Sri Maharaja Rakai Panangkaran / Sailendrawangsatilaka (Tejahpurnapane Panamkarana)
Dari Rodovid ID
Marga (saat dilahirkan) | Sunda-Galuh |
Jenis Kelamin | Pria |
Nama lengkap (saat dilahirkan) | Sri Maharaja Rakai Panangkaran / Sailendrawangsatilaka |
Nama belakang lainnya | Tejahpurnapane Panamkarana |
Orang Tua
♂ Rakryan Sanjaya / Rakryan Jambri / Rakryan Mataram (Prabu Harisdarma / Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) [Sunda] d. 754 | |
Halaman-wiki | wikipedia:Rakai_Panangkaran |
Momen penting
kelahiran anak: ♂ w Samaragwira / Sri Maharaja Rakai Warak (Raja Medang IV) [Syailendra]
770? gelar: Medang, Mataram, Prabu Medang II bergelar Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana
Catatan-catatan
Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar raja-raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih. Namanya ditulis setelah Sanjaya, yang diyakini sebagai pendiri kerajaan tersebut. Prasasti ini dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907, atau ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran.
Sementara itu, prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah prasasti Kalasan tahun 778. Prasasti ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah candi Buddha bernama Tarabhavanam (Buana Tara) untuk memuja Dewi Tara. Pembangunan ini atas permohonan para guru raja Sailendra. Dalam prasasti itu Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata Wangsa Sailendra”. Candi yang didirikan oleh Rakai Panangkaran tersebut sekarang dikenal dengan sebutan Candi Kalasan.
Periode pemerintahannya ditandai dengan giatnya pembangunan candi-candi beraliran Buddha Mahayana di kawasan Dataran Prambanan. Selain candi Kalasan, berapa candi yang diperkirakan dibangun atas prakarsa Rakai Panangkaran antara lain Candi Sari yang dikaitkan sebagai wihara pendamping Candi Kalasan, Candi Lumbung, Prasada Vajrasana Manjusrigrha (Candi Sewu), dan Abhayagiri Vihara (kompleks Ratu Boko).[1]
Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M menyebutkan tokoh bernama Tejahpurnapane Panamkarana (Rakai Panangkaran) mengundurkan diri sebagai Raja karena menginginkan ketenangan rohani dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan dengan mendirikan wihara yang bernama Abhayagiri Wihara, yang dikaitkan dengan kompleks Ratu Boko. Diperkirakan Raja Panangkaran telah wafat sebelum Candi Sewu dan Abhayagirivihara rampung, sehingga ia tidak sempat menyaksikan beberapa karyanya (Candi Sewu)
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu