3. Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat I / Raden Luwar b. 1760 d. 10 Mei 1831
Dari Rodovid ID
Marga (saat dilahirkan) | Adipati Wirahutama IV - Wirasaba Yogjakarta |
Jenis Kelamin | Pria |
Nama lengkap (saat dilahirkan) | 3. Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat I / Raden Luwar |
Nama lainnya | Tan Jing Sing |
Orang Tua
♀ Mas Ajeng Patrawidjaya [Adipati Wirahutama IV - Wirasaba Yogjakarta] |
Momen penting
1760 lahir:
kelahiran anak: ♂ Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat II / Raden Dadang [Secodiningrat]
perkawinan: ♀ Nyonya Kapitan [Yap]
perkawinan: ♀ Mas Ajeng Secodiningrat [?]
perkawinan: ♀ Raden Nganten Secodiningrat [?]
10 Mei 1831 wafat: Rogocolo
Catatan-catatan
Lurahing Pacino Kapitan Tan Jin Sing Pertautkan Budaya Jawa dan Budaya Tionghoa
Oleh: Sutirman Eka Ardhana
KAPITAN Tan Jin Sing, sebuah nama yang terpatri hingga hari ini, khususnya di dada sebagian besar masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggaan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah dari pengabdian masyarakat Tionghoa dalam sejarah perjalanan Kasultanan Ngayogyakartahadiningrat. Dan, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo. Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja. Siapakah Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu? Nama bangsawan ini tidak dapat dipisahkan dengan nama Kapitan Tan Jin Sing. Karena nama KRT Secodiningrat merupakan nama gelar kebangsawanan Kapitan Tan Jin Sing yang diberikan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Dan sebagai Kapitan yang merupakan pimpinan masyarakat Cina (Tionghoa) atau disebut Lurahing Pacino di masa itu, ia merupakan tokoh yang telah mengawali mempertemukan budaya Jawa dengan budaya Tionghoa.
Siapa Dia Sebenarnya? Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Padahal dugaan itu meleset. Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu. Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau oleh masyarakat sekitar waktu itu dikenal dengan panggilan Bah Teng Long, namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing yang terkenal dan perkasa itu benar-benar berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long. Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram. Kenapa bisa begitu? Beginilah riwayatnya. Bupati Banyumas Raden Temenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo. Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Ray Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar. Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada RAy Patrawijaya agar diperkenankan memelihara dan membesarkan Raden Luwar. Permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari RAy Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya. Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan RAy Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya RAy Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam. Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.
Pindah ke Yogyakarta Ketika Pangeran Mangkubumi berhasil mendapat sebagian wilayah Mataram sesuai dengan Perjanjian Giyanti dan mendirikan Kasultanan Ngayogyakartahadiningrat di tahun 1757, kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, Bupati Banyumas Yudonegoro III ditarik ke Yogyakarta. Ia lalu diangkat sebagai Patih dan diberi gelar Kanjeng Adipati Danurejo I. Pengangkatan Yudonegoro III sebagai patih dikarenakan jasanya yang besar terhadap Pangeran Mangkubumi dalam perjuangan untuk mendapatkan haknya di Mataram. Anak Yudonegoro III yang sulung menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Banyumas dengan gelar Yudonegoro IV. Kepindahan Yudonegoro II ke pusat pemerintahan di Yogyakarta dan memangku jabatan baru sebagai Patih, diikuti oleh sejumlah keluarganya bahkan juga juragan Oei The Long yang menjadi menantunya itu. Sejak itulah Raden Luwar yang sudah bernama Tan Jin Sing itu menetap di pusat Kesultanan Yogyakarta. Setelah dewasa Tan Jing Sing menikah dengan salah seorang puteri Kapitan Yap Sa Ting Ho, Kapitan Cina di Yogyakarta masa itu. Pernikahannya dengan puteri Kapitan Yap Sa Ting Ho inilah yang membawa derajat Tan Jin Sing menjadi naik. Sebagai menantu seorang Kapitan, Tan Jin Sing cukup disegani oleh masyarakat Tionghoa di Yogyakarta waktu itu. Terlebih lagi ia memang seorang lelaki perkasa dan memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi. Sehingga ketika Kapitan Yap Sa Ting Ho meninggal, Tan Jin Sing lalu diangkat sebagai Kapitan atau Lurahing Pacino di Yogyakarta.
Diangkat Bupati Nayoko
Ketika Raffles dengan pemerintahan Inggerisnya berkuasa di Jawa (1813 – 1815) terjadi keguncangan di Kesultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono II menolak tunduk kepada perintah Raffles. Penolakan itu membuat Raffles mengirim pasukannya untuk menghukum Sultan. Pasukan yang dikirim Raffles terdiri dari pasukan India dan Gurkha, yang oleh rakyat di Yogyakarta ketika itu disebut sebagai pasukan Sepehi.
Sementara ketika itu di dalam keraton terjadi perselisihan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan putera mahkotanya yang bernama Sultan Raja. Perselisihan itu dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyingkirkan Sri Sultan Hamengku Buwono II dari tahta singgasananya. Akibatnya di Yogyakarta waktu itu terjadi peristiwa berdarah yang diebut “Geger Sepehi”.
Perselisihan antara ayah dan anak itu berlanjut dengan kontak senjata antara prajurit-prajurit pengikut Putera Mahkota dengan prajurit-prajurit yang setia kepada Sri Sultan Hamengku Biwono II atau dikenal juga dengan sebutan Sultan Sepuh. Dalam perang saudara itu Kapitan Tan Jin Sing berpihak kepada Sultan Raja dengan memberikan bantuan berupa segala kebutuhan perang sampai kebutuhan bahan makanan.
Ketika Sultan Sepuh berhasil diasingkan Raffles ke Pulau Pinang (Malaysia), Sultan Raja naik tahta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Naiknya Sultan Raja sebagai Sultan, derajat Tan Jin Sing pun terus menaik. Sri Sultan yang merasa berhutang budi kepada Kapitan Tan Jin Sing atas bantuan dan peranannya yang besar, lalu mengangkatnya sebagai seorang Bupati Nayoko di Keraton Yogyakarta dan diberi nama Raden Temenggung Secodiningrat.
Selain mendapat kedudukan sebagai Bupati Nayoko, ia pun mendapat tunjangan dari Sri Sultan sebesar 1000 ringgit setiap bulannya. Dalam keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono III saat itu disebutkan bahwa tunjangan jabatan itu diberikan turun temurun, asal yang menjadi raja masih berdarah Sultan Raja.
Sri Sultan juga memberikan hadiah tanah kepada Kapitan Tan Jin Sing. Tanah yang dihadiahkan itu terletak di Desa Padokan, Bantul, di samping wilayah tertentu di dalam pusat kota yang berada di bawah pengawasannya. Wilayah yang berada di bawah pengawasan Kapitan Tan Jin Sing yang sudah bergelar KRT Secodiningrat itu disebut tlatah atau Bumi Secodiningrat. Wilayah pengawasannya meliputi Pajeksan, Pecinan (Malioboro), Gondomanan dan lainnya.
Kemudian setiap anak lelaki dari keturunan KRT Secodiningrat diberi hak untuk mendapatkan gelar Raden, dan bila anak sulung lelaki diharuskan mempergunakan nama kebangsawanan Jawa. Sedang setiap anak perempuan dari keturunannya berhak menggunakan gelar Raden Roro, dan bila menikah dengan seorang bangsawan memperoleh gelar Raden Nganten.
Trah Secodiningrat Semasa hidupnya KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing (1760-1831) mempunyai tiga isteri, isteri pertama berdarah Tionghoa Peranakan dengan sebutan Nyonya Kapitan. Isteri kedua, perempuan Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat Sedang isteri ketiganya juga seorang perempuan yang dipanggil dengan sebutan Raden Nganten Secodiningrat. Dari kedua orang isteri itulah kemudian keturunan KRT Secodiningrat terus berkembang hingga hari ini. Ketika meninggal dunia, ia dimakamkan di Desa Padokan, Bantul. Kedudukannya sebagai Bupati Nayoko kemudian digantikan oleh putera sulungnya dari isteri anak Kapitan Yap Sa Ting Ho, yang kemudian bergelar KRT Secodiningrat II. Dikarenakan mempunyai dua orang isteri yang berbeda darah keturunannya, berdarah Tionghoa dan Jawa, hingga hari ini keturunan Secodiningrat yang tersebar di berbagai kota terdiri dari dua kelompok budaya, yakni kelompok budaya Tionghoa dan kelompok budaya Jawa. Meskipun secara sepintas terlihat adanya perbedaan latar belakang budaya di antara dua kelompok keturunan Secodiningrat ini, namun pada dasarnya mereka tetap satu, yaitu keluarga besar KRT Secodiningrat, dan bersatu di dalam wadah Trah Secodiningrat. Jumlah anggota Trah Secodiningrat cukup banyak, dan tersebar di berbagai kota, terutama di Jawa. Untuk mengikat tali hubungan satu sama lain, dulu setiap bulan sekali anggota trah ini selalu bertemu. Dan, bila Hari Raya Idul Fitri tiba, sudah dapat dipastikan semua keluarga besar Trah Secodiningrat berkumpul mengadakan syawalan bersama. Pertemuan syawalan bersama itu tidak saja dihadiri oleh anggota trah yang beragama Islam, tetapi juga dihadiri anggota trah yang beragama lainnya, seperti Katholik, Kristen, dan Buddha. Ini merupakan bukti bahwa keturunan KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jing Sing hingga hari ini masih tetap menjaga warisan yang teramat mahal dan berharga yakni perpaduan budaya Jawa dan budaya Tionghoa, yang sekaligus menjaga kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa. KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing meninggal dunia pada 10 mei 1831, dan dimakamkan secara Islam. Kemudian kedudukannya sebagai Bupati Nayoko dan sekaligus Kapitan Cina digantikan oleh puteranya, Raden Dadang, yang bergelar Raden Temenggung Secodiningrat II. ***
[sunting] Sumber-sumber
- ↑ http://ekardhana.blogspot.com/2010/02/lurahing-pacino.html -
- ↑ http://web.budaya-tionghoa.net/index.php/item/2347-kanjeng-raden-tumenggung- -
- ↑ http://www.tembi.org/situs-prev/tan_jin_sing.htm -
Dari kakek nenek sampai cucu-cucu