Pembicaraan Rodovid ID:Portal komunitas

Dari Rodovid ID

Langsung ke: panduan arah, cari

Riwayat R. Noer Iman (kakek) dan R. Setjodiwirjo (ayah) dari R. Hasan Djainal Mustofa

Nama saya Raden Soedjoed dan saya memiliki seorang paman yang bernama Raden Hadji Moehamad Noer (nama lahir : Raden Kaljubi Sastroatmodjo). Ketika itu saya masih bekerja pada kanto Regentschapsraad di Demak. Paman saya ini setiap tiga bulan sekali akan datang mengunjungi saya dan bercerita mengenai nenek moyang saya.

Paman saya ini merupakan anak pertama dari istri pertama dari Raden Hasan Djainal Mustofa (yang mana ketika masih hidup menjabat sebagai Penghulu Landraad di Sragen). Paman saya ini terkenal sebagai seorang alim yang taqwa dan menganut salah satu ilmu Tarekh, memiliki kecerdasan otak yang luar biasa. Beliau gemar sekali membaca buku-buku beraksara Djawa, karya pujangga-pujangga besar. Dan yang menjadi favoritnya adalah buku-buku cerita wayang purwa. Biasanya beliau akan membaca buku-buku cerita wayang tersebut pada siang hari, dan di malam harinya ketika akan tidur beliau sudah hafal dengan cara menyanyikan (rengeng-rengeng). Serat Rama yang sedemikian tebalnya pun beliau hafal juga.

Alkisah di Radjekwesi Djipang (Bojonegoro) pada akhir abad ke 18, ada seorang Penghulu besar yang bernama Raden Kiai Noer Iman. Beliau memiliki tujuh orang anak, enam orang putra dan satu orang putri. Putra bungsu beliau tidak diketahui namanya, namun nantinya setelah menikah beliau dikenal dengan nama Raden Setjodiwirjo dan menjabat sebagai Mantri Tebu (=Wedana) di Gorang-gareng daerah Madiun.

Ketika itu Bojonegoro diperintah oleh seorang bupati yang bernama Raden Tumenggung Prawirodirdjo. Sang bupati ini sangat tertarik pada putri Raden Kiai Noer Iman, dan oleh sebab itu bupati meminangnya. Masyarakat ketika itu sedang bersemangat-semangatnya dalam memeluk agama Islam; hingga sudah menjadi suatu impian umum, bila memiliki seorang putri maka hendaklah dapat dijodohkan dengan seorang santri yang pandai mengaji Al Qur'an, terlebih lagi bila memungkin untuk mendapatkan seorang ulama yang alim.

Pinangan bupati tersebut, dengan berat hati ditolak oleh Raden Kiai Noer Iman. Dan hal ini menyebabkan kemarahan sang bupati. Namun demikian, sang bupati tidak dapat berbuat semena-mena terhadap Raden Kiai Noer Iman hal ini dikarenakan kedudukkannya tidak hanya sebagai Penghulu Besar dan juga pemuka agama Islam namun juga menjadi penasehat Kadipaten Bojonegoro. Dikarenakan hal tersebut maka sang bupati menyewa beberapa orang penjahat untuk membalaskan dendamnya terhadap Raden Kiai Noer Iman.

Pada suatu malam datanglah para penjahat-penjahat itu (kurang lebih 50 orang) membuka paksa rumah Raden Kiai Noer Iman dan merampas semua harta bendanya serta membakar habis rumahnya.

Raden Kiai Noer Iman dengan anak dan istrinya sempat melarikan diri. Anak perempuannya dimasukkan ke dalam gerobog (almari besar) dan dipikul secara bergantian oleh para saudara laki-lakinya. Berhari-hari mereka berjalan kaki dengan penderitaan yang sangat pedih menuju ke Madiun.

Tidak diterangkan sesudah berapa hari mereka itu tiba di Madiun. Ketika itu Madiun diperintah oleh Bupati Ronggo.

Raden Kiai Noer Iman menghadap sang bupati Ronggo di Madiun untuk memohon suaka, yang lalu Raden Kiai Noer Iman ini diangkat menjadi Penghulu di kota Wonosari, Madiun.

Dalam abad ke 19, terdengar kabar bahwa Pangeran Diponegoro di Mataram mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Kabar tersebut menarik perhatian ke enam putra Raden Kiai Noer Iman. Putra sulungnya - Raden Prawirodejo - lalu mengadakan pertemuan dengan para adiknya dan mengajak mereka untuk turut memberontak. Maka dibulatkan tekad ketujuh bersaudara ini untuk menggabungkan diri dengan Tentara Pemberontak.

Peralatan pribadi