- Raden Mas Tumenggung Surodiwiryo, Bupati Bagi
- Raden Ngabehi Mangunprawiro, Bupati Purwodadi
Dukungan Bupati Wedono Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat, masih diragukan oleh Pangeran Diponegoro, karena beliau walaupun anti Belanda namun masih setia pada Sultan Yogyakarta. Usia Ronggo Prawirodiningrat waktu itu baru 21 tahun, maka dalam menjabat Bupati Wedono, beliau masih di dampingi oleh beberapa Bupati yang sebagian besar ikut berperang mendukung Pangeran Diponegoro.
Pemimpin peperangan yang berasal dari Madiun terdiri dua orang yaitu : Mas Kartodirjo dan Raden Tumenggung Mangunprawiro, putra Tumenggung Mangunnegoro yang telah gugur dalam medan perang, selaku panglima perang Pangeran Diponegoro.
Raden Tumenggung Mangunprawiro menggantikan kedudukan sebagai Bupati dan Panglima perang, walaupun secara yuridis adiknya bernama Raden Tumenggung Yudodipuro yang menjadi Bupati Purwodadi kemudian.
Awal perang terjadi di Kota Ngawi, Kawuh, Gerih dan Kudur Bubuk semuanya di perbatasan Kabupaten Madiun.
Catatan harian, Letnan Jendral De Kock, tanggal 8 Agustus 1825, berdasar laporan spionase, bahwa Kabupaten Madiun, Caruban dan Magetan sudah mengumpulkan pasukan terpilih lengkap dengan berbagai senjata tempur di bawah Panglima Mas Kartodirdjo dan akhir Agustus 1825, tujuh Bupati wilayah Kasunanan Surakarta mulai tidak setia pada Belanda.
Van Lewick, Residen Rembang staf diplomatik Belanda pada Bulan November 1825 berusaha untuk mengadakan perdamaian dengan mengundang bupati-bupati di wilayah Madiun, yaitu: Madiun,Maospati, Magetan, Muneng dan Gorang-Gareng dengan iming-iming tertentu, diharap semua Bupati tidak membantu Perang Diponegoro dan mengakui pemerintahan Hindia Belanda. Usaha Van lewick ini gagal karena mereka tetap menghormati sikap Bupati Wedono Madiun.
Setelah usahanya gagal, Van Lewick mengirim satu detasemen tentara dibawah Kapten Infanter Theunissen dan diperkuat lagi dengan berbagai satuan lapangan dari Surabaya.2
21/2 <1+?> ♂ Raden Rangga Prawiradirja II [Mataram]gelar: 1784 - 1797, Bupati Madiun Ke 15 di : Wonosari
3
41/3 <2+1> ♂ Kanjeng Raden Adipati Haryo Ronggo Prawirodirdja III ? (Adipati Maospati Madiun ke III) [Mataram]gelar: 1799 - 17 Desember 1810, Bupati Madiun Ke 16 di : Maospati
wafat: 17 Desember 1810, Banyu Sumurup-Imogiri dipindahkan ke Giripurno-Gn Bancak-Magetan pada 1957
4
61/4 <4+3> ♀ 3. Raden Ayu Maduretno / Raden Ayu Diponegoro (Bendoro Raden Ayu Ontowiryo) [Hamengku Buwono]perkawinan: <4> ♂ Pangeran Diponegoro [Hb.3.1] / Bendoro Raden Mas Mustahar [Hamengku Buwono III] b. 11 November 1785 d. 8 Januari 1855, Keraton Yogyakarta
gelar: 18 Februari 1825, Tegalrejo
wafat: 28 Februari 1827, Yogyakarta
Setelah geger Madiun reda di tahun 1814 untuk yang ke lima kalinya Pangeran Diponegoro menikah dengan R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Tahun 1826 ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi Sultan di Dekso, R.A Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Namun karena sakit beliau meninggal pada tahun 1828. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Joned pada tahun 1815 Dan Raden Mas Roub tahun 1816 . Raden Ayu Maduretno juga dikenal dengan Raden Ayu Ontowiryo atau Raden Ayu Diponegoro. Ketika menikah dengan R. A Maduretno, isteri pertama dan keempat sudah meninggal, sedangkan isteri kedua lebih senang tinggal diistana sehingga terjadilah hubungan yang tidak harmonis antara P. Diponegoro dengan RA. Retnokusumo. Hubungan Pangeran Diponegoro dengan keluarga besar Raden Ronggo semakin ditingkatkan untuk menambah kekuatan dan kedudukan kasultanan Jogja di mata penjajah.
Masa Perang Diponegoro di Madiun
Bupati Madiun Pangeran Raden Ronggo Prawirodiningrat adalah putra ke enam Ronggo Prawirodirjo III dengan ibu suri GKR Maduretno, saudaranya kandungnya ada sebelas, yakni RA Prawironegoro, RA Suryongalogo, RA Pangeran Diponegoro, RA Suryokusumo, Raden Adipati Yododiningrat (Bupati Ngawi), Raden Ronggo Prawirodiningrat sendiri ( Bupati Madiun), RA Suronoto, RA Somoprawiro, RA Notodipuro, dan RA Prawirodilogo. Sedangkan dari ibu selir putri asli Madiun, lahirlah Pahlawan Nasional Raden Bagus Sentot Prawirodirjo. Beliau sejak kecil hidup dilingkungan istana Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Ronggo Prawirodiningrat ini, meletus perang Jawa, atau Perang Diponegoro, rakyat Madiun dan sekitarnya dari semua golongan mendukung perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap pemerintahan Belanda. Perang Besar ini disebabkan karena Bangsa Belanda selalu ikut campur urusan pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan selalu melakukan penindasan, pemerasan yang tidak berperi kemanusiaan, hingga rakyat semakin menderita. Pendukung Perang Diponegoro di Kabupaten Madiun, dan di seluruh wilayah Mataram, pada umumnya terdiri dari :
Rakyat Kebanyakan : mereka sudah tidak tahan atas berbagai Pajak yang tinggi mencekik hidup mereka (usaha Belanda dalam menutup Kas akibat kekalahan Perang pada era Napoleon ) Golongan Bangsawan : mereka tidak puas dengan peraturan sewa menyewa tanah yang hanya dihargai sebagai ganti rugi belaka (praktek Monopoli Belanda) Ulama dan Santri :
mereka merasa tidak senang dengan tingkah laku kaki tangan Belanda minum-minuman, berjudi, dan madat yang akhirnya merajalela.perkawinan: <5> ♀ Raden Ayu Sentotprawirodirjo [Hb.3.2.12] [Hamengku Buwono III]
wafat: 17 April 1855, Bengkulu
5
perkawinan: <7> ♀ NYI MAS AYU Fatmah \ Bun Nioh [Tan] b. 1817c
wafat: 1837, Yogyakarta, dimakamkan di Bogor (Versi 'Peter Carey')
wafat: 1885, Bogor, dimakamkan di Bogor (Versi Keluarga)
RIWAYAT HIDUP
PANGERAN DJONET / RM. JUNAT / RM. JEMET
Ketika ayahnya menyatakan diri sebagai penentang penjajah dan terusir dari Puri Tegalrejo, Raden Mas Joned baru berumur sepuluh tahun. Dia ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda. Dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya. Usianya masih terhitung anak-anak ketika dia lari mengikuti rombongan para penghuni Puri Tegalrejo dan para penghuni kampung sekitar puri. Terkadang sebuah tangan kokoh menyambarnya dan meletakkannya dalam gendongan sambil berlari mendorong gerobak dimana ibu dan bibinya menumpang menyatu dengan perbekalan seadanya. Orang itu tak lain adalah Sentot Prawiro Dirjo pamannya sendiri. Umur Raden Mas Joned sekitar 15 tahun ketika melihat ayahnya ditangkap oleh Belanda. Dia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya tetap tegar menghadapi semuanya. Raden Mas Joned tidak kuasa menitikkan air mata ketika melihat ayahnya digiring dimasukkan ke dalam kereta yang membawanya ke pengasingan. Marah dan dendam, itulah yang ada di dalam benak Raden Mas Joned. Jiwa mudanya sangat terguncang dan itulah yang membuat Raden Mas Joned selalu melakukan perlawanan dimanapun dia melihat orang Belanda. Raden Mas Joned berusaha membebaskan ayahnya dengan cara mengejar ke Ungaran, lalu ke Semarang. Dia berhasil menyusup ke dalam kapal pembawa Pangeran Diponegoro tetapi ketahuan dan Raden Mas Joned menceburkan diri ke laut. Dia tidak putus asa karenanya. Raden Mas joned lalu mengejar Pangeran Diponegoro melalui darat bersama beberapa orang pengikutnya menuju Batavia. Sesampainya di Batavia, Pangeran Joned berusaha mendekati tempat penyekapan Pangeran Diponegoro, tetapi sayang, mata-mata mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro telah dipindahkan menggunakan kapal ke arah Timur. Dengan perbekalan seadanya disertai dengan pengikut-pengikut setianya, Raden Mas Joned berangkat ke arah Timur melewati jalan darat sambil menebarkan petaka bagi siapapun yang mencoba menghalanginya. Raden Mas Djonet, mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak menguntungkan dalam perselisihan dengan seorang perwira di Djokjakarta. (J. Hageman, 1856, "Geschiedenis van den oorlog op Java, van 1825 tot 1830"). Atas kehendak keluarga, jenasah beliau disembunyikan dan dimakamkan di Bogor. Ibu Raden Mas Joned yaitu Raden Ayu Maduretno adalah kakak Sentot Prawirodirjo yang ikut bergabung dalam barisan Pangeran Diponegoro. Ketika Pangeran Diponegoro diangkat menjadi sultan di Dekso, Raden Ayu Maduretno diangkat menjadi permaisuri. Pada tahun 1828 beliau wafat karena sakit dan dimakamkan di Imogiri.
PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO / RM. JUNAT / RM. JEMET
PANGERAN DJONET atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang lahir pada tahun 1815 1) di Yogyakarta dari Ibu kandung yang bernama R.A. Maduretno alias R.A. Ontowiryo alias R.A. Diponegoro yakni isteri kelima Pangeran Diponegoro putri ketiga Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Kanjeng Ratu Kedaton Maduretno Krama (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu. Pangeran Djonet memiliki adik kandung bernama Pangeran Roub/Pangeran Raab/Pangeran Raib, yang pada tahun 1840 berhasil dibuang Belanda ke Ambon dan meninggal disana. Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada 18 Pebruari 1828 (walaupun saat itu Belanda berikut Kerajaan yang lain tidak mengakuinya). Pada saat itu Raden Mas Djonet Dipomenggolo masih berumur 13 tahun.
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA 6. BPH. DIPANEGARA 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Ibu)
0. KANJENG SUNAN PRABU AMANGKURAT AGUNG 1. KANJENG SUSUHUNAN PAKUBUANA I 2. KANJENG PRABU AMANGKURAT IV 3. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING I ING NGAYOGYAKARTA 4. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING II ING NGAYOGYAKARTA 5. KRK. MADURETNO KRAMA (Putri ke 22 HB-II <menikah dengan> RADEN RANGGA PRAWIRADIRDJA III 6. BRAy. MADURETNO/RA. Ontowiryo/RA. Diponegoro 7. RM. DJONET DIPAMENGGALA - Tercatat Di Tepas Darah Dalem -
PANGERAN DJONET PADA MASA PERJUANGAN PANGERAN DIPONEGORO (Tahun 1825-1830)
Sejak usia 10 tahun Pangeran Djonet bersama 2 saudaranya yaitu Pangeran Roub dan Pangeran Diponegoro Anom selalu mendampingi/selalu diajak ayahnya dalam setiap perundingan penting dengan Belanda. Mengingat usianya yang relatif muda tidak banyak yang dilakukan Pangeran Djonet muda, akan tetapi selama 5 tahun Pangeran Djonet berada, melihat dan menyaksikan langsung (veni, vedi veci) sejarah yang sedang terjadi di tanah air melalui perjuangan orang tuanya yaitu Pangeran Diponegoro beserta panglima Sentot Prawiradirja dan Pangeran-pangeran juga para Kyai. Di medan perang Pangeran Djoned menyaksikan bagaimana prajuritnya terbunuh...bagaimana mendapatkan kemenangan...bagaimana mengatur siasat perang, semua ini merupakan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi pembentukan kepribadian Pangeran Djoned kemudian.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya. Pemberontakan Paderi di Sumatera Barat, untuk sementara dibiarkan. Sekitar 200 benteng telah dibangun untuk mengurangi mobilitas pasukan Diponegoro. Perlahan langkah tersebut membawa hasil. Dua orang panglima penting Diponegoro tertangkap. Kyai Mojo tertangkap di Klaten pada 5 Nopember 1828. Sentot Alibasyah, dalam posisi terkepung, menyerah di Yogya Selatan pada 24 Oktober 1829.
Diponegoro lalu menyetujui tawaran damai Belanda. Tanggal 28 Maret 1830, Diponegoro disertai lima orang lainnya ( Raden Mas Jonet, Diponegoro Anom, Raden Basah Martonegoro, Raden Mas Roub dan Kyai Badaruddin) datang ke kantor Residen Kedu di Magelang untuk berunding dengan Jenderal De Kock. Mereka disambut dengan upacara militer Belanda. Dalam perundingan itu, Diponegoro menuntut agar mendapat "kebebasan untuk mendirikan negara sendiri yang merdeka bersendikan agama Islam." De Kock melaksanakan tipu muslihatnya. Sesaat setelah perundingan itu, Diponegoro dan pengikutnya dibawa ke Semarang dan terus ke Betawi. Pada 3 Mei 1830, ia diasingkan ke Manado, dan kemudian dipindahkan lagi ke Ujungpandang (tahun 1834) sampai meninggal. Di tahanannya, di Benteng Ujungpandang, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman.
PANGERAN DJONET PADA SAAT PENGASINGAN AYAHNYA KE SULAWESI (Tahun 1830)
Menurut cerita salah satu keturunan ke 6 Pangeran Djonet yang tinggal di sekitar makam yaitu R. Ustad ABDUL WAFA (keturunan dari Raden Mas SAHID ANKRIH, anak ke 5 Pangeran Djonet) adalah sebagai berikut : Sewaktu beliau dibuang ke Makassar, beliau ikut namun sewaktu Kapal/Perahu di lautan beliau menceburkan diri bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. Setelah beberapa lama menetap di Batavia, lalu beliau pindah ke Bogor, berjuang bersama pasukannya yang akhirnya menetap di Kebon Kelapa Cibeureum sampai akhir hayatnya.” (sesuai yang tertera dalam Papan Wisata Ziarah dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bogor).
SITUS MAKAM PANGERAN DJONET DIPOMENGGOLO
Cerita lain, versi keturunan yang tinggal di sekitar makam : “ Pangeran Djonet tinggal dan menetap pertama kali di pinggiran kota Bogor (± 4 s.d 7 km dari Istana Belanda) di kampung Jabaru (Jawa Baru), setelah mempunyai 5 orang putra dan 2 orang putri semakin banyaklah keturunan Pangeran Djonet di kampong Jabaru tersebut, akhirnya membuka kampong baru lagi dengan nama kampong Dukuh Jawa, sampai akhirnya wafat pada usia 70 tahunan dan dimakamkan di kampong Kebon Kelapa (sekarang Jalan Raden Kosasih), Cikaret, Bogor Selatan tidak jauh dari kampong tempat beliau menetap ”.
PANGERAN DJONET DI BATAVIA (Tahun 1830-1831)
Setelah lolos dari proses pengasingan ke Pulau Sulawesi sesuai cerita sebelumnya, Pangeran Djonet muda yang baru berusia 15 tahun (1815-1830) dibantu pengikutnya yang berjumlah lebih dari 1 orang untuk mencari tempat persembunyian sementara di daerah Batavia. Sebagai kelompok asing yang berkeliaran di Batavia yang notabene sebagai pusat kegiatan colonial pada masa itu tentunya baik Pangeran Djonet maupun pengikutnya yang asli Yogyakarta mencari sanak saudara, kerabat maupun tetangga yang sedaerah. Akhirnya dengan wawasan sejarah yang dimiliki sang Pangeran Muda diputuskan untuk mencari daerah Matraman (saat itu umur daerah Matraman sudah mencapai 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia).
Di Matraman, pengikut Pangeran Djonet terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama/menggunakan nama alias) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu. Diluar perkiraan sang Pangeran, mereka menerima dengan amat terbuka sambil disertai perasaan haru, bangga dan rindu akan kampong halaman akhirnya berkat bantuan dan perlindungan masyarakat Matraman pada saat itu Pangeran Djonet beserta pengikutnya menetap di Batavia (Matraman) lebih kurang selama 2 tahun.
Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela (di komplek pemakaman Pangeran Djonet di Bogor dimakamkan juga komandan pasukan pengawal yang berasal dari Banten). Komunikasi keberadaan Pangeran Djonet di Batavia dengan pihak Keraton Yogyakarta (lebih kurang 19 orang Pangeran/turunan Sultan yang mendukung Pangeran Diponegoro) dilakukan melalui media kurir/mata-mata/telik sandi yang masing-masing bergerak menuju titik yang ditentukan (rendesvouz), dari Keratonlah Pangeran Djonet mendapatkan bantuan logistik yang diperlukan dalam membentuk pasukan pengawal.
Tahun 1832 Pangeran Djonet genap berusia 17 tahun, usia yang cukup dewasa bagi seorang keturunan Sultan untuk segera memulai hidup berumah tangga. Maka pada tahun 1832 Pangeran Djonet mempersunting Putri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga Tan yang bernama BUN NIOH kemudian berganti nama menjadi NYI MAS AYU FATMAH (tidak ada literature yang menyebutkan dimana proses pertemuannya). Kalau mengacu kepada usia Nabi Muhammad SAW menikah, usia tersebut masih terlalu muda, akan tetapi karena kondisi saat itu sedang dalam proses bersembunyi ataupun penyamaran (incognito) ditambah lagi kebiasan Raja-raja Kasultanan Yogyakarta anak lelaki tertua menikah pada saat usia menginjak dewasa. Setelah berumah tangga Pangeran Djonet pindah ke pinggiran Kota Bogor, akan tetapi komunikasi dengan masyarakat Matraman tetap terjalin dengan sangat baik, dan sering mengahdiri acara-acara keagamaan yang diadakan di Masjid Jami Mataram.
Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram. Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada tahun 1837, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).
PANGERAN DJONET DI BOGOR (Tahun 1832 - 1885)
Tempat Tinggal Di Bogor
Pangeran Djonet pindah dari pelariannya di Batavia ke daerah pinggiran kota Bogor sekitar tahun 1832. Bersama pengikutnya keturunan bekas tentara kerajaan Mataram di Batavia (Daerah Matraman – Jakarta Timur), Pangeran Djonet membuka perkampungan baru yang akhirnya dikenal dengan nama Kampung JABARU, kependekan dari Jawa Baru.
Sarana transportasi darat yang umum pada masa itu kebanyakan menggunakan Kuda tunggang, kereta kuda, sepeda, sedikit kereta api dan mobil. Pangeran Djonet seperti halnya bangsawan di Keraton Yogyakarta tentunya sangat terlatih menggunakan kuda tunggang, oleh karenanya di sekitar kampong Jabaru, disuatu tempat yang bernama "Pasir Kuda" (Pasir, nama lain dari Bukit) Pangeran Djonet dan para pengikutnya biasa menambatkan kuda-kudanya (kemungkinan besar, dipasir inilah dibangun Istal).
Melihat cerita di atas, dan mempelajari Silsilah yang ada serta mencermati keberadaan RM. Djonet pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro setelah saya lakukan analisis dengan seksama dengan mengacu kepada artikel dan buku-buku diperoleh berbagai macam kemungkinan sebagai berikut :
- RM. Djonet adalah putra sulung dari pasangan Pangeran Diponegoro dengan RA. Maduretno yang lahir pada tahun 1815 M. Ketika Diponegoro berusia 42 tahun, beliau dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, RA. Maduretno diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton l pada tanggal 18 Pebruari 1828, pada saat itu RM. Djonet berumur 13 tahun.
- Sejarah Pangeran Djonet menurut cerita kutipan dari buku karangan Peter Carey menyebutkan bahwa Pangeran Djonet dibunuh oleh Belanda dalam sebuah peperangan pada tahun 1837. Cerita tersebut dapat beralasan :
- Dalam artikel : “Jejak Sultan Agung Mataram di Masjid Jami Matraman” disebutkan bahwa Masjid Jami Mataram dibangun dan diresmikan pada tahun 1837 oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro). Pada tahun 1837 Masjid Jami tersebut tergolong bangunan mewah arsitktur bangunannya menyerupai Taj Mahal, sehingga menjadi pusat perhatian Belanda. Informasi peresmian Masjid tersebut oleh keturunan langsung Pangeran Diponegoro sampai melalui mata-mata Belanda yang pada akhirnya Belanda melakukan penyergapan (kemungkinan dikediaman Pangeran Djonet di kampung Jabaru (Jawa Baru), di daerah Selatan Bogor. Dalam penyergapan tersebut akhirnya terjadi peperangan antara tentara Belanda dengan Pangeran Djonet dan pengikutnya. Di lain pihak, pada tahun yang sama 1837 Pangeran Djonet sudah berumah tangga dan mempunyai anak 7 ( 5 laki -laki dan 2 perempuan ).
- Mungkin saja data yang diperoleh Peter Carey sumbernya berasal dari pihak Belanda atau referensi lain yang ada di Inggris, dimana baik Belanda maupun Inggris membukukan sejarah pemberontakan Pangeran Diponegoro dan pengikutnya lebih mengutamakan keberhasilannya semata, sehingga Pangeran Diponegoro dan keluarganya berikut pengikutnya dianggap “BAD GUY” yang sudah dan harus dikalahkan (dibunuh) sedangkan pihak Belanda maupun Inggris sebagai “GOOD GUY” yang patut mendapatkan penghargaan.
- Pangeran Djonet menetap di Batavia mulai tahun 1830, pada saat beliau berumur 15 tahun.Kalau mengacu kepada cerita versi “makam” (di Cikaret, Bogor), Pangeran Djonet termasuk dalam kelompok yang akan dibuang ke Makassar yang akhirnya dapat melarikan diri dan menetap di Batavia. Dimana pangeran Djonet tinggal di Batavia?, sampai tahun berapa tinggal di Batavia?, kapan pindah ke Bogor? Tahun berapa menikah?, Siapa isterinya? Berapa orang istrinya? Berapa orang putra-putrinya? dimana tinggalnya di Bogor? Jawabannya adalah :
- Di Batavia pangeran Djonet tinggal di perkampungan mantan prajurit Mataram (Sultan Agung Mataram menyerang VOC ke Batavia pada April 1628 - Mei 1629). Pada tahun 1837 perkampungan tersebut sudah berubah nama menjadi kampung MATRAMAN karena sudah berusia 218 tahun. Di Matraman inilah Pangeran Djonet menetap dan mendapatkan perlindungan dari keterunan tentara Mataram, sampai usia beliau mencapai 17-22 tahun.
- Pangeran Djonet pindah ke Bogor antara tahun 1832-1837, dimana pada usia tersebutlah menikah dengan puteri Kapitein keturunan Tionghoa dari Marga TAN yang bernama BOEN NIOH kemudin bermualaf dengan nama NYI MAS AYU FATMAH. Mengenai jumlah isterinya dapat diperkirakan sebagai berikut : apabila mengacu kepada buku Peter Carey pangeran Djonet terbunuh pada saat usia perkawinan 5 tahun (1837) dengan jumlah putra-putri 7 orang, berarti pangeran Djonet beristri minimal 2 orang, sedangkan kalau mengacu versi makam, Pangeran Djonet meninggal di usia 70 tahunan meninggalkan 2 orang isteri, 7 orang anak.
- Di Bogor Pangeran Djonet tinggal di pinggiran Kota ± 5 km dari Istana Belanda. Disana beliau dibantu para pengikutnya keturunan Mataram yang ada di Batavia membuka perkampungan baru yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung JABARU kepanjangan dari Kampung Jawa Baru. Di kampung Jabaru inilah pangeran Djonet membentuk pasukan dan beranak-pinak. Kuda-kuda pangeran Djonet dan pasukannya ditambatkan di Istal Kuda didaerah pasir (bukit) yang pada akhirnya daerah tersebut dikenal dengan nama Kampung Pasir Kuda (kampung diatas bukit yang banyak Kuda). Dari Kampung Jabaru keturunan Pangeran Djonet meluas dan membuka perkampungan baru di sebelah Timurnya yang juga dikenal dengan nama Kampung Dukuh Jawa.
- Menurut kesaksian keturunan Pangeran Djonet generasi ke 5 Rd.Hj. SITI MARIAM (IIH) & Rd.Hj. SITI JUARIAH (UWE), pada saat ayahnya RM.H. RANA MENGGALA (generasi 4) meninggal sekitar tahun 1970an, ada prajurit utusan Kraton Yogyakarta membawa peti berukir yang berisi antara lain uang. Pada saat itu keturunan Pangeran Djonet sampai generasi ke 5 belum banyak yang mengetahui asal-usul yang mengarah kepada Pangeran Diponegoro. Hal ini dapat diartikan bahwa, pihak Kraton Yogyakarta mengetahui keberadaan Pangeran Djonet di Bogor dan ada kemungkinan sebetulnya pada saat Pangeran Djonet tinggal pertama di Bogor pun sudah ada komunikasi rahasia antara telik sandi kraton Yogyakarta dengan pasukan Pangeran Djonet di Bogor (mengapa masih rahasia, mengingat di kalangan kerabat Pangeran Diponegoro di Yogyakarta pada saat itu disinyalir masih banyak yang pro-kolonial). Sejauh ini diantara keturunan 7 anak Pangeran Djonet, sampai dengan generasi kelima (lahir 1930an-1950an) silsilah keluarga yang lebih rinci tentang keturunan Pangeran Djonet masih memerlukan verifikasi dan penyempurnaan,
wallahu alam bi sawab.
SILSILAH KELUARGA BESAR KETURUNAN RM. DJONET DIPAMENGGALA
Putra-putri
No. | Nama | Tempat/Lahir |
---|---|---|
1. | RM. NGABEHI DIPAMENGGALA | Jabaru, C-1833 |
2. | RM. HARJO DIPOMENGGOLO | Jabaru, C-1834 |
3. | RM. HARJO DIPOTJOKRO / PANGERAN GRINGSING I | Jabaru, C-1835 |
4. | RM. HARJO ABDUL MANAP | Jabaru, C-1836 |
5. | RM. KH. SAHID ANGKRIH | Jabaru, C-1835 |
6. | NYI MAS RAy. UKIN | Jabaru, C-1836 |
7. | NYI MAS RAy. OKAH | Jabaru, C-1837 |
Cucu
- 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebak pasar, C-1854)
- 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO
- 2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH
- 2.3. RM.H. ABAS
- 2.4. RM.H. ABDULRACHMAN ADIMENGGOLO
- 2.5. RM.H. MUHAMMAD HASAN
- 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO / P.GRINGSING II
- 4.1. RM.H. EDOJ
- 4.2. RM.H. SAYYID YUDOMENGGOLO
- 4.3. NYI RAy.Hj. SARODJA
- 4.4. NYI RAy.Hj. AMANUNG
- 5.1. RM. ASMINI
- 5.2. RM. IDRIS
- 5.3. RM. ONDUNG
Buyut / Cicit
- 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877)
- 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878)
- 1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879)
- 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880
- 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882
- 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884
- 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji)
- 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA
- 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA
- 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH
- 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH
- 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH
- 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT (Zelfstandig Patih Buitenzorg 1916-1925)
- 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT
- 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO
- 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH
- 2.3.1. RM.H. ARDJA
- 2.3.2. RM.H. SUMINTA (MALIK)
- 2.3.3. RAy.Hj. PATIMAH <menikah dgn> DJUARSA (Ayahnya Mayjen. ISHAK DJUARSA)
- 2.3.4. RAy.Hj. FATMAH <menikah dgn> 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA Cucu RM. NGABEHI DIPOMENGGOLO
- 2.3.5. RM.H. YACUB
- 2.3.6. RAy.Hj. SITI MARIJAM (Loji)
- 2.4.1. RAy.Hj. SUKIYAMAH
- 3.1.1. RM. HARJO DIPOHADIKUSUMO / P. GRINGSING III
- 4.1.1. RM.H. SINTOMENGGOLO
- 4.2.1. RM.H. SADIRI GONDOMENGGOLO
- 4.3.1. RM.H. SUMAWIDJAJA
- 4.3.2. NYI RAy.Hj. DANANG
- 4.3.3. NYI RAy.Hj. ANOK
- 4.3.4. NYI RAy.Hj. ENGKO
- 4.3.5. NYI RAy.Hj. TOJO (Ibu Bandung)
- 5.1.1. RM.H. ASMININ
- 5.1.2. RM.H. MALI
- 5.1.3. RM.H. MINAU
- 5.1.4. RM.H. IKING
- 5.1.5. RAy.Hj. UMI
Canggah
- 1.1.1.1. R.H. RAIS
- 1.1.1.2. R.Hj. ECIN
- 1.1.1.3. R.Hj. HALIMAH
- 1.1.1.4. R.Hj. SITI KHODIJAH
- 1.1.1.5. R.Hj. SITI MUKMINAH
- 1.1.1.6. R.Hj. SITI JUARIAH (Uwa UWE, Sempur)
- 1.1.1.7. R.H. MAHBUB
- 1.1.1.8. R.Hj. SITI MAEMUNAH
- 1.1.1.9. R.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng)
- 1.1.1.10. R.IYAN RIDWAN
- 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910
- 1.1.2.2. R.H. ALI
- 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung)
- 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti)
- 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG
- 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911)
- 1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata)
- 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng)
- 1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF
- 1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati)
- 1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN
- 1.1.3.1. R. BUSTOMI
- 1.1.3.2. R. ISMAIL
- 1.1.3.3. R. MUDJITABA
- 1.1.3.4. NYI R. SUAEBAH
- 1.1.3.5. NYI R. MAEMUNAH
- 1.1.4.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.1. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.5.2. R. ILYAS DAJIR
- 1.1.6.1. .............
- 1.1.6.2. R. SOLEH
- 1.1.6.3. R. SOFYAN ATS SAURI / YUSUF
- 1.1.6.4. R. ARIFIN
- 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.1.2. R.H. UMAR SURIODIRDJO (Ciomas)
- 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO Ciomas)
- 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO
- 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas)
- 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI (Ciomas)
- 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas)
- 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji)
- 2.2.1.1. R.H. KURAESIN
- 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA
- 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas)
- 2.2.6.1. R.H. PANJI
- 2.2.6.2. R.H. PANDU
- 2.2.6.3. R.H. HASAN
- 2.2.6.4. R.H. KURAESIN
- 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Ir. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional
- 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR
- 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng)
- 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi)
- 2.2.9.3. Rd.H. TATANG MUCHTAR (Ciluar)
- 2.2.9.4. NYI Rd. ICHA AISYAH (Di Belanda sejak 1935)
- 2.3.6.1. Drs.H.R. MANSYUR
- 2.3.6.2. H.R. SANUSI (Gunung Batu)
- 2.3.6.3. Drs.H.R. ENTJEP WAHAB (Jakarta)
- 3.1.1.1. R. DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO / P. GRINGSING IV (Magetan)
- 4.1.1.1. NYI Rd. HJ. S. AISYAH
- 4.1.1.2. NYI Rd. HJ. INA
- 4.1.1.3. NYI Rd. HJ. SITI
- 4.1.1.4. Rd. H. MARANA
- 4.1.1.5. NYI Rd. HJ. ARISAH
- 4.1.1.6. Rd. H. BARNAS SINTOMENGGOLO
- 4.1.1.7. NYI Rd. HJ. UTI
- 4.1.1.8. NYI Rd. HJ. UTA
- 4.1.1.9. NYI Rd. HJ. HATIMAH
- 4.1.1.10.Rd. H. SIDIQ SINTOMENGGOLO
- 4.2.1.1. Rd. H. KARTA
- 4.2.1.2. NYI Rd. HJ. JUHA
- 4.2.1.3. Rd. H. DARMA
- 4.2.1.4. Rd. H. DARNA
- 4.3.1.1. R.H. ENTUNA PARTAWIJAYA
- 4.3.2.1. R.H. PRAWIRA SOMANTRI
- 5.1.1.1. R. ABDUL LATIF
- 5.1.1.2. R. ARMANI
- 5.1.1.3. NYI Rd. JENAB
- 5.1.1.4. R. MURNAS
- 5.1.1.5. R. ABDURROHIM
- 5.1.1.6. R. ABDURROHMAN
wafat: 1894, Wanagopa, Tegal
Raden Mas Roub/Raib/Raab/Pangeran Hasan 1816
Adalah adik kandung Raden Mas Joned. Usianya sekitar sembilan tahun ketika mengikuti ayahnya dalam medan perang. Bersama kakaknya dia ikut merasakan bagaimana kehidupan dalam pengungsian. Raden Mas Roub selalu mengikuti perjalanan ayahnya dalam medan perang. Selain karena putera dari isteri permaisuri kedua, Pangeran Diponegoro menyiapkan Raden Mas Roub agar kelak sebagai seorang pemimpin agama. Sampai di sini dapat dijelaskan bahwa ada 4 (empat) putera Pangeran Diponegoro yang dibuang ke Ambon. Pada buku The Power of Prophecy tulisan Peter F Carey halaman 746 dijelaskan bahwa pada akhir tahun 1848 Pangeran Diponegoro menanyakan kepada gubernur jenderal di Makassar perihal tiga anaknya yaitu Pangeran Dipokusumo, Raden Mas Raib serta Pangeran Diponingrat yang diberitakan mengalami sakit tekanan jiwa. Pangeran Diponegoro juga menanyakan anaknya yang tertua yang mengalami pembuangan di Sumenep pada tahun 1834 setelah memberontak di Kedu, dan belum pernah berkirim kabar.
Segudang Misteri dari Dukuh Wanagopa (27 Maret 2015)
Dukuh Wanagopa terletak di Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Berjarak ± 4,5 KM di barat daya pusat Kecamatan Warureja. Dukuh Wanagopa juga berada di perbatasan antara Kecamatan Warureja dan Suradadi. Letak yang strategis dengan tiga sungai yang mengalir di dalamnya, antara lain : Sungai Kunci, Sungai Pedati, dan Sungai Jimat, membuat mayoritas penduduk Dukuh Wanagopa memilih bekerja sebagai petani.
Dukuh Wanagopa memiliki salah satu peninggalan sejarah yaitu Makam Kyai Hasan atau yang dikenal warga setempat dengan nama Mbah Wana. Menurut sejarah, Kyai Hasan merupakan anak kedua dari Pangeran Diponegoro dari istri keempatnya, yaitu Raden Ayu Manduretno. Kyai Hasan memiliki nama lain Raden Mas Raib atau Pangeran Hasan. Pada saat perang Diponegoro berlangsung Kyai Hasan berumur 9 tahun, beliau sering membantu ayah dan kakak kandungnya yang bernama Mas Joned. Akhirnya mereka ditangkap oleh pihak Belanda pada tanggal 18 Maret 1830 dan diasingkan ke Ambon. Namun pada tahun 1848, Kyai Hasan pun kembali ke tanah Jawa atas seizin Van den Bosch, kemudian beliau mengembara sembari menyebarkan agama Islam di sekitar lereng Gunung Slamet, dan sampailah di sebuah Desa yang ketika itu sudah dibangun oleh Mbah Ibrohim seorang pendatang dari Desa Bumiharja pada tahun 1870. Kemudian desa itu diberi nama Wanagopa. Menurut Bapak Abdul Salam, S.Ag sejarawan wanagopa mengatakan bahwa Wanagopa berasal dari dua kata yaitu Wana dan Gopak. Wana berarti hutan dan Gopak berarti petak, jadi disimpulkan bahwa Wanagopa dibuat dengan menebang hutan secara berpetak-petak. Selain itu nama Wanagopa merupakan bentuk penghargaan Mbah Ibrohim kepada Kyai Hasan/Mbah Wana. Disisa hidupnya Kyai Hasan menghabiskan waktunya dengan mendekatkan diri pada Allah. Pada tahun 1896-an beliau wafat dan dimakamkan di Dukuh Wanagopa, Desa Kreman, Kecamatan Warureja, Kabupaten Tegal. Tetapi beberapa pihak mengatakan bahwa Kyai Hasan meninggal di Panggung Tegal. Namun kenyataannya, makam Kyai Hasan sendiri berada di Dukuh Wanagopa, Desa Kreman.6
== ASAL-USUL ==
RADEN NGABEHI DIPOMENGGOLO alias KH. SAFAWI, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1833 putra ke 1 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai 1 orang anak : 1. RM. KH. USMAN BAKHSAN Dipomenggolo
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak) #0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipamenggala #3. RM. Ngabehi Dipamenggala
KETURUNAN
#1. RM. NGABEHI DIPAMENGGALA (C-1833) 1.1. RM.KH. USMAN BAKHSAN (Lebakpasar, C-1854)><Nyi Rd Kuraesin (Cucu RA. Mangkuwidjaja, Bupati Bogor tahun 1865-1870) 1.1.1. RM.H. RANA MENGGALA (Lebakpasar, C-1877) 1.1.1.1. RA.DJUHRO 1.1.1.2. RA.DJUHRIAH 1.1.1.3. RM.H. RAIS 1.1.1.4. RA.Hj. ECIN 1.1.1.5. RA.Hj. HALIMAH 1.1.1.6. RM. ACEP USMAN 1.1.1.7. RA. DJUBAEDAH 1.1.1.8. RM. HASBULLOH 1.1.1.9. RA.Hj. SITI KHODIJAH 1.1.1.10. RA.Hj. SITI MUKMINAH 1.1.1.11. RM.H. MAHBUB 1.1.1.12. RA.Hj. NENENG MAEMUNAH 1.1.1.13. RA.Hj. SITI MARIAM (Ibu KARIM/Uwa IIH, Gg. Menteng) 1.1.1.14. RM.IYAN RIDWAN 1.1.1.15. RM. IBRAHIM 1.1.2. RM.H. ABDULGHANI MENGGALA (Lebakpasar, C-1878) 1.1.2.1. R.H. YASIN (C-1910 1.1.2.1.1. R. ENDUS 1.1.2.1.2. R. SALMAH (Encal) 1.1.2.1.2.1. R. HARUN AL-RASYID 1.1.2.1.3. R. SUHANDA (Kang AA) 1.1.2.1.4. R. ARSYAD (Kang OO) 1.1.2.1.5. R. SUKARNA (Kang UU) 1.1.2.1.5.1. R. ENEN 1.1.2.1.5.2. R. DIDING 1.1.2.1.5.3. R. ENTIN 1.1.2.1.6. R. SUKARNI (Kang Ani) 1.1.2.1.6.1. R. SUKANTA 1.1.2.1.7. R. MUTHOLIB (Toto) 1.1.2.1.7.1. R. DEDI NURTHOLIB (Nunuy) 1.1.2.1.7.1. R. IIS 1.1.2.1.7.1. R. DEDE 1.1.2.2. R.H. ALI 1.1.2.2.1. R.H. JUMENA 1.1.2.3. R.H. ABDUL MANAN (Adung) 1.1.2.3.1. R. SASTRA (Caca) 1.1.2.3.2. R. ENOH 1.1.2.3.3. R.H DIDIH 1.1.2.3.4. R. CICIH 1.1.2.3.5. R. SUPARTI 1.1.2.3.5.1. Kang Eddy 1.1.2.3.5.2. R.Pepen Supendi 1.1.2.3.5.3. R.Neni 1.1.2.3.5.4. R.Yeti 1.1.2.4. R.Hj. SUPIAH (Siti) 1.1.2.4.1. R. DJAKA 1.1.2.4.1.1. R. Abdul Kadir (Oding) 1.1.2.4.2. R. ANONG KRAMAATMAJA <menikah dengan> MA. SALMUN RAKYADIKARIA (Pujangga Sunda, asal Banten) 1.1.2.4.2.1. R. Jatayu Wiyati Salmun (Uyu) 1.1.2.5.2.1.1. R. Riefa Sayyidina 1.1.2.5.2.1.2. R. Yutimma Dewiaty 1.1.2.4.2.2. R. Yeti 1.1.2.4.2.3. R. Parti 1.1.2.4.2.4. R. Iwan 1.1.2.4.2.5. R. Aas 1.1.2.4.2.6. R. Neni 1.1.2.4.2.7. R. Hedi 1.1.2.4.2.8. R. Ented 1.1.2.4.3. R.Hj. HALIMAH (Emah) 1.1.2.4.4. R.Hj. EMPIN (Rapi'ah) 1.1.2.4.5. R.H. DJAJUSMAN (Jayus) 1.1.2.4.6. R. SOLEH 1.1.2.5. R.Hj. ENCUNG 1.1.2.5.1. R. NANI (Eneng) 1.1.2.6. R.MASDIR. JAYAKUSUMAH (Jaya, C-1911) 1.1.2.6.1. R. JATNIKA JAYAKUSUMAH (Enjat) 1.1.2.6.1.1. R. EDI WAHYUDI 1.1.2.6.1.1.1. R. YUDHA 1.1.2.6.1.1.2. R. ENENG 1.1.2.6.1.1.3. R. TATI 1.1.2.6.1.1.4. Rb. MOCH HAPI 1.1.2.6.2. R. LUKMAN JAYAKUSUMAH (Maman) 1.1.2.6.3. R. NYIMAS TUTI TRISNAWATI JAYAKUSUMAH (Enis) 1.1.2.6.3.1. R. PEPEN RUSPENDI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.1. Rb. YANA RUBIYANA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.2. Rb. AGUSTANJAYA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.3. Rr. NURWINA SEPTI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.1.4. Rr. RIZKI MELINA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2. R. ENDANG SUHENDAR DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.1. Rr. INESIA VIOLINA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.2. Rb. M. HARPA RAMADHAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.2.3. Rb. M. GITAR RAMADHAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.3. R. SUPRIATINI DIPONEGORO (Tintin) 1.1.2.6.3.3.1. R. EKA SANDRA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.3.2. R. AIDA NANDARA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4. R. LILIH SURYYA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.1. Rb. RANDY ADITYANA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.2. Rr. ALIN NURGIANTY DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.3. Rr. DITA TRIJAYANTI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.4.4. Rb. IVAN WIRANATA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5. R. MARYATI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.1. Rb. NIKI ADRIAN PURNAMA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.2. Rr. RANTI DWILESTARI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.3. Rb. JODI TRIADI DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.4. Rr. GITA SEPTIA PERMATA DIPONEGORO 1.1.2.6.3.5.5. Rr. VERDA FAUZIYAH RACHMAN DIPONEGORO 1.1.2.6.3.6. R. DENI SUPRAMANA DIPONEGORO(Wafat 2012) 1.1.2.6.4. R.H. SURYA KUSUMAH (Cecep) 1.1.2.6.4.1. R. Hedi Hadiwinata 1.1.2.6.4.1.1. Rr. Anisa Nurditasari 1.1.2.6.4.1.2. Rb. Muhammad Arditya Hadiwinata 1.1.2.6.4.2. R. Henny Handayani 1.1.2.6.4.1.1. Rr. Afifah Rachmalia 1.1.2.6.4.1.2. Rr. Nabila RAchmani 1.1.2.6.4.1.3. Rb. M. Rizki Asidiq 1.1.2.6.4.3. R. Adi Karyadi 1.1.2.6.4.1.1. Rb. Moh. Raghit Putra Karyadi 1.1.2.6.4.1.2. Rb. Moh. Rehan Putra Karyadi 1.1.2.6.5. R. HARJA SUTISNA JAYAKUSUMAH (Entis) 1.1.2.6.5.1. R. Toto 1.1.2.6.5.1.1. Putra Toto ke 1 1.1.2.6.5.1.2. Putra Toto ke 2 1.1.2.6.5.2. R. Yayat 1.1.2.6.5.2.1. Putra Yayat ke 1 1.1.2.6.5.2.2. Putra Yayat ke 2 1.1.2.6.5.3. R. Tina Herlina (Nina) 1.1.2.6.5.3.1. Putra Nina ke 1 1.1.2.6.5.3.2. Putra Nina ke 2 1.1.2.6.5.4. R. Kurnia 1.1.2.6.5.4.1. Putra Kurnia ke 1 1.1.2.6.5.4.2. Putra kurnia ke 2 1.1.2.6.5.5. R. Hira 1.1.2.6.6. R. MUSLIHAT JAYAKUSUMAH (Emung) 1.1.2.6.6.1. R. Bambang Meirano 1.1.2.6.6.1.1. Rb. M. Arul 1.1.2.6.6.1.2. Rr. Luthfiah (Lulut) 1.1.2.6.6.2. R. Irwan Junarsa 1.1.2.6.6.3. R. Nur Endah Noviani (Nuri) 1.1.2.6.6.3.1. Rb. Sihabuddin 1.1.2.6.6.3.2. Rb. Fachri 1.1.2.6.7. R. MULYADI JAYAKUSUMAH (Yadi) 1.1.2.6.7.1. R. Dian Mardiana 1.1.2.6.7.1.1. Rr. Sifa 1.1.2.6.7.1.2. Rb. Defa 1.1.2.6.7.2. R. Fitria Yulianti 1.1.2.6.7.2.1. Rr. Dea 1.1.2.6.7.2.2. Rb. Yofa 1.1.2.6.7.2.3. Rr. Deean Coco 1.1.2.6.7.3. R. Mulya Saputra 1.1.2.6.7.3.1. Rb. Axel Alvito Meola 1.1.2.6.8. R. DODY SUYATNA JAYAKUSUMAH (Dodot/Dody) 1.1.2.6.8.1. R. Irene Anggraeni 1.1.2.6.8.1.1. Rb. Daffa Adillah 1.1.2.6.8.1.2. Rr. Syahla Dheandra Zahran 1.1.2.6.8.1.3. Rr. Alma Hiraku Pramuditha 1.1.2.6.8.2. R. Rangga Permana Kusumah (Angga) 1.1.2.6.8.2.1. Putra Angga Ke 1 1.1.2.6.9. R. RIDWAN JAYAKUSUMAH (Wawang) 1.1.2.6.9.1. R. Bahraini Riza 1.1.2.6.9.1.1. Rr. Bahraini Putri 1.1.2.6.9.1.2. Rb. Bahraini putra 1.1.2.6.9.2. R. Budhi Nusantara 1.1.2.6.9.2.1. Rb. Budhi Putra 1.1.2.6.9.2.2. Budhi Putra ke 2 1.1.2.6.9.3. R. Bella Kusnandar 1.1.2.6.9.3.1. Rb. Nizar Maulana 1.1.2.6.9.3.2. Rb. Aqeela 1.1.2.6.9.3.3. Rr. Bella Putri 1.1.2.6.9.4. R. Rina Kusmawati 1.1.2.6.9.4.1. Putra ke 1 Rina 1.1.2.6.9.4.2. Putra ke 2 Rina 1.1.2.6.10. R. RAFIUDIN JAYAKUSUMAH (Dingding, tidak berputra) 1.1.2.6.11. R. SUDRAJAT JAYAKUSUMAH (Jajat) 1.1.2.6.11.1. Rr. Rina Oktaviani 1.1.2.6.11.2. Rr. Debi Aprianti 1.1.2.6.11.3. Rb. Heri (tidak berputra) 1.1.2.6.11.4. R. Hari Sephandri (AO) 1.1.2.6.11.3.1. Putra Ari ke 1
1.1.2.7. R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata) 1.1.2.7.1. R.Hj. NUNUNG NURJUARIAH 1.1.2.7.2. R.Hj. NINIH NURJANAH 1.1.2.7.3. R. YAYAH 1.1.2.7.4. R. ENDANG 1.1.2.7.5. R. ODIN 1.1.2.8. R.MASDIR KURNAEN (Aeng) 1.1.2.8.1. R.Hj. KURNIATI (Iis) <menikah dengan> DR.Ir.H. FACHRUDDIN (Rektor UNHAS) 1.1.2.8.2. R. KASWATI (Kotih) 1.1.2.8.2.1. Drs. R. Deddi Fardillah 1.1.2.8.2.2. R. Finny Redjeki, SE, MM 1.1.2.8.2.3. R. Arif Budiman
1.1.2.9. R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF 1.1.2.9.1. R. MEMET SAPUTRA (Ahmad) 1.1.2.9.2. R. YEYET RUSMIATI
1.1.2.10. R.MASDIR SUMANTRI (Ati) 1.1.2.10.1. R. HEDI SUMARDI 1.1.2.10.2. R. EMBED SUHARLI 1.1.2.10.3. R. SOPIAH (Iyong)
1.1.2.11. R.MASDIR EMAN SULAEMAN 1.1.2.11.1. R. HAYATI (Titi)
1.1.3. RM.H. MUHAMMAD HASYIR (C-1879) 1.1.3.1. R. Bustomi 1.1.3.2. R. Ismail 1.1.3.3. R. Mudjitaba 1.1.3.4. Nyi R. Suaebah 1.1.3.5. Nyi R. Maemunah 1.1.4. RAy. Hj. Harisun (C-1880 1.1.4.1. RH. Drs. Ilyas Dajir (Ciawi-Seuseupan) 1.1.5. RAy.Hj. ITI (Gg Wahir-Empang, C-1882 1.1.6. RM. Ahmad (Natsir), C-1884 1.1.6.1. ......................... 1.1.6.2. R. Sholeh 1.1.6.3. R. Sofyan Ats Sauri 1.1.6.3.1. R. Ahmad Qohar 1.1.6.4. R. Arifin== PEKERJAAN ==
ASAL-USUL
RADEN MAS HARJO DIPOMENGGOLO alias AYAH KULON, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1834 putra ke 2 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai orang anak : 1. RM. H. Brodjomenggolo 2. RAy. Hj. Gondomirah 3. RM. H. Abbas 4. RM. H. Abdurrahman Adi Menggolo 5. RM. H. Muhamad Hasan
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak) #0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Harjo Dipomenggolo
KETURUNAN
#2. RM. HARJO DIPOMENGGOLO (C-1834) 2.1. RM.H. BRODJOMENGGOLO 2.1.1. RM.H. WONGSOMENGGOLO (Ciomas) 2.1.1.1. R.H. SOLEH SURODIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.1.1.1. R.H. Djunaeni 2.1.1.1.2. R.H. Masca Suroatmojo 2.1.1.1.2.1. R. Suratmi 2.1.1.1.2.2. R. Sukendar 2.1.1.1.2.3. R. Sulaeman 2.1.1.1.2.4. R. Suhardi 2.1.1.1.2.5. R. Sudarjat 2.1.1.1.2.6. R. Suheni 2.1.1.1.2.7. R. Supiati 2.1.1.1.2.8. R. Surachman 2.1.1.2. R.H. UNENG SURIODIRDJO (Ciomas) 2.1.1.2.1. R.H. Dadang Pandji 2.1.1.2.1.1. R. Sudjatna 2.1.1.2.1.1.1. R. Enda Juanda 2.1.1.2.1.1.1.1. R. Najla Ramadhani 2.1.1.2.1.1.2. R. Irma Resmiati 2.1.1.2.1.1.3. R. Dudi Kurnia 2.1.1.2.1.1.4. R. Adi Purnama 2.1.1.2.1.2. R. Juwariyah 2.1.1.2.1.2.1. R. Denny Rusian Achmed 2.1.1.2.1.2.1.1. R. Firdha Sapta Erlina 2.1.1.2.1.2.1.2. R. Sukma Harining Cakraningrat 2.1.1.2.1.2.2. R. Ebbet Surya Subakti 2.1.1.2.1.2.2.1. R. Dewi Suryani Oktaviana 2.1.1.2.1.2.2.2. R. Endang Dewa Supana 2.1.1.2.1.2.2.3. R. Siti Zahra Subakti 2.1.1.2.1.2.3. R. Triana Jaka Lesmana 2.1.1.2.1.2.3.1. R. Syechnoor Faris Lesmana 2.1.1.2.1.2.3.2. R. Rivanny Bunga Lesmana 2.1.1.2.1.2.4. R. Tita Novita Skartika 2.1.1.2.1.2.4.1. R. Rizky Pradana 2.1.1.2.1.2.4.2. R. Reza Purnama 2.1.1.2.1.2.4.3. R. Rasyid Fadillah 2.1.1.2.1.2.5. R. Rikky Nandang Permana 2.1.1.2.1.2.5.1. R. Aidah Faizah Permana 2.1.1.2.1.2.5.2. R. Aisyah Raihanah Permana 2.1.1.2.1.2.5.3. R. Raihan Permana 2.1.1.2.1.2.6. R. Muchammad Ichwan Karunia 2.1.1.2.1.2.6.1. R. Zidane Nayadikara Karunia 2.1.1.2.1.2.6.2. R. Keysha Jasmine Karunia 2.1.1.2.1.3. R. Muhammad Hidayat 2.1.1.2.1.3.1. R. Fitri Yanti 2.1.1.2.1.3.1.1. R. Tommy Faisal 2.1.1.2.1.3.2. R. Fatmawati 2.1.1.2.1.3.2.1. R. Audry Velma Calysta 2.1.1.2.1.3.2.2. R. Zyhan Kameylia Calysta 2.1.1.2.1.3.3. R. Anah Yuliastanti 2.1.1.2.1.3.3.1. R. Lolita Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.2. R. Angreini Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.3. R. Andini Wibiyono 2.1.1.2.1.3.3.4. R. Kanaya Wibiyono 2.1.1.2.1.3.4. R. Sari Komalasari 2.1.1.2.1.3.5. R. Ratna Dewi 2.1.1.2.1.3.6. R. Meti Rahmawati 2.1.1.2.1.3.7. R. Meta Melisa 2.1.1.2.1.4. R. Euis Sukaesih 2.1.1.2.1.4.1. R. Endang Kosasih 2.1.1.2.1.4.1.1. RR. Vernna Nurjannah 2.1.1.2.1.4.1.2. RR. Verlasya Khayira 2.1.1.2.1.4.2. R. Dede Komariah 2.1.1.2.1.4.3. R. Agus Supriatna 2.1.1.2.1.5. R. Siti Juleha 2.1.1.2.1.5.1. R. Muhammad Effendi (alm) 2.1.1.2.1.5.2. R. Dewi Puspa Sari (alm) 2.1.1.2.1.5.3. R. Abdul Azis 2.1.1.2.1.5.3.1. R. Muhammad Rassya Pratama 2.1.1.2.1.5.3.2. R. Muhammad Faza Adzima 2.1.1.2.1.5.4. R. Suprihatini (alm) 2.1.1.2.1.5.5. R. Rahmah Rahayu 2.1.1.2.1.5.4.1. R. Muhammad Azzam Fahrezi 2.1.1.2.1.5.6. R. Arif Bahtiar 2.1.1.2.1.6. R. Muhammad Taufik 2.1.1.2.1.6.1. R. Dinda Nur Ayu Lestari 2.1.1.2.1.6.1.1. RR. Nayla Syakila 2.1.1.2.1.6.2. R. Adietya Dwi Cahyadi 2.1.1.2.1.6.2.1. RR. Audrey Izzatunnisa Cahyani 2.1.1.2.1.7. R. Neneng Sukemi 2.1.1.2.1.7.1. R. Endang Fadillah 2.1.1.2.1.7.2. R. Lina Aprilia 2.1.1.2.1.8. R. Muhammad Lukman 2.1.1.2.1.8.1. R. Leni Kurnia Sari 2.1.1.2.1.9. R. Indah Ratnawati 2.1.1.2.1.10.R. Dedeh Juwita 2.1.1.2.1.11.R. Nur Aini Oktavia 2.1.1.2.1.12.R. Dedi Priatna 2.1.1.2.1.12.1.R. Muhammad Axelle 2.1.1.3. R.H. MUSA SUMODIRDJO (Ciomas) 2.1.1.3.1. R. H. Ading 2.1.1.3.2. R. Djohariah 2.1.1.3.3. R. H. Djajasukarta 2.1.1.3.4. R. Djumirah 2.1.1.3.5. R. Djula 2.1.1.3.6. R. Nurbaja 2.1.1.4. R.H. EMBIH SASTRODIRDJO 2.1.1.4.1. R. Eem Suhaimi <menikah dgn 2.1.1.2.1.1. R. Sudjatna 2.1.1.4.2. R. Endjuh 2.1.1.4.3. R. H. MUH Sanusi 2.1.1.4.4. R. H. Sukardi 2.1.1.4.5. R. Enah 2.1.1.4.6. R. Endah 2.1.2. RM.H. SOEROMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.1. R.H. ICAN SUROMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.1.1. R. Djamhari Djunaedi Mantarena 2.1.2.1.1.1 R. Endjoh Danumihardja 2.1.2.1.1.1.1. R. Lukman Danumihardja 2.1.2.1.1.1.1.1. R. Mohamad Aliyudin Danumihardja (Yudhi) 2.1.2.1.1.2 R. Ahmad Sanusi 2.1.2.1.1.3 R. Ningrum 2.1.2.1.1.4 R. Rukminah 2.1.2.2. NYI. R. AMOE (Ciomas) 2.1.2.3. R.H. ARJOMENGGOLO (Ciomas) 2.1.2.3.1. R. Narijah 2.1.2.3.2. R. Hawirodja 2.1.2.3.3. R. Ningrat 2.1.3. RM.H. ADIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.3.1. R.H. MOH. SYAFEI ADINATA (Ciomas) 2.1.3.1.1. R. Muhammad ALI 2.1.3.1.2. R. Muhammad Soleh 2.1.3.1.3. R. Muhammad Sidik 2.1.3.1.4. R. Muhammad As'ari 2.1.3.1.4.1. R.Anwar Basari 2.1.3.1.4.1.1. R. Hamdhani Zul Faqor 2.1.3.1.5. R. Romlah 2.1.3.1.6. R. Djuhro 2.1.3.1.7. R. Aisyah 2.1.3.2. R.H. JAMSARI ADIMENGGOLO (Ciomas) 2.1.3.2.1. R. Muchtar 2.1.3.2.2. R. Syafaat 2.1.3.2.3. R. Munajat 2.1.3.2.4. R. Hasanah 2.1.3.2.5. R. Abdullah 2.1.3.2.6. R. Habibah 2.1.3.2.7. R. Jajaria 2.1.3.2.8. R. Jenab 2.1.3.2.9. R. Sidah 2.1.3.2.10.R. Sarah 2.1.4. RAy.Hj.UNAN (Loji) 2.1.4.1. NYI Rd.Hj. ENUNG (Loji) 2.1.4.1.1. NYI Rd.UHA (loji) 2.1.4.1.2. NYI Rd.Anung 2.1.4.1.3. NYI Rd.Atjih
2.2. RAy.Hj. GONDOMIRAH <menikah dgn> Rd. SURYADIMENGGALA (KRT. Buitenzorg, Trah Sumedang) 2.2.1. RM.H. IBRAHIM\RM. ABD.ROCHMAN WIRADIMENGGOLO\RM. WIRADINEGARA 2.2.1.1. R.H. KURAESIN 2.2.1.1.1. R. Mama Jaya 2.2.1.1.2. R. Muhammad Tohir 2.2.1.1.3. NYI R. Ratnasari 2.2.1.2. R.H. ADJID MANGKUWIJAYA 2.2.1.2.1. R. Wiradikusumah 2.2.1.2.2. R. Moh. Toha 2.2.1.2.2.1. NYI R. Soleha 2.2.1.2.2.2. R. Musa 2.2.1.2.3. R. Achmad 2.2.1.2.3.1. NYI R. Sukarsih 2.2.1.2.3.2. R. Gunawan 2.2.1.2.3.3. R. Harun 2.2.1.2.3.4. NYI R. Supiah 2.2.1.2.3.5. NYI R. Siti Entit 2.2.1.2.3.6. R. Jamil 2.2.1.2.3.7. NYI R. Sumini 2.2.1.2.4. R. Muh Agus 2.2.1.2.4.1. NYI R. Juhro 2.2.1.2.5. R. Hasan 2.2.1.2.5.1. R. Amirsyah 2.2.1.2.5.2. NYI R. Harsinah 2.2.1.2.5.3. NYI R. Jumiati 2.2.1.2.5.4. R. Jaenalludin 2.2.1.2.6. NYI R. Julaeha 2.2.1.2.7. NYI R. Salmah 2.2.1.2.8. NYI R. Mari 2.2.1.2.9. NYI R. Juhro 2.2.1.2.10.NYI R. Hadijah 2.2.1.3. R.H. MUH. ISA (Ciomas) 2.2.2. NYI RAy.Hj. ASMAYA 2.2.3. NYI RAy.Hj. ENTING AISYAH 2.2.4. NYI RAy.Hj. SITI FATIMAH 2.2.5. NYI RAy.Hj. ANTAMIRAH 2.2.6. RM. TJANDRANINGRAT\RM. ARIO MAD SURODHININGRAT 2.2.6.1. R.H. PANJI 2.2.6.2. R.H. PANDU 2.2.6.3. R.H. HASAN 2.2.6.4. R.H. KURAESIN 2.2.7. RM. YAHYA GONDONINGRAT 2.2.7.1. NYI Rd. Hj. RATNA KANCANA (Ciomas) <menikah dengan> Dr. H. MARAH ROESLI (Pujangga Nasional 2.2.7.1.1. R. Mayjen (pur) Roeshan Roesli 2.2.7.1.1.1. R. dr Ratwini Roesli, SpTHT 2.2.7.1.1.2. R. dr Utami Roesli, SpA, Ibclc, Fabm 2.2.7.1.1.3. R. Prof. Dr. dr Rully MA Roesli, SpPD.KGH 2.2.7.1.1.4. R. Prof. Dr. Harry Roesli \ Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli 2.2.8. RM. INDRIS TIRTODIRDJO/RM. IDRUS TIRTODIRDJO 2.2.8.1. R.H. ACO UMAR 2.2.9. NYI RAy.Hj. RAJAMIRAH/RAy.Hj. MIRAH 2.2.9.1. Rd.H. YASIN WINATADIREDJA (Enceng) 2.2.9.1.1. Nyi Rd. Halimah 2.2.9.2. NYI Rd.Hj. SITI RAHMAT (Titi) 2.2.9.2.1. Rd.H.A.B. Yogapranatha (Alm) 2.2.9.2.2. Rd. Syafei (Alm) 2.2.9.2.3. Nyi Rd. Tuti Guritna 2.2.9.2.3.1. Rd. H. Adang Yusuf Martadiredja <menikah dgn> 2.2.9.3.1.1. Nyi Rd. Mundiyah 2.2.9.2.3.1.1. Rd. Damon Yusuf Martadiredja 2.2.9.2.3.1.1.1. Rd. M.Yasin Vahreza Yusuf Martadiredja (Reza Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.2. Rd. M.Yasin Vahrezi Yusuf Martadiredja (Rezi Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.3. Rd. Nur Illahi Vahriva Mudaim (Riva Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.4. Rd. Nur Husna Dewinda Fatmah (Winda Fatmah Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.1.5. Rd. Nazwa Mustika Negara (Ica Wahyu Martadiredja) 2.2.9.2.3.1.2. Rd. Gunawan Yusuf Martadiredja 2.2.9.2.3.1.2.1. Rd. Rahmania Purwagunifa 2.2.9.2.3.1.2.2. Rd. Fathan Adi Gunawan 2.2.9.2.3.1.3. Rd. Ade Nine Siti Mariam ( Wafat Saat Bayi ) 2.2.9.2.3.1.4. Rd. Nanang Firman Safari Yusuf Martadiredja SP,M.Si 2.2.9.2.3.1.4.1. Rd. Nanang Junior 2.2.9.2.3.2. Rd. Syarif Kusnadi Jamal Martadiredja 2.2.9.2.3.2.1. Rd. Tetet Dian Indria Rahayu (wafat th 2002) 2.2.9.2.3.2.1. Rd. Syamil Hilminiandra Budiman 2.2.9. .3.2.2. Rd. Rully Ramdhani Kusumah 2.2.9.2.3.2.2.1. Rd. Sekar Rahayu Kusumah 2.2.9.2.3.2.3. Rd. Kusnadi Wisnu Yogasuwara (Wisnu) 2.2.9.2.3.3. Nyi.Rd. Yuliani Wahyu Martadiredja 2.2.9.2.3.3.1. Rd. Julkifli Rustita ( Wafat th 2012) 2.2.9.2.3.4. Nyi Rd. Mimi Wahyu Martadiredja (Wafat Bayi) 2.2.9.2.4. Rd. Hanafi (Alm) 2.2.9.2.5. Rd. Ali M. Ali Widyapranatha 2.2.9.2.6. Nyi Rd. Neneng Kulsum 2.2.9.2.7. Nyi Rd. Hj. Iyoh Roswati 2.2.9.2.8. Rd. U. Effendi Madyaprana 2.2.9.2.9. Nyi Rd. Dewi Sarah 2.2.9.2.9.1. Rd. Teddy Sao Wirakusumah 2.2.9.2.9.1.1. Rd. Devita Rizqi Yulianty 2.2.9.2.9.1.2. Rd. Dwi Dorozatun Samaniaty Ramadhona, S.I.Kom 2.2.9.2.10.Rd. H. Usman Satiaprana (Alm) 2.2.9.2.11.Rd. Enen Sutresna Yogaprana 2.2.9.2.11.1. Rd. Narayana Yoga Pertama 2.2.9.2.11.1.1. NR. Laras (Almh) 2.2.9.2.11.1.2. NR. NR. Ermalia Nuryanti 2.2.9.2.11.1.3. Rd. Moch, Riyan Chandra (Alm) 2.2.9.2.11.1.4. NR. Elma Nathania Yalanda 2.2.9.2.11.2. Rd. Yadi Indra Mulyadi Yogaprana 2.2.9.2.11.2.1. Rd. Zulqiar Ramdan 2.2.9.2.11.3. NR. Rengganis Kurniawati Yogaprana 2.2.9.2.11.3.1. NR. Fadhilah Istiqomah Yogandena 2.2.9.2.11.3.2. Rd. Firza Finaldien Yogandena (Alm) 2.2.9.2.11.3.3. Rd. Farly Nugraha Yogandena 2.2.9.2.11.4. NR. Popi Yuliawati Yogaprana 2.2.9.2.11.5. Rd. Tedi Wibisana Yogaprana 2.2.9.2.11.6. Rd. Ruhyat Apandi Yogaprana 2.2.9.2.11.6.1. NR. Keyla Azka Kireina 2.2.9.2.11.6.2. Rd. Fadlan Danish Ryogaprana 2.2.9.2.11.7. Rd. Rimau Gumelar Yogaprana 2.2.9.2.11.7.1. Rd. Aldebaran Nabhan Pradipta 2.2.9.2.11.8. Rd. Banyu Dewanata Yogaprana 2.2.9.2.11.9. Rd. Surya Tirta Bayu Yogaprana 2.2.9.2.11.10.Rd. Purnama Alam Yogaprana 2.2.9.3. Rd. Tatang Muhtar (Ciluar) 2.2.9.3.1. Nyi Rd. Siti Aminah 2.2.9.3.1.1. Nyi Rd. Mundiyah 2.2.9.3.1.2. R Hidayat 2.2.9.3.1.3. R Ruhiyat 2.2.9.3.1.3.1. R. Dadang Darmayadi 2.2.9.3.1.3.1.1. Nyi Rr. Sriastuty Handayani Kyla Khu'mairah 2.2.9.3.1.3.2.2. Nyi Rr. Rezky Pertiwi 2.2.9.3.1.3.2. Nyi Rd. Sriyat 2.2.9.3.1.3.2.1. Nyi Rr. Ika 2.2.9.3.1.3.2.2. R. Aldi 2.2.9.3.1.3.2.3. Nyi Rr. Fia 2.2.9.3.1.3.2.4. Nyi Rr. Linda 2.2.9.3.1.3.3. Nyi Rd. Rodiah 2.2.9.3.1.3.3.1. R. Yudi 2.2.9.3.1.3.3.2. Nyi Rr. Ririn 2.2.9.3.1.3.3.3. R. LILI 2.2.9.3.1.3.4. R. Darmawan 2.2.9.3.1.3.4.1. R. Ekal 2.2.9.3.1.3.4.2. R. Zirul 2.2.9.3.2. Nyi Rd. Umriyah 2.2.9.3.2.4. R. Iskandar 2.2.9.3.2.4.1. R. Asep 2.2.9.3.2.4.2. Nyi Rr. Rosi 2.2.9.3.2.4.3. R. Irfan 2.2.9.3.2.5. Nyi R. ETI 2.2.9.3.2.5.1. R. Rizki 2.2.9.3.2.5.2. R. Agung 2.2.9.3.2.6. Nyi Rd. ENI Rohaeni 2.2.9.3.2.6.1. Nyi Rr. Gita 2.2.9.3.2.6.2. Nyi Rr. Gina 2.2.9.3.2.6.3. Nyi Rr. Garnia 2.2.9.3.2.6.4. Nyi Rr. Gian 2.2.9.3.2.7. R Saleh Sudrajat 2.2.9.3.2.7.1. R. Fredi 2.2.9.3.2.7.2. ................ 2.2.9.3.2.7.3. Nyi Rr. Annisa 2.2.9.3.2.8. R. ADE 2.2.9.3.2.8.1. R. Agung 2.2.9.3.2.8.2. R. DEDE 2.2.9.3.2.8.3. Rr. Eneng
2.3. RM. H. Abas (Penghulu Ciomas) <menikah dgn> [[Person:628329|Putri Pertama H. Daeng Jarbi (putra Raja Gowa ke 32)) 2.3.1. RM. H. Ardja 2.3.2. RM. H. Suminta (Malik) 2.3.3. RAy. Patimah Ibunya Mayjen Ishaq Djuarsa 2.3.4. RAy. Fatmah <menikah dgn> 1.1.1. RM. H. Moch. Rana Menggala 2.3.5. RM. Yacub 2.3.6. RAy. Siti Mariyam (loji) 2.3.6.1. Drs. H. R. Mansyur (Mama) 2.3.6.1.1. HR. Syarif Arifin 2.3.6.1.2. R. Surachman 2.3.6.1.3. R. Suherman S 2.3.6.1.3.1. R. ADITYA TIRTA WIGUNA 2.3.6.1.3.2. R. INDAH PRANASARI HERNANINGTIAS 2.3.6.1.4. R. Suratmi 2.3.6.1.4.1. R. AGUNG RAHMADI 2.3.6.1.4.2. R. MAHENDRA 2.3.6.1.4.3. R. KRESNA HADIWIJAYA 2.3.6.1.4.4. R. RETNO A. WULANDARI 2.3.6.1.5. R. Suparman 2.3.6.1.5.1. R. AYU 2.3.6.1.5.2. R. PUSPA 2.3.6.1.5.3. R. ARIEF 2.3.6.1.6. R. Sudirman 2.3.6.1.6.1. R. RACHMAT C. WINATA 2.3.6.1.6.2. R. DODDY A. KUSUMAH 2.3.6.1.6.3. R. DICKY SAPUTRA 2.3.6.1.6.4. R. FANNY SARASWATI 2.3.6.1.7. R. Suhartini 2.3.6.1.7.1. R. ASTRI FITRIA ASTUTI S. 2.3.6.1.7.2. R. MARAHDOMU S. 2.3.6.1.7.3. R. MARAHDIKA S. 2.3.6.1.7.4. R. PUTRI SARASWATI 2.3.6.1.7.5. R. YUSUF IBRAHIM 2.3.6.2. H. R. Sanusi (Momo) 2.3.6.2.1. R. Juwita 2.3.6.2.2. R. Rosita 2.3.6.2.3. ............... 2.3.6.3. Drs. HR. Entjep Wahab 2.3.6.3.1. .................
2.4. RM. H. Abdulrachman ADI Menggolo (Camat Ciomas) 2.4.1. R.Ay. Sukiamah
2.5. RM. H. Muhammad Hasan== PEKERJAAN ==
ASAL-USUL
RADEN MAS HARJO DIPOTJOKRO MENGGOLO alias PANGERAN GRINGSING I, lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1835 putra ke 3 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATMAH / BUN NIOH (Putri Kapiten Tionghoa dari Marga TAN) dikaruniai orang anak : 1. RM. Harjo Dipotjokro Hadimenggolo
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
#0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Harjo Dipotjokro Menggolo
KETURUNAN
#3. RM. HARJO DIPOMENGGOLO (PANGERAN GRINGSING I) 3.1. RM. HARJO DIPOTJOKRO HADIMENGGOLO (PANGERAN GRINGSING II) 3.1.1. RM.HARJODIPO HADIKUSUMA (PANGERAN GRINGSING III)
3.1.1.1. R.DR. HARTO PURWOWASONO DIPONEGORO (Eyang Hertog) 3.1.1.1.1. R.Ngt. SRI DEWI Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1. R.Wisnu Wibowo Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1.1. R.Ngt. Kartika Ishianan Wisnu Wardhani Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.1.2. Rb.Nafi Wianditra Hafri Nugraha Diponegoro (Magetan) 3.1.1.1.1.2. R.Krisna Putra Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.1. Rb.Satrio Bagus Eka Putra Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.2. Rb.Bimo Bagaskoro Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.2.3. Rr.Aisya Rahmania Putri Diponegoro (Cilegon) 3.1.1.1.1.3. R.Ngt. Dewi Pancawati Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.1. Rb.Hade Pratama Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.2. Rr.Alya Nismara Cayadewi Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.1.3.3. Rb.Muhammad Ayman Arshq Ramadhan Diponegoro (Surabaya) 3.1.1.1.2. R.Heno Erlangga Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.1. R.Wibowo Kusumo Winoto Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.2. R.Ngt. Retno Wulandari Diponegoro, SH (Karanganyar) 3.1.1.1.2.3. R.Ngt. Kustini Kusumo Wardhani Diponegoro, S.Sn (Karanganyar) 3.1.1.1.2.4. R.Putra Wisnu Wardhana Diponegoro (Karanganyar) 3.1.1.1.2.5. R.Bayu Giri Prakosa Diponegoro, SE. MSi (Karanganyar)
3.1.1.1.3. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.1. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.2. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.3.3. R. Putra Wisnu Agung Diponegoro (Agung Dipo) 3.1.1.1.4. R. Ngt. Gusti Laksmi Mahadewi Sri Diponegoro 3.1.1.1.5. R. Ngt. Gusti Maya Brahma Diponegoro 3.1.1.1.6. R. Nalendro Wibowo Diponegoro 3.1.1.1.7. R. Ngt. Dwi Wahyuni Kusuma Wardhani Diponegoro 3.1.1.1.7.1. Rb. Supratama Dwipa Diponegoro 3.1.1.1.7.2. Rb. Gusti Atmojo Suryo Menggolo Diponegoro 3.1.1.1.7.3. Rr. Ambar Rukmini Diponegoro
3.1.1.1.8. R. Putra Kusuma Wardhana Diponegoro 3.1.1.1.9. R. Kesuma Hendra Putra Diponegoro3.1.1.1.10.R. Ngt. Putri Laksmini Murni Diponegoro
ASAL-USUL
RADEN MAS SAHID ANKRIH lahir di Jabaru-Bogor sekitar tahun 1835 putra ke 4 dari 7 bersaudara dari pasangan orang tua RADEN MAS DJONET DIPOMENGGOLO (Generasi ke 2 dari Sultan HB III) dengan NYIMAS AYU FATIMAH (asli Bogor) dikaruniai 3 orang anak : 1. RM. ASMINI 2. RM. IDRIS 3. RM. ONDUNG
SILSILAH KELUARGA (Dari Pancer Bapak)
#0. KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWANA KAPING III ING NGAYOGYAKARTA #1. BPH. Diponegoro #2. RM. Djonet Dipomenggolo #3. RM. Sahid Ankrih
KETURUNAN
#4. RM. SAHID ANKRIH 4.1. RM. ASMINI 4.1.1. RM. ASMININ 4.1.1.1. R. Abdul Latif 4.1.1.1.1. R. Komarudin 4.1.1.1.1.1. R. Muhammad 4.1.1.1.1.2. R. Aah Mafahir 4.1.1.1.1.3. R.Ust. Abdul Wafa 4.1.1.1.1.4. R. Ahmad Hujatullah 4.1.1.1.1.5. R. Euis Nurhayati 4.1.1.1.1.6. R. Bunyamin 4.1.1.1.1.7. R. Nikmatullah 4.1.1.2. R. Armani 4.1.1.2.1. R. AL. KH. Darma 4.1.1.2.1.1. R. KH. Maksum 4.1.1.3. R. Jenab 4.1.1.4. R. Murnas 4.1.1.5. R. Abdurrohim 4.1.2.6. R. Abdurrohman 4.1.2. R. Mali 4.1.3. RM. MINAU 4.1.4. RM. IKING 4.1.5. NYIMAS RAy. UMMI
4.2. RM. IDRIS4.3. RM. ONDUNG
perkawinan: <10> ♀ Raden Ayu Kumoroningrum [Gp.Hb.7.17.2] ? (Raden Ayu Mangkukusumo Enem) [?] b. 1883
perkawinan: <11> ♀ Raden Ayu Mangkukusumo [Hb.5.8.5] [Gp.Hb.7.17.1] [Hb.6.11.22] (Raden Ajeng Kusdilah / Raden Ayu Mangkukusumo Sepuh) [Hamengku Buwono V / Hamengku Buwono VI]
perkawinan: <12> ♀ Raden Ayu Doyoprono [Ga.Hb.7.17.1] [?]
perkawinan: <13> ♀ Raden Ayu Doyoasmoro [Ga.Hb.7.17.2] [?]
perkawinan: <14> ♀ Raden Ayu Doyohadiningsih [Ga.Hb.7.17.3] [?]
perkawinan: <15> ♀ Raden Ayu Doyohadiningdyah [Ga.Hb.7.17.4] [?]
perkawinan: <16> ♀ Raden Ayu Doyopuspito [Ga.Hb.7.17.5] [?]
perkawinan: <17> ♀ Raden Ayu Doyosumarno [Ga.Hb.7.17.6] [?]
perkawinan: <18> ♀ Raden Ayu Doyorukmi [Ga.Hb.7.17.7] [?]
perkawinan: <19> ♀ Raden Ayu Doyosuprobo [Ga.Hb.7.17.8] [?]
perkawinan: <21> ♀ Raden Ayu Renggowati [Ga.Hb.7.27.2] [?]
perkawinan: <22> ♀ Raden Roro Suminten [Ga.Hb.7.27.3] [?]
perkawinan: <23> ♀ Raden Ayu Setyowati [Ga.Hb.7.27.4] [?]
perkawinan: <24> ♀ Raden Roro Srenggorowati [Ga.Hb.7.27.5] [?]
perkawinan: <25> ♀ Raden Roro Secowati [Ga.Hb.7.27.6] [?]
7
wafat: 5 Juli 1908
mengenai Kalkulasi usia perkawinan dan status perkawinan :
- Perbedaan usia antara RTA. Suradimenggala dengan RAy. Gondomirah sebanyak (1852-1819) = 33 tahun, ini dapat diartikan bahwa RAy. Gondomirah adalah isteri ke 2 / ke 3.
- Pernikahan berlangsung pada saat usia RAy Gondomirah mencapai 26 tahun atau pada tahun 1878, dimana RTA. Suradimenggala sudah berusia (1878-1819) = 59 tahun.
pekerjaan: ?, 1893-1903 Penghoeloe Tjiomas
Gerakan Perlawanan Sosial di Tanah Partikelir Ciomas Bogor Tahun 1886
Gerakan perlawanan sosial dikenal juga dengan istilah “gerakan melawan pemerasan”, “gerakan melawan keadaan”, atau “gerakan melawan peraturan yang tidak adil”. Dalam istilah kolonial, peristiwa perlawanan semacam itu dikategorikan sebagai “ganguan ketentraman”, “huru-hara”, “kerusuhan”, atau “gerakan rohani”. Suatu ciri umum, bahwa hampir semua gerakan perlawanan sosial peristiwanya terjadi di tanah Partikelir (particultire landerijen). Sebab – sebab timbulnya gerakan tersebut, dipengaruhi oleh terbentuknya tanah partikelir dan situasi – situasi yang mempengaruhinya, antara lain:
Tanah partikelir muncul sejak awal jaman VOC sampai perempatan pertama abad ke-19, sebagai akibat adanya praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh orang – orang Belanda. Tanah – tanah tersebut berlokasi disekitar Batavia, dan sebagaian besar berada di daerah pedalaman antara Batavia dan Bogor, daerah Banten, Karawang, Cirebon, Semarang, dan Surabaya. Pada awal kekuasaan VOC tanah tadi dihadiahkan kepada penanggung jawab kententraman dan keamanan di sekitar daerah Batavia, sedangkan sebagian kecil ada yang diberikan kepada kepala – kepala pribumi. Khusus untuk tanah partikelir di daerah Bogor, status kepemilikannya berada ditangan pribadi para Gubernur Jendral yang berlangsung secara berturut – turut. Bagi orang yang menerima tanah tersebut secara leluasa mereka bertindak sebagai tuan tanah dan segera menguasai penggarap anah dengan dikenakan beban berupa pajak tanah (cuke) yang tinggi, serta penyerahan wajib kerja yang berat. Tindakan pemerasan tuan tanah di wilayah pemilikan tanahnya itu membangkitkan gerakan perlawanan sosial yang penampilannya lebih cenderung bermotifkan perasaan dendam yang bersifat milenaristis atau mesianistis. Untuk menghilangkan kegelisahan para petani di daerah tersebut pada masa pemerintahan Deandeles dan Raffles pernah dikeluarkan larangan kepada tuan – tuan tanah untuk memperoleh sepersepuluh dari hasil tanah atau menentukan penyerahan tenaga kerja yang berat. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tahun 1836, dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai hak untuk melindungi para petani dan mengatur suatu peradilan di tanah partikelir. Tetapi dalam menghadapi kecurangan tuan – tuan tanah, termasuk para pembantunya, pihak pemerintah sangat sulit mengawasinya, sehingga kegelisahan dikalangan petani semakin cenderung untuk mencetuskan gagasan dengan jalan melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk perlawanan yang berkesinambungan. Kasus perlawanan petani di tanah partikelir pada periode abad ke-19, banyak terjadi dan seolah – olah merupakan hal yang lumrah.
Menurut letak geografisnya, tanah partikelir Ciomas berada di lereng sebelah utara Gunung Salak. Tanah tersebut menjadi milik tuan tanah setelah dijual oleh Gubernur Jendral Deandels, dengan meliputi areal tanah seluas 9.00 bau (1 bau = 0,8 hektar). Tanah seluas itu dihuni oleh penduduk ± 15.000 jiwa. Seperti di tanah partikelir lainnya di daerah Ciomas pun para petani dihadapkan pada kondisi – kondisi sosial-ekonomi yang tidak menguntungkan, karena tenaganya dieksploitasi oleh tuan tanah, para pengawas, dan petugas tuan tanah lainnya yang menuntut pelayanan kerja yang berat, serta pemenuhan pajak (cuke) yang tinggi. Sebelum meletusnya gerakan petani tersebut, keadaan politik dan ekonomi yang berlaku di daerah Ciomas sendiri, antara lain :
1) Para pemungut pajak sering melakukan praktik, bahwa untuk menuai panen para petani diharuskan menunggu waktu yang ditentukan oleh tuan tanah. Untuk mengawasi panen, tuan tanah menunjuk petugas – petugas dan penjaga yang ditempatkan di sawah – sawah. Oleh karena petugas – petugas dan penjaga tersebut tidak diawasi secara langsung oleh tuan tanah, mereka cenderung untuk menggunakan kedudukannya dengan praktik yang curang terhadap petani. Berbeda dengan kebiasaan yang berlaku di tanah partikelir lainnya, bahwa pada saat panen tiba, penuaian hanya dilakukan oleh petani di daerah itu. Hal ini akan membawa akibat, bahwa sebagian dari hasil panen dapat diserap ke tempat lain, dan dengan sendirinya mengurangi pendapatan petani di Ciomas.
2) Kekurangan pendapatan petani di Ciomas, ditambah lagi dengan kewajiban untuk mengangkut hasil panen milik tuan tanah dari sawah – sawah ke lumbung – lumbung (gudang – gudang padi), yang jaraknya antara 10 sampai 12 paal (= 15 sampai 18 km).
3) Di kebun – kebun dan pabrik – pabrik kopi Ciomas, berlau juga sistem perbudakan yang lebih berat, sehingga berlaku juga kerja paksa, dan kepada buruh yang tidak hadir atau datang terlambat dikenakan peraturan yang keras.
4) Kepada para petani dikenakan juga kewajiban untuk menyerahkan jenis barang tertentu, antara lain penyerahan dua butir kelapa untuk setiap pohon, penyerahan sebatang bambu untuk setiap petak sawah, penyerahan seluruh hasil pohon enau dan kopi yang diwajibkan ditanam di kebun petani yang jumlahnya mencapai 250 batang.
5) Petani dilarang mengekspor padi, kerbau, dan hasil bumi lainnya.
6) Jika petani tidak dapat membayar huangnya, maka akan dikenakan penyitaan atas tanah, rumah, dan kerbaunya.
7) Perluasan kekuasan tuan tanah terhadap petani sampai juga pada pengawasan mengenai penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan pohon – pohon.
8) Kaum wanita dan anak – anak pun diharuskan bekerja selama sembilan hari untuk setiap bulannya.
Adanya dominasi politik, ekonomi, dan sosial yang dilakukan oleh tuan tanah terhadap kaum petani, telah membawa iklim yang lebih buruk dan pada akhirnya sampai mencapai konflik yang tajam. Salah satu akibat dari pelaksanaan eksploitasi tenaga kerja yang berat dan pemungutan cuke yang tinggi menjelang pecahnya perlawanan petani ialah terjadinya migrasi penduduk dari daerah itu. Bagi mereka yang tidak tahan lagi dengan praktik pemerasan tuan tanah dan merasa terancam akan kehancuran ekonominya segeralah angkat kaki meninggalkan tanah partikelir di Ciomas. Perasaan tidak puas petani untuk bekerja di tanah partikelir lebih nampak nyata ketika menolak kerja paksa di perkebunan kopi, dan mulailah mencetuskan perlawanan secara terbuka yang ditandai dengan tindakan kekerasan.
Perlawanan secara langsung diawali dengan melancarkan pemberontakan tanggal 22 Februari 1886, ketika mereka membunuh Camat Ciomas, Haji Abdurrachim (RM. H. ABDURRACHMAN ADI MENGGOLO), dan masih pada bulan Februari itu juga Arpan bersama kawan – kawannya mengundurkan diri ke Pasir Paok, dan di sana mereka menolak untuk menyerah kepada tentara pemerintah kolonial.
Sebulan sebelum terjadinya kedua peristiwa tadi, Mohammad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung Salak. Sekalipun ia lahir di Ciomas, namun dalam perjuangan hidupnya ia selalu berpindah – pindah tempat, seperti ke Sukabumi dan Ciampea. Ia termasuk salah seorang yang sangat membenci tuan tanah dan kaki tangannya. Karena sikapnya itu, maka semakin banyaklah petani pelarian dari tanah partikelir untuk menggabungkan diri. Setelah diadakan pertemuan besar di pondok kecilnya, Idris bersama pengikutnya bersepakat untuk melancarkan penyerangan ke Ciomas. Dan tepat pada hari Rabu malam, tanggal 19 Mei 1886 sesuai dengan rencana semula Idris bersama pengikutnya berhasil menduduki daerah Ciomas bagian selatan. Selama menduduki daerah tersebut mereka tidak melakukan perampokan terhadap gudang – gudang di Sukamantri, Gadong, dan Warungloa. Bahkan sebaliknya mereka menyatakan, bahwa serangan yang dilancarkannya itu tidak dimaksudkan untuk merampok kekayaan, tetapi serangan tersebut hanya ditujukan khusus bagi pribadi tuan tanah. Tanggal 20 Mei 1886 para pemberontak menyelenggarakan upacara sedekah bumi di Gadong, yang dihadiri juga oleh semua pegawai tuan tanah. Upacara tersebut sebenarnya merupakan perayaan tahunan yang dimeriahkan dengan permainan musik, tari – tarian, dan atraksi – atraksi lainnya. Sebagai penutup dari perayaan itu, seolah – olah seperti diberikan aba – aba, bahwa kaum pemberontak setelah melihat pegawai – pegawai tuan tanah yang sesungguhnya bertindak sebagai penindas dan memeras mereka, beberapa diantara pengikut Mohamad Idris segera melampiaskan kemarahannya menyerang agen – agen tuan tanah secra membabi buta. Perayaan sedekah bumi itu berakhir dengan pembunuhan besar – besaran yang ditujukan kepada pegawai – pegawai tuan tanah. Dari peristiwa pembunuhan tersebut, diketahui bahwa sejumlah 40 orang mati dibunuh, dan 70 orang lainnya luka – luka. Tuan tanah beserta keluarganya selamat, karena secara kebetulan mereka tidak hadir dalam upacara itu.
Dari panggung peristiwa perlawanan petani Ciomas itu, jelaslah bahwa yang menjadi sasaran utama dan sebgai musuhnya adalah tuan tanah, pegawai pemerintah kolonial baik asing maupun pribumi, para pedagang, dan lintah darat.
Gerakan perlawanan petani Ciomas memperlihatkan adanya spontanitas baik waktu timbul maupun selama masa berkembangnya, yang ditunjang juga dengan iklim atau situasi politik yang benar – benar telah diperhitungkan akan timbulnya gerakan perlawanan. Peristiwa perlawanan petani Ciomas merupakan suatu corak atau model perjuangan yang berlatar belakang perbedaan kepentingan dan tujuan anara tuan tanah, pemerintah, dan pegawai – pegawai lainnya dengan kaum petani di lain pihak. Pertentangan kepentingan dan tujuan itu, pada akhirnya dapat dilakukan dalam bentuk perlawanan secara keras dari pihak petani sebagai protes akibat tekanan – tekanan yang berat.8
1111/8 <37+?> ♂ 5. RM. Yacub [Hamengku Buwono]
pekerjaan: 1916 - 1938, PENGHULU TJIAWI - BUITENZORG
wafat: 1938
Silsilah Keturunan RMH. Moch Rana Manggala (Sumber: WA. R. UKE SUKMAWATI KARIM)
![](http://rodvoid.org/thumb/2/22/RANA2.jpg/300px-RANA2.jpg)
wafat: 1917
orng:
Orang:629893|R.H. YASIN Orang:629895|R.H. ALI Orang:629896|R.H. ABDUL MANAN (Adung) Orang:629897|R.Hj. SUPIAH (Siti) Orang:629898|R.Hj. ENCUNG] Orang:629916|R.MASDIR KARTANINGRAT (Tata) Orang:629917|R.MASDIR KURNAEN (Aeng) Orang:629918|R.MASDIR MOCHAMAD ARIEF Orang:629920|R.MASDIR SUMANTRI (Ati) Orang:629934|R.MASDIR EMAN SULAEMAN
Abdul GHANI-2 : 1179717pekerjaan: 6 Mei 1916 - 29 Agustus 1925, Zelfstandig Patih Buitenzorg
RA. M. Suradhiningrat (Tjandraningrat) adalah putra RTA Suradimanggala (Bupati Bogor Tahun 1876-1884). Beliau juga Generasi ke 4 dari Pangeran Diponegoro melalui Ibunya RAy Gondomirah binti RM. Haryo Dipomenggolo bin RM. Djonet Dipomenggolo bin Pangeran Diponegoro.
Afdeeling Buitenzorg
Assistent-resident: K. Kool (4 Nov. 1924) Commies, tevens buitengewoon ambtenaaar van den burgerlijken stand: J. Loen (11 Maart 1919), eerste; P.O. Panhuyzen (24 Aug. 1923), eerste; H.C. Barkmeijer (29 April 1922), eerste Ondercommissaris van politie: C.J. Martens Politieopzieners der 1e klasse: J. Trilk; G.J. Peeters (Tjibaroesa)
Patih: Raden Aria Mohamad Soeradhiningrat (6 Mei 1916)
Wedana van het district: Buitenzorg: Raden Koesoemadinata (6 Juni 1924) Tjiawi: Mas Joedo Atmodjo (26 Aug. 1921) Paroeng: Mas Aliredja (29 Jan. 1923) Leuwiliang: Raden Adikoesoemah (23 Juni 1921) Djasinga: Mas Martodimedjo (1 Nov. 1920) Tjibinong: Mas Soeminta Atmadja (8 Oct. 1923) Tjibaroesa: Raden Soeriakoesoemo (1 Maart 1921)
Kapitein der Chineezen: Tan Hong Yoe (13 Aug. 1919) Luitenant der Chineezen: Tan Hong Tay (8 April 1913) (v.)Luitenant der Arabieren: Sech Achmad bin Said Badjenet (13 Oct. 1921)