1.1.15.4.5.1. Dalem Wiraha - Keturunan (Inventaris)

Dari Rodovid ID

Orang:908632
Langsung ke: panduan arah, cari
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
Bendera Kesultanan Mataram (wikipedia)
11/1 <?> 1.1.15.4.5.1. Dalem Wiraha [Kesultanan Mataram]
gelar: Umbul di Sukakerta

2

21/2 <1+?> 1.1.15.4.5.1.1 Rd. Wirawangsa or Rd Tmg Wiradadaha I [Wiradadaha]
gelar: 1641 - 1674, Boepati Soekapoera ke I
penguburan: Pasir Baganjing
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


ASAL-USUL

Terbentuknya Pemerintahan di Sukapura, berkaitan erat dengan kemunduran serta kehancuran dari kejayaan Majapahit di Jawa Timur. Karena berawal dari sanalah cikal bakalnya Sukapura. Adalah Kanjeng Sunan Seda Krapyak atau Sultan Jolang (Sultan Mataram II) mempunyai putera bernama Pangeran Kusuma Diningrat . Pangeran Kusuma Diningrat merupakan salah satu pewaris tahta kerajaan pada waktu itu. sewaktu terjadi perang saudara antara Pajang dan Mataram, Pangeran Kusumah Diningrat belum dewasa, untuk menyelamatkannya beliau di titipkan pada Sultan Demak. Sambil menunggu peperangan selesai, Pangeran Kusumah Diningrat mengembara mencari ilmu, dan sampailah di tanah Sunda.Tepatnya di kampung Cibadak Kecamatan Singaparna sekarang. ( versi lain Kampung Padarek, Kecamatan Cigalontang ?). Beliau mendapat julukan ‘Pangeran Dago Jawa’.

Setelah menetap beberapa lama, Pangeran Kusuma diningrat menikah dengan R.A. Sudarsah, puteri dari Pangeran Rangga Gempol cucu Pangeran Geusan Ulun Sumedang dan kemudian mempunyai 5 orang putera :

1. Seureupeun Manangel
2. Seureupeun Cibeuli
3. Seureupeun Cihaurbeuti
4. Seureupeun Dawagung
5. Seureupeun Cibuniagung

Sareupeun Cibuniagung mempunyai putera bernama Raden Wiraha yang menjadi Umbul di Sukakerta dan beristri Nyai Ageung Puteri dari Sareupeun Sukakerta yang ibunya adalah keturunan Galuh (Imbanegara). Raden Wiraha berputra 5 orang yaitu :

1). Raden Wirawangsa;
2). Raden Astawangsa;
3). Raden Pranawangsa;
4). Raden Narahita;
5). Raden Bagus Chalipah

Versi wikipedia ( Pangeran Kusumah Diningrat menikah dengan Rd. Ayu Sudarsah. Putera Pangeran Rangga Gempol (Cucu Pangeran Geusan Ulun dari Sumedang). Beliau menurunkan putera 5 orang antara lain :

  1. Seureupeun Manangel
  2. Seureupeun Cibeuli
  3. Seureupeun Cihaurbeuti
  4. Seureupeun Dawagung
  5. Seureupeun Cibuniagung (yang menurunkan Sukapura). Seureupeun Cibuniagung berputera :
 1. Rd. Wirahadiningrat (Entol Wiraha) 
 2. Nyi Ageng Rd. Wirahadiningrat menikah dengan putera dalem Sukakerta, bernama Brajayuda ( Baratajayuda ? ) Keturunan dari Srigading Anteg (terah galunggung). Beliau mempunyai putera lima orang, antara lain: Rd. Wirawangsa, dari beliau lah dimulai masa pemerintahan bupati sukapura.)

BERDIRINYA SUKAPURA DAN PERKEMBANGANNYA

Rd. Wirawangsa alias Rd. Tumenggung Wiradadaha diangkat menjadi Bupati Sukapura pertama dengan gelar Raden Tumenggung Wiradadaha, gelar yang diberikan Sultan Agung Mataram kepada putra Raden Wiraha yang pertama Raden Ngabehi Wirawangsa, Bupati Sukapura pertama (sekarang kota Tasikmalaya) karena telah berjasa menumpas pemberontakan Dipati Ukur Wangsanata (penguasa wilayah Priangan) tahun 1632. Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I. gelar tersebut diberikan Kanjeng Sultan tidaklah beralasan akan tetapi tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian.

Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama. Yang dapat menggembirakan hati Kanjeng Bupati bukan sekedar kabupaten saja namun terlebih lagi adalah negara (Sukapura) dengan isinya dimerdekakan oleh Kanjeng Sultan Agung hingga tujuh turunan.

Dengan kemerdekaan ini, rakyat tidak perlu membayar upeti setiap tahun kepada Mataram, sehingga tidak memberatkan rakyat. Wilayah yang dimerdekakan berjumlah 12 yaitu :

  1. . Sukakerta, Pagerbumi serta Cijulang
  2. . Mandala dan Kelapa Genep
  3. . Cipinaha dan Lingga Sari
  4. . Cigugur, Parakan Tiga (Pameungpeuk) dan Maroko
  5. . Parung
  6. . Karang
  7. . Bojongeureun
  8. . Suci
  9. . Panembong (Garut)
  10. . Cisalak
  11. . Nagara
  12. . Cidamar

Sepertinya Kanjeng Sultan Agung belumlah merasa cukup membalas budi kesetiaan Kanjeng Bupati, maka oleh beliau selain ke 12 wilayah diatas, diberikan tambahan 3 wilayah lagi dari 9 wilayah yang disita dari Dipati Ukur, wilayah tersebut adalah :

  1. . Saunggantang
  2. . Taraju
  3. . Malangbong

Jumlah 15 wilayah tersebut terdiri dari 300 desa dengan 890 kepala keluarga yang diperkirakan masing-masing mempunyai 5 anggota keluarga. Selain dari itu Kanjeng Bupati tidak habis-habisnya dihormati meskipun oleh masyarakat yang tidak termasuk dalam wilayahnya. Pengangkatan tersebut dinyatakan dalam piagem bertitimangsa 9 Muharam Tahun Alip.

PIAGAM PENGANGKATAN BUPATI SUKAPURA, BANDUNG DAN PRAKANMUNCANG DARI SULTAN AGUNG

Penget srat piagem *)

Ingsoen soeltan Mataram kagadoeh dening ki-ngabehi Wirawangsa kang prasatja maring ingsoen, soen djenengaken mantri agoeng toemenggoeng Wira-dadaha Soekapoera, toemenggoeng Wirangoenangoen Bandoeng, Tanoebaja Prakanmoentjang, kang sami prasatja maring ingsoen. Angadeg kandjeng soeltan angroewat kang tengen angandika dén pada soeka wong agoeng sadaja, asoerak pitoeng pangkattan sarta angliliraken gamelan; lan pasihan ratoe kampoeh belongsong ratna koemambang, doehoeng sampana kinjeng, lan rasoekan, lan kandaga, lan lantéh, lan pajoeng-bawat, lan titihan, sarta titijang, kawoelaning ratoe, wedana kalih welas desané wong tigang atoes, dén perdikakaken déning wong agoeng Mataram, kang kalebetaken ing srat Panembahan Tjirebon, pangéran Kaloran, pangéran Balitar, pangéran Madioen, panembahan Soeriabaija, papatih Mataram sekawan, toemenggoeng Wiragoena, toemenggoeng Tanpasisingan, lan toemenggong Saloran, toemenggoeng Singaranoe. Kala anoerat ing dina saptoe tanggal ping sanga woelan Moeharam taoen alip, kang anoerat abdining ratoe, poen tjarik.

Terjemahan :

Piagam dari kami sultan Mataram diberikan kepada Ki Ngabéhi Wirawangsa yang setia kepada kami, diangkat menjadi Mantri Agung Tumenggung Wiradadaha (untuk) Sukapura, Tumenggung Wiranagunangun (untuk) Bandung, Tanubaya (untuk) Parakan-muncang, yang sama-sama setia kepada kami. Berdirilah kangjeng sultan dan mengangkat tangan kanan (sambil) bersabda, semua pembesar bergembira lah, bersorak tujuh kali dan bunyikan gamelan; dan raja memberikan pakaian kebesaran berhiaskan ratna kumambang, keris berpamor capung, pakaian, kotak kebesaran, tikar, payung-bawat (payung kebesaran), kuda tunggang, dan abdi dalem, 12 wedana dan desa dengan penduduk 300 orang dibebaskan dari kewajiban terhadap pembesar Mataram, seperti yang ditetapkan dalam surat (piagam) Panembahan Cirebon, Pangéran Kaloran, Pangéran Balitar, Pangéran Madiun, Panembahan Surabaya, empat patih Mataram, (yaitu) Tumenggung Wiraguna, Tumenggung Tanpasisingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singaranu. Ditulis pada hari Sabtu tanggal 9 bulan Muharam tahun Alip, yang menulis abdi raja, jurutulis.

  • ) Dikutif dari K.F. Holle, “Bijdragen tot de Geschiedenis der Preanger-egentschappen”,

Selain Rd. Wirawangsa dijadikan Bupati, negara serta isinya diberi kemerdekaan. Pada saat pelantikan, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha Ke-I, diberikan Kanjeng Sultan hal tersebut tidak sembarangan diberikan tetapi berdasarkan sifat serta kepribadian Kanjeng Bupati, Wira artinya satria, dadaha artinya keberanian. Tidak lama kemudian dari semenjak menjadi Bupati, negaranya dipindahkan ke pelataran yang cocok untuk tempat tinggal Ratu yang bernama Sukapura tempatnya di Leuwi Lowa Kecamatan Sukaraja. Suka atau Soka yang artinya Tiang, Pura adalah Keraton. Dari sinilah mulai berdirinya Bupati Sukapura yang pertama.

Selama tanah Sukapura menjadi wilayahnya, Kanjeng Bupati Wiradadaha Ke I dengan ponggawa-ponggawanya tidak henti-hentinya berjuang untuk kesejahteraan dan kemakmuran negara. Begitupun dengan rakyatnya memandang kepada Beliau sebagai Bapak Pelindung. Maka, rakyat dan pimpinannya selalu sejalan dan saling mengerti kemauan masing-masing sehingga negara Sukapura pada saat itu ads peribahasa Negara Loh Jinawi rea ketan rea keton sugih dunia teu aya kakarungan, tur aman tina banca pakewuh dapat dicapai.

Allah yang maha penguasa, pengasih dan penyayang, hanya dari Allah lah tidak ada barang atau kekayaan yang langgeng/kekal, serta masing-masing sudah ditentukan kodrat. Kabupaten Sukapura yang sedang menikmati kebahagiaan, mendadak suram citranya. Yang menjadi penyebab adalah meninggalnya Kanjeng Dalem Wiradadaha I, pengayom negara Sukapura, Bupati yang telah mengorbankan dirinya dalam peperangan demi negara serta isinya, telah berpulang ke alam baka. Jenazah Kg. Bupati dimakamkan di Pasir Baganjing, oleh sebab itu setelah wafat beliau sering disebut “Dalem Baganjing”. Lamanya memegang tampuk ke-bupatian adalah 42 tahun dan pada saat wafat meninggalkan 28 putra/putri yaitu :

  1. Rd. Wangsadipura
  2. Rd. Kartijasa
  3. Rd. Djajamanggala
  4. Rd. Anggadipa
  5. Rd. Wangsadikusumah
  6. Nyi Rd. Ajoe
  7. Rd. Pranadjaja
  8. Rd. Ardimanggala
  9. Rd. Tjandradipa
  10. Nyi Rd. Doekoeh
  11. Rd. Digajasa
  12. Rd. Wirandana
  13. Rd. Gentoer
  14. Nyi Rd. Katempel
  15. Rd. Anggawangsa
  16. Nyi Rd. Wanadapa
  17. Nyi Rd. Pelang
  18. Nyi Rd. Parnati
  19. Nyi Rd. Adjeng
  20. Rd. Poespawidjaja
  21. Rd. Darmamanggala
  22. Rd. Puspamanggala
  23. Rd. Kartadipa
  24. Rd. Wangsataruna
  25. Nyi Rd. Djampang
  26. Nyi Rd. Purba
  27. Nyi Rd. Sampan
  28. Nyi Rd. Widuri
Penggantinya adalah putra nomer 3 bernama Raden Djajamanggala
32/2 <1> 1.1.15.4.5.1.2 Rd. Astrawangsa [Sumedang Larang]
43/2 <1> 1.1.1.4.5.1.3 Rd. Narahita [Sumedang Larang]
54/2 <1> 1.1.1.4.5.1.4 Rd. Pranawangsa [Sumedang Larang]
65/2 <1> 1.1.1.4.5.1.5 Rd. Bagus Halipah [Sumedang Larang]

3

111/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.5 Rd. Wangsadikusumah [Wiradadaha]
gelar: Penghulu
72/3 <2+?> 1.1.1.4.5.1.1.4 Rd. Djajamanggala or Rd Tmg Wiradadaha II . [Wiradadaha]
gelar: 1674 - 1674, Boepati Soekapoera ke II
wafat: 1674, Banjoemas, Sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat
penguburan: 1674, Pasir Huni kecamatan Sukaraja, Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”.
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA ke II Tahun 1674

(Raden Jayamanggala / Raden Tumenggung Wiradadaha II)

Sewaktu Rd. Jayamanggala menjadi Bupati pada tahun 1674, namanya menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha II, namun amat disayangkan sifat beliau serta budi dan kegagahannya tidak sempat disumbangkan kepada tanah air, karena sepulangnya pelantikan di Mataram, diwilayah Banyumas mendadak sakit dan kemudian wafat. Jenazahnya tidak langsung dimakamkan, namun langsung dibawa ke Sukapura dalam keranda/tambela dan dimakamkan di Pasir Huni kecamatan Sukaraja. Itulah mengapa Kg. Bupati sering disebut “Dalem Tambela”. Kanjeng Bupati meninggalkan 8 putra/putri yaitu :

1. Rd. Indramanggala
2. Rd. Widjanggana
3. Nyi Rd. Gandapura
4. Nyi Rd. Apiah
5. Nyi Rd. Kusumahnagara
6. Nyi Rd. Legan
7. Nyi Rd. Djanglangas
8. Rd. Madjadikara
namun karena belum ada yang pantas untuk menggantikannya, kekuasaannya diteruskan oleh adiknya bernama Rd. Anggadipa, putra ke 4 dari Kg. Dalem Wiradadaha I.
83/3 <2+?> 1.1.1.4.5.1.1.3 Rd. Anggadipa I or R Tmg Wiradadaha III or Dalem Sawidak . .. [Wiradadaha]
gelar: 1674 - 1723, Boepati Soekapoera ke III
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA ke III Tahun 1674 – 1723

(Raden Anggadipa / Rd. Tumenggung Wiradadaha III)


Sukapura ceria, jalan-jalan dihias, disetiap perempatan dibangun gapura dan dihiasi, setiap gapura dihiasi oleh daun beringin, mangle serta bubuai. Apalagi disekitar bangunan kaprabon yang megah sudah penuh hiasan yang membuat keceriaan itu ialah tiada lain, yaitu pelipur hati Sukapura beserta isinya karna pengganti Bupati II adalah Putra ke IV dari Kg. Bupati Wiradadaha I, bernama R. Anggadipa. Pada saat dilantik R. Anggadipa diganti namanya R. Tumenggung Wiradadaha III.

Cara memimpin negara serta perhatian pada rakyatnya mengikuti Kg. Dalem Wiradadaha I, namun sesuai dengan tabiat beliau yang kuat ke-Islamannya karena sedari kecil beliau menuntut ilmu ke Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji, dari Pamijahan yang dikeramatkan dan terkenal sampai kini. Dengan begitu keadaan seisi Sukapura pada zaman itu selain Kg. Bupati mensiarkan agama Islam, beliau juga mengikuti syariat Nabi Muhamad S.A.W., buah pemikiran serta apa yang dimiliki Kg. Bupati, negara bertambah tenteram raharja, dengan dibantu 4 putra yang setia kepada Kg. Wiradadaha III. Ke 4 putra masing-masing diberi kepangkatan patih dengan kewajiban yang berbeda;

  1. . Dalem. Joedanagara, tugasnya menjaga keamanan negara.
  2. . R. Anggadipa II yang bernama Dalem Abdoel, tugasnya memajukan pertanian dan irigasi yang manfaatnya dapat dirasakan sampai sekarang, sawah-sawah yang berhasil dibuka yang terkenal sampai kini, yaitu Leuwi Budah dan Koleberes dikecamatan Sukaraja sekarang, irigasi yaitu di Pamengpeuk, Sukapura yaitu Irigasi Cibaganjing dan Ciramajaya di Mangunreja.
  3. . R. Somanagara, tugasnya adalah sesuai dengan namanya, yaitu mengurus dan mengatur administrasi negara.
  4. . R. Indrataroena, tugasnya adalah mengurus dan mengatur keuangan negara.

Kg. Bupati Wiradadaha III, selain terkenal kekayaannya, pengetahuan serta ilmunya juga terkenal dengan banyak putra-putri, karena putra-putrinya saja ada 62 yaitu :

1. Rd. Joedanagara
2. Rd. Soebamanggala (Penerus Bupati)
3. Rd. Anggadipa/Dalem Abdoel
4. Rd. Mandoera
5. Nyi Rd. Radji
6. Rd. Soeriadinata
7. Rd. Indramanggala
8. Rd. Dipanagara
9. Rd. Tjandrakoesoemah
10. Rd. Indrataroena
11. Nyi Rd. Impoen
12. Nyi Rd. Idjah
13. Rd. Rarap
14. Rd. MS. Bagoes
15. Nyi Rd. Poespa
16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah
17. Nyi Rd. Dita
18. Rd. Djiwamanggala
19. Nyi Rd. Patradanta
20. Rd. Lingga(Legan)
21. Nyi Rd. Ardi
22. Rd. Arsabaja
23. Rd. Soetra
24. Rd. Tjandramanggala
25. Rd. Betok
26. Nyi Rd. Ika
27. Rd. Soemanagara
28. Nyi Rd. Koesoemakaraton
29. Rd. Indra Widjaja
30. Rd. Kertimanggala
31. Rd. Soebang
32. Rd. Wiradimanggala
33. Nyi Rd. Wiratsari
34. Rd. Abdoel Moh. Arip
35. Rd. Wiranagara
36. Rd. Tirtapradja
37. Rd. Mertamanggala
38. Nyi Rd. Djahah
39. Rd. Singadiprana
40. Nyi Rd. Soemanimbang
41. Rd. Radjamanggala
42. Rd. Djagasatroe
43. Rd. Singadimanggala
44. Rd. Daroes (Daroe)
45. Nyi Rd. Doeji ( Dewi)
46. Rd. Bima
47. Rd. Soemadimanggala
48. Rd. Karadinata
49. Rd. Najapoespa
50. Nyi Rd. Karimah
51. Rd. Bodong
52. Rd. Wangsamanggala
53. Rd. Indradinata
54. Rd. Ardimanggala
55. Rd. Tjandradinata
56. Rd. Kartadipa
57. Rd. Bagoes II ( Saloengan )
58. Rd. Soerajoeda
59. Rd. Djajamanggala
60. Rd. Kartamanggala
61. Rd. Natawatjana
62. Rd. Gandapradja

Itulah sebabnya beliau disebut “Dalem Sawidak” (Sawidak = 60)

Sewafatnya Kg. Bupati Wiradadaha III diganti oleh putra ke II bernama Rd. Soebamanggala. Bersambung…. ( sumber )
94/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.1 Rd. Wangsadipura [Wiradadaha]
105/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.2 Rd. Kartiyasa [Wiradadaha]
126/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.6 NR. Ayu [Wiradadaha]
137/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.7 Rd. Parnajaya [Wiradadaha]
148/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.8 Rd. Ardimanggala [Wiradadaha]
159/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.9 Rd. Candradipa [Wiradadaha]
1610/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.10 NM. Dukuh [Wiradadaha]
1711/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.11 RM. Dipayasa [Wiradadaha]
1812/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.12 Rd. Wirandanan [Wiradadaha]
1913/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.13 NR. Gentur [Wiradadaha]
2014/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.14 NR. Katimpal [Wiradadaha]
2115/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.15 Rd. Anggawangsa [Wiradadaha]
2216/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.16 NR. Manggapa [Wiradadaha]
2317/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.17 NR. Pelang [Wiradadaha]
2418/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.18 NR. Partati [Wiradadaha]
2519/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.19 NR. Ajeng [Wiradadaha]
2620/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.20 Rd. Puspawijaya [Wiradadaha]
2721/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.21 Rd. Darpa Tarumamanggala [Wiradadaha]
2822/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.22 Rd. Puspamanggala [Wiradadaha]
2923/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.23 Rd. Kartadipa [Wiradadaha]
3024/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.24 Rd. Wangsataruna [Wiradadaha]
3125/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.25 NR. Jampang [Wiradadaha]
3226/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.26 NR. Purba [Wiradadaha]
3327/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.27 Rd. Widuri [Wiradadaha]
3428/3 <2+?> 1.1.15.4.5.1.1.28 NR. Sampan [Wiradadaha]

4

501/4 <8+?> 16. Nyi Rd. Winadjeng Halimah / R. Ajeng Halimah / Nyi Rd. Ayu Salamah Binti Wiradadaha 3 [Wiradadaha]
lahir: Istri Ke 3
perkawinan:
perkawinan: <1> 5. Syekh Abdul Muhyi [Brawijaya V] b. 1650
352/4 <8+?> Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV / Dalem Pamidjahan [Wiradadaha]
gelar: 1723 - 1745, Boepati Soekapoera ke IV
wafat: Pamijahan
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA ke IV Tahun 1723-1745

(Rd. Soebamanggala / Rd. Tumenggung Wiradadaha IV)


Setelah Rd. Soebamanggala mengganti Ayahnya, namanya diganti menjadi Rd. Tumenggung Wiradadaha IV. Beliau terkenal sebagai Bupati penghulu atau pemimpin agama, karna sedari kecil beliau berguru kepada Panembahan Wali Yuloh Syeh Haji Abdoel Mohji di Pamijahan, kecamatan Karangnunggal.

Berkuasanya beliau tidak lama karena wafat, jenazahnya dimakamkan tidak jauh dari makam Syech Abdoel Mohji di Pamijahan oleh karena itu dirinya disebut “Dalem Pamijahan”. Selama Kg. Dalem menjabat sebagai bupati semua berjalan lancar dan mulus, namun sayangnya tidak mempunyai keturunan sebagai pengganti beliau. Keempat patihnya (lihat Sejarah Tasikmalaya bagian 2) masing-masing tidak bersedia menerima jabatan bupati, pada saat bermusyawarah saudara yang paling tua, yaitu Patih I bernama R. Joedanagara memberikan saran kepada saudara lainnya, yaitu mengingat serta mengikuti batinnya, tidak akan ada satu turunanpun diantara para saudara yang akan mampu menerima tampuk kebupatian Sukapura, kecuali dari turunan R. Anggadipa II alias “Dalem Abdoel”, (Patih II), karena dirinyalah yang banyak berjasa kepada Sukapura serta isinya pada zaman beliau. Setelah para saudara mendengarkan saran Dalem Joedanagara mereka tidak ragu lagi, langsung mengangkat R. Demang Setjapati putra Kg. Dalem Abdoel yang sejak kecil diasuh oleh Kg. Dalem Wiradadaha IV.

Raden Anggadipa/Dalem Abdoel berputra 14 orang yaitu :

1. Rd. Demang Setjapati
2. Rd. Anggadiwiredja
3. Rd. Anggapradja
4. Rd. Djajawiguna
5. Nyi Rd./ Katjinagara
6. Nyi Rd. Bandoe
7. Rd. Soeradiredja
8. Rd. Anggadipa
9. Rd. Sidjah
10. Nyi Rd. Djandipoera
11. Nyi Rd. Soemadikara
12. Nyi Rd. Gimbar
13. Nyi Rd. Soerianagara
14. Rd. Wiradrapa
363/4 <8+?> 1. Rd. Judanagara [Wiradadaha]
374/4 <8+?> 3. Rd. Anggadipa II / Dalem Abdoel [Wiradadaha]
385/4 <8+?> 4. Rd. Mandoera [Wiradadaha]
396/4 <8+?> 5. Nyi Rd. Radji [Wiradadaha]
407/4 <8+?> 6. Rd. Soeriadinata [Wiradadaha]
418/4 <8+?> 7. Rd. Indramanggala [Wiradadaha]
429/4 <8+?> 8. Rd. Dipanagara [Wiradadaha]
4310/4 <8+?> 9. Rd. Tjandrakoesoemah [Wiradadaha]
4411/4 <8+?> 10. Rd. Indrataroena [Wiradadaha]
4512/4 <8+?> 11. Nji Rd. Impoen [Wiradadaha]
4613/4 <8+?> 12. Nji Rd. Idjah [Wiradadaha]
4714/4 <8+?> 13. Rd. Rarap [Wiradadaha]
4815/4 <8+?> 14. Rd. MS. Bagoes I [Wiradadaha]
4916/4 <8+?> 15. Nji Rd. Poespa [Wiradadaha]
5117/4 <8+?> 17. Nji Rd. Dita [Wiradadaha]
5218/4 <8+?> 18. Rd. Djiwamanggala [Wiradadaha]
5319/4 <8+?> 19. Nji Rd. Patradanta [Wiradadaha]
5420/4 <8+?> 20. Nyi Rd. Lingga / Lengka / Legan [Wiradadaha]
5521/4 <8+?> 21. NR. Ardi [Wiradadaha]
5622/4 <8+?> 22. NR. Arsa Baya [Wiradadaha]
5723/4 <8+?> 23. NR. Sutra [Wiradadaha]
5824/4 <8+?> 24. Rd. Ganda Manggala [Wiradadaha]
5925/4 <8+?> 25. NR. Betok [Wiradadaha]
6026/4 <8+?> 26. NR. Ika [Wiradadaha]
6127/4 <8+?> 27. Rd. Somanagara [Wiradadaha]
6228/4 <8+?> 28. Nra. Kusumah Karaton [Wiradadaha]
6329/4 <8+?> 29. Rd. Indra Wijaya [Wiradadaha]
6430/4 <8+?> 30. Rd. Kartimanggala [Wiradadaha]
6531/4 <8+?> 31. NR. Subang [Wiradadaha]
6632/4 <8+?> 32. Rd. Wiramanggala [Wiradadaha]
6733/4 <8+?> 33. NR. Weratsari [Wiradadaha]
6834/4 <8+?> 34. Rd. Abdul Mhd Arip [Wiradadaha]
6935/4 <8+?> 35. 1.1.15.4.5.1.1.3.35 Rd. Wiranagara [Wiradadaha]
7036/4 <8+?> 36. 1.1.15.4.5.1.1.3.36 Rd. Tirtapraja [Wiradadaha]
7137/4 <8+?> 37. 1.1.15.4.5.1.1.3.37 Rd. Martamanggala [Wiradadaha]
7238/4 <8+?> 38. 1.1.15.4.5.1.1.3.38 NR. Jaliah [Wiradadaha]
7339/4 <8+?> 39. Sembah Dalem Sacaparana / Rd. Singadiprana [Wiradadaha]
7440/4 <8> 40. 1.1.15.4.5.1.1.3.40 NR. Sumanimbang [Wiradadaha]
7541/4 <8+?> 41. 1.1.15.4.5.1.1.3.41 NR. Rajamanggala [Wiradadaha]
7642/4 <8+?> 42. 1.1.15.4.5.1.1.3.42 Rd. Jaga Satra [Wiradadaha]
7743/4 <8+?> 43. 1.1.15.4.5.1.1.3.43 Rd. Singadimanggala [Wiradadaha]
7844/4 <8+?> 44. 1.1.15.4.5.1.1.3.44 Rd. Darus or Baru [Wiradadaha]
7945/4 <8+?> 45. 1.1.15.4.5.1.1.3.45 NR. Dewi [Wiradadaha]
8046/4 <8+?> 46. 1.1.15.4.5.1.1.3.46 NR. Buma Bima [Wiradadaha]
8147/4 <8> Ψ 46. [?]
8248/4 <8> Ψ 47. [?]
8349/4 <8> Ψ 48. [?]
8450/4 <8> Ψ 49. [?]
8551/4 <8> Ψ 50. [?]
8652/4 <8> Ψ 51. [?]
8753/4 <8> Ψ 52. [?]
8854/4 <8> Ψ 53. [?]
8955/4 <8> Ψ 54. [?]
9056/4 <8> Ψ 55. [?]
9157/4 <8> Ψ 56. [?]
9258/4 <8> Ψ 57. [?]
9359/4 <8> 58. RM. Embah Dalem Soeba Joeda / Soera Joeda [Wiradadaha]
9460/4 <8> 59. Rd. Dajamanggala [Wiradadaha]
9561/4 <8> 60. Rd. Kartamanggala [Wiradadaha]
9662/4 <8> Raden Tirta Pradja [Dalem Sawidak]

5

981/5 <73> Nyi Raden Ayu Bahta (Putri Dalem Sacaparana bin Wiradadaha 3) [Wiradadaha]
lahir: Istri Ke 1
perkawinan: <1!> 5. Syekh Abdul Muhyi [Brawijaya V] b. 1650
1042/5 <71> Raden Nurjen [Nurjen]
lahir: Sukapura
wafat: Sukapura
1053/5 <96> Raden Mochammad Nur Widjaja [Dalem Sawidak]
wafat: Wafat ketika di Mekkah
974/5 <35> Rd. Setjapati / Kg. Tumenggung Wiradadaha V [Wiradadaha]
gelar: 1745 - 1747, Boepati Soekapoera ke V
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – V Tahun 1745-1747

(Rd. Setjapati/ Kg. Tumenggung Wiradadaha V)


Setelah R. Demang Setjapati memegang tampuk ke-bupatian namanya berganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha V, namun nama tersebut lebih termasyur dengan Kg. Dalem Tumenggung Setjapati, yang merupakan nama yang didapat dari buyut Ibu bernama R. Demang Setjapati I, putra dari Sunan Batuwangi yang termasyur menjadi Senopati di Mataram.

Rd. Demang Setjapati berputra 10 orang yaitu :

1. Nyi Rd. Gandalarang
2. Rd. Djajanggadiredja
3. Rd. Indranagara
4. Rd. Wiradiredja
5. Rd. Satjadikusumah
6. Nyi Rd. Winari
7. Nyi Rd. Nimbang
8. Nyi Rd. Djaleha
9. Nyi Rd. Landjang
10. Rd. Panimba
Beliau menjadi Bupati tidaklah lama karena wafat, kemudian digantikan oleh Putra ke II, yaitu R. Djajanggadiredja.
995/5 <50+1> 10. Kiai Bagus Muhammad [Azmatkhan]
1006/5 <50+1> 11. Nyi Raden Siti [Azmatkhan]
1017/5 <50+1> 12. Nyi Raden Ajeng [Azmatkhan]
1028/5 <93> RM. Embah Dalem Indrayuda [Wiradadaha]
1039/5 <95> 1. Rd. Djajamanggala [Wiradadaha]

6

1131/6 <104> Raden Raksadisuta [Raksadisuta]
lahir: Sukapura
wafat: Sukapura
1072/6 <97> Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI [Wiradadaha]
gelar: 1747 - 1765, Boepati Soekapoera ke VI
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VI Tahun 1747-1765

(Rd. Djajanggadiredja/Kg. Tumenggung Wiradadaha VI)


Nama Rd. Djajanggadiredja diganti menjadi Kg. Tumenggung Wiradadaha VI. Pada zaman beliaulah Sukapura mulai mendekatkan diri dengan Kompeni (VOC). Alasannya karena beliau ingat pada pesan Kg. Sultan Agung bahwa kemerdekaan Sukapura hanya sampai pada turunan ke 7, jadi beliau merasa tidak akan lama lagi Kompeni akan menguasai seluruh tanah Priangan.

Setelah beliau berselisih pendapat dengan para patihnya beliau mengajukan pengunduran diri, kemudian menjadi Begawan dikampung Ciwarak, Distrik Mandala zaman dulu. Patih yang tidak sejalan dengan bupati dicopot kepangkatannya dan dibuang ke Selong (Ceylon/Srilangka).

Rd. Djajanggadiredja berputra 3 orang yaitu :

1). Rd. Djajamanggala;
2). Nyi Rd. Kartiwinagara;
3). Nyi Rd. Kartakusumah.
1063/6 <98+1> 3. Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim / Sunan Cipager [Azmatkhan]
== HUBUNGAN DENGAN SUNAN WANAPERIH ==

Sunan Wanaperih atau Pangeran Salingsingan atau Raden Aria kikis merupakan putra sulung dari Prabu Pucuk Umum dari Ratu Sunyalarang (putri Sunan Parung, saudara sebapak Ratu Pucuk Umun suami Pangeran Santri) dan menjadi Raja di Kerajaan Talaga Manggung pada tahun 1553-1556 Masehi, Prabu Pucuk Umum atau Raden Rangga Mantri yang merupakan cicit Raja Pajajaran Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja. Sunan Wanaperih mendirikan pesantren tertua di Majalengka serta memindahkan Ibukota Kerajaan Talaga, dari Sangiang ke Wanaperih yang termasuk wilayah Desa Kagok saat ini.

Setelah Ratu Sunyalarang meninggal dunia, Arya Kikis atau Sunan Wanaperih mendirikan pesantren dan mendatangkan guru mengaji Syekh Sayyid Faqih Ibrahim yang merupakan putra Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasikmalaya dikenal dengan Sunan Cipager makamnya berjarak 1 kilometer dari sini atau

Masa-masa pemerintahan Sunan Wanaperih diwarnai dengan perkembangan Islam yang pesat. Pada masa kepemimpinannya seluruh rakyat di Talaga Manggung telah menganut agama Islam dan agama Islam semakin berkembang karena Sunan Wanaperih berputra 6 orang yaitu Dalem Cageur, Dalem Kulanata, Apun Surawijaya, Ratu Radeya, Ratu Putri dan Dalem Wangsa Goparana, keturunannya turut menyebarkan Islam bahkan sampai ke luar wilayah Majalengka.

Ratu Radeya menikah dengan Arya Saringsingan, sedangkan Ratu Putri menikah dengan anak Syekh Abdul Muhyi dari Pamijahan Tasik yaitu Syekh Sayyid Faqqih Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Cipager dan mereka menjadi penyebar Islam disamping putranya Dalem Wangsa Goparana yang pindah ke Sagala Herang Cianjur dan keturunannya menjadi trah Bupati Cianjur seperti Bupati Wiratanudatar I (Dalem Cikundul) dan seterusnya.

Pada tahun 1550 M. Pada generasi kedua masa pemerintahan Islam Talaga, sepeninggal Ratu Parung (Ratu Sunyalarang), Talaga dipimpin oleh Raden Aria Kikis (Sunan Wanaperih) putera kedua Ratu Parung (Ratu Sunyalarang). Arya Kikis adalah seorang Senapati dan Da'i Islam yang handal. Dia mewarisi ketaatan yang tulus, ilmu-ilmu kanuragan dan ilmu-ilmu keislaman dari Sunan Gunung Djati. Salah satu cucu dia adalah Raja Muda Cianjur yang dikenal dengan Kanjeung Dalem Cikundul.

Hubungan Demak dan Cirebon

Diawali dangan ikut campurnya Demak untuk menarik upeti dari Talaga melalui Cirebon, sedangkan kondisi rakyat Kerajaan Talaga yang sangat memerlukan perhatian pemerintah (lagi susah), akhirnya permintaan Cirebon dan Demak untuk menarik upeti dari Talaga "ditolak". Selanjutnya, dengan tiba-tiba saja pasukan Cirebon yang dibantu Demak menyerang Talaga. Dengan demikian terjadilah peperangan hebat antara Pasukan Talaga yang dipimpin langsung oleh Senopati Aria Kikis melawan pasukan penyerobot dari Cirebon dan Demak. Di medan laga sekalipun prajurit-prajurit Kerajaan Talaga yang dibantu ketat oleh puragabaya serta pendekar-pendekar dari padepokan-padepokan dan pesantren-pesantren Islam itu jumlah pasukan dan senjatanya lebih kecil dibanding jumlah serta kekuatan para aggresor, akan tetapi pasukan Talaga dengan penuh semangat dan patriotisme tetap mengadakan perlawanan.

Dengan teriakan dan gaung Allahu Akbar, serentak pasukan Talaga dengan kecepatan dan kesigapan yang luar biasa menerjang lawannya dan terus menerus mengkikis habis para aggressor yang datang menyerang tanpa kesopanan dan tatakrama itu. Syukurlah bahwa akhirnya kekuatan para penyerobot itu dapat dilumpuhkan dan semua pasukan Cirebon dan Demak dapat diusir keluar dari wilayah Kerajaan Talaga

Kesepakatan Keraton Ciburang

Karena peristiwa itu Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon, Syarif Hidayatullah serta merta datang ke Talaga dan disambut secara khidmat dan hormat oleh Pangeran Satyapati Arya Kikis, Senapati Kerajaan Talaga, Sang Sunan Wanaperih; tidak urung dengan mendapatkan penghormatan besar dari para prajurit, puragabaya, para pendekar dan rakyat kerajaan Talaga serta Galuh Singacala. Sesuai dengan kesepakatan pada musyawarah di Keraton Ciburang yang diselenggarakan oleh para Raja dari Galuh beberapa waktu yang silam, yang menyatakan bila Kanjeng Waliyullah sendiri mengucapkan titahnya, mereka semua akan tumut kepada Kanjeng Sinuhun Cirebon, Syarif Hidayatullah.

Ternyata kesepakatan di Keraton Ciburang itu dengan takdir Allah terkabul juga. Pada saat itulah Kanjeng Sinuwun Sunan Gunung Jati Cirebon bersabda; Bahwa peperangan itu sungguh ditakdirkan Allah; tetapi bukan merupakan perang agama, sebab di Jawadwipa hanya pernah ada satu perang agama, yaitu antara Demak dan Majapahit. Terjadinya perang Talaga hanya karena tindakan keliru pasukan Cirebon dan Demak. Dalam riwayat lain berkata : “Perang dengan telaga berawal dari masalah sepele, yaitu perselisihan antara Demang Talaga dan Tumenggung ( Caruban ) Kertanegara akibat salah paham. Mereka berkelahi dan Demang Talaga terbunuh dalam perkelahian itu. Kematian Demang Talaga ternyata telah membuat marah Yang Dipertuan Talaga, Prabu Pucuk Umun, dan putera mahkota, Sunan Wanaperih (Pangeran Salingsingan / Raden Aria kikis) . Kabarnya, mereka dihasut oleh Rsi Bungsu, yang menuduh peristiwa tewasnya Demang talaga itu didalangi oleh yang Dipertuan Caruban. Lalu, pasukan Talaga disiapkan untuk menyerbu wilayah Caruban.”

Kemudian Sinuwun Cirebon mendamaikannya dan Sinuwun Syarif Hidayatullah mengizinkan kepada Pangeran Aria Kikis untuk beruzlah dan berkholwat (riyadhah dan mujahadah) di kampungnya yaitu di Leuweung Wana yang selanjutnya disebut Wanaperih, dengan hasrat untuk mendalami hakikat ajaran Agama Islam sedangkan kerajaan Talaga tetap berdiri secara mandiri, adapun kepemimpinannya diayomi oleh Kanjeng Waliyullah, Sunan Gunung Djati.
1084/6 <98+1> 1. Syekh Abdullah [Azmatkhan]
1095/6 <98+1> 2. Dalem Bojong [Azmatkhan]
1106/6 <98+1> 4. Nyi Madya Kusumah [Azmatkhan]
1117/6 <102> RM. Eyang Sasti [Wiradadaha]
1128/6 <103> 1. Rd. Kartamanggala II [Wiradadaha]
1149/6 <105> Raden Ama Widjaja [Dalem Sawidak]

7

1191/7 <113> Raden Wirakusumah [Wirakusumah]
lahir: singaparna
wafat: Singaparna
1152/7 <107> R. Adipati Wiratanu Baja (Dalem Pasir Tando ) [Wiradadaha]
gelar: 1765 - 1807, Bupati Soekapoera, ke VII / Wiradadaha VII
wafat: 1807, Pasirtando
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VII Tahun 1765-1807

(R.Djajamanggala ke II / Adipati Wiratanoebaja / Kg. Dalem Wiradadaha VII / Dalem Pasir Tando)

Setelah Kg. Bupati Wiradadaha VI mengundurkan diri, oleh Sri P.K.T. Petrus Albertus van der Parra (1761-1765), kedudukannya digantikan oleh putra sulungnya, yaitu R.Djajamanggala ke II yang diganti namanya menjadi Kg. Dalem Wiradadaha VII, karena pada saat itu Kompeni sudah berkuasa diseluruh tanah Priangan, pada saat itu beliau baru berusia 18 tahun, dalam menjalankan pemerintahan dengan restu Kompeni beliau didampingi oleh Kg. Eyang dari Ibu (R. Ayu Ganda Wiresa), yaitu Dalem Tumenggung Wiratanoebaja, Regent Parakanmuncang ke III, sampai beliau berumur 22 tahun.

Pada saat pemerintahan Kompeni Kabupaten Sukapura berada dibawah Keresidenan Cirebon. Sewaktu pimpinan ada dibawah Residennya, yaitu Peter de Beck, ia mengetahui bahwa Kg. Dalem Wiradadaha VII, seorang Bupati yang ahli mengatur negara, oleh karena itu beliau diberi gelar Adipati. Pada saat menerima gelar tersebut, Kg. Bupati teringat pada kebaikan hati Kg. Eyang Bupati Parakanmuntjang ke III, yang sudah membimbing dan mendampingi pada saat beliau masih kecil. Untuk itu, pada saat beliau dilantik menjadi Adipati pada tahun 1800, namanya diganti R. Adipati Wiratanoebaja.

Pada tahun 1807, Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat jenazahnya dimakamkan di Pasir Tando, meninggalkan putra-putri sebanyak 37 yaitu :

1. Nyi Rd. Panggoengnagara
2. Nyi Rd. Somakartawan
3. Nyi Rd. Poerwakoesoemah
4. Rd. Djajanggadiredja
5. Rd. Anggadipa
6. Rd. Bradjanagara
7. Nyi Rd. Siti Salmah
8. Rd. Wangsajoeda
9. Rd. Soerajoeda
10. Nyi. Rd. Tedja
11. Rd. Wiramanggala
12. Rd. Tanoewangsa/Dalem Danoeningrat
13. Nyi Rd. Wati Angsanagara
14. Rd. Gandakoesoemah
15. Rd. Tanoeredja
16. Rd. Diparedja
17. Nyi Rd. Nimbang
18. Nyi Rd. Saridjem
19. Rd. Moh Djapar
20. Nyi Rd. Ganibah
21. Nyi Rd. Gandanagara
22. Rd. Hidjad
23. Rd. Ardikoesoemah
24. Nyi Rd. Ondan
25. Rd. Wiranagara
26. Nyi Rd. Rijanagara
27. Nyi Rd. Arsabaja
28. Nyi Rd. Basi
29. Nyi Rd. Ratnanimbang
30. Rd. Parnawangsa
31. Rd. Dg. Nawatadiredja
32. Nyi Rd. Ratnainten
33. Rd. Raksadiredja
34. Rd. Bradjadiguna (Wadana Cidamar/Cidaun)
35. Nyi Rd. Habijah
36. Rd. Soemajuda
37. Rd. Soerjadiredja
1163/7 <111> RM. Ardipura [Wiradadaha]
1174/7 <112> 1. Rd. Solihin [Wiradadaha]
1185/7 <106+2> Wargakusumah [Majalengka] 1206/7 <114> Raden Atja Widjaja [Dalem Sawidak]

8

1271/8 <119> Nyai Raden Muliakusumah [Muliakusumah]
lahir: singaparna
wafat: Singaparna
1212/8 <115+?> 34. R. Braja Diguna / R. Muhammad (Sembah Dalem Cidamar Tahun 1761–1836) [Wiradadaha]
lahir: 1761, Soekapoera
gelar: 1811 - 1821, Wedana, Cidamar
wafat: 1836, Panyindangan, Cidamar
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


SEJARAH CIDAMAR

A. Asal Mula Cidamar

Kampung tertua di cidamar adalah didaerah Cipanglay, karena dahulu kampung ini merupakan kampung yang aman. Disana sebelumnya hanya terdapat dua rumah didaerah Selokan ( Sekarang dibuat area persawahan ), Cipanglay. Selanjutnya kedua rumah tersebut berkembang dan dipindah dari selokan ke pusat Cipanglay yang ada sekarang. Nama yang pertama kali disematkan untuk wilayah Cidaun adalah Cidamar. Cidamar dulu merupakan kawedanaan, yaitu Desa Cidaun, Kewedanaan Cidamar, Kec. Cidaun,sedangkan sekarang Cidamar terbalik menjadi desa, yaitu Des. Cidamar, Kec. Cidaun, Kab. Cianjur.

Digantinya Desa Cidaun menjadi Desa cidamar pada tahun 1980 yaitu Desa Cidaun waktu difusi dari 2 Desa menjadi 3 Desa, cikareo dan cidaun di bagi menjadi 3 desa. Yaitu desa cidamar, desa kertajadi dan desa wangun (wangun jaya sekarang) dan dari situlah nama cidamar berasal hususnya desa cidamar, sedangkan cidaun sudah ada sejak tahun 1600-an dan dulu disini juga sudah ada perkampungan tetapi belum mempunyai nama baik desa kecamatan maupun kewadanaan. Semenjang tahun 1800-an bersatu menjadi satu padaleman pada tahun 1620 jumlah penduduk cidaun sebanyak 1870 orang. Kemudian pada tahun 1811 di bentuklah satu pemerintahan yang di sebut dengan padaleman, sedangkan yang membuka sejarah cidamar berasal dari daerah sukapura putranya R.Jaya Manggala yang bernama R.Braja Diguna, yang didampingi oleh saudara saudaranya diantaranya yaitu : R. Baja Diguna dan R. Brajantaka.

Dalam sistem pemerintahannya R. Braja Diguna ( Eyang Semah Dalem ) menjadi dalem dari tahun 1811-1821, R. Braja Diguna disemayamkan/dimakamkan Di Panyindangan, sedangkan R. Baja Diguna ( Eyang Ngabehi ) dibidang perekonomian yaitu yang pertama kali membuat saluran air atau selokan dan juga lahan persawahan, Eyang Ngabehi disemayamkan didaerah Erang, sedangkan R. Brajantaka ( Eyang H. Kudratullah ) dibidang keamanan dan ia dimakamkan di Tegal Soreal. Yang kemudian pada tahun 1821 diturunkan oleh Belanda menjadi Kawadanaan, yaitu Wadana Munggaran R. Indra Wiguna bersama putranya yaitu R. Pringga Wijaya ( 2 periode ) kemudian setelah habis periode R. Pringga Wijaya ditunkan lagi menjadi Kecamatan yaitu Kecamatan Cidaun. Yang mejadi Camat pertama di Cidaun adalah H. Martado sedangkan Mentri Polis atau petingginya yaitu Singajaya.

Pada waktu Belanda dipimpin oleh Deandles Belanda diruntuhkan oleh Inggris yang dipimpin oleh Gubernur Raples yaitu yang mendirikan istana di kebun raya bogor. Pada tahu 1811, Indonesia mengalami peperangan dan pada waktu itu sultan Cirebon dan Pajajaran Ikut perang melawan Belanda, karena sultan Cirebon dan pajajaran itu kalah persenjataan ketika melawan Belanda kemudian sultan Cirebon dan Pajajaran meminta bantuan kepada kerajaan Mataram. Pada abad ke 17 pengaruh kerajaan Mataram mulai menyebar dan memasuki wilayah Jawa Barat yang kemudian Sutan Mataram mengutus 2 rombongan untuk menyelamatkan wilayah priangan, batas wilayah priangan sampai Citarum, dua rombongan yang diutus ke Cidaun oleh sultan Mataram itu, yaitu R. Braja Diguna dan R. Brajantaka. Sedangkan R. Arya Gajah diutus ke wilayah Bandung. Yang kemudian munculnya budaya didaerah Cidaun khususnya wilayah pemerintahan. Jadi yang pertama membuka wilyah Cidaun yaitu orang orang Banten. Sedangkan yang membuka Pemerintahannya yaitu orang orang Sukapaura.


B. Keadaan Cidamar pada Masa itu

Pada saat terjadi peperangan antara VOC dengan Kediri didaerah Sunda Kelapa, akibat dari peperangan tersebut terjadi kerusakan yang parah didaerah Sunda Kelapa, dan untuk mengisi kekosongan baik penduduk dan hartanya, mereka ( VOC ) datang kedaerah Cidamar dan merusuh disana. Mereka menculik orang orang Cidamar dan membawa serta harta mereka.

Setelah Mataram mendengar hal tersebut, maka diutuslah Eyang Nur Hamin yang ditemani oleh istrinya Eyang Elang. Mereka mengemban tugas untuk mengamankan daerah tersebut. Eyang Nur Hamin mempunyai beberapa keturunan yang menjadi pejabat pejabat di Cidamar diantaranya Eyang Wija ( jogjogan ), Eyang Harda Diwangsa, Eyang Patra Dikusuma, Eyang Pitri ( Gunung Sepuh, Hulu Sungai Cidamar ), dan Eyang Yudarajat ( Cipanglay ). Keturunan Eyang Nur Hamin inilah Yang menjadi pembuka daerah cidamar. Setelah itu muncul lagi gerombolan Amu Hawuk dan Pangeran Genjreng yang merusuh didaerah Cidamar, Eyang Nur Hamin bergegas untuk mengamankan kampung tersebut. Setelah disara daerah tersebut aman Eyang Nur Hamin pergi dari daerah cidamar dan dikatakan Eyang Yudarajatlah yang tinggal dicidamar dan meninggal dicipanglay.

C. Ikhtisar periodisasi perkembangan cidaun - cidamar

Berdasarkan pada penuturan narasumber, maka kami membuat ikhtisar periodisasi perkembangan masyarakat cidaun berdasarkan perkiraan tahun kejadiannya sebagai berikut :

  1. 1980 adalah tahun pergantian dari desa cidaun ke desa cidamar, pada masa ini terjadi difusi cikareo dan cidaun dibagi menjadi 3 desa yaitu : desa cidamar, desa kertajadi dan desa wangun. Sejak masa inilah disebut desa cidamar.
  2. 1600-an telah ada perkampungan diwilayah cidaun hanya saja belum diberi nama cidaun.
  3. 1800-an dibuatlah satu pemerintahan yang disebut kedaleman keturunan yaitu R. Braja Diguna atau sering disebut Eyang Sembah Dalem ( Dalem 1811 – 1821 ), R. Baja Diguna ( Eyang Ngabehi ) yang bergerak dalam bidang pertanian dan Brajantaka ( Eyang H. Kodratullah ) yang kuburannya di Tegal Soreal yang bertugas dalam bidang pertanian.
  4. Ketika tahun 1579 kerajaan Pajajaran mengalami keruntuhan, maka terpecahlah masyarakat pajajaran dibagi 2 : ada yang takluk kepada kerajaan Banten sehingga masuk Islam, ada yang mengungsi kewilayah pesisir Selatan hingga mereka turun kewilayah Pelabuhan Ratu sebagai nama yang disematkan untuk mengenang kejayaan Pajajaran dimasa lalu.
  5. 1821 status kedaleman Cidamar dilengserkan oleh Belanda menjadi berstatus Kewadanaan dengan Wadana pertama bernama R. Indra Wijaya yang dikuburkan di Lembah Luhur, kemudian dilanjutkan oleh R. Pringga Wijaya. Kemudian setelah 2 periode diperintah oleh 2 Wadana status kewadanaan diturunkan lagi menjadi Kecamatan Cidaun, Camat pertamanya adalah H. Martado dengan Mantra Polisi bernama Singajaya.
1223/8 <115> 5. Rd. Anggadipa II / Kg. Adipati Wiradadaha VIII [Wiradadaha]
gelar: 1814 - 1837, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke VIII
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – VIII Tahun 1807-1811 dan 1814-1837

(Rd. Anggadipa / Kg. Adipati Wiradadaha VIII)

Perpindahan Ibukota Kabupaten Sukapura ke Manonjaya (1834).

Setelah Kg. Adipati Wiratanoebaja wafat pada tahun itu juga diganti oleh putranya yang ke 5, bernama R. Demang Anggadipa atau Kg. Dalem Wiradadaha VIII, Karena prestasinya, ditahun 1815 oleh Resident Walken Berg, Kg. Bupati dianugerahkan gelar Adipati. Tugas Kg. Bupati tiada lain adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya, yaitu dengan mengolah tanah agar negara tidak kekurangan pangan. Namun pada masa itu, sesuai dengan permintaan pemerintah (Belanda) sawah-sawah harus ditanami Tarum (pohon Nila).

Kemauan beliau yang begitu keras, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Kg. Bupati, karena khawatir rakyatnya akan kekurangan pangan.

Radén Demang Anggadipa alias Radén Tumenggung Wiradadaha VIII (1807-1811) dipecat dari jabatannya, karena ia tidak melaksanakan perintah penanaman nila di sawah sebagai pengganti kopi. Bupati Sukapura menolak perintah tersebut, karena jika sawah ditanami nila, para petani akan kehilangan penghasilan padi dan palawija. Akibat sikap Bupati Sukapura tersebut, Kabupaten Sukapura kemudian dihapuskan. Daerahnya digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Limbangan yang diperintah oleh Bupati Radén Tumenggung Wangsareja (1805-1813).

Sebagian daerah Limbangan, termasuk daerah bekas Kabupaten Sukapura, dibagi-bagi kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang (Besluit tanggal 2 Maret 1811). Penggabungan daerah itu dimaksudkan untuk kepentingan produksi kopi khususnya dan eksploitasi ekonomi pada umumnya.

Meskipun begitu Kg. Bupati tidak kecewa dan penasaran, karena beliau merasa sudah puas berkorban untuk kepentingan negara serta rakyatnya. Setelah berhentinya Kg. Wiradadaha VIII, Kabupaten Sukapura diganti pimpinan oleh Kg. Dalem Surjadilaga yang termasyur dengan sebutan “Dalem Taloen”, keturunan leluhur Sumedang. Latar belakang pemerintah Belanda mengangkat Kg. Dalem Taloen, tiada lain adalah karna jasa-jasanya terhadap pemerintah Belanda, maka tidak diragukan lagi bahwa permintaan menanam tarum (pohon nila) di tanah Sukapura pasti akan terlaksana. Setelah dua tahun lamanya Kg. Dalem Taloen bertahta di kabupaten Sukapura, beliau memohon untuk dipulangkan ke Sumedang, karena tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah Belanda.

Pemerintah Belanda terus berusaha untuk melaksanakan tujuannya, akhirnya Sukapura diserahkan ke Kg. Bupati Limbangan (Garut), dengan permintaan agar kebun Tarum tetap dilaksanakan. Inipun tidak tercapai, karena beliau tidak sanggup memenuhi apa yang diinginkan oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya terpikir oleh pemerintah Belanda, bahwa permintaannya tidak akan terlaksana, karena tidak sesuai dengan kemauan rakyat.

Singkat cerita, pemerintah Kabupaten Sukapura dibawah Kg. Dalem Limbangan (Garut), bermusyawarah dengan Kg. Dalem Sukapura (Wiradadaha III) yang telah diberhentikan, memohon agar Sukapura sebelah barat ditanami tarum (pohon nila) dan dibangun pabrik-pabriknya dengan perjanjian (persyaratan), bahwa bilamana pekerjaan telah berhasil, tanah Sukapura akan dikembalikan lagi.

Tanpa menunggu lagi, rakyat Sukapura dengan keikhlasannya bersama memenuhi permintaan pimpinannya (Wiradadaha VIII), dalam waktu singkat kebun tarum (pohon nila) berikut pabrik-pabrik selesai ditanami dan dibangun tanpa kekurangan suatu apapun.

Sesuai dengan janji, pemerintahan yang pada masa itu dipegang oleh P.K.T. Johanes Graff van den Bosch (1830-1833), Kg. Dalem Wiradadaha VIII diangkat kembali sebagai Bupati dan tanah-tanah yang pernah diserahkan ke Limbangan (Garut) dikembalikan lagi kecuali, Suci dan Panembong. Baru saja Kg. Bupati mengatasi suatu masalah, timbul masih lain yang menggangu ketenangan hatinya.

Adik Kg. Bupati bernama R. Wiratanoewangsa yang menjadi Patih di kabupaten Cipejeuh, diberhentikan dari jabatannya karena berbeda pendapat dengan Dalem Cipejeuh.

Merasa sudah pupus harapannya, R. Wiratanoewangsa secepatnya kembali ke Sukapura, memasrahkan dirinya kepada kakaknya. Sementara pemerintah Belanda bermaksud membangun gudang garam di Banjar, Kalipucang dan Pangandaran. Meskipun pembangunan telah dicoba untuk dilaksanakan, namun tidak terlaksana, karena selain terserang wabah penyakit, pada zaman itu daerah tersebut masih angker.

Yang berkuasa atas daerah tersebut yaitu Pangeran Kornel (Bupati Sumedang), karena merasa bimbang dengan belum terlaksana permintaan pemerintah Belanda, secepatnya memanggil putranya bernama Kg. Tumenggung Koesoemahjoeda agar pembangunan gudang-gudang tersebut dapat terlaksana.

Singkatnya Kg. Dalem Koesoemahjoeda menerima permintaan ayahnya, lalu ingat pada R. Wiratanoewangsa dan merasa bahwa pemberhentiannya itu oleh kakaknya, yaitu Dalem Cipejeuh tidaklah terlalu berat kesalahannya. Dengan maksud meringankan beban dan menebus dosa kakaknya yang telah menghukum orang yang tidak berdosa, setelah memohon izin dan restu kepada ayahnya, yaitu Kg. Pangeran Kornel, lalu Kg. Dalem Koesoemahjoeda mengunjungi P.K.T. Besar (Belanda), menyampaikan agar permintaan pembangunan gudang garam di 3 tempat itu diserahkan kepada Patih Cipejeuh yang telah diberhentikan, dengan persyaratan, bila pembangunan gudang-gudang tersebut selesai dalam waktu 6 bulan, R. Wiratanoewangsa akan diberikan tanah dari Galuh sampai Sumedang sebanyak 6 distrik, yaitu :

1. Pasir Panjang,
2. Banjar,
3. Kawasen,
4. Kali Peucang
5. Cikembulan
6. Parigi

Setelah Kg. Dalem Koesoemahjoeda diizinkan oleh Sri P.K.T. Besar, ia segera menyampaikan kepada R. Wiratanoewangsa melalui perantaraan Kg. Pangeran Kornel, agar permintaan pemerintah Belanda tersebut dilaksanakan oleh Kg. R. Wiratanoewangsa.

Setelah diterimanya perintah tersebut, R. Wiratanoewangsa segera berangkat ke wilayah yang akan dibangun gudang-gudang tersebut. Sesuai persetujuan Kg. Pangeran Kornel, dalam waktu yang telah ditetapkan, gudang di 3 tempat itu selesai tanpa kekurangan suatu apapun. Tidak lama kemudian, R. Wiratanoewangsa diangkat kembali menjadi Patih dan diberi gelar Tumenggung, menguasai 6 distrik tersebut dan namanya-pun diganti menjadi R. Tumenggung Danoeningrat.

Adapun tempat tinggalnya, membangun wilayah baru dikampung Tembong Gunung (Kali Manggis), yang telah selesai diberi nama Nagara Harjawinangun pada tahun 1832. Pada masa itu, R. Tumenggung Danoeningrat memohon kepada pemerintah Belanda agar mengizinkan kakaknya (Wiradadaha VIII) untuk kembali memimpin negara, serta tanah miliknya diserahkan kepada kakaknya dan dia dijadikan Patihnya.

Pada masa pemerintahan Raden Tumenggung Wiradadaha VIII dan Patih Danuningrat, wilayah Kabupaten Sukapura meliputi 21 distrik yang disebut daerah Galunggung. Karena wilayah kekuasaannya terlalu luas, maka tahun 1831 daerah Sukapura atau Galunggung ini dibagi menjadi tiga bagian (Afdeeling/bagian dari Keresidenan) yaitu: Afdeeling Sukapura Kolot, Afdeeling Sukapura, dan Afdeeling Tasikmalaya.

Sukapura dalam pembagian tersebut termasuk dalam Afdeeling Sukapura, di mana batas Afdeeling Sukapura ialah sebelah Utara dengan Keresidenan Cirebon, sebelah Timur dengan Keresidenan Banyumas yang dipisahkan sungai Citanduy, sebelah Selatan dengan Samudra Hindia, dan sebelah Barat dengan Afdeeling Sukapura Kolot dan Afdeeling Tasikmalaya. Pada tahun 1831 Afdeeling Sukapura mempunyai wilayah seluas 260.312,13 Ha dengan jumlah penduduk ibukota 4687 Pribumi, 22 Cina, dan 6 Timur Asing. Setelah pembagian wilayah tersebut, tahun 1832 Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII memindahkan ibukota Kabupaten Sukapura – sesuai daerah yang langsung diperintahnya yaitu dari Leuwiloa di Sukaraja ke Harjawinangun/Manonjaya.

Namun untuk sementara, pemerintahan berkedudukan di Pasir Panjang karena menunggu penyelesaian pembangunan ibukota. Pemerintahan baru berjalan 2 tahun kemudian, setelah Patih Raden Tumenggung Danuningrat selesai membangun kota Harjawinangun (sekarang Manonjaya). Maka baru pada tahun 1834 secara resmi Ibukota Sukapura Pindah ke Harjawinangun/Manonjaya.

Beberapa alasan pemindahan ibukota kabupaten ini di antaranya agar memudahkan dalam menjalankan roda pemerintahan karena berdasarkan pembagian wilayah tersebut, daerah-daerah yang berada di bawah pengawasan Bupati Raden Tumenggung Wiradadaha VIII akan berlokasi di sebelah Timur Kota Sukaraja, yang menyebabkan hubungan transportasi antar daerah menjadi sulit dalam menjalankan roda pemerintahan. Sedangkan alasan politis terkait dengan Perang Diponegoro (1825-1830) yang terjadi di wilayah Jawa Tengah yang mengakibatkan Belanda memperkuat benteng pertahanan di wilayah perbatasan agar tidak menyebar ke Jawa Barat.

Berdasarkan catatan sejarah, Harjawinangun selama 70 tahun pernah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura (Dirapraja, 1972). Harjawinangun sebagai pusat pemerintahan telah berkembang dengan pesat, dan menjadi kota transit dalam jalur hubungan darat antara Jawa Tengah dari arah timur ke Jawa Barat. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota Harjawinangun, maka tahun 1839 berdasarkan Besluit Gubernemen No. 22 tanggal 10 Januari 1839 nama Kota Harjawinangun dirubah menjadi Kota Manonjaya. Dengan bertambah luasnya kekuasaan yang dipegang Kg. Dalem Wiradadaha VIII, kabupaten Sukapura dari wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sukaraja dipindahkan ke wilayah Harjawinangun.

Sebelum pembangunan pusat kota selesai, Rd. Anggadipa (Kg. Adipati Wiradadaha VIII) pada tahun 1837 wafat, setelah meninggal disebut Dalem Sepuh. Beliau menjadi bupati selama 30 tahun .Jenazahnya dimakamkan di suatu gunung disebelah selatan kota Manonjaya yang disebut Tanjung Malaya, meninggalkan putra-putri sebanyak 14 orang yaitu :

1. Rd. Ajoe Djajanggadiredja
2. Rd. Mandoeraredja
3. Nyi Rd. Mantri Gandawiredja
4. Rd. Rg. Djajamanggala
5. Rd. Tanoekoesoemah
6. Rd. Wangsadiredja
7. Rd. Soeranegara
8. Rd. Anggadipa
9. Nyi Rd. Siti Djenab/Zaenab
10 Nyi Rd. Armisah
11. Nyi Rd. Limdasari
12. Nyi Rd. Poerwa Apipah
13. Nyi Rd. Siti Mamtri
14 Nyi Rd. Koesoemah
1234/8 <115> 12. R. Tumenggung Danoeningrat / Kg. Adipati Wiradadaha IX [Wiradadaha]
lahir: 1837 - 1844, Manonjaya, Boepati Soekapoera Ke IX
Catatan Admin : Endang Suhendar alias Idang


BUPATI SUKAPURA Ke – IX Tahun 1837-1844

(Rd. Tumenggung Danoeningrat)

Sepeninggalan Kg. Adipati Wiradadaha VIII, pada tahun itu juga R. Tumenggung Danoeningrat putra Kg. Adipati Wiratanoebaja ke 12 menjadi bupati, namun tidak sampai mendapat gelar atas kebijaksanaannya, karena pada tanggal 4 Januari 1844 wafat, jenazahnya dimakamkan di Tanjung Malaya. Beliau menikah dengan Nyi Rd. Tajoem putri Rd. Soemabrata dari Panjalu dan mempunyai putra-putri 13 orang yaitu :

1. R. Rangga Wiradimanggala,
2. Rd. Wiradiredja
3. Rd. Rangga Tanoewangsa
4. Nyi Rd. Jogjaningrum
5. Nyi Rd. Ratnanagara
6. Nyi Rd. Radjakoesoemah
7. Rd. Danoekoesoemah
8. Rd. Dg. Pranawangsa
9. Nyi Rd. Sariningsih
10 Nyi Rd. Arsanagara
11. Nyi Rd. Bradjadiguna
12. Nyi Rd. Moenaningroem
13. Rd. Soebiakoesoemah
1245/8 <116> RM. Adipura [Wiradadaha]
1256/8 <117> 1. Rd. Djamian [Wiradadaha]
1267/8 <118> Radja Larang . [Sumedang Larang] 1288/8 <120> Nyi Raden Sarikem [Dalem Sawidak]
Tampilan
Peralatan pribadi