Dear Rodovidians, please, help us cover the costs of Rodovid.org web hosting until the end of 2025.
Ki Ageng Giring III / R. Kertonadi
Dari Rodovid ID
| Marga (saat dilahirkan) | ? |
| Jenis Kelamin | Pria |
| Nama lengkap (saat dilahirkan) | Ki Ageng Giring III / R. Kertonadi |
| Orang Tua | |
Momen penting
kelahiran anak: ♂ Ki Ageng Giring IV [?]
kelahiran anak: ♀ Niken Purwosari / Rara Lembayung [Ki Ageng Giring]
Catatan-catatan
Ki Ageng Giring, Mataram Islam Berawal dari Gunungkidul
Berbicara soal Gunungkidul tak bisa lepas dari satu tokoh ini. Ki Ageng Giring. Bahkan sebenarnya dalam skala yang lebih luas, Ki Ageng Giring memiliki peran besar dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Siapa Beliau ?
Ki Ageng Giring (mengacu pada Ki Ageng Giring III) adalah salah seorang keturunan Prabu Brawijaya IV dari Retna Mundri, yang hidup dan menetap pada abad XVI di Desa Sodo Giring, Kecamatan Paliyan. Desa Sodo terletak sekitar 6 km arah barat daya kota Wonosari. Beliau adalah sesepuh Trah Mataram yang sangat dihormati.
Perlu diketahui, gelar ki ageng adalah gelar seseorang tokoh pada waktu sudah purna tugas kenegaraan, atau setelah lengser dari jabatannya. Pada masa aktif menjabat biasanya disebut ki gede. Lalu setelah sepuh, jabatan dialihterimakan kepada keturuannya dan sebagai sesepuh tokoh tersebut disebut ki ageng. Demikian pula asal nama Ki Ageng Giring (mengacu kepada Ki Ageng Giring I, II, III dan IV).
Makam Ki Ageng Giring III dikelola oleh Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat karena merupakan pepunden Trah Mataram sebagai penerima wahyu kraton.
Ayahanda Ki Ageng Giring I adalah Prabu Brawijaya IV raja Majapahit, sedangkan ibunya bernama Retno Mundri.
Ia bertemu dengan seorang wali besar yang bernama Sunan Kalijaga. Ia seperguruan dengan Ki Ageng Pemanahan. Keduanya adalah para tokoh politik yang mengembara dari istana untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan Islam kepada penduduk sekitar. Perlu diketahui, bahwa setelah hancurnya kerajaan Majapahit, putra-putri Prabu Brawijaya menyebar ke berbagai wilayah di tanah Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok.
Di tempatnya masing-masing, mereka berikhtiar lahir batin untuk mendapatkan kembali tahta ayahanda beliau yang telah hilang. Keyakinan bahwa wahyu kraton akan turun kepada putra yang memiliki kecakapan lahir batin ini sangat kuat menancap ke dalam relung jiwa para trah darah biru ini, di antaranya adalah Ki Ageng Giring (I).
Ki Ageng Giring (I) berjalan jauh memasuki rerimbunan pohon, hutan dan semak belukar. Sungai, gunung dan gua ditempuhnya tak kenal lelah. Hingga pilihannya jatuh pada daerah yang datar dengan pemandangan perbukitan dan sungai-sungainya yang jernih. Di dekat sebuah mata air ia mendirikan gubug peristirahatannya. Setiap hari berdoa bermunajat kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapatkan ketentraman lahir batin dengan seluruh anak cucu keturunan beserta para pengikutnya. Meskipun hanya sebesar lidi, atau Sodo, ia tetap memiliki pengharapan agar mendapat anugerah yang agung dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia mengajarkan pertanian, menanam pohon kelapa dan menderesnya, membuat minuman legen dan merajut kain. Ia juga mengajari penduduk mengalirkan air sungai untuk mengaliri persawahan dari sungai yang airnya jernih. Ki Ageng Giring juga mengajarkan untuk menanam banyak pohon kelapa yang sangat besar manfaatnya untuk kehidupan penduduk waktu itu. Kehidupan berlangsung damai hingga Ki Ageng Giring I wafat namun sampai sekarang Makam/Cugku/Petilasan beliau masing simpang siur keberadaannya.
Cungkup makam Ki Ageng Giring (I)
Bukit Girilangan Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Kab. Banjarnegara Tak Heran masyarakat Banjarnegara ahli dalam pembuatan nira/aren kelapa
Di puncak bukit Girilangan terdapat peninggalan kuno dan mempunyai nilai sejarah tinggi yang di bangun sekitar abad XVI yaitu sebuah bangunan kuno yang terbuat dari kayu yang berbentuk cungkub serta tumpukan bata merah yang tertata rapi guna melindungui sebuah makam dari seorang yang Kharismatik di masa kejayaan Kerajaan Mataram , yaitu Ki Ageng Giring. Ki Ageng Giring yang juga bergelar Ki Ageng Pendersan, bukanlah penduduk asli Desa Gumelem dia adalah seorang pembesar yang datang dari keluarga Kerajaan Mataram.
Perjalanan Ki Ageng Giring hingga sampai di Gumelem ternyata banyak mengalami kendala dan halangan serta ujian dari yang kuasa namun dengan bekal keimanan yang kuat atau di milikinya wilayah demi wilayah di laluinya di setiap atau di mana Ki Ageng Giring tinggal pastilah Ki Ageng Giring meninggalkan jejak atau petilasan yang hingga saat ini dapat terlihat di Dukuh Bogem Desa Salamerta yang merupakan makam anaknya yang bernama Nawangsasi, di Dukuh Kramat Desa Dermasari terdapat petilasan yang di gunakan untuk menenangkan diri guna memohon petunjuk kepada yang kuasa.
Berbeda dengan dukuh,dusun,dan desa desa lain yang di lalui Ki Ageng Giring dalam usahanya mensyiarkan ajaran Islam , Desa Gumelem Wetan nampaknya wilayah yang paling berarti bagi Ki Ageng Giring. Ketika itu ki ageng giring beserta pengikut pengikutnya akan menempuh perjalanan dari kramat dermasari ke dukuh giring gunung kidul namun di dukuh karang Karang Lewas ki ageng giring wafat karena usianya yang sudah sepuh.
Dengan rasa hormat yang setinggi –tingginya ,para pengikut pengikutnya memandikan jenazah Ki Ageng Giring di sumur Wringin Mbeji Desa Gumelem Kulon serta membuat keranda untuk membawa jenazah meneruskan perjalanan ke Dukuh Giring di wilayah Kabupaten Gunung kidul.
Dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat yang telah di tentukan para pengikut Ki Ageng Giring juga di hadapkan oleh beberapa peristiwa yang mengejutkan hal ini memang Ki Ageng Giring memiliki daya linuwih dalam masa hidupnya.
Pengikut atau santri Ki Ageng Giring adalah manusia biasa yang punya kemampuan sangat terbatas sehingga di suatu tempat di kaki Gunung Wuluh karena kelelahan , keranda yang di gunakan untuk membawa jenazah Ki Ageng Giring pun diletakan di atas tanah karena makin lama makin berat, tidak selang berapa lama juga Tanah yang menjadi tempat landasan Keranda juga lama kelamaan menurun ( ambles ) atau Mendek.
Di bukalah keranda jenazah ki ageng giring. Seluruh pengikut pengikutnya yang setia bersama Ki Ageng Giring menjadi kaget dan bingung karena jenazah Ki Ageng Giring ternyat tidak ada lagi di dalam keranda atau hilang. Dalam kebingungan yang amat sangat seluruh pengikut Ki Ageng Giring memohon petunjuk kepada yang maha kuasa sehingga seluruh pengikut pengikutnya dan santrinya sepakat untuk memakamkan keranda Ki Ageng Giring di sebuah bukit.
Untuk menandai keranda jenazah Ki Ageng Giring di makamkan ,masyarakat Desa Gumelem dan sekitarnya menamakan Bukit Girilangan, dengan arti kata Ki Ageng Giring hilang.
Dan lokasi tanah yang mendek hingga saat ini dikenal oleh masyarakat adalah Blok Lemah Mendek. Bukit Girilangan kian menjadi indah .
Makam Ki Ageng Giring pun makin banyak yang mengunjungi atau berziarah , ini dapat menjadi bukti bahwa Ki Ageng Giring adalah seorang yang di masa hidupnya mempunyai karisma dan kawibawaan yang tinggi. Hingga pada jamanya juga ,Raja Mataram R.Sutawijaya yang bergelar di Panembahan Senopati Ing Alogo Panotogomo juga mengutus saudaranya yang bernama Ki Udhakusuma untuk merawat Makam Ki Ageng Giring di Bukit Girilangan.
Sebagai utusan seorang raja yang akhirnya juga menjadi Demang Pertama di Gumelem dalam dalam usahanya merawat Makam Ki Ageng Giring di Girilangan adalah dengan membangun sebuah cungkub di sekitar tahun 1816 m di lanjurtkan dengan membuat sebuah pagar keliling dari tumpukan bata merah dan sebuah Gapura di depan cungkub.
Rasa hormat, bhekti terhadap kebesaran jiwa Ki Ageng Giring ternyata masih sangat kental dan melekat di masyarakat Gumelem dan sekitarnya bahkan banyak sekali orang yang datang dari wilayah Kabupaten lain yang berziarah ke makam Ki Ageng Giring di Bukit Girilangan.
Mataram Islam Jogjakarta berawal dari KI AGENG GIRING III
Setelah meninggalnya Ki Ageng Giring I dan digantikan kedudukannya oleh putranya, Ki Ageng Giring II dan Ki Ageng Giring II pun wafat digantikan oleh putranya yang kita kisahkan di sini yakni Ki Ageng Giring III. Pada masa Ki Ageng Giring III inilah Paliyan menjadi kisah menarik karena berbagai hal baik natural maupun supranatural.
Ki Ageng Giring III menikah dengan Nyi Talang Warih melahirkan dari pernikahan tersebut dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Isyarat akan turunnya wahyu Kraton Mataram di perbukitan kidul itu atas petunjuk Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual yang mampu melihat dengan pandangan lahir batin atas suatu persoalan masyarakat.
Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri. Untuk mengupas keterkaitan kisah ini, tidak bisa lepas dari perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Kraton Pajang.
Pada saat itu, Ki Ageng Pemanahan masih lingkungan di Kraton Pajang di bawah kekuasaan Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Alkisah, setelah kemenangan Ki Ageng Pemanahan menaklukkan Aryo Penangsang di Jipang Panolan, belum mendapatkan hadiah dari sultan sebagaimana dijanjikan dalam sayembara, bahwa barang siapa yang bisa mengalahkan Aryo Penangsang akan mendapat hadiah tanah perdikan yang luas.Ki Penjawi sudah diberi hadiah tanah Pati (Jawa Tengah), sementara Ki Ageng Pemanahan yang sebenarnya paling berhak malah belum mendapatkan haknya.
Karena kecewa hatinya, Ki Ageng Pemanahan lantas pergi dari istana. Ia menuju ke rumah sahabatnya, Ki Ageng Giring III, di daerah Gunungkidul. Ki Ageng Giring terkenal sebagai seorang petani pertapa sekaligus penyadab nira kelapa.
Bersamaan dengan itu, Sunan Kalijaga dawuh bahwa kelak wahyu Gagak Emprit akan turun di tengah pegunungan selatan dalam sebuah air degan. Namun kapan wahyu itu akan turun, Kanjeng Sunan tidak pernah menjelaskan dan pantang bagi murid untuk bertanya kepada Guru.
Oleh Sang Guru, Ki Ageng Pemanahan kemudian disuruh melakukan tirakat di daerah yang terdapat pohon mati yang berbunga. Pohon mati yang berbunga itu ditemukan oleh Ki Pemanahan yang sekarang disebut Kembang Lampir, di Desa Girisekar, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunung Kidul.
Adapun Ki Ageng Giring (III) yang tinggal di daerah Paliyan Gunungkidul disuruh menanam sepet atau sabut kelapa kering, yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menghasilkan degan atau buah kelapa muda. Sabut kelapa kering yang secara nalar tidak mungkin tumbuh, namun atas kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.
Selama bertahun-tahun pohon kelapa itu dirawat dan dijaga Ki Ageng Giring di pekarangan rumahnya, hingga menjadi tinggi dan besar. Namun Ki Ageng merasa heran pohon kelapa itu tidak juga berbuah, sebagaimana yang pernah diisyaratkan oleh gurunya, Sunan Kalijaga. Namun Ki Ageng tidak pernah ragu sedikit pun, kesabaran dan ketekunannya dalam ibadah diperkuat dan terus menjalankan laku prihatin sebagaimana tuntutan ajaran Islam, hingga suatu ketika pohon kelapa itu muncul degan satu biji saja dan beliau mendapatkan mimpi yang aneh.
Menurut mimpi itu, Ki Ageng harus segera memetik satu-satunya buah kelapa yang masih muda itu dan meminum airnya saendegan atau sekali teguk agar kelak dapat menurunkan raja dengan kepribadian yang utuh.
Dikisahkan sebagai berikut : Untuk mensikapi wisik atau wangsit mimpi tersebut, Ki Ageng Giring (III) berjalan-jalan ke ladang terlebih dulu agar cukup haus sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum.
Namun sayang, ketika Ki Ageng Giring sedang di ladang, sahabatnya Ki Ageng Pemanahan datang dari Kembang Lampir dengan maksud untuk silaturahmi. Tuan rumah baik Ki Ageng maupun Nyai Ageng Giring rupanya tidak ada di rumah.
Dalam keadaan capek dan haus Ki Ageng Pemanahan melihat buah degan di dapur. Tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan memaras degan itu dan meminum air kelapa muda itu sampai habis dengan sekali teguk. Ia merasa tidak perlu meminta izin karena ia yakin kedekatan persaudaraan dengan sahabatnya itu.
Tak begitu lama kemudian datanglah Ki Ageng Giring dari ladang. Ia langsung menuju dapur bermaksud meminum
[sunting] Sumber-sumber
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu
perkawinan: ♀ Nyai Adisara
perkawinan: ♀ 1.1.1.2.1.1.1. Waskita Jawi / Ratu Mas (Putri Waskita Jawi)
perkawinan: ♀ Rara Semangkin
perkawinan: ♀ Niken Purwosari / Rara Lembayung
perkawinan: ♀ Kanjeng Ratu Kidul
perkawinan: ♀ Raden Ayu Retno Dumilah
gelar: 1575 ? 1601, SULTAN MATARAM KE 1 (1587-1601), bergelar Panembahan Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama
wafat: 1601
gelar: 1601 - 1613, Bupati Madiun Ke 6
perkawinan: ♀ Ratu Tulungayu
perkawinan:
gelar: 1601 - 1613, Kota Gede, Mataram, Sultan Mataram Ke 2 bergelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senapati-ing-Ngalaga Mataram
wafat: 1613
gelar: 1613, "Anumerta Panembahan Seda ing Krapyak"
gelar: 1595 - 1601, Bupati Madiun Ke 5
gelar: 1613 - 1645, Bupati Madiun Ke 7
perkawinan: ♂ Kyai Ageng Karanglo / Ki Ageng Karang Lo
wafat: 1625, Jatinegara, Jakarta
penguburan: 1625, Tapos, Depok

