Raden Mas Singowidjojo - Keturunan (Inventaris)

Dari Rodovid ID

Orang:450251
Langsung ke: panduan arah, cari
Generation of a large tree takes a lot of resources of our web server. Anonymous users can only see 7 generations of ancestors and 7 - of descendants on the full tree to decrease server loading by search engines. If you wish to see a full tree without registration, add text ?showfulltree=yes directly to the end of URL of this page. Please, don't use direct link to a full tree anywhere else.
11/1 <?+?> Raden Mas Singowidjojo [Amangkurat I]

2

21/2 <1+1> Cokronegoro I / Cokrojoyo / Resodiwiryo [Cokronegoro]
(Bupati Purworejo 1831-1856)

3

31/3 <2+3> Raden Adipati Aryo Cokronegoro II [Cokronegoro]
RAA Cokronagoro II adalah putra ke dua dari RAA Cokronagoro I yang memerintah di Kabupaten Purworejo tahun 1856-1896. Ibu kandungnya Nyai Adipati Sepuh, putri Kiai Kerto Menggolo dari Pengasih, Yogyakarta. Kakak kandung RAA Cokronagoro II, yakni Raden Bei Cokrosoro tidak diangkat sebagai Bupati Purworejo karena pada waktu itu sudah menjabat sebagai Mantri Gladhak menggantikan kedudukan ayahnya, RAA Cokronagoro I.

RAA Cokronagoro II meniru ayahnya, Beliau sangat tekun menangani pertanian di daerahnya. Saluran irigasi Kedung Putri yang pada zaman pemerintahan ayahnya hanya dibangun sampai wilayah kota saja, dilanjutkan sampai wilayah Banyuurip. Pembangunan lanjutan irigasi Kedung Putri sebenarnya atas usulan para jagatirta yang melaporkan sawah di daerah Banyuurip sering kesulitan air.

Karena itu sangat penting saluran irigasi kedung Putri dilanjutkan hingga Banyuurip. Setelah selesai dengan Banyuurip, RAA Cokronagoro II ingin membangun pula saluran irigasi ke Kawedanan Jenar. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut dirinya meminta bantuan Raden Mas Turkijo, putra Bupati Kutoarjo. Raden Mas Turkijo adalah ahli bangunan irigasi yang pernah memperdalam ilmunya di Kalkuta, India.

Dengan alasan itulah Cokronagoro II meminta bantuan Raden Mas Turkijo untuk membangun bendung dan saluran irigasi ke Kawedanan Jenar. Selanjutnya dibuatlah bangunan Bendung Boro yang terletak di Desa Boro. Bangunan dan saluran irigasi Bendung Boro jauh lebih besar dibanding Kedung Putri. Bendung Boro tersebut mampu mengairi sawah seluas 5.000 hektar. Meski bangunan dan kapasitasnya lebih besar namun jarang dibicarakan orang.

Hal itu lantaran Bendung Boro kalah pamor dibanding saluran irigasi Kedung Putri karya RAA Cokronagoro I. Pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro II merupakan masa-masa suram bagi bangsa Indonesia. Pada waktu itu tanam paksa digalakkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Kabupaten Purworejo yang dikenal sebagai daerah pertanian dijadikan basis tanam paksa. Banyak rakyat menderita akibat program tanam paksa tersebut.

Rakyat ditekan habis-habisan untuk melancarkan program tanam paksa. Akibatnya ada pula yang mulai berani melawan penjajah meskipun sifatnya hanya sporadis. Kerusuhan terjadi di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Purworejo. RAA Cokronagoro II selain berhasil memperpanjang saluran irigasi Kedung Putri, membangun Bendung Boro, juga memugar Pendopo Kabupaten yang pada waktu itu sudah berumur 50 tahun.

Pemugaran Pendopo Kabupaten membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Sejak dipugar sekitar 110 tahun lalu hingga kini kondisi Pendopo Kabupaten Purworejo masih utuh dan sangat kokoh. Pendopo tersebut kerasp dijadikan tempat kegiatan resmi Pemerintah Kabupaten Purworejo. Begitulah RAA Cokronagoro II dengan segala karyanya yang sudah diwariskan kepada masyarakat Purworejo.

Setelah meninggal dunia, almarhum dimakamkan di makam Kayu Lawang, Kelurahan Mudal, Purworejo yang berjarak sekitar tga kilometer dari pusat kota Purworejo. RAA Cokronagoro II memiliki 20 putra yang berasal dari enam istri.
42/3 <2+3> Raden Ngabehi Cokrosoro [Cokronegoro]
53/3 <2+3> Raden Nganten Dipoyono [Cokronegoro]
64/3 <2+3> Raden Ngabehi Reksodiwiryo [Cokronegoro]
75/3 <2+3> Raden Ngabehi Kertopati [Cokronegoro]
Raden Ngabehi Kertopati adalah patih di Kebumen.
86/3 <2+3> Raden Nganten Jogopawiro [Cokronegoro]
97/3 <2+4> Raden Ayu Susi Cokrodisuryo [Cokronegoro]
108/3 <2+4> Raden Ngabehi Cokropuro [Cokropuro]
119/3 <2+4> Raden Ayu Cokrosanjoyo [Cokronegoro]
1210/3 <2+4> Raden Ayu Cokrodipurwo [Cokronegoro]
1311/3 <2+?> Raden Nganten Sadikom Cokroamijoyo [Cokronegoro]
1412/3 <2+?> Raden Ngabehi Cokropati [Cokronegoro]
1513/3 <2+?> Raden Ayu Cokrokusumo [Cokronegoro]
Raden Ayu Cokrokusumo adalah kolektor di Kutoarjo, Purworejo.
1614/3 <2+2> Raden Nganten Wongsowijoyo [Cokronegoro]
1715/3 <2+2> Raden Ngabehi Cokrodanuatmojo [Cokronegoro]
1816/3 <2+2> Raden Ngabehi Cokrosubroto [Cokronegoro]
1917/3 <2+6> Raden Ayu Joyonagoro [Cokronegoro]
2018/3 <2+5> Raden Ngabehi Cokroadikusumo [Cokronegoro]
2119/3 <2+5> Raden Ngabehi Cokrohandoyo [Cokronegoro]
2220/3 <2+5> Raden Ngabehi Cokrodimurti [Cokronegoro]
2321/3 <2+5> Raden Nganten Cokrosonto [Cokronegoro]

4

241/4 <3+9> Raden Adipati Aryo Cokronegoro III [Cokronegoro]
RAA Cokronagoro III menjabat Bupati Purworejo tahun 1896-1907. Cucu pendiri Kabupaten Purworejo ini tak lain juga cucu Pangeran Kusumoyudo, Senopati Perang Kraton Surakarta saat berperang melawan Pangeran Diponegoro. Pangeran Kusumoyudo adalah paman Susuhunan Paku Buwono VI. Pangeran Kusumoyudo merupakan sahabat karib RAA Cokronagoro I.

Persahabatan yang akrab antara Pangeran Kusumoyudo dengn RAA Cokronagoro I dipererat dengan menikahkan putra mereka. Yakni RAA Cokronagoro II dengan salah satu putri Pangeran Kusumoyudo. Dari hasil perkawinan tersebut dikarunia enam orang anak. Selain RAA Cokronagoro III yang menjabat Bupati di Kabupaten Purworejo, adik perempuannya juga dinikahi oleh Raden Adipati Suryo Adikusumo Bupati Wonosobo.

Masa pemerintahan RAA Cokronagoro III tidak begitu lama, berbeda dengan ayah atau kakeknya yang memerintah Kabupaten Purworeji sampai puluhan tahun. RAA Cokronagoro III hanya memerintah selama 11 tahun. Hal itu karena RAA Cokronagoro III sering sakit-sakitan. Akibat fisiknya sangat lemah kemudian RAA Cokronagoro III mengundurkan diri sebagai bupati. Kedudukannya digantikan oleh putra ketiganya, yakni Raden Mas Tumenggung Sugeng yang selanjutnya bergelar RAA Cokronagoro IV.

Ketika RAA Cokronagoro IV memerintah, Pasar Baledono yang direncanakan pada masa pemerintahan RAA Cokronagoro II sudah mulai tumbuh dan berkembang. Tetapi RAA Cokronagoro III tidak sempat membenahi pasar tersebut karena terlanjur sakit-sakitan. RAA Cokronagoro III mempunyai 14 putra. Sayangnya dari catatan yang ada tidak pernah disebutkan secara pasti berapa istrinya. Masyarakat hanya mengetahui dan mengenal istri RAA Cokronagoro III Raden sepuh Nganten Subur Danuasmoro.
252/4 <3+9> Raden Ngabehi Singodjojo [Pakubuwono IV]

5

261/5 <24> Raden Mas Tumenggung Sugeng (Raa. Tjokronegoro IV) [Cokronegoro]
perkawinan: <10> Johanna Giezenberg [Giezenberg]
wafat: 29 Januari 1936, Yogyakarta
Raden Adipati Aryo Sugeng Cokronagoro IV adalah buyut RAA Cokronagoro I atau putra RAA Cokronagoro III dengan istri yang berasal dari keluarga Kraton Yogyakarta. RAA Sugeng Cokronagoro IV adalah putra ketiga dari RAA Cokronagoro III. Beliau diangkat sebagai Bupati Purworejo karena kedua kakaknya perempuan semua. RAA Cokronagoro IV memerintah Kabupaten Purworejo selama 12 tahun, dari 1907-1919.

Namun demikian RAA Cokronagoro IV sudah sejak muda terlibat dalam pemerintahaan. Dirinya sering mewakili ayahnya menghadiri acara resmi atau dalam hal mengatur pemerintahaan. Hal itu lantaran kondisi fisik ayahnya yang lemah dan sering sakit-sakitan. Sebelum menjabat sebagai bupati, RAA Cokronagoro IV banyak sekali mengadakan kegiatan. Sejumlah saluran irigasi dan bendung mulai dibangun.

Sejumlah bendung hasil karya RAA Cokronagoro IV adalah, Bendung Penungkulan dengan selokannya, Bendung Guntur dengan selokannya, Bendung Kalisemo, dan Bendung Kedung Pucang di Desa Trirejo. Dalam masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV sudah mulai bangkit kesadaran nasional dengan berdirinya Boedi Oetomo yang didirikan oleh dokter Sutomo. Berdirinya gerakan Boedi Oetomo sangat berpengaruh terhadap jiwa RAA Cokronagoro IV.

Beliau sadar betapa pentingnya pribumi menerima pendidikan sekolah. Sebelumnya belum pernah ada kesempatan para pribumi yang bukan golongan priyayi bisa menerima pendidikan di sekolah. Para pribumi di pedesaan dibiarkan buta huruf dan bodoh agar mau menjadi kuli. Melihat kenyataan itu RAA Cokronagoro berinisiatif mendirikan Sekolah Desa yang lama pendidikannya hanya tiga tahun.

Pada tahun 1911 di Kabupaten Purworejo didirikan sekolah “Ongko Loro” yang jenjang pendidikannya selama lima tahun. Sekolah tersebut didirikan di ibu kota Asisten Wedono (Kecamatan) yang padat penduduk. Bagi siswa sekolah Ongko Loro yang sudah tamat eksamen (ujian) bisa mengikuti kursus tambahan selama enam bulan. Mereka yang sudah tamat kursus selanjutnya bisa menjadi guru dan mengajar di sekolah Ongko Loro.

RAA Cokronagoro IV termasuk orang yang sangat peduli dan getol dalam hal meningkatkan pendidikan bagi rakyatnya. Memasuki tahun ke lima sekolah Ongko Loro didirikan, mulai banyak calon guru yang selesai mengikuti kursus. Sehingga pada tahun 1915 sejumlah sekolahaan mulai dibangun. Sekolah Ongko Loro yang didirikan antara lain :

1. Banyuasin untuk mendidik anak-anak di wilayah Asisten Wedono (Kecamatan ) Loano.

2. Pangen Gudang untuk anak-anak di wilayah Asisiten Wedono Purworejo.

3. Banyuurip, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Banyuurip.

4. Bayan, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Bayan.

5. Kemanukan, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Soko. Sebagai catatan, dulu di Kabupaten Purworejo ada Asisten Wedono Soko yang letaknya di sebelah timur Sunagi Bogowonto. Namun kemudian Kecamatan Soko dihapus dan kini masuk dalam wilayah Kecamatan Bagelen.

6. Kuwojo, untuk anak-anak di wilayah Asisten Wedono Bagelen.

Jiwa dan karakter RAA Cokronagoro IV bukan saja dipengaruhi oleh berdirinya Boedi Oetomo, namun juga oleh Dr. Wahidin Sudiro Husodo yang sangat giat sekali mendidik bangsanya agar dapat berpikiran maju. Selain itu juga dipengaruhi oleh semangat Raden Ajeng Kartini. Sehingga pada waktu itu anak-anak perempuan mulai diijinkan ikut sekolah. Maka dibangunlah sekolah khusus untuk perempuan yang bernama Meisjeskopschool yang terletak di Purwodadi dan Purworejo.

Pada masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV Karesidenan Bagelen sudah tidak ada lagi. Kabupaten yang ada di wilayah Karesidenan Bagelen masuk Karesidenan Kedu. Penghapusan Karesidenan Begelen terjadi pada 1 Agustus 1901. Untuk diketahui, sejak tanah Bagelen dan Banyumas diminta pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1830, oleh pemerintah Hindia Belanda tanah Bagelen dijadikan daerah kekuasaanya dengan status Gewest atau Residentie (Karesidenan).

Sehingga Purworejo sebagai kota administrative juga berakhir pada 1 Agustus 1901. Tahun 1928 saat Provincie Midden Java (Propinsi Jawa Tengah) dipimpin oleh Gubernur PJ. Van Gulik, daerah Gewest atau karesidenan diubah manjadi daerah yang lebih kecil namun jumlahnya banyak. Daerah yang lebih kecil dan jumlahnya banyak itu kemudian disebut Regenscap (Kabupaten). Istilah Karesidenan kembali jadi afdeling Bagelen.

Karena sejak lama sudah ada istilah afdeling di tanah Bagelen maka tanah Bagelen disebut Bestut afdeling Bagelen adan akhirnya berkembang menjadi Kabupaten Purworejo. Peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV adalah pemugaran benteng (tangsi) Kedung Kebo. Tangsi yang awalnya hanya dengan pagar kawat berduri dan bambu, oleh pemerintah Hindia Belanda diperkuat dengan dibangunnya pagar tembok.

Hal itu merupakan upaya Pemerintah Kolonial Belanda agar dapat mengawasi semua gerak gerik RAA Cokronagoro IV yang selama ini dikenal dekat dengan keluarga Taman Siswa dari Yogyakarta. Jiwa RAA Cokronagoro IV memang dikenal cukup keras. Dirinya merasa selama memerintah sering ditekan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hak-haknya sebagai seorang bupati sering dibatasi. Karena itu tidak jarang RAA Cokronagoro IV menentang Pemerintah Hindia Belanda.

Rupanya sikap tersebut tidak disenangi oleh Belanda. Banyak laporan mengenai sikap keras dan menentang yang ditunjukkan oleh RAA Cokronagoro. Namun yang paling fatal dan dipandang sebagi satu kesempatan untuk menurunkan dari jabatan bupati ketika RAA Cokronagoro IV mengawini wanita Eropa bernama Johanna Giezenberg. Oleh Pemerintah Belanda perkawinan itu dianggap kesalahan besar.

Sebab dimasa penjajahan pribumi masuk golongan warganegara kelas dua. Warganegara kelas satu adalah orang-orang Belanda dan Eropa. Karena itu, meski RAA Cokronagoro menjabat sebagai bupati tetap saja tidak diperbolehkan mengawini wanita Eropa. Akibatnya pada tahun 1919 RAA Cokronagoro IV diturunkan dari jabatannya dengan tidak hormat. Menerima perlakuan tersebut hati RAA Cokronagoro IV sakit dan merasa terhina sehingga dirinya kemudian pindah ke Yogyakarta.

Karena kursi bupati kosong, Patih KRT Sastro Sudarjo kemudian diangkat sebagai pejabat sementara Bupati Purworejo sampai tahun 1921. Setelah dua tahun menetap di Yogyakarta, RAA Cokronagoro IV dipanggil oleh Pemerintah Hindia Belanda. Dipanggilnya RAA Cokronagoro IV untuk dilantik kembali menjadi Bupati Purworejo, namun pada hari itu juga turun Surat Keputusan Pensiun.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1921. Kejadian itu cukup menggoncangkan jiwa RAA Cokronagoro IV. RAA Cokronagoro IV merasa sudah dipermalukan di depan rakyatnya. Sehingga sesudah pensiun dirinya kembali lagi ke Yogyakarta. Pada tanggal 29 Januari 1936 RAA Cokronagoro IV meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Makam Lempuyangan yang menjadi makam khusus KRT Cokrojoyo.

Namun seiring perkembangan jaman dan dinilai makam tersebut sudah tidak kondusif, pada tanggal 18 Juli 2003 dipindahkan ke Makam Bulus Hadipurwo di Desa Bulus, Kecamatan Gebang Purworejo. Makam Bulus Hadipurwo adalah makam khusus trah Cokronagoro.

Pada masa pemerintahaan RAA Cokronagoro IV dibangun Zending (Rumah Sakit Umum) yang kini menjadi milik Pemda Purworejo dan berganti nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Saras Husada. Pembangunan Zending dilakukan pada tahun 1915. Selain itu juga didirikan rumah sakit militer yang kini sudah berganti nama menjadi Rumah Sakit Tentara.
272/5 <25> Raden Istidjab Djojosewojo [Pakubuwono IV]

6

281/6 <27+11> Raden Soekarno [Pakubuwono V]
lahir: 22 Juni 1925, Boyolali
perkawinan: <12> Soesi Tartiah Samirono [Hamengku Buwono IV] b. 5 Oktober 1928
Tampilan
Peralatan pribadi