Sunan Ampel / Raden Rahmatillah / Sayyid Ahmad Rahmatillah
Dari Rodovid ID
Marga (saat dilahirkan) | Alawi Ats-Tsani |
Jenis Kelamin | Pria |
Nama lengkap (saat dilahirkan) | Sunan Ampel / Raden Rahmatillah / Sayyid Ahmad Rahmatillah |
Orang Tua
♂ Sunan Gresik / Maulana Malik Ibrohim / Ibrahim Asmarakandi [Alawi Ats-Tsani] |
Momen penting
lahir: Sunan Ampel = dalam struktur genealogy disini adalah PANCER atau dari : ... Level 10 = Galih asem atau Sunan Ampel/Raden Rahmat/Sayyid Ahmad Rahmatillah bin Maulana Malik Ibrahim/Ibrahim Asmoro bin Syaikh Jumadil Qubro/Jamaluddin Akbar Khan bin Ahmad Jal
kelahiran anak: ♀ Ratu Asyikah [Alawi Ats-Tsani]
kelahiran anak: ♀ Nyai Ageng Maloka [Alawi Ats-Tsani]
kelahiran anak: ♂ Sunan Giri / Raden Satmoto / Kyai Ngarobi [Alawi Ats-Tsani]
perkawinan: ♀ Nyai Sitti Karimah [Tdk ada catatan]
perkawinan: ♀ Dewi Tjandrawati [Sngha Wardhana Bhre Paguhan]
1465 kelahiran anak: Level 1 = putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila., ♂ Sunan Bonang / Raden Maulana Makdum Ibrahim [Alawi Ats-Tsani] b. 1465
1470 kelahiran anak: ♂ Sunan Dradjat / Raden Qasim / Raden Syaifudin [Alawi Ats-Tsani] b. 1470
Catatan-catatan
Sunan Ampel
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Langsung ke: navigasi, cari Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.
Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil isteri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara. Dipati Hangrok telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan isteri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki [yang diduga adalah Raden Patah]. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Putri Pasai kemudian diserahkan sebagai isteri bagi putera raja Bali, yang wafat ketika Putri Pasai mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Putri Pasai kembali ke Majapahit, kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta ijin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristerikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai isteri oleh Sunan Kudus, sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa (Jeumpa?) permaisuri Prabu Brawijaya.
[sunting] Silsilah Sunan Ampel / Raden Rahmat / Sayyid Ahmad Rahmatillah, bin Maulana Malik Ibrahim / Ibrahim Asmoro, bin Syaikh Jumadil Qubro / Jamaluddin Akbar Khan, bin Ahmad Jalaludin Khan, bin Abdullah Khan, bin Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India), bin Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut), bin Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut), bin Ali Kholi' Qosam, bin Alawi Ats-Tsani, bin Muhammad Sohibus Saumi'ah, bin Alawi Awwal, bin Ubaidullah, bin Ahmad al-Muhajir, bin Isa Ar-Rumi, bin Muhammad An-Naqib, bin Ali Uraidhi, bin Ja'far ash-Shadiq, bin Muhammad al-Baqir, bin Ali Zainal Abidin, bin Imam Husain, bin Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra, bin Muhammad Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sejarah dakwah Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya. Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan isteri dari Sunan Kudus. Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Catatan : Dalam menyusun Silsilah Keluarga atau bagan Genealogy yang dipakai adalah pakem Budaya Jawa, disebut dengan Trah /= Keturunan. Hirarki (Trah/Keturunan) ditulis dengana level/urutan sampai dengan 10(sepuluh)level/urutan/graad), berdasarkan "Serat Piagem Sentana (gebookteakte)ngrewat sala-silahing ing Kasunanan Surakarta Adiningrat (PB)", yaitu dimulai/ditandai dari:
- Pancer = Trah adalah nama nenek moyang/leluhur yang dijadikan pedoman urutan
- Level/urutan 1 = Anak / putera
- Level/urutan 2 = Cucu
- level/urutan 3 = Buyut
- Level/urutan 4 = Canggah
- Level/urutan 5 = Wareng
- Level/urutan 6 = Udeg-udeg
- Level/urutan 7 = Gantung Siwur
- Level/urutan 8 = Gropak senthe
- Level/urutan 9 = Debog bosok
- Level/urutan 10 = Galih Asem.
Hal tsb kami pergunakan/dan nampak pada bagan stuktur di website http://id.rodovid.org/wk/....(karena system baku yang telah ditetapkan pihak Rodovid), Sebagaimana halnya nampak pada tanda warna back graund nama. Dalam susunan silsilah ini penyusun membakukan susunan pada Pancer laki-laki. Dengan demikian Trah/Keturunan SUNAN AMPEL yang terletak pada awal, hanya sampai ke 10 saja. Namun untuk alur anak perempuan setelah menikah dan kemudian beranak, maka anak-anaknya mengikuti Trah suaminya.
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu
perkawinan: ♂ Sunan Ampel / Raden Rahmatillah / Sayyid Ahmad Rahmatillah
perkawinan: ♀ Ratu Asyikah
perkawinan: ♀ Putri selir / Garwa ampil