2. Ki Ageng Getas Pandawa d. 1445

Dari Rodovid ID

Orang:354658
Langsung ke: panduan arah, cari
Marga (saat dilahirkan) Brawijaya
Jenis Kelamin Pria
Nama lengkap (saat dilahirkan) 2. Ki Ageng Getas Pandawa
Nama lainnya R. Depok / Ki Ageng Abdullah
Orang Tua

14. R. Bondan Kejawan / Ki Ageng Tarub III (Ki Lembu Peteng) [Brawijaya V]

1.3.1. Dewi Retno Nawangsih [Azmatkhan]

[1][2][3][4][5][6][7][8][9]

Momen penting

kelahiran anak: 5. Nyai Ageng Wanglu [Brawijaya]

kelahiran anak: 6. Nyai Ageng Bokong [Brawijaya]

kelahiran anak: 7. Nyai Ageng Adibaya [Brawijaya]

kelahiran anak: 4. Nyai Ageng Kare [Brawijaya]

kelahiran anak: 3. Nyai Ageng Purna [Brawijaya]

kelahiran anak: Ki Ageng Sela / Abdurrahman II (Bagus Sogam) [Brawijaya]

kelahiran anak: 2. Nyai Ageng Pakis [Brawijaya]

1445 wafat:

Catatan-catatan

Official Link. Adm: Hilal Achmar

Ki Ageng Getas Pendowo memiliki 6 putera, Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purno, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. Keturunan Ki Ageng Selo, dari 7 hanya satu yang laki-laki yaitu Ki Ageng Ngenis yang kemudian berputera Ki Ageng Pemanahan yang selanjutnya melahirkan Sutowijoyo.

Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.

Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.

Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).

Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.

Sesuai pesan ayahnya, Ki Pemanahan dan restu sultan Pajang, Sutowijoyo menggantikan ayahnya sebagai pembesar atau Panembahan Mataram. Seperti dikatakan oleh Panembahan Giri dan Kanjeng Sunan Kalijaga, keturunan Ki Pemanahan kelak akan menjadi raja aung yang meguasai tanah Jawa. Sebagaimana ayahnya, Sutowijoyo selalu mencari kebenaran tentang dua ramalan nujum dua orang sesepuh itu.

Menjelang tengah malam Suutowijoyo keluar dari istana dengan diserta lima orang pengawalnya menuju ke Lipuro. Dan selanjutnya ia tidur di atas kumuloso, sebuah batu hitam yang halus permukaannya. Kepergiannya membuat kaget Ki Juru Mertani (paman dari ibu) karena tidak menemukannya di rumah. Namun, Ki Juru mengetahui dan hafal kemana putranya kemenakannya pergi. Setibanya di Lipuro, didapati Sutowijoyo sedang tidur pulas, kemudian dibangunlah Sutowijoyo dengan berucap: “Tole, bangunlah!. Katanya ingin menjadi raja, mengapa enak-enak tidur saja”. Tiba-tiba dilihat Ki Juru Mertani ada sebuah bintang sebesar buah kelapa yang masih utuh terletak di kepala Sutowijoyo, kemudian ia membangunkannya. “Tole, bangunlah segera. Yang bersinar di atas kepalamu seperti bulan itu apa?”. Bintang itu menjawab seperti manusia: “Ketahuilah, aku ini bintang memberi khabar kepadamu, maksudmu bersemedi dengan khusyuk, meminta kepada Tuhan yang Mahakuasa, sekarang sudah diterima oleh-Nya. Yang kamu minta diizinkan, kamu akan menjadi raja menguasai tanah Jawa, turun sampai anak cucumu, akan menjadi raja di Mataram tiada bandingnya. Sangat ditakuti oleh lawan, kaya dengan emas dan permata. Kelak buyutmu yang menjadi raja di Mataram, negara kemudian pecah. Sering terjadi gerhana matahari, gunung meletus, hujan abu atau lumpur. Itu pertanda akan rusak”. Setelah berkata demikian bintang itu lalu menghilang. Sutowijoyo berkata dalam hati “permohonanku sudah dikabulkan oleh Tuhan., niatku menjadi raja menggantikan kanjeng Sultan (Pajang), turun sampai anka cucuku, sebagai pelita tanah Jawa, orang tanah Jawa semuanya tunduk”.

Lain halnya dengan Ki Juru Mertani, ia mengetahui apa yang dipikirkan putra kemenakannya itu, kemudian ia bertutur lembut. “Senopati, kamu jangan berfikir sombong, memastikan barang yang belum tentu terjadi. Itu tidak benar. Jika kamu percaya pada omongan bintang, itu kamu salah. Sebab itu namanya suara ghaib, boleh benar boleh bohong. Tidak dapat ditangkap seperti lidah manusia, dan kelak jika kamu benar-benar berperang melawan orang Pajang, tentu bintang itu tidak bisa kamu tagih atau kamu minta pertolongannya.Tidak salah jika aku dan kamu menjadi raja Mataram dan kalah dalam perangnya, tidak luput juga menjadi tawanan”.

Mendengar perkataan pamannya, Senopati akhirnya sadar, dan tidak lupa minta maaf. Dan selanjutnya Senopati berkata “Paman, bagaimana petunjuk paman, saya akan menurut. Diumpamakan saya adalah sebuah perahu dan paman adalah kemudinya”. Selanjutnya Ki Juru Mertani bertutur, “Tole, kalau kau sudah menurut, mari kita memohon lagi kepada TUhan, semua yang sulit mudah-mudahan bisa dimudahkan. Mari kita membagi tugas. Kamu pergi ke laut selatan dan aku akan pergi ke Gunung Merapi, Meneges kepada Tuhan. Mari kita berangkat”.

Keduanay berpisah sesuai kesepakatan. Sutowijoyo berangkat ke laut kidul melalui kali Opak (Ompak) menghanyutkan diri hingga sampai laut kidul, bertapa seperti yang biasa dilakukan oleh ayahnya, Ki Pemanahan. Istana laut kidul geger, hawa di laut kidul memanas.Air laut kidul memanas membuat seisi laut ribut. Seluruh penghuninya terkena hawa panas karena cipta dan rasa Senopati Sutowijoyo yang mengheningkan cipta dengan membaca doa. Ratu laut kidul keluar dari istananya, dan melihat dunia luar. Ia tidak melihat apa-apa kecuali seorang pemeuda yang berdiri mematung dengan mengheningkan cipta. Ratu laut kidul langsung menuju ke arah pemuda itu, dan langsung bersujud dan meminta belas kasihan kepada pemuda itu, yang tidk lain Senopati Sutowijoyo.

“Silahkan tuan menghilangkan kesedihan hati paduka supaya segera hilang adanya huru-hara ini, dan segera kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi pada isi laut. Tuan, kasihanilah hamba, karena laut ini saya yang menjaga. Bahwa apa yang tuan mohon telah dikabulkan oleh Tuhan, sekarang sudah terkabul. Paduka dan turun paduka akan menjadi raja, memerintah tanah Jawa tidak saingannya. Seluruh jin dan peri semuanya tunduk pada paduka. Apabila kelak paduka mendapat musuh, semuanya akan membantu. Sekehendak paduka, mereka menurut saja. Karena paduka pendiri (cikal bakal) raja Tanah Jawa ini”.

Mulailah hubungan Senopati Sutowijoyo dengan Ratu laut kidul. Berhari-hari Senopati berada di laut kidul bersama sang ratunya. Terucap oleh Senopati, “Seandainya Mataram mendapat musuh, siapa yang akan memberi tahu ratu kidul? orang mataram tidak ada yang bisa melihat Ratu Laut Kidul”. “Itu soal gampang saja. Jika paduka membutuhkan saya, dan hendak memanggil saya, sedakep mengheningkan cipta kemudian menghadap ke angkasa. Tentu hamba akan segera datang dengan membawa prajurit lengkpa dengan perlengkapan perang”,jawab Ratu Laut Kidul.

Setelah itu Senopati minta diri untuk kembali ke Mataram. Senopati muncul dari dalam air dan jalan di atas laut seperti halnya orang berjalan di darat yang halus. Tetapi betapa kagetnya ketika sudah sampai pada tepi Parangtritis, ia melihat Kanjeng Sunan Kalijaga sidah ada di tempat itu. Senopati menuju ke tempat Sunan Kalijaga dan melakukan tafakur, dan minta maaf atas tindakannya yang berjalan di atas air dan tidak basah. Kanjeng Sunan Kalijaga bersabda, “Senopati hentikan kamu memamerkan kesaktian dengan berjalan di atas air dan tidak. Itu namanya tindakan seorang yang kibir (sombong). Para wali tidak mau memakai cara yang demikian itu, karena akan mendapat murka dari Tuhan. Jika kamu ingin selamanya menjadi raja, berjalanlah seperti sebenarnya orang berjalan. Mari ke MAtaram, saya ingin melihat rumahmu”.

Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.

Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.

Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.

Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.

Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.

Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.

Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.

Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.

Menurut silsilah, Ki Ageng Selo adalah cicit atau buyut dari Brawijaya terakhir. Beliau moyang (cikal bakal-red) dari pendiri kerajaan Mataram yaitu Sutawijaya. Termasuk Sri Sultan Hamengku Buwono X (Yogyakarta) maupun Paku Buwono XIII (Surakarta).

Menurut cerita Babad Tanah Jawi (Meinama, 1905; Al-thoff, 1941), Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning dan berputra Bondan Kejawan/Ki Ageng Lembu Peteng yang diangkat sebagai murid Ki Ageng Tarub. Ia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Dari perkimpoian Lembu Peteng dengan Nawangsih, lahir lah Ki Getas Pendowo (makamnya di Kuripan, Purwodadi). Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh dan yang paling sulung Ki Ageng Selo. Ki Ageng gemar bertapa di hutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi-bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Salah satu muridnya tercintanya adalah Mas Karebet/Joko Tingkir yang kemudian jadi Sultan Pajang Hadiwijaya, menggantikan dinasti Demak.

Putra Ki Ageng Selo semua tujuh orang, salah satunya Kyai Ageng Enis yang berputra Kyai Ageng Pamanahan. Ki Pemanahan beristri putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya. Melalui perhelatan politik Jawa kala itu akhirnya Sutawijaya mampu mendirikan kerajaan Mataram menggantikan Pajang. (http://buminusantara.blogdetik.com/2010/11/25/panembahan-senopati/)

Sang Penangkap Petir

Kisah ini terjadi pada jaman ketika Sultan Demak Trenggana masih hidup. Syahdan pada suatu sore sekitar waktu ashar, Ki Ageng Sela sedang mencangkul sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar – benar hujan lebat turun. Petir datang menyambar-nyambar. Petani lain terbirit-birit lari pulang ke rumah karena ketakutan. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak – enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah petir itu menyambar Ki Ageng Selo. Gelegar….. petir menyambar cangkul di genggaman Ki Ageng. Namun, ia tetap berdiri tegar, tubuhnya utuh, tidak gosong, tidak koyak. Petir berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar genggaman tangan orang dewasa. Lalu, batu itu diserahkan ke Kanjeng Sunan di Kerajaan Istana Demak. Kanjeng Sunan Demak –sang Wali Allah– makin kagum terhadap kesaktian Ki Ageng Selo. Beliau pun memberi arahan, petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo tidak boleh diberi air.

Kerajaan Demak heboh. Ribuan orang –perpangkat besar dan orang kecil– datang berduyun-duyun ke istana untuk melihat petir hasil tangkapan Ki Ageng Selo. Suatu hari, datanglah seorang wanita, ia adalah intruder (penyusup) yang menyelinap di balik kerumunan orang-orang yang ingin melihat petirnya Ki Ageng.

Wanita penyusup itu membawa bathok (tempat air dari tempurung kelapa) lalu menyiram batu petir itu dengan air. Gelegar… gedung istana tempat menyimpan batu itupun hancur luluh lantak, oleh ledakan petir. Kanjeng Sunan Demak berkata, wanita intuder pembawa bathok tersebut adalah “petir wanita” pasangan dari petir “lelaki” yang berhasil ditangkap Ki Ageng Selo. Dua sejoli itupun berkumpul kembali menyatu, lalu hilang lenyap.

Versi lainnya

Versi lain menyebutkan petir yang ditangkap oleh Ki Ageng Selo berwujud seorang kakek. Kakek itu cepat – cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun – alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek – nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.

Sejak saat itulah, petir tak pernah unjuk sambar di Desa Selo, apalagi di masjid yang mengabadikan nama Ki Ageng Selo. “Dengan menyebut nama Ki Ageng Selo saja, petir tak berani menyambar,” kata Sarwono kepada Gatra.

Soal petir yang tidak pernah ada di Desa Selo diakui oleh Sakhsun, 54 tahun. Selama 22 tahun ia menjadi muazin Masjid Ki Ageng Selo, dan baru pada akhir November 2004 dilaporkan ada petir yang menyambar kubah masjid Ki Ageng Selo. Lelaki berambut putih itu pun terkena dampaknya. Petir itu menyambar sewaktu ia memegang mikrofon hendak mengumadangkan azan asar.

Sakhsun pun tersengat. Bibirnya bengkak. “Saya tidak tahu itu isyarat apa. Segala kejadian kan bisa dijadikan sebagai peringatan bagi kita untuk lebih beriman,” katanya. Dia sedang menebak-nebak apa yang bakal terjadi di desa itu. Menurut kepercayaan setempat, kubah masjid adalah simbol pemimpin. Apakah artinya ada pemimpin setempat yang akan tumbang?

Terus bagaimana kira-kira cara Ki Ageng Selo menangkap petir…?

Kalau kita telaah cerita legenda di atas tentunya ada sebagian yang benar sesuai dengan sejarah aslinya. Mari kita telaah kira-kira bagaimana cara Ki Ageng Selo menangkap petir bila dilihat dari perspektif ilmu pengetahuan kita jaman sekarang.

1. Petir terjadi di waktu cuaca mendung… Hal yang logis bukan juragan? Muatan listrik yang secara perlahan terpisah antara beberapa awan atau perbedaan muatan listrik antara awan dan bumi, menyebabkan lecutan muatan listrik atau yang kita kenal sebagai petir.

2.Petir menyambar cangkul tetapi Ki Ageng Selo tidak terluka sedikitpun. Cangkul terbuat dari besi dan kayu… Besi adalah konduktor listrik yang baik sedangkan kayu adalah isolator. Hal paling logis adalah petir menyambar Ki Ageng Selo ketika dia sedang mengayunkan cangkulnya. Sehingga lecutan petir dari awan ke bagian besi cangkulnya dapat diisolasi oleh kayu cangkul dan langsung diteruskan ke bumi. Hmmmm…. Kira2 dari kayu apakah cangkul Ki Ageng Selo terbuat sehingga sifat isolatornya begitu kuat? Gw yakin Ki Ageng Selo sudah mengetahui kekuatan kayu cangkulnya sehingga dia tidak takut sedikitpun ketika petir menyambar2, tidak seperti petani lainnya.

Model cangkul yang mungkin dipakai Ki Ageng Selo

3. Petir berhasil ditangkap dan diikat, dimasukkan ke dalam batu sebesar genggaman tangan orang dewasa. Hmmm…. mirip kisah Si Ponari yah juragan. Hal yang paling logis adalah petir itu langsung menyambar batu yang ada di sawah milik Ki Ageng Selo. Batu yang sebesar genggaman tangan orang dewasa tersebut bersifat kapasitor, sehingga sifat dan ukurannya mampu menyimpan muatan listrik (elektron). Kira-kira batu apakah itu juragan???

Kalau deskripsi kapasitor jaman sekarang yah seperti ini juragan : Kapasitor adalah komponen elektronika yang dapat menyimpan muatan listrik. Struktur sebuah kapasitor terbuat dari 2 buah plat metal yang dipisahkan oleh suatu bahan dielektrik. Bahan-bahan dielektrik yang umum dikenal misalnya udara vakum, keramik, gelas dan lain-lain. Jika kedua ujung plat metal diberi tegangan listrik, maka muatan-muatan positif akan mengumpul pada salah satu kaki (elektroda) metalnya dan pada saat yang sama muatan-muatan negatif terkumpul pada ujung metal yang satu lagi. Muatan positif tidak dapat mengalir menuju ujung kutup negatif dan sebaliknya muatan negatif tidak bisa menuju ke ujung kutup positif, karena terpisah oleh bahan dielektrik yang non-konduktif. Muatan elektrik ini “tersimpan” selama tidak ada konduksi pada ujung-ujung kakinya. Sumber : Bom2000.com (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/ki-ageng-selo-si-penangkap-petir/)

Kalau dirunut pada silsilah, Prabu Brawijaya pada perkawinannya dengan Dewi Wandan (wanita yang berkulit kehitam-hitaman) melahirkan Ki Bondan Kejawan yang kemudian memperistri Nyai Nawangsih putera Ki Gede Tarub dan melahirkan Ki Ageng Getas Pendowo atau Syekh Ngabdullah dan seorang puteri (dinikahkan dengan Ki Ageng Ngerang). Ki Ageng Getas Pendowo memiliki 6 putera, Ki Ageng Selo, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purno, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, dan Nyai Ageng Adibaya. Keturunan Ki Ageng Selo, dari 7 hanya satu yang laki-laki yaitu Ki Ageng Ngenis yang kemudian berputera Ki Ageng Pemanahan yang selanjutnya melahirkan Sutowijoyo. http://buminusantara.blogdetik.com/2010/11/25/panembahan-senopati/

Makam Ki Ageng Getas Pendowo Beliau adalah keturunan R.Bondan Kejawan ( Lembu Peteng ) dengan Rr. Nawangsih. Letaknya di sebelah timur Kelurahan Kuripan Kecamatan Purwodadi ( Jln. A. yani Purwodadi lebih kurang 1 Km ) (Foto: http://mataram351.wordpress.com/2011/12/21/makam-ki-ageng-getas-pendowo/)

[sunting] Sumber-sumber

  1. http://www.promojateng-pemprovjateng.com/detail.php?id=413 -
  2. http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/01/ki-ageng-selo-si-penangkap-petir/ -
  3. http://buminusantara.blogdetik.com/2010/11/25/panembahan-senopati/ -
  4. http://mataram351.wordpress.com/2011/12/21/makam-ki-ageng-getas-pendowo/ -
  5. http://buminusantara.blogdetik.com/2010/11/25/panembahan-senopati/ -
  6. http://www.royalark.net/Indonesia/solo2.htm -
  7. http://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Ageng_Getas_Pandawa -
  8. http://asalsilahipunparanata.blogspot.com/ -
  9. Awal Kebangkitan Mataram, DR. H.J. De Graaf -

Dari kakek nenek sampai cucu-cucu

Kakek-nenek
Girishawardhana Dyah Suryawikrama / Bhra Hyang Purwawisesa (Dyah Suryawikrama / Brawijaya III)
gelar: 1456 - 1466, Prabu Majapahit XI bergelar Brawijaya III
wafat: 1466
1.5. Syarifah Sarah
lahir: putranya diputus : 850376
Kakek-nenek
Orang Tua
13. Raden Patah / Panembahan Jin Bun (Raden Praba)
lahir: 1455, Palembang
perkawinan: 11.1.5. Raden Siti Murtasimah / Asyiqah
perkawinan: Puteri Bupati Jipang Panolan
perkawinan: Putri dari Randu Sanga
gelar: 1475 - 1518, Demak, Sultan Bintoro Demak I bergelar Sultan Syah Alam Akbar Al Fattah
wafat: 1518, Demak
21. Bathara Katong / Lembu Kanigoro (Raden Joko Piturun)
perkawinan: Niken Gandhini
gelar: 11 Agustus 1496, Ponorogo, Adipati Ponorogo I
3.4.2. Raden Kusen / Pangeran Pamalekaran (Arya Abdillah)
gelar: Adipati Terung, Adipati Terung / Bupati Teterung
17. Puteri Hadi / Putri Ratna Marsandi
lahir: anak No 17 dari Bhre Kertabhumi ( Brawidjaja V ), suami dari Juru Paniti
perkawinan: Juru Paniti
11. Raden Sudjana / Lembu Niroto
gelar: Adipati Blambangan
Raden Jaka Dhalak
lahir: Diputus : 25677
Hario Dewa Ketul
pekerjaan: Bali, Adipati di Bali
Raden Jaka Lawu
wafat: Java, Indonesia, Mount Lawu
14. R. Bondan Kejawan / Ki Ageng Tarub III (Ki Lembu Peteng)
lahir: Anak No.14 dari Brawijaya V Jurumertani sudah pada waktunya untuk mengirim Pajak Hasil Bhumi ke Kerajaan, dalam perjalanannya di ikuti oleh Bondan, yang tidak diketahui Jurumertani, Sesampainya di Kerajaan menyerahkan Pajakhasil Bumi, kemudian menghadap sang Prabu, Namun mendadak terdengan suara Gong Berbunyi, mengejutkan Sang Prabu dan seluruh isi kerajaan termasuk Jurumertani, setelah dikejar tertangkaplah seorang anak "Bondan", dan diserahkan pada sang Prabu, melihat kejadian itu Jurumertani terbelalak KAGET, dan menghampiri Prabu sambil berbisik Itu adalah Putera-sang Prabu. Sang Prabu menatap wajah si Bondan dengan seksama, kemudian penasehat spirituil Kerajaan menhampiri Sang Prabu berkata, Anak turun dari Anak itu (Bondan) akan menjadi Raja-raja ditanah jawa
lahir: Petilasan Makam dari Bondan Kejawan ada : 3 Tempat yaitu : 1. Desa Taruban-Purwodadi, dari kota Purwodadi ke arah Blora Km 13 ada perempatan belok Kanan 2km ada Situs yang dikelola oleh Kasunanan Surakarto, dsisin ada makam Ki Ageng Tarub I, dan R Bondan Kejawan ( Ki Ageng Tarub II) 2. 1 Km dari sini ( Ds Taruban ) arah ke perempatan ada Tandingan seolah-olah Makam Bondan Kejawan 3. Sebelah barat Kota Yogya ( Jl Wates dkt SPBU) ada dusun Kejawen disana ada makan Bondan Kejawan Pahlawan Majapahit
perkawinan: 1.3.1. Dewi Retno Nawangsih
perkawinan:
perkawinan: 1.3.1. Dewi Retno Nawangsih
Orang Tua
 
== 3 ==
1. Ki Ageng Wonosobo /Syeh Ngabdullah
wafat: Plobangan-Selomerto-Wonosobo
== 3 ==
Anak-anak
Anak-anak
Cucu-cucu
Cucu-cucu

Peralatan pribadi
Bahasa lain