Prabu Silih Wangi / Raden Pamanah Rasa (Prabu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja) d. 1521

Dari Rodovid ID

Orang:70254
Langsung ke: panduan arah, cari
Prabu Siliwangi /Sri Baduga Maharaja Ratu Haji
Prabu Siliwangi /Sri Baduga Maharaja Ratu Haji
Marga (saat dilahirkan) Pajajaran
Jenis Kelamin Pria
Nama lengkap (saat dilahirkan) Prabu Silih Wangi / Raden Pamanah Rasa
Nama belakang lainnya Prabu Guru Dewataprana Sri Baduga Maharaja
Orang Tua

1. Rakryan Ningratkancana / Prabu Dewa Niskala / Raja Sunda [Sunda-Galuh] d. 1482

4. Nay Ratna Mayangsari / Ratu Banawati [Sunda]

Halaman-wiki [wk:Prabu Siliwangi|http://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja wk:Prabu Siliwangi]
[1][2][3][4][5][6][7]

Momen penting

kelahiran anak: 14. Munding Sari Ageung / Munding Dalem / Munding II / Prabu Munding Suria Ageung / Prabu Munding Wangi / Munding Sari (Ratu Bancana) [Pajajaran]

kelahiran anak: 19. Jaka Puspa Alias Guru Gantangan [Pajajaran]

kelahiran anak: 18. Dalem Manggu Larang [Pajajaran]

kelahiran anak: 13. R. Sake Alias Prabu Wastu Dewata [Pajajaran]

kelahiran anak: 17. R. Ne-Eukeun [Pajajaran]

kelahiran anak: 12. Munding Keleupeung / Munding Kelemu Wilamantri [Pajajaran]

kelahiran anak: 15. Prabu Layakusumah [Pajajaran]

kelahiran anak: 20. Nyai Lara Badaya [Pajajaran]

kelahiran anak: 16. Balik Layaran / Sunan Kebo Warna [Pajajaran]

kelahiran anak: 1. Raden Banyak Catra / Raden Kamandaka, Raja Pasir Luhur [Pajajaran]

kelahiran anak: 9. Dewi Surawati [Pajajaran]

kelahiran anak: 8. Sultan Surosoan [Pajajaran]

kelahiran anak: 2. Banyak Ngampar (Silihwarni) / Arya Gagak Ngampar [Pajajaran]

kelahiran anak: 11. Rd. Ceumeut / Raden Meumeut (Raden Ameut) [Pajajaran]

kelahiran anak: 10. Raden Tenga [Pajajaran]

kelahiran anak: 3. Retna Ayu Mrana [Pajajaran]

perkawinan: 2. Nyai Subanglarang / Dewi Kumalawangi (Puteri Subang Keranjang) [Sunda-Galuh] d. 1441

perkawinan: Kentringmanik Mayang Sunda ? (Nyimas Padmawati) [Sunda]

perkawinan: Ratu Anten [?]

perkawinan: 1. Ratu Ratnasih / Nyi Rajamatri (Ratu Istri Rajamantri) [Wretikandayun]

perkawinan: Nyai Ambetkasih [Cirebon]

perkawinan: Nyai Aciputih [Cirebon]

1423 kelahiran anak: 4. Walangsungsang / / Sri Mangana (Pangeran Cakrabuwana) [Pajajaran] b. 1423

1426 kelahiran anak: 5. Nyai Rara Santang / Hajjah Syarifah Mudaim [Pajajaran] b. 1426

1428 kelahiran anak: 6. Prabu Kian Santang / Raja Sangara [Pajajaran] b. 1428

1475c kelahiran anak: Dikalkulasi usianya 60 thn, naik tahta pada usia 46 tahun, menikah 1492, 7. Prabu Surawisésa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam) [Pajajaran] b. 1475c d. 1535

3 Juni 1482 - 1521 gelar: Raja Sunda Ke-35 bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata

1521 wafat: Rancamaya

Catatan-catatan

Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


Foto Patung Prabu Siliwangi

Foto Prabu Siliwangi / Sri Baduga Maharaja Ratu Haji / Prabu Jaya Dewata, diadopsi dari situs www.geheugenvannederland.nl, dimana dalam koleksinya memuat karya dari "Isidore Van Kinsbergen" (Bruges 1821–Batavia 1905) adalah pengukir Flem asal Belanda, yang mengambil foto arkeologikal dan budaya pertama orang Jawa selama periode Hindia Belanda pada abad ke-19. Pada saat tim arkeologi Belanda menemukan dan melakukan penggalian arkeologi di daerah Talaga, Cheribon (sekarang Talaga, Majalengka), Isidore Van Kinsbegen masuk didalamnya sebagai ahli ukir, foto dan budaya.

Sebagai ahli ukir, ahli foto dan ahli budaya tidak tertutup kemungkinan Isidore Van Kinsbergen orang pertama yang memberi nama patung temuannya dengan nama "Praboe Siliwangi", dengan analisa sebagai berikut:

  1. Di Asia Tenggara dikenal dengan istilah "DEWA RAJA" artinya konsep Hindu-Buddha yang memuja dan menganggap raja memiliki sifat kedewaan. Konsep ini terkait dengan sistem monarki yang menganggap raja memiliki sifat illahiah, sebagai dewa yang hidup di atas bumi, sebagai titisan dewa tertinggi, biasanya dikaitkan dengan Siwa atau Wishnu. Konsep ini terkait dengan gagasan India mengenai raja jagat cakrawartin. Secara politik, gagasan ini dilihat sebagai suatu upaya pengesahan atau justifikasi kekuasaan raja dengan memanfaatkan sistem keagamaan. Konsep ini mencapai bentuk dan wujudnya yang paling canggih di Jawa dan Kamboja, dimana monumen-monumen agung seperti Prambanan dan Angkor Wat dibangun untuk memuliakan raja di atas bumi;
  2. Sipembuat patung pada saat itu adalah orang ahli ukir dan juga ahli agama (Hindu/Budha) juga pengagung raja (Prabu Siliwangi), pada saat proses pembuatannya juga menyesuaikan dengan raut wajah dan perawakan Prabu Siliwangi, dan hasilnya adalah Patung Dewa yang menyerupai wajah Prabu Siliwangi yang berwajah Kesundaan.
  3. Oleh karena hal-hal diatas, mungkin tim arkeologi Belanda sudah mempertimbangkan konsep "Dewa Raja" dan menamakan patung-patung temuannya itu dengan "Praboe Siliwangi", "Ambet Kasih", "Soesoehoenan Telaga Manggoeng", "Batoro Goeroe", "Radhen Pangloerah", "Simbar Kentjana", dan lain-lain.

Sri Baduga Maharaja

Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi (Sunda: ᮞᮢᮤ ᮘᮓᮥᮌ ᮙᮠᮛᮏ atau ᮕᮢᮘᮥ ᮞᮤᮜᮤᮝᮍᮤ) (Ratu Jayadewata) putra Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana lahir 1401 M di Kawali Ciamis, mengawali pemerintahan zaman Pakuan Pajajaran Pasundan, yang memerintah Kerajaan Sunda Galuh selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan Pajajaran di Bogor mencapai puncak perkembangannya.

Dalam prasasti Batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis dari ayahnya Prabu Dewa Niskala putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Mayangsari putri Prabu Bunisora, yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewataprana. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda di Pakuan Bogor dari mertua dan uwanya, Prabu Susuktunggal putra Mahaprabu Niskala Wastu Kancana dari Permaisuri Ratna Sarkati putri Resi Susuk Lampung. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Kerajaan Sunda - Kerajaan Galuh dan dinobatkan dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun, rakyat Sunda kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran[butuh rujukan].

Prabu Siliwangi

Di Tatar Pasundan, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Niskala Wastu Kancana (kakeknya). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira". Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Arti nama Siliwangi

Nama Siliwangi adalah berasal dari kata "Silih" dan "Wawangi", artinya sebagai pengganti Prabu Wangi. Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja): "Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain. Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda". Prasasti Batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.

Biografi

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Niskala Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).

Orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Prabu Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Niskala Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).

Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Mahaprabu Niskala Wastu Kancana.

Kebijakan dalam kehidupan sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):

Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibu kota di Jayagiri dan ibu kota di Sunda Sembawa. Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang". Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.

Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibu kota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".

Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.

"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.

Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).

Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.

Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekadar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.

Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.

Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Ketika memerintah Prabu Siliwangi dikenal sebagai pemimpin yang menganut gaya kepemimpinan Egalitarianisme. Egalitarianisme sendiri memiliki arti sebagai paham yang memegang teguh azas kesetaraan dalam kehidupan sosial. hal tersebut sering digambarkan dalam berbagai literasi menenai Prabu Siliwangi.[1]

Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian:

"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa". (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama). Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2. Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka terlepas dari Pajajaran di Tatar Pasundan (Jawa Barat dan Banten).

Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati Istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.

Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menyerahkan diri dan masuk Islam.

Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang santri Syekh Quro).

Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran.

Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun Pagelaran (formasi tempur) karena Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.

Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberapa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun).

Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu:

Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi). Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa). Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.

Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Imperium Portugis Afonso de Albuquerque di Malaka yang ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai milik Kesultanan Samudera Pasai. Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.

Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya—Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara—diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).

Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are honest men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).

Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.

Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab Pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa Gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.

Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhunan di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya.

[sunting] Sumber-sumber

  1. http://yulian.firdaus.or.id/2005/09/23/sundapura/ -
  2. http://wisataziarahcikundul.blogspot.com/2012/12/silsilah-keturunan-dari-siliwangi.html -
  3. http://geheugen.delpher.nl/en/geheugen/view/een-koperen-beeld-praboe-siliwangi-telaga-bij-cheribon-isidore-kinsbergen?query=praboe+siliwangi&page=1&maxperpage=36&coll=ngvn&identifier=VKM01%3A1403-3790-68 -
  4. https://id.wikipedia.org/wiki/Sri_Baduga_Maharaja -
  5. https://id.wikipedia.org/wiki/Isidore_van_Kinsbergen -
  6. https://cipakudarmaraja.blogspot.com/2018/10/silsilah-dan-putra-putri-prabu-siliwangi.html -
  7. https://id.wikipedia.org/wiki/Dewaraja -

Dari kakek nenek sampai cucu-cucu

Kakek-nenek
Dyah Pitaloka Citraresmi
wafat: 4 September 1357, Bubat
Prabu Lingga Buana (Prabu Ragamulya Luhurprabawa / Prabu Maharaja / Prabu Wangi / Raja Sunda Galuh Kawali / Sang Mokteng Ing Bubat)
gelar: 22 Februari 1350 - 4 September 1357, Raja Sunda-Galuh Ke 30, di Kawali
wafat: 4 September 1357, Perang Bubat
Prabu Bunisora (Prabu Kuda Lalean)
gelar: Raja Sunda-Galuh Ke 31 (1357-1371)
wafat: 1371
Kakek-nenek
Orang Tua
1. Prabu Susuktunggal / Sang Haliwungan
gelar: 1382 - 1482, Raja Sunda-Galuh Ke-33 Kerajaan Sunda-Galuh terbagi 2 (Prabu Susuknunggal dan Prabu Dewa Niskala)
Ki Gendeng Sindang Kasih
pekerjaan: Juru Pelabuhan
1.Giridewata / Ki Gendeng Kasmaya
pekerjaan: Raja - Cirebon Girang / Sing Apura
Orang Tua
 
== 3 ==
Dewi Retna Pamekas / Ratu Ayu Kirana
lahir: adik kandung dari Raja Siliwangi Pajajaran;
perkawinan: Adipati Arya Baribin - Pajajaran
== 3 ==
Anak-anak
7. Prabu Surawisésa / Munding Laya Dikusuma (Ratu Samiam)
lahir: 1475c, Dikalkulasi usianya 60 thn, naik tahta pada usia 46 tahun, menikah 1492
perkawinan: Dewi Kinawati ? (Dewi Kania)
gelar: 1521 - 1535, Pajajaran, Bogor, Raja Pajajaran Ke 2
wafat: 1535
11. Rd. Ceumeut / Raden Meumeut (Raden Ameut)
penguburan: Desa Sindangwasa kecamatan Palasah Jatiwangi KM 51/54 Majalengka
15. Prabu Layakusumah
pekerjaan: Cicurug, Sukabumi, Raja Keprabuan Pakuan Raharja
perkawinan: 2. Nyi Putri Buniwangi/ Nyi Rambut Kasih
8. Sultan Surosoan
gelar: Adipati di Pesisir Banten atau Banten Girang.
Anak-anak
Cucu-cucu
Prabu Déwatabuanawisésa / Ratu Dewata
gelar: 1535 - 1543, Pajajaran, Bogor, Raja Pajajaran Ke 3
wafat: 1543, Pakuan
Cucu-cucu

Peralatan pribadi