Raden Ayu Jayakusuma / Nyi Ageng Serang (Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi) b. ~ 1752 d. 1828

Dari Rodovid ID

Orang:853142
Langsung ke: panduan arah, cari
Raden Ayu Serang, Lukisan oleh Anyool Subroto (ITB 1976)
Raden Ayu Serang, Lukisan oleh Anyool Subroto (ITB 1976)
Marga (saat dilahirkan) Notoprodjo
Jenis Kelamin Wanita
Nama lengkap (saat dilahirkan) Raden Ayu Jayakusuma / Nyi Ageng Serang
Nama belakang lainnya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi
Orang Tua

Penembahan Notoprodjo / Panembahan Serang (Pangeran Natapraja) [Ageng Serang]

Raden Ayu Serang [?]

[1][2][3]

Momen penting

~ 1752 lahir: Istri Ke 1

kelahiran anak: Raden Ayu Mangkudiningrat ? (Raden Ayu Kustinah) [Kusumowijoyo]

perkawinan: Pangeran Mutia Kusumawijaya / Panembahan Kusumo Wijoyo (Panembahan Serang) [Serang] d. 1825

1828 wafat:

Catatan-catatan

Biografi

Di masa lalu ketika Lihat Daftar Tokoh Perempuan perempuan belum mendapatkan kesempatan yang sama dengan kaum pria, peranan mereka hanya sebagai konco wingking (pengurus soal dapur). Namun, sebutan itu tidak berlaku bagi Nyi Ageng Serang. Pemilik nama asli Raden Ajeng Kustiah Retno Edi ini adalah seorang ahli strategi yang handal. Kodratnya sebagai seorang Lihat Daftar Tokoh Perempuan perempuan sama sekali tak menghalanginya untuk mengangkat senjata ketika menjalankan perannya sebagai seorang panglima perang.

Kata "Serang" di belakang namanya diambil dari nama sebuah desa terpencil, Serang, yang menjadi tempat kelahiran Nyi Ageng Serang. Desa itu terletak 40 kilometer sebelah utara Solo dekat Purwodadi, Jawa Tengah.

Lahir pada tahun 1752 dalam lingkungan bangsawan dan patriotik membuat Nyi Ageng Serang sejak kecil memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Ayahnya, Pangeran Natapraja merupakan Bupati Serang Yogyakarta yang juga dikenal sebagai Panembahan Serang. Panembahan Serang diangkat menjadi salah satu panglima perang Pangeran Mangkubumi dari Raja Kerajaan Mataram ketika menghadapi serangan Belanda.

Perlawanan Pangeran Mangkubumi berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Pangeran Mangkubumi naik tahta menjadi Sultan Yogya dengan gelar Hamengkubuwono I yang berkedudukan di Yogyakarta. Meskipun ada hal yang sedikit mengganjal dalam hati karena tidak menyetujui perjanjian tersebut, Panembahan Serang tetap memelihara pasukannya.

Penyerangan secara besar-besaran pun dilancarkan Belanda setelah mengetahui situasi tersebut. Nyi Ageng Serang yang kala itu telah tumbuh dewasa ikut serta berjuang di medan perang menghadapi gempuran Belanda. Pertempuran itu pun berakhir dengan kemenangan Belanda, Nyi Ageng tertangkap untuk kemudian dibawa ke Yogyakarta. Beberapa lama kemudian, ia dibawa kembali ke Serang.

Untuk sementara waktu ia hidup tenang sebagai pemimpin masyarakat, namun hasrat terpendamnya untuk mengusir Belanda dari bumi pertiwi tak jua sirna.

Memasuki abad 19, Belanda semakin menunjukkan kekuasaannya di tanah Jawa. Raja-raja Jawa baik Raja Kasunanan Surakarta, 1893-1939 Surakarta maupun Yogyakarta mengakui subordinasinya terhadap kekuasaan Belanda. Sementara itu di Yogyakarta terjadi kegelisahan akibat tindakan-tindakan pemerintah Belanda.

Peraturan-peraturan yang dibuat oleh para penguasa Belanda sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Dalam istana timbul dua golongan, yang pro dan yang anti-Belanda. Keadaan rakyat yang semakin sengsara, perampasan tanah-tanah rakyat yang akan dijadikan perkebunan milik pengusaha-pengusaha Eropa menyebabkan terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830).

Tak hanya itu, masalah internal keraton juga turut menjadi faktor pemicu meletusnya perang tersebut. Kehadiran pemerintah Belanda yang sejak awal ingin menguasai Jawa menimbulkan kebencian di hati Nyi Ageng Serang. Ia pun turut melibatkan diri dalam Perang Diponegoro dan diangkat sebagai pinisepuh.

Nyi Ageng yang saat itu sudah berusia senja (73 tahun) didampingi oleh cucunya Raden Mas Papak memimpin pasukan perjuangan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro selalu mendengarkan nasihat-nasihat Nyi Ageng Serang.

Dengan pasukan Nataprajan ia bergerak di daerah Serang, Purwodadi, Gundih, Semarang, Demak, Kudus, Juwana, dan Rembang. Usia rupanya tak menghalangi Nyi Ageng dalam bertarung di peperangan. Bahkan ketika perang gerilya di sekitar desa Beku, Kabupaten Kulon Progo, ia memimpin langsung pasukannya.

Pangeran Diponegoro pernah menugaskan pasukan Nyi Ageng Serang untuk mempertahankan daerah Prambanan yang telah direbut oleh Tumenggung Suronegoro dengan menghalau Belanda yang menjaganya.

Karena fisiknya yang tak lagi memungkinkan apalagi ketika berada di medan yang berat untuk dilalui, membuat Nyi Ageng selalu dipikul dengan tandu. Di atas tandu itu ia memimpin pasukannya.

Salah satu strategi jitu dalam medan perang adalah penggunaan daun keladi hijau (Bhs. Jawa: Lumbu). Dengan daun itu Nyi Ageng memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran sehingga tampak seperti kebun tanaman keladi jika dilihat dari kejauhan. Musuh akan diserang dan dihancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak sasaran.

Strategi yang kerap diterapkan Nyi Ageng membuat Pangeran Diponegoro mengakui kehandalan tokoh wanita ini. Ia kemudian mengangkat Nyi Ageng menjadi salah seorang penasehatnya. Kedudukan Nyi Ageng sebagai penasehat sejajar dengan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Joyokusumo dalam siasat perang.

Akhirnya karena sudah tua dan lemah, Nyi Ageng mengundurkan diri dari medan pertempuran. Setelah itu ia menetap di rumah keluarga Nataprajan di Yogyakarta sampai ia wafat tahun 1828 pada usia 76 tahun karena sakit. Pada saat kepergiannya, Perang Diponegoro masih berlangsung. Rasa patriotisme Nyi Ageng tetap berkobar, hal itu ditunjukkan dengan permintaannya kepada para laskar agar menyatukan jasadnya di Beku yang telah berhasil direbut dari Belanda lewat perang gerilya, karena ia ingin tetap menyatu dalam perjuangan bangsanya.

Nyi Ageng Serang memberi teladan akan keuletan dan militansi dalam mengejar suatu tujuan. Banyak orang memiliki kehendak baik dan kemampuan namun tidak memiliki mental dan kehendak yang kuat untuk mencapainya.

Atas jasa-jasanya pada negara, Nyi Ageng Serang diberi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 084/TK/Tahun 1974, tanggal 13 Desember 1974.

  • Ditayangkan oleh redaksi - Dibuat 07 Sep 2010 - Pembaharuan terakhir 25 Feb 2012

[sunting] Sumber-sumber

  1. Nyi Ageng Serang (Wiki-English) : http://en.wikipedia.org/wiki/Nyi_Ageng_Serang -
  2. Nyi Ageng Serang (Wiki-Indonesia) : http://id.wikipedia.org/wiki/Nyi_Ageng_Serang -
  3. Biografi Nyi Ageng Serang : http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/679-ahli-strategi-diponegoro -


Dari kakek nenek sampai cucu-cucu

Orang Tua
Orang Tua
 
== 2 ==
== 2 ==
Anak-anak
Anak-anak
Cucu-cucu
5. Kolonel Raden Mas Papak / Raden Tumenggung Mangkundirja
lahir: 1804
gelar: 1831 - 1853, Kalibawang, Pangeran Kalibawang
wafat: November 1853, Kalibawang
Cucu-cucu

Peralatan pribadi